Dlm Fathur Rabbani:
Majelis ke 22
“Usir Rasa Cinta Dunia dari Hati”
Pengajian Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Pagi akhir Dzulqoidah 545 Hijriyah di Madrasah.
Ada seseorang yg bertanya, “Bagaimana cara mengeluarkan kecintaan pada dunia dari dalam hatiku?” Perhatikan pergantian dunia dengan para pemilik dan anak²nya, bagaimana ia membujuk, memikat, dan mengolah mereka di belakangnya, kemudian menaikkan mereka dari satu tingkatan ke tingkatan lain (yg lebih tinggi) hingga ia meninggikan (derajat) mereka di atas manusia dan memantapkannya, lalu menampakkan pundi kekayaan dan keajaiban²nya. Selama mereka bergembira dengan ketinggian (derajat) mereka, kemantapan dan kesejahteraan hidup mereka, serta khidmat pelayanannya pada mereka, maka sekonyong² dunia akan menangkap mereka, memborgol, dan mempecundangi mereka, lalu mencampakkan mereka dari ketinggian (derajat) tersebut. Mereka pun hancur berkeping² dan binasa, sementara dunia berdiri menertawakan mereka dan iblis di sampingnya pun ikut tertawa bersamanya. Inilah yg dilakukan dunia terhadap para sultan, raja, dan kalangan hartawan bani Adam as. sampai Hari Kiamat.
Dengan cara demikianlah, dunia mengangkat dan merendahkan, menyegerakan dan melambatkan, mengkayakan dan memiskinkan, mendekat dan kemudian menyembelih. Jarang sekali di antara manusia yg selamat dari dunia, yg bisa mengalahkannya tanpa berkutik, serta selamat dari kejahatannya. Hanya orang² yg mengetahui seluk-beluk dunia dan bersikap ekstra hati² dalam menghadapi jebakannya saja yg bisa lolos darinya. Mereka adalah sosok² pilihan.
Wahai penanya! Jika engkau melihat dunia dengan mata hatimu, maka engkau akan melihat cela²nya, hingga engkau bisa mengeluarkannya dari hatimu, namun jika engkau tatap dunia dengan mata kepalamu, maka keindahannya akan melenakanmu dari (memperhatikan) cela²nya. Dengan demikian, engkau tidak akan bisa mengeluarkannya dari hatimu, juga berzuhud menjauhinya, bahkan dunia justru akan membunuhmu sebagaimana ia membunuh selainmu. Lawanlah nafsu dirimu hingga engkau merasa tenang. Jika sudah tenang, maka engkau akan mengetahui cela² dunia, sehingga engkau bisa berzuhud menjauhinya. Diri yg tenang adalah diri yg menerima hati dan mengikuti nurani (sirr), dengan mentaati apa yg diperintahkan keduanya dan menjauhi apa yg dilarangnya, puas menerima pemberiannya dan bersabar atas penolakannya. Jika nafsumu tenang, maka ia akan bersandar ke hati dan diam bersamanya. Engkau akan melihat mahkota takwa di atas kepalanya (hati) serta jubah kebesaran melekat padanya.
Kalian harus percaya dan membenarkan kaum (shaleh). Jangan mendustakan dan mendebat mereka, juga jangan berselisih dengan mereka. Sesungguhnya mereka adalah maharaja² di dunia dan Akhirat yg memiliki kedekatan Allah Ta’ala, hingga mereka pun memiliki (menguasai) apa saja selain-Nya. Allah Ta’ala telah mengkayakan hati mereka dan memenuhinya dengan kedekatan dan keintiman kasih-Nya, serta dengan cahaya² dan kemuliaan-Nya. Mereka pun tidak memperdulikan, di tangan siapa dunia dan siapa yg memakannya. Mereka tidak memperhatikan awal dunia, tetapi lebih melihat pada akibat dan fana’ kebinasaannya. Mereka telah menempatkan Allah Ta’ala sebagai pusat pandang nurani mereka. Mereka tidak beribadah karena takut akan kebinasaan, juga bukan karena mengharap sebuah kepemilikan. (Mereka sadar) bahwa Dia menciptakan mereka hanya untuk-Nya dan untuk terus bersama-Nya, di samping Dia menciptakan apa² yg tidak mereka ketahui, karena itu Dia memang Maha Berbuat segala yg Dia kehendaki.
Ketika seorang munafik berbicara, maka pastilah kebohongan yg keluar darinya. Jika berjanji, ia mengingkari, dan jika diberi amanat, ia pun berkhianat. Barangsiapa yg bebas dari infeksi perilaku² yg telah disebutkan oleh Rasulullah Saw. ini, maka ia telah bebas dari kemunafikan. Perilaku² ini merupakan parameter dan pembeda antara seorang Mukmin dengan seorang munafik. Ambillah parameter dan cermin ini, lalu amatilah wajah hatimu di cermin tersebut; Apakah engkau seorang Mukmin atau munafik, pentauhid ataukah penyekutu?
Dunia seisinya adalah fitnah dan melenakan, kecuali yg diambil dengan niat shaleh demi Akhirat. Jika niat bekerja di dunia sudah betul, maka Akhirat seisinya akan menjadi kenikmatan yg tak lepas dari syukur pada Allah Ta’ala. Ikatlah nikmat² Allah Ta’ala, karena mensyukuri-Nya. Bersyukur bagi Allah Ta’ala adalah dengan mensyukuri-Nya. Syukur pada Allah Ta’ala ada dua macam:
Pertama, menggunakan nikmat² tersebut sebagai sarana pendukung ketaatan dan penyantunan kaum fakir.
Kedua, mengakuinya sebagai anugrah Sang Pemberi nikmat (Mun‘im) dan berterima kasih pada Sang Penurunnya, yaitu Allah Ta’ala.
Sebagian kaum (shaleh), dalam sebuah riwayat, menuturkan: “Semua yg melenakanmu dari Allah Ta’ala adalah pertanda kesialan (masy’um) bagimu. Jika dzikir mengingat-Nya melenakanmu dari-Nya, maka ia juga merupakan kemalangan bagimu. Shalat, puasa, haji, dan setiap amal kebajikan, semua itu adalah kemalangan bagimu. Demikian pula jika nikmat²Nya, melenakanmu dari-Nya, maka itu adalah pertanda kesialan bagimu.
Engkau menerima nikmat-Nya dengan bermaksiat pada-Nya, bahkan malah mengembalikan (mendedikasikan) tugas² (al-muhimmat) pada selain-Nya. Kebohongan dan kemunafikan telah bercokol kuat dalam segala gerakan dan diammu, dalam bentuk dan substansimu, juga dalam malam dan siangmu. Setan telah membujukmu seraya membagus²kan kebohongan dan amal² keburukan, hingga engkau berbohong dalam shalatmu, sebab engkau ucapkan, “Allah Maha Besar” (Allahu Akbar), namun di hatimu ada ilah selain-Nya. Semua yg kau jadikan sandaran (hidup) adalah ilah-mu. Semua yg kau takuti dan harap adalah ilah-mu. Hatimu tidak sejalan dengan lisanmu. Perbuatanmu tidak seirama dengan ucapanmu. Katakanlah, “Allahu Akbar” seribu kali dengan hatimu, dan katakan sekali saja dengan lisanmu. Tidakkah engkau malu mengucapkan “Tiada tuhan selain Allah (Laa ilaaha illa Allah) ,” namun di hatimu ada seribu ilah sesembahan selain-Nya. Bertaubatlah pada Allah Ta’ala dari segala perilaku yg engkau jalani ini. Engkau, hai orang yg mengetahui ilmu dan hanya puas menerimanya secara simbolistik tanpa amal nyata! Apa guna ilmu itu bagimu: Jika engkau berkata, “Aku ini orang alim,” maka engkau telah berbohong besar. Bagaimana engkau izinkan dirimu memerintahkan sesuatu pada orang lain yg engkau sendiri saja tidak mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang² yg beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yg tidak kamu kerjakan?” (QS. As-Saff (61): 2)
Celakalah! Engkau himbau masyarakat untuk bersikap jujur (ash-shidq), akan tetapi engkau sendiri berbohong. Engkau perintahkan tauhid pada mereka, akan tetapi engkau sendiri berbuat musyrik. Engkau ajak mereka untuk ikhlas, akan tetapi engkau sendiri berbuat riya’ dan munafik. Engkau perintahkan mereka untuk meninggalkan maksiat, akan tetapi engkau sendiri melakukannya. Sungguh telah hilang rasa malu dari kedua matamu. Jika engkau memang benar² memiliki keimanan, semestinya engkau malu. Rasulullah Saw. bersabda:
“Malu sebagian dari iman.”
Engkau tidak memiliki iman, keyakinan, juga amanah (kejujuran). Engkau khianati ilmu, hingga sifat amanahmu hilang dan engkau ditulis di sisi Allah sebagai “pengkhianat.” Aku tidak tahu obat penyembuh lain bagimu selain hanya taubat dan konsistensi menjalaninya. Barangsiapa yg benar (shahih) keimanannya pada Allah Ta’ala dan dengan takdir-Nya, maka ia harus memasrahkan segala urusannya pada-Nya dan tidak menjadikan sekutu bagi-Nya. Jangan sandingkan Allah dengan manusia dan sarana² (duniawi). Kekanglah diri darinya. Jika hal ini telah benar² dilaksanakan, maka Dia akan menyelamatkannya dari segala petaka dalam segala kondisi, lalu memindahkannya dari keimanan menuju keyakinan, untuk selanjutnya memberinya kewalian badaliyyah kemudian ghaybiyyah, bahkan mungkin di akhir keadaannya, Dia akan menganugrahinya kewalian quthbiyyah, di mana Allah Ta’ala akan membangga-banggakannya di hadapan makhluk, jin, manusia, malaikat, dan arwah. Dia akan memprioritaskannya, mendekatkan dan mengurusinya (secara istimewa) di atas semua makhluk ciptaan-Nya, memberinya segala kepemilikan, mengokohkannya, mencintai dan mencintakannya pada makhluk-Nya.
Semua ini tentu memiliki pondasi dasar dan permulaan. Iman pada-Nya dan Rasul-Nya, lalu membenarkan keduanya merupakan pondasi dasar keistimewaan ini, atau dengan bahasa lain Islam, lalu iman, kemudian mengamalkan Kitab Allah dan syariat Rasul-Nya, lantas ikhlas dalam beramal dengan disertai pengesaan hati pada tataran kesempurnaan iman. Seorang Mukmin lebur dari dirinya, amalnya, dan dari segala hal selain Allah Ta’ala. Maka, ia pun kemudian beramal dalam keterasingan dari hal² tersebut, sambil terus berusaha melawan nafsu diri dan seluruh makhluk di sisi Allah Ta’ala sampai Dia menunjukkannya menuju jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جٰهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut (29): 69)
Jadilah kalian orang yg berzuhud (menjauhi) segala sesuatu jika kalian memang ridha menerima pengaturan-Nya. Dia membolakbalikkan mereka dalam kuasa takdir-Nya. Jika memang mereka patuh menuruti takdir, maka Dia akan menaikkan mereka pada jenjang qudrah kekuasaan-Nya. Sungguh bahagia orang yg pasrah menuruti takdir, menunggu perbuatan Sang Penentu takdir, bertindak dengan takdir, berjalan bersama takdir, dan tidak kufur mengingkari nikmat takdir. Tanda² nikmat dan rahmat Sang Penentu takdir adalah kedekatan dengan-Nya dan perasaan kaya bersama-Nya hingga tidak membutuhkan apa² lagi dari segenap makhluk-Nya. Jikalau hati seorang hamba telah sampai pada Allah Ta’ala, maka Dia akan menjadikannya merasa kaya, hingga tak membutuhkan makhluk-Nya. Dia juga akan mendekatkannya, mengokohkannya, memberinya kuasa, dan bertitah padanya:
إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yg berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (QS. Yusuf (12): 54)