Hikmah 91 dlm Al-Hikam:
“Al-Basthu Dan Al-Qobdhu”
بسطكَ كى لا يُبْقِيك مع القبضِ وقبضكَ كى لا يترُككَ معَ البسطِ واخْرَجكَ عَنْهماكى لاتكون لشىءٍدونهُ
Allah melapangkan bagimu, supaya kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). Dan Allah telah menjadikanmu sempit supaya kau tidak hanyut (terlena dalam kelapangan (basth). Dan Allah melepaskanmu dari keduanya, supaya kau tidak tergantung kepada sesuatu selain Allah.
Arti Hikmah ini, Allah selalu membuat macam² keadaan hatimu, supaya kau selalu sadar dan fana’, yakni, tidak melihat keadaanmu itu.
Jadi, Qobdhu (kesempitan itu untuk ahli Bidayah, seumpama tidak ada Qobdhu tentu tidak bisa melatih/mencegah dari kebiasaan dan kesenangan nafsu. Sedangkan maqom Basthu, bagi orang yg masuk permulaan futuh, supaya tidak kendor kekuatannya dan anggota badannya bisa digunakan untuk sesuatu yg disenangi, yaitu pemberian dari Allah dan dan tanda² ridho dari Alloh.
Sedangkan maqom I’TIDAL, itu bagi orang yg berada pada akhir suluknya, supaya keadaannya bisa tetap (tidak berubah) dan bersih amalnya, dan selalu di sisi Allah, tanpa ada ‘illat.
Allah merubah-rubah keadaan dari sedih ke gembira, dari sakit ke sehat, dari miskin ke kaya, dari gelap ke terang dan seterusnya, supaya mengerti bahwa kita tidak bisa lepas dari hukum dan ketentuan-Nya. Dan supaya kita selalu berdiri diatas landasan LAA HAULAA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAH.
Firman Allah Ta’ala:
لِكيْلا تأ ْسَوْاعلٰى ماَ فاَتَكُم ولا تَفرَحُوْا بِماَ اٰتَكمُ ْ
“Supaya kamu tidak sedih (menyesal) terhadap apa yg terlepas dari tanganmu, dan tidak gembira atas apa yg diberikan kepadamu.”
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Saat dalam kesempitan, kita merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kita akan merasa beruntung dan senang. Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana’ dan kau memilih abadi dengan-Nya.
Oleh karena itu, jangan terus-menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yg menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah: tidak sempit, tidak pula lapang.
Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukkannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukkan bagi orang² ‘Arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat² mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.
Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang² yg mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan napas Tuhan dan tanda² penyaksian terhadap keridhaan-Nya.
Sementara itu, keseimbangan diperuntukkan bagi ahli nihayah (orang yg mendapat tujuan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih, dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.
Kesimpulannya, kesempitan dan kelapangan merupakan kondisi yg masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.
Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum ‘Arif pemula. Pada masa² itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yg keadaannya diwarnai harap dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut yg dirasakan murid berkaitan dengan perkara yg diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yg ditakuti maupun yg dicintai.
Adapun kesempitan dan kelapangan yg menimpa kaum ‘Arif berkaitan dengan perkara yg tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg dicintai, itu adalah kelapangan.
Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan² yg masuk ke dalam batin seorang ‘arif. Jika yg masuk ke dalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan. Wallaahu a’lam