Peristiwa Israā adalah bagian pertama dalam perjalanan kenabian itu. Perjalanan di sini adalah sebuah perjalanan panjang yg ditempuh Rasulullah Saw. dengan mengendarai Buraq, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Peristiwa Israā yg lebih dahulu terjadi daripada Miāraj adalah bukti bahwa perjalanan tersebut adalah peristiwa empiris dan nyata, yaitu sebuah perjalanan di dunia kasat mata, dimana Rasulullah Saw. menempuhnya dengan jasad dan ruh, dalam keadaan sadar di suatu malam, didampingi Jibril as. dari Mekkah ke Baitul Maqdis.
Nilai penting peristiwa Israā tersimpan di dalam buktiĀ² empiris ini yg diajukan kepada orangĀ² pengingkarnya. Jika tidak demikian lantas apa hikmah Israā yg mendahului perstiwa Miāraj, dan mengapa pula Rasulullah Saw. tidak langsung saja menempuh perjalanan Miāraj dari Mekkah menuju langit yg tujuh?
Peristiwa Israā terjadi demikian, sebagai bagian dari perjalanan kenabian, ia memiliki bukti empiris yg tampak di hadapan mata orangĀ² muslim dan Quraisy. Andaikan Rasulullah Saw. berkata bahwa aku mengalami Miāraj (dari Mekkah) langsung ke langit, maka niscaya tidak seorang pun layak membenarkan atau menolak ucapannya. Kabar dari Beliau itu akan selamanya menjadi bagian dari peristiwa yg menuntut keimanan mutlak tentang hal ghaib, sebab perjalanan ke langit merupakan peristiwa yg berada di luar batas pembuktian ilmiah. Untuk itulah, hikmah ilahiah dengan sengaja mengatur Israā terjadi lebih dulu (dibanding Miāraj) supaya menjadi bahan bukti dan argumentasi untuk membenarkan perjalanan Rasulullah Saw. tersebut. Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan ciriĀ² Masjidil Aqsha di hadapan orangĀ² Quraisy ādan mereka yakin bahwa Beliau belum pernah tiba di sana sebelumnyaā dan menceritakan tentang kafilah yg akan tiba (di Mekkah) esok paginya, maka bahan bukti untuk membenarkan perjalanan Rasulullah Saw. tersebut sudah mencukupi.
Israā adalah perjalanan di atas bumi, ia merupakan salah satu bahan cerita bagi orangĀ² Quraisy yg sedang berada di perjalanan, dimana mereka harus menunggangi unta selama satu bulan penuh. Karena itulah percakapan antara orang Quraisy dan Rasulullah Saw. pada saat Israā menjadi terbatas.
Di sepanjang perjalanan Israā, Rasulullah Saw. menunggangi Buraq, ia adalah seekor binatang melata (Dabbah). Beliau tidak menggunakan binatang yg bisa terbang. Sebaliknya Beliau menggunakan binatang yg melata dan bisa berjalan di atas tanah. Binatang itu dapat membalikkan sebuah wadah dengan tapak kakinya, seperti yg dilakukannya setelah kembali. Ini untuk mempertegas keempirisan peristiwa Israā. Binatang bernama Buraq ini āsekalipun sebagian orang mengatakan bahwa kecepatannya adalah kecepatan cahaya, dan namanya (Buraq) mirip dengan kata barqun (kilat)ā menurut kami, kecepatan Buraq dijelaskan oleh sabda Rasulullah Saw. yg mengatakan: āIa meletakkan tapak kakinya di batas ujung matanya memandang.ā
Artinya, langkah Buraq dapat mencapai tempat sejauh matanya memandang. Jadi, Buraq ini dapat melata secepat mata memandang. Kecepatan ini memungkinkan Rasulullah Saw. untuk melihat seluruh peristiwa yg terjadi di sepanjang perjalanan, juga dapat melihat bekasĀ² tapak kaki orang. Rasulullah Saw. berpindah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, bukan dengan dilipatnya bumi ini melainkan dengan menempuh perjalanan biasa pada umumnya. Beliau juga melihat peristiwaĀ² dan bekasĀ² tapak kaki manusia di sepanjang perjalanan. Inilah mukjizat hakiki yg membuat orangĀ² Qurasiy kebingungan, dimana Beliau mampu menempuh suatu perjalanan hanya dalam waktu singkat, padahal mereka sendiri membutuhkan waktu satu bulan penuh. Kekuasaan Allah mampu mengubah seluruh barometer ruang dan waktu.