Seorang makhluk dekat dengan Tuhan bukan dalam pengertian kedekatan secara tempat. Sebab Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh tempat. Penisbatan banyak tempat kepada Allah adalah satu. Akan tetapi kedekatan yg dimaksudkan dalam ucapan² kaum Sufi adalah kedekatan maknawi, yaitu, kedekatan cinta dan ridha, dekatnya kedudukan, dan bukannya tempat.
Mi’raj adalah kedekatan (qurb), didekatkan (taqrib), dan pendakian (irtiqa’) ke suatu tempat yg suci dan disucikan, yg belum pernah diinjak kecuali oleh tapak kaki Rasulullah Saw. Jika Allah Ta’ala berbicara dengan Nabi Musa as. di Lembah Suci (al-Wadi al-Muqaddas) di muka bumi ini maka Allah Ta’ala mengangkat Rasulullah Saw. ke suatu tempat yg sangat tinggi, di atas langit ketujuh sebagai tempatnya para Nabi, di atas Sidratul Muntaha sebagai tempatnya Jibril as., bahkan jauh di atas suatu tempat yg di sana bisa mendengar suara pena yg digunakan para malaikat untuk menuliskan (takdir) pada lembaran² bernama Lauhul Mahfudz. Kemudian di situlah Allah Ta’ala berbicara dengan Rasulullah Saw., dengan suatu pembicaraan yg tidak bersuara dan tidak terekam oleh kata². “Maka Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yg Dia wahyukan….” Inilah suatu bentuk pembicaraan atau percakapan yg kami sendiri tidak bisa menggambarkannya. Kami tidak punya pengetahuan tentang isi pembicaraan itu kecuali apa yg diajarkan kepada kami.
Di sini kita dihadapkan pada kebingungan, jika Mi’raj adalah bentuk dimana Allah menghormati (takrim), memuliakan (tasyrif), mendekatkan (taqrib), dan menyayangi (iinas) Rasulullah Saw., lantas mengapa pada momen agung semacam itu, yg hanya sekali terjadi sepanjang hidup Rasulullah Saw. dan umatnya, harus ada beban berupa perintah shalat lima waktu? Perintah adalah amanat, beban berat yg harus kita tunaikan pada waktu² yg sudah ditentukan!
Kebingungan ini menghadirkan di depan mata kita hakikat nyata: jika kalimat syahadat adalah pembebasan dari siksa neraka, puasa adalah kepenatan yg mendatangkan sehat, haji adalah kepenatan yg mendatangkan ampunan, zakat adalah kewajiban yg mendatangkan berkah, maka ibadah shalat bebas dari segala macam paksaan dan kepenatan semacam itu. Shalat adalah tali penyambung antara manusia dan Tuhan, satu²nya jalan untuk menuju tempat yg diridhai Allah Ta’ala. Barang siapa yg shalatnya istiqamah dan benar maka seluruh perbuatannya akan benar pula. “Sungguh shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar….”
Di hadapan kita berjubel isyarat² yg meniadakan sifat beban dari ibadah shalat itu sendiri, dan menjadikan shalat sebagai sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Mulia untuk hamba²Nya. Isyarat² tersebut mendorong orang² beriman untuk bersegera –layaknya seseorang yg hatinya dipenuhi kerinduan mendalam untuk segera berjumpa dengan sang kekasih– duduk bersimpuh di hadapan Tuhan Yang Maha Mulia dan Agung, yaitu ketika seseorang terpanggil untuk berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Apakah ia akan bermalas-malasan atau lalai?! Inilah momen dimana manusia akan berkomunikasi langsung dengan Tuhan di dalam shalatnya, dan Sang Tuhan akan menjawabnya. Allah Ta’ala membagi bacaan sebagian surat al-Fatihah untuk Diri-Nya sendiri dan sebagian lagi untuk hamba-Nya.
Secara simbolik Mi’raj mengatakan kepada kita bahwa shalat bukanlah beban atau ibadah yg melelahkan, sebaliknya shalat adalah kesenangan total, dengan bukti bahwa shalat tidak gugur bagi orang mukmin yg berakal. Kesenangan ini dimulai sejak suara adzan dikumandangan. Ketika Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal ra. untuk mengumandangkan adzan, Beliau berkata: “Buatlah kami ini merasa senang, wahai Bilal.” Yaitu, suatu kesenangan yg tampak ketika sedang menghadap kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala berada di hadapan orang yg mengerjakan shalat. Kesenangan itu juga tampak dalam “tahiyyat” dan turunannya yg berupa keselamatan dan ketenangan jiwa bagi seorang hamba beriman yg sedang mengerjakan shalat.
Peristiwa Mi’raj memberi kita pemahaman bahwa andaikan ibadah shalat bukan sebuah kesenangan dan kebahagiaan di mata kita maka niscaya Allah Ta’ala tidak akan membicarakan persoalan shalat tersebut di maqam ini. Shalat adalah bentuk penghormatan bukan beban. Shalat adalah tali penghubung antara seorang hamba dengan Tuhan. Shalat adalah kedekatan dan ridha. “Bersujudlah dan dekatkan dirimu.”
*
Kita telah membahas tentang makna² terpenting dari Mi’raj Nabi, yg menjadi kata pengantar untuk kajian buku Syaikh Ibnu Arabi di tangan pembaca saat ini. Membicarakan keseluruhan makna yg bersinar terang di setiap penjuru riwayat² Mi’raj, adalah perbuatan yg tidak mungkin dalam kesempatan kita kali ini.
Layak dikatakan bahwa tersebarnya riwayat² tentang Mi’raj tidak sampai menyentuh kalangan ahli hadits, ahli fiqih, dan alim ulama dari umat ini. Ia hanya tersebar di kalangan orang² awam dan para pendongeng, yg suka meriwayatkan nash² seputar Mi’raj dengan kalimat² yg aneh dan tidak patut. Hal ini menyebabkan orang² di zaman sekarang yg serba rasional menghindari keseluruhan riwayat tersebut, tanpa memilah-milahnya lebih dahulu. Mereka menjauhi hadits yg bicara soal Mi’raj. Di zaman sekarang, kami lihat tidak seorang pun yg mau mendekati hadits Mi’raj. Bahkan kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan alim ulama menempatkan posisi hadits Mi’raj ini sebatas sebagai bahan diskusi yg dipertanyakan, tak ubahnya golongan orang mukmin yg awam.
Dari sini kita dihadapkan pada puluhan buku dan risalah yg membicarakan tentang Mi’raj, sebagaimana kita dihadapkan pula pada ratusan artikel yg meriwayatkan dan menjelaskan serta menafsiri riwayat hadits tentang Isra’ dan Mi’raj, yg diriwayatkan lebih dari 26 sahabat. Kami menganjurkan pembaca yg ingin mendapatkan informasi lebih lengkap agar merujuk pada kitab² hadits shahih, buku² biografi seperti Sirah Ibnu Hisyam, penjelasan buku tersebut yg berjudul al-Raudh al-Anaf karya al-Suhaili, juga karya² ahli hadits, kritikus, mufasir terkemuka yg membahas soal Mi’raj ini, seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas Surat al-Isra’, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Isra’ wa al-Mi’raj min Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Ayat al-Kubra fi Syarh Qishshah al-Isra’, al-Qadhi ‘Iyadh dalam al-Syifa’, al-Qashthalani dalam al-Mawahib al-Ladunniyah, dan al-Zarquni dalam Syarh al-Mawahib.
Ketika tema Mi’raj ini sudah terlanjur menimbulkan kekacauan baik bagi umat Islam awam maupun kalangan akademikus, dan mengorbankan kebenaran sesungguhnya, maka kalangan akademik terdidik melakukan analisis dan kajian kritis, sementara orang awam di berbagai suku bangsa tetap suka menerima cerita² aneh tentang Mi’raj tersebut.
Dari sini kemudian kaum akademikus menolak dongeng² dan khurafat. Sehingga teks² hadits menjadi lebih bersih dibandingkan dengan cerita² tentang Mi’raj Nabi yg menyebar di tengah² masyarakat awam. Cerita di tangan masyarakat awam inilah dengan sendirinya berkolaborasi dan bercampur aduk dengan imajinasi² kesukuan, sebab kebenaran hakiki di kalangan mereka adalah keimanan terhadap kuasa Allah Ta’ala dan menerima kehendak-Nya yg berlaku atas hamba²Nya. Akan tetapi di antara imannya orang alim atau cendekiawan yg membenarkan adanya kuasa Allah terhadap fenomena apapun dan imannya orang awam yg membenarkan segala macam imajinasi dan khurafat, terdapat ruang bagi akal rasional. Dan kedua jenis keimanan tersebut tidak akan bertemu.
Tidak ada satu pun yg bisa membunuh hakikat kebenaran hanya lantaran ia bercampur aduk dengan dongeng² dan khayalan imajinatif. Sebab kebenaran hakiki menjadikan akal manusia berdiri di hadapannya dalam keadaan kebingungan, dan selanjutnya menolak semuanya, menolak yg benar dan yg imajinatif, karena khawatir terjerumus pada kesyirikan khurafat.
Dalam hal ini, secara pelan² kami ingin sampaikan kepada kaum rasionalis bahwa tindakan menolak keseluruhan (baik yg benar maupun yg imajinatif) bukanlah tindakan yg rasional. Sebaliknya, nilai² rasional seharusnya menempatkan diri di posisi sebagai kritikus, mengurai, mengkomparasikan, dan menangkis kebenaran dari lumut² kebohongan, supaya cahaya kebenaran hakiki terpancar di hadapan mata hati kita, lalu mengalir ke dalam lubuk hati kita yg terdalam, sehingga hati kita semua merasa damai dan tenteram. Seakan-akan kita melihat kebenaran hakiki tersebut.
Isra’ dan Mi’raj yg dialami oleh Rasulullah Saw. dengan jasad fisiknya terjadi dalam keadaan sadar, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, menuju ke langit yg tujuh, lalu ke Sidratul Muntaha, dari sana Beliau menjadi dekat dan semakin dekat, layaknya busur dan anak panahnya, bahkan lebih dekat lagi, kemudian Allah Ta’ala menyampaikan wahyu-Nya. Peristiwa semacam ini adalah salah satu kebenaran hakiki yg berkilau, sebab ia adalah riwayat dari Seorang yg Jujur nan Terpercaya, Rasulullah Saw., ia adalah tindakan langsung dari Tuhan Yang Maha Tinggi nan Maha Kuasa, Maha Suci nan Mulia.