Masing² Nabi mengambil bagian derajatnya dengan cara menerima nilai² Islam. Sekalipun kami tidak membeda-bedakan masing² utusan Allah itu, karena mereka semua berasal dari sisi Tuhan Yang Maha Mulia dan Bijaksana, namun Allah Ta’ala mengutamakan sebagian Nabi di atas sebagian yg lain. Ada Nabi yg dijadikan sebagai Khalilullah (Kekasih Allah), ada Nabi yg di anugerahi kekuasaan besar, ada Nabi yg diberi kemampuan untuk melunakkan besi, menundukkan gunung², dan mengendalikan jin, manusia dan angin, ada pula Nabi yg diberi kesaktian untuk menyembuhkan orang buta, penderita kusta, dan menghidupkan orang mati, dan ada pula Nabi yg diberi keistimewaan bisa berbicara langsung dengan Allah.
Isra’ Mj’raj mempertegas kedudukan Rasulullah Saw. Dialah yg menjadi imam shalat bagi seluruh para Nabi. Dia pula yg melampaui langit ketujuh: maqam dan kedudukannya Ibrahim as., sampai tiba di Sidratul Muntaha, lalu dilanjutkan ke suatu tempat dimana dia bisa mendengar suara pena takdir yg menuliskan takdir segala sesuatu.
Banyak sekali riwayat² yg kontradiktif dalam menceritakan perjalanan Rasulullah Saw. setelah melewati Sidratul Muntaha. Namun yg terpenting dalam tema pembahasan kita kali ini, semua itu adalah pengertian dan makna² Mi’raj. Karena itulah setiap kali riwayat² itu mengalami kontradiksi namun masing² tetap berbicara tentang Rasulullah Saw. sebagai satu²nya pemilik kedudukan yg tidak dimiliki oleh Nabi atau Rasul bahkan malaikat sekalipun. Jibril as., malaikat yg bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi, tidak memiliki kedudukan tersebut, sehingga dia terpaksa berhenti di Sidratul Muntaha seraya membaca firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِنَّآ إِلَّا لَهُۥ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
“Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yg tertentu.” (QS. Ash-Saffat [37]: 164)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendaki dan terus naik ke atas, Beliau meninggalkan seluruh makhluk, baik dari golongan manusia, jin, bahkan malaikat. Beliau terus naik untuk menyandang sebuah maqam spesial. Dalam menjelaskan maqam Rasulullah Saw. tersebut, dengan cara membandingkan isyarat² Al-Qur’an, Syaikh Ibnu Arabi menuliskan kata² indahnya, seperti yg tertuang dalam buku yg Anda baca sekarang ini:
“Mana yg lebih tinggi derajatnya antara orang yg berkata:
‘Ajiltu ilaika Robbi litardho
‘Oh Tuhan, aku berlari menuju-Mu agar Engkau ridha’,
dibandingkan dengan orang yg mendapat penghargaan:
Walasaufa yu’thiika Robbuka fatardho
‘Dan sungguh Tuhanmu akan menganugerahi kamu, sehingga engkau rida.’
Dan mana pula yg lebih mulia derajatnya antara orang yg berkata:
Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini
‘Tuhan, ampuni dosa2ku pada hari pembalasan’,
dibandingkan dengan orang yg mendapat penghargaan:
Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akhhoro
‘Agar Allah mengampuni dosa²mu yg terdahulu maupun yg akan datang.’
Semua yg dicari oleh para Nabi terdahulu, pada saat ini kami lihat, dengan sendiri mencari Rasulullah Saw. Sebab maqam dan bagian Beliau adalah kesempurnaan. Isra’ Mi’raj ini adalah teks mitsali yg membuktikan kedudukan Rasulullah Saw. dan status kepemimpinannya.