Sejak menyelesaikan masa khalwatnya yg pertama pada 580 H di usia ke 20, Syaikh Ibnu Arabi sudah banyak memperoleh bermacam-macam ilham, kasyaf, pencerahan, dan visi dalam mimpi. Semua peristiwa ini terjadi semasa hidup ayahnya, yg sama sekali tidak mengingkari ahwal sufistik semacam itu. Akan tetapi sang ayah tidak mampu menafsiri pengalaman spiritual putranya tersebut. Salahsatu sahabat ayah Syaikh Ibnu Arabi, seorang filsuf terkenal, Ibnu Rusyd, meminta ayah Syaikh Ibnu Arabi untuk menunjukkan putranya. Syaikh Ibnu Arabi pun diutus untuk menjumpai, sowan kepada Ibnu Rusyd, demi sebuah kepentingan yg telah disepakati.
Syaikh Ibnu Arabi menuturkan kisahnya: āKetika aku menemuinya (Ibnu Rusyd), dia bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke arahku dengan perasaan cinta dan penuh penghormatan. Dia memelukku sambil bertanya, āBetul?ā Aku jawab, āYa.ā Kebahagiaan yg dirasakannya semakin membuncah karena paham akan makna dari ucapanku. Selanjutnya, aku meminta penjelasan apa yg membuatnya bahagia, dan aku katakan lagi kepadanya, āTidak.ā Dia pun tampak lesu dan warna kulitnya berubah. Dia ragu terhadap apa yg telah diyakininya sendiri selama ini. Dia bertanya padaku, āBagaimana kalian memperoleh pengetahuan melalui kasyaf dan intuisi ilahiah, apakah hal seperti itu merupakan pengetahuan yg dapat dicapai melalui penalaran diskursif?ā Aku jawab, āYa dan tidak. Di antara ya dan tidak, arwahĀ² meninggalkan materi, dan leherĀ² tanggal dari badanĀ²nya.āā
Berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi, ini adalah momen dimana Ibnu Rusyd melihat dengan mata kepala ahwal ilmu kasyaf yg terdapat di dalam diri Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd berkata, āIni adalah perkara yg kami yakini. Namun, kami belum sekali pun melihat langsung orang yg betulĀ² menguasainya. Segala puji bagi Allah yg telah menghidupkan saya di suatu masa, dimana saya bisa berjumpa langsung dengan seseorang yg betulĀ² menguasainya. Orang itu menjadi kunci pembuka bagi pintuĀ² yg selama ini terkunci rapat. Segala puji bagi Allah yg telah memberiku kesempatan untuk berjumpa langsung dengan orang itu.ā
Peristiwa tersebut adalah bukti kedudukan Syaikh Ibnu Arabi, yg sejak dini telah mampu melumpuhkan pikiran seorang filsuf besar dari Cordoba dan memaksa sang filsuf mengakui kehebatan dan skill khusus yg dimiliki Syaikh Ibnu Arabi. Peristiwa tersabut merupakan representasi kebangkitan era baru dalam pemikiran sufisme, yaitu era ilmu mukasyafah. Jenis pengetahuan ini akan menyaingi pengetahuan yg diperoleh melalui penalaran diskursif filosofis dalam dunia Islam. Syaikh Ibnu Arabi menghadirkan metode sufistik tersendiri dan melihat halĀ² metafisika dengan mata kepala, suatu realitas yg saling melengkapi tentang pemahaman mengenai konsep Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Pada mulanya berupa kabarĀ² gembira, yaitu mimpiĀ² yg secara simbolik membimbing Syaikh Ibnu Arabi meraih kedudukan tinggi, yg telah menunggunya di alam āirfani dan tasthir, alam Lauh dan Qalam. BeritaĀ² dan mimpiĀ² ini membuat batinnya lebih berhati-hati, terlebih ketika mengalami mimpi penuh ilham. Tanpa keraguan sedikit pun Syaikh Ibnu Arabi menafsiri mimpi yg dialaminya di Bijaya, yg terjadi pada bulan Ramadhan 957 H. Dia bermimpi dirinya bersatu dengan seluruh bintangĀ² di langit tanpa terkecuali. Sedang bintangĀ² itu bertuliskan seluruh hurufĀ² hijaāiyah, lalu Syaikh Ibnu Arabi merasa menikahinya.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, āAku menceritakan mimpiku itu kepada seseorang yg āarif dan pandai menafsiri mimpi. Setelah mimpi itu disampaikan kepadanya, dia kagum dan takjub. Dia berkata, āOrang yg mengalami mimpi seperti ini akan mendapatkan pengetahuanĀ² tertinggi, rahasiaĀ² ghaib, dan pengetahuan tentang keistimewaan bintangĀ². Yaitu, pengetahuan yg tak akan dimiliki oleh seorang pun pada masanya.
Menurut saya, mimpi tersebut menegaskan tentang dua hal: ilham dan pengalaman yg juga dialami oleh Syaikh Ibnu Arabi, tokoh terkemuka dan bijaksana dari Murcia. Orang arif, yg tahu banyak tentang mimpi dan menafsiri mimpi Syaikh Ibnu Arabi, bahwa si pemimpi akan memperoleh pengetahuanĀ² tertinggi dan rahasiaĀ² ghaib, hanya memberikan penafsiran sepotong, yaitu pada bagian pertamanya. Si penafsir mengabaikan isyarat lain, yaitu adanya hurufĀ² hijaāiyah.
Isyarat tersebut, menurut saya, sangat penting. Isyarat tersebut menegaskan keistimewaan khusus ilham Syaikh Ibnu Arabi. Secara simbolik, isyarat tersebut mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi memiliki instrumen bahasa untuk mengungkapkan ideĀ²nya. Syaikh Ibnu Arabi tidak sekadar memperoleh ilham berupa gagasan dan ide semata, melainkan juga memiliki alat dan media berupa kata dan kalimat. Arti mimpi ini akan lebih jelas lagi dalam dua poin berikut:
A. Intelektual Intuitif
Sebelum Syaikh Ibnu Arabi muncul, ahwal kaum sufi sangat beragam. Karenanya kitab, ilmu, dan ucapanĀ² mereka juga bermacam-macam. Seorang pemula yg ingin mempelajari tasawuf dan berkepentingan untuk sampai pada puncak pengetahuan tentangnya, harus membaca seluruh karya tersebut dan mengumpulkan petuahĀ² yg berserakan ke dalam satu buku. Imam Junayd al-Baghdadi misalnya, seorang syaikh thaifah, mengarahkan konsentrasi sufistiknya kepada ajaran tauhid. Al-Junayd adalah sufi yg pakar di bidang tauhid, mengalami fanaā dalam tauhid, dan hanya tahu tentang tauhid.
Berikutnya adalah al-Hallaj. Dia adalah tokoh sufi yg hatinya diselimuti kerinduan, syairĀ²nya menegaskan tentang desah kerinduan yg mendalam. Kerinduan hati yg terbakar oleh cinta, wujud, dan fanaā. Ada juga al-Naffari. Dia hanya berdiam saja, tidak mau beranjak pergi, matanya menatap bendaĀ², namun tidak melihatnya, karena dia takut berpalingan dari Allah, takut bendaĀ² itu menjadi penghalang bagi telinganya untuk mendengar bisikan suaraĀ² ilahiah. Dalam pandangan al-Naffari, jagad semesta tampak tiada. Yg ada hanyalah yg bicara (mukhathib), lawan bicara (mukhathab), dan isi pembicaraan (khithab).
Andaikan kami menghadirkan seluruh jenis ahwal kaum sufi yg mendahului Syaikh Ibnu Arabi maka niscaya tidak cukup ruang untuk itu. Di sinilah Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan seluruh kaum sufi. Dia tidak hanya memiliki satu jenis ahwal. Dia menempatkan seluruh aktivitas dan konsentrasi sufismenya ke dalam satu jalan, sehingga petuahĀ² sufisme Syaikh Ibnu Arabi yg sangat subjektif dapat memasuki ruangĀ² yg lebih luas di dalam ragam ilmu pengetahuan.
Betul, Syaikh Ibnu Arabi meninggalkan ahwal sufistik yg subjektif menuju temaĀ² ilmu pengetahuan. Akan tetapi usaha itu sendiri adalah murni sufisme. Sebab jika kita meneliti lebih detail sumberĀ² dan rujukan keilmuan Syaikh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf maka kita akan menemukannya dalam al-Futuhat al-Makkiyah, al-Musyahadat, al-Ilhamat, dan al-Ruāya al-Manamiyah.
Ringkasnya, disiplin keilmuan Syaikh Ibnu Arabi merupakan disiplin keilmuan intuitif (ilhami) dan ladunni. Hal semacam ini tidak asing lagi bagi seseorang yg telah mendapatkan jubah kesufian dari Nabi Khidir as. sebanyak tiga kali. Menerima ājubahā adalah tindakan simbolik yg menjelaskan bahwa dirinya telah belajar dan ikut serta dalam ahwal dan jalan sufi. Sebagaimana Nabi Khidir as. sendiri mendapat ilmu langsung dari Allah Taāala secara ladunni, begitu pula Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi. Dia adalah salah satu orang terpilih, yg akan menerima ilmu ladunni dari Allah Taāala, yaitu, pengetahuan intuisi dalam beragam bentuknya.
Bagi Syaikh Ibnu Arabi, visi dalam mimpi menjadi pintu masuk ke dalam dunia rahasia, alam ghaib dan pengetahuan ladunni. Yg demikian ini bukan hal mustahil, baik secara rasional maupun agama, terlebih bagi orangĀ² yg istiqamah dalam kesadaran dan membersihkan kotoran dari kedalaman jiwanya. Karena itulah, Allah memuliakan mereka dengan cara membiarkan ruhĀ² mereka melepaskan diri dari kungkungan dunia materi, melepaskan ruh dari tubuh, selama dalam mimpi.
RuhĀ² itu, kemudian, terbang tinggi ke ufukĀ² langit, meninggalkan bumi, menyaksikan alam malaikat dan malakut. Dengan perasaan damai, ruhĀ² itu kembali lagi, merasuk ke dalam tubuhĀ² suci mereka. Ketika relung jiwa yg paling dalam telah bersih maka visi misterius akan terjadi.
Kitab yg kami sebar luaskan ini bersumber dari mimpiĀ² Syaikh Ibnu Arabi. Dia melihat langsung tempat tertinggi, mimpi seorang muslim beriman, yg badannya suci, dan jiwanya bersih. Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Arabi mencapai tempat tersebut. Dialah orang yg ditunjuk untuk menerima makrifat dan āirfani.
Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi. Dia tidak sekadar memiliki satu jenis hal sufistik. Dia mengembara dalam beragam dunia intuisi ilahiah. Di sepanjang pengembaraan ini Syaikh Ibnu Arabi tidak pemah mengabaikan patokan rasionalitas religius. Dia selalu mengikuti jalan para sufi sesuai konteks keilmuan mereka. Ringkas kata, seperti yg diungkapkannya sendiri, āSetiap kali terbersit dalam hatiku bisikan yg pernah terlintas dalam hati mereka maka aku baru bisa menerimanya apabila didukung oleh dua saksi yg adil: Al-Qurāan dan Hadits.ā
Inilah Syaikh Ibnu Arabi. Di samping tumbuh dewasa dalam lingkar orangĀ² yg menguasai disiplin keilmuan fiqih dan hadits, ilmu pengetahuannya yg intuitif juga didasarkan pada dua saksi: Al-Qurāan dan Hadits. Kami tidak menemukan karyaĀ² Syaikh Ibnu Arabi yg tidak berisikan isyaratĀ² Al-Qurāan dan Hadits.
B. Penulis Intuitif
Kita terbiasa melihat para penyair bermain dengan keindahan kataĀ² dan para cendekiawan mengedepankan kedalaman makna serta suka meramal struktur alam semesta. Akan tetapi kaum sufi memperlihatkan kepada kita kemampuan mereka dalam menggabungkan ketinggian dan kedalaman makna sekaligus keindahan dan estetika bahasa bercita rasa tinggi. Karena itulah sepanjang perjalanan sejarah karyaĀ² sufistik terkenal dengan keagungan gagasan plus cita rasa estetikanya yg tinggi. Berpuluh-puluh buku ditulis untuk mengkajinya.
Seorang sufi dengan mata hati yg tercerahkan dan jiwa yg lembut tidak pernah mengungkapkan kataĀ² kecuali ia merupakan buah makrifat, yg menyenangkan di mata dan telinga. Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang di antara mereka yg mampu menggabungkan keindahan kata dan kedalaman makna, yg berjuang untuk sampai pada puncak ketinggian tema dan kataĀ².
Sejak semula Syaikh Ibnu Arabi sudah mendalami dunia kesusastraan, merangkai kata dalam bentuk prosa dan puisi. Dia suka membaca bukuĀ² sastra dan yg berisi kataĀ² indah. Bahkan dia bertugas mengurusi penulisan kesusastraan Sevilla, dimana jabatan tersebut tidak diserahkan kepada sembarang orang, kecuali dia yg menguasai skill istimewa.
Syaikh Ibnu Arabi memulai kariernya dengan mengarang, sebab dia termasuk orang yg selalu mendapat ilham berupa ide dan gagasan, sehingga dia mencurahkan segala tenaga untuk menuangkan gagasanĀ²nya itu. Demikianlah yg kami temukan dalam karyaĀ² awalnya, seperti kitab Mawaqiā al-Nujum, Risalat al-Asfar, termasuk pula kitab yg Anda pegang ini. Kitab ini ditulis pada selang waktu dimana Syaikh Ibnu Arabi sedang mengarang tentang hurufĀ² yg inspirasinya didapat dari berbagai tempat.
Akan tetapi setelah tahun 597 H, setelah mengalami mimpi menikahi hurufĀ² hijaāiyah, karyaĀ² Syaikh Ibnu Arabi secara berkelanjutan menampilkan struktur kepenulisan yg baru, dan simbolĀ² yg disuguhkan dalam setiap pengantar karyaĀ²nya, seperti pada al-Futuhat al-Makkiyah misalnya, yg mulai ditulis sejak tahun 598 H di Mekkah, juga menghadirkan ilham baru, yaitu, ilham dalam struktur bangunan kitab, bukan sekedar pada temaĀ² yg dibahasnya.
Dalam mukaddimah karya terakhirnya Fushush al-Hikam, kita memiliki bukti kuat berupa teks yg secara tegas menjelaskan tentang puncak ilham yg dicapai Syaikh Ibnu Arabi.
Kita punya landasan kokoh untuk menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi tiduk sekedar penulis yg mendapat ilham atau intuisi dalam hal gagasan dan ide melainkan juga seorang penulis yg kataĀ² dan kalimatnya adalah ilham. Dalam mukaddimah kitab itu, halaman 4, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, āAku melihat Rasulullah Saw. membawa kabar gembira pada tanggal 10 terakhir bulan Muharam tahun 627 H di wilayah Damaskus. Di tangan Beliau terdapat sebuah kitab. Beliau bersabda kepadaku, āIni kitab Fushush al-Hikam, ambillah. Sampaikan kepada orangĀ². Mereka akan banyak memetik manfaat dari kitab ini.ā Aku jawab, āKepatuhan dan ketundukan sepenuhnya untuk Allah, Rasul-Nya, dan ulul amri, sebagaimana kami diperintahkan berbuat demikian.ā
Aku pun meluruskan niat, dan memfokuskan keinginan dan citaĀ² untuk menghadirkan kitab ini untuk khalayak ramai seperti yg diperintahkan Rasulullah Saw. kepadaku, tanpa sedikitpun ada penambahan atau pengurangan. Aku memohon kepada Allah supaya mengistimewakanku dalam segala apa yg ditulis oleh jari jemari dan diucapkan oleh lidah, yaitu, keistimewaan berupa pancaran subuh (ilqaā subuhi) dan tiupan jiwa, sehingga aku ini hanya sekadar penerjemah dan bukannya pengambil keputusan. Semua yg kuterima memang seperti apa adanya, dan semua yg kutulis dalam kalimatĀ² ini memang demikianlah yg sampai kepadaku. Aku bukan seorang nabi apalagi rasul. Aku hanya seorang pewaris, dan penjaga kehidupan akhiratku.ā
Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang penulis yg kataĀ²nya adalah ilham, semua ide dan makna yg ditangkapnya dituangkan dalam kataĀ² tanpa penambahan maupun pengurangan. Ilham pengetahuan tidak berarti pengingkaran terhadap wahyu kenabian. Sebab wahyu kenabian itu adalah wahyu untuk memberlakukan syariat. Sementara ilhamnya para wali dan kaum sufi tidaklah demikian. Ia hanya sejenis pencerahan (futuh) untuk lebih memahami wahyu kenabian, semacam pembacaan kritis dan hudhuri atas syariat nubuat.