Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-8:
“Kedudukan Seorang Hamba di Dalam Wujud”
Mereka juga bertanya kepadaku, āApabila seorang hamba adalah sesuatu yg baru diciptakan dan tidak mempunyai kekekalan di masa dahulu yg azali, lalu setelah ia ada, ia pun bukan Dia; dan apabila tidak pernah ada, Dia adalah Dia, maka bagaimana etika terhadap Allah Ta’ala yg menghalangi kita untuk berkata, āIa adalah Dzat Yang Maha Benar.ā Lalu, jika perkaranya adalah sebagaimana yg kami paparkan, bagaimana dengan kedudukan seorang hamba di dalam wujud? Jelaskan hal itu kepada kami!ā
Aku menjawab, āSeorang hamba adalah wujud yg mengambang di antara ada dan tidak ada. Ia tidak bisa dibawa pada salah satu di antara dua sisi. Oleh karena itu, para imam kalam di sisi kami menyebutnya sebagai sesuatu yg mungkin. Ia tidak bisa di ungkapkan sebagai makhluk lebih dari salah satu di antara kedua sisi dengan korelasi pengetahuan Ilahi mengenalnya, Tidak ada pula sisi lain yg ditunjukkan olah hadits,
“Allah ada, dan tidak ada apa pun bersama-Nya.”
(ada) di sini adalah ada secara wujud, bukan secara perbuatan. Jadi pahamilah!
Wujud seorang hamba di kelilingi oleh ketiadaan sebelum ia di adakan dan setelah ia musnah. Boleh saja dikatakan, Allah Ta’ala telah menempatinya. Namun tidak boleh dikatakan, bahwa seorang hamba menyatu dengan Tuhannya, Hal itu karena menurut ulama kami, baik hulul maupun ittihad itu tidak ada. Siapa pun yg mengatakan pendapat selain itu, berarti perkataannya palsu dan dusta.
Wahai golongan jin, jika Anda ingin berbagai perkara terungkap, dan kerancuan sirna, makanlah dengan makanan halal dan berhias diri dengan akhlak yg diridhai menurut cermin kalian yg mengkilap. Kalian pun akan meraih berbagai makrifat yg tidak bisa di goyahkan oleh banyak dalil. Jangan pula membuat lelah pikiran kalian dengan berupaya mengenal perkara ini, sementara kalian mengonsumsi barangĀ² syubhat dan bersolek dengan perkaraĀ² hina karena kalian tidak akan bisa meraih pertolongan. Sebagian manusia yg kebingungan pernah melantunkan syair,
Aku bukan aku, dan aku bukan dia. Lalu siapa aku, dan siapa dia?
Duh aku! Engkau bukan aku. Duh dia! Engkau bukan dia. Seandainya dia adalah dia, mataku pasti tidak bisa memandanginya.
Di dalam wujud sama sekali tidak ada apa pun selain kami, sementara ia bukan Dia.
Mereka juga melantunkan syair dengan mawali:
Engkau membuatku terbenam di dalam-Mu hingga aku berkata, āSesungguhnya Aku adalah Engkau.ā Lisanku berseru bersama cobaan, āEngkau melihat, siapa engkau?ā
Kerinduanku pun berkata, āAku adalah kekasih.” Aku berkata, āEngkau benar, tetapi menurut hukum kesucianmu. Jadi ia bukan engkau.”
Mereka juga melantunkan syair,
Di dalam wujud tidak ada selain dia. Maka perhatikan dirinya sebagaimana aku memperhatikannya, niscaya kalian mendapati dia yg merupakan dia di dalam aku.
Siapa pun yg memberikan dalil padanya berarti ia orang yg senang berdebat di dalam hatinya. Dari hatinya pasti muncul banyak perumpamaan dan penyerupaan.
Seandainya bukan karenanya, mata pasti tidak bisa melihat pada yg melihatnya. Seandainya bukan karenanya, mulut pasti tidak bisa mengucapkan dzikir.
Jadi, hukumilah ia dengannya, karena engkau berada di dalam ketiadaan. Dan tetapkan padanya, karena di alam tidak ada kecuali Dia.
Demi Allah, seandainya bukan karena keberadaan Yang Maha Benar, perkataanĀ²Nya tentang keberadaan pasti tidak diterima, seandainya bukan karenanya.
Mereka juga melantunkan syair tentang itu,
Jika aku berkata, āSesungguhnya aku adalah satu,” niscaya satuku berkata kepadaku, āBukankah kendaraanmu adalah konstruksi dan jasad.
Sungguh jangan katakan, āDi dunia ini tidak ada seorang pun.” Dunia ini sudah ramai, sedangkan yg tinggal adalah tujuan.
Ia tidak akan menghancurkan satu rumah dengan penghuni orang tanpa belenggu dan kedengkian.
Mereka juga melantunkan syair,
Itulah yg mereka katakan dan itulah yg mereka maksud. Di sana tidak ada apa pun kecuali Allah, tidak ada selain Dia. Sementara orang yg tahu mencari, di mana selain itu?
Dan Allah adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.