Hikmah 93 dlm Al-Hikam:
البَسْطُ تاءْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهاَ بِوُجُودِ الفَرَحِ والقبضُ لاَ حَظَّ للنَّفْسِ فِيْهِ
Di dalam keadaan lapang (bashtu), hawa nafsu dapat mengambil bagiannya karena gembira, sedang dalam keadaan sempit (qobdhu) tidak ada bagian sama sekali untuk hawa nafsu.
Hikmah ini menjelaskan hikmah sebelumnya tentang sulitnya menjaga adab/tatakrama kepada Allah dikala keadaan Basthu, maka dari itu sedikit sekali orang yg bisa menepati adab kepada Allah dikala Basthu.
Karena itu manusia lebih aman dalam kesempitan, karena hawa nafsu tidak dapat berdaya dan tidak dapat bagiannya.
Syaikh Abul Hasan Ali as-Syadzili ra. berkata: Alqobdhu wal Basthu (susah/sedih dan senang dalam hati) itu selalu silih berganti dalam perasaan tiap hamba, bagaikan silih bergantinya siang dan malam. Dan sebabnya qobdhu (susahnya hati) itu salah satu dari tiga: karena dosa, atau kehilangan dunia, atau dihina orang, maka jika seseorang merasa berdosa maka segeralah bertaubat. Jika kehilangan dunia, maka harus rela dan menyerahkan kepada hukum Allah. Dan jika dihina orang harus sabar. Dan jagalah dirimu jangan sampai kamu merugikan orang lain.
Dan apabila terjadi qobdhu yg tidak di ketahui penyebabnya, maka harus tenang dan menyerah kepada Allah. Insya Allah tidak lama akan sirna masa gelap dan berganti dengan terang, adakalanya terangnya bintang, yaitu ilmu, atau sinar bulan yaitu tauhid, atau matahari yaitu ma’rifat. Tetapi jika tidak tenang di masa gelap (qobdhu), mungkin akan terjerumus ke dalam kebinasaan.
Adapun masalah basthu (riang/senangnya hati), maka sebabnya adalah satu dari tiga ini: karena bertambahnya kelakuan ibadah/taat dan bertambahnya ma’rifat atau bertambahnya kekayaan atau kehormatan, dan yg ketiga karena pujian dan sanjungan orang kepadanya.
Maka adab seorang hamba jika merasa bertambah kelakuan ibadahnya dan ilmu ma’rifatnya, harus merasa bahwa itu semata-mata karunia dari Allah, dan berhati-hati jangan sampai merasa bahwa itu dari hasil usahanya sendiri. Dan jika mendapat tambahnya harta dunia, maka ini pula sebagai karunia dari Allah juga, dan harus waspada jangan sampai terkena bahayanya. Adapun jika mendapat pujian dari orang lain kepadamu, maka kehambaanmu harus bersyukur kepada Allah yang telah menutupi kejelekanmu/aibmu, sehingga orang lain hanya melihat kebaikanmu.
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Dalam hikmah ini terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga adab/etika saat lapang amat sulit. Sebab, tak ada yg bisa menjaga adab/etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.
Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”
Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-aku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin dan rahasia², selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal² luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing². Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.
Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa². Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yg menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika² ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang² ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan. Wallaahu a’lam