Hikmah 88 dlm Al-Hikam:
“Tanda-Tanda Orang ‘Arif”
ماَالعاَرِفُ مَن اذاَ اَشارَ وجدَ الحَق َّ اقرَبَ اليهِ مِنْ اِشارَتِهِ ، بلِ العارفُ مَن لاَ اِشارَة َ لهُ لِفَناءـهِ في وُجُوده وانطِواَءـهِ في شهوُدهِ
Tidak disebut orang ‘arif itu, orang yg bila ia memberi isyarah sesuatu ia merasa bahwa Allah lebih dekat dari isyarahnya, tetapi orang ‘arif itu ialah yg merasa tidak mempunyai isyarah, karena merasa lenyap/sirna diri dalam wujud Allah, dan diliputi oleh pandangan [syuhud] kepada Allah.
Hikmah yg lalu menerangkan keadaan orang awam yg dihijab oleh cahaya dunia dan syaitan sehingga mereka tidak jadi untuk berbuat taat kepada Allah. Hikmah 88 ini pula menerangkan keadaan orang yg berjalan pada jalan Allah dan sudah mengalami hakikat², tetapi cahaya hakikat masih menjadi hijab antara dirinya dengan Allah. Pengalaman tentang hakikat menurut istilah tasawuf disebut isyarah tauhid. Isyarah² tersebut apabila diterima oleh hati maka hati akan mendapat pengertian tentang Allah. Isyarah² demikian membuatnya merasa dekat dengan Allah. Orang yg merasa dekat dengan Allah, tetapi masih melihat kepada isyarah² tersebut masih belum mencapai maqom ‘arif billah. Orang ‘arif billah sudah melepas isyarah² dan sampai kepada Allah yg tidak boleh di isyarahkan lagi. Maqom ini dinamakan fana’ fillah atau lebur kewujudan diri dalam Wujud Mutlak dan penglihatan mata hati tertumpu kepada Allah semata-mata, yaitu dalam keadaan:
Tiada sesuatu sebanding dengan-Nya.
Tidak ada nama yg mampu menceritakan tentang Dzat-Nya. Tidak ada sifat yg mampu menggambarkan tentang Dzat-Nya. Tidak ada isyarah yg mampu memperkenalkan Dzat-Nya. Itulah Allah yg tidak ada sesuatu apa pun menyerupai-Nya. Maha Suci Allah dari apa yg disifatkan.
Yakni, siapa yg masih mempunyai pandangan kepada sesuatu selain Allah, maka belum sempurna sebagai seorang [yg mengenal kepada Allah]. Tetapi seorang ‘arif yg sesungguhnya, ialah yg merasakan kepalsuan sesuatu selain Allah, sehingga pandangannya tiada lain kecuali kepada Allah.
Seorang ‘arif ditanya tentang apakah fana’ itu? Dia menjawab:
“Fana’ ialah muncul/terlihatnya sifat keagungan dan kemegahan Allah pada hamba-Nya, sehingga hamba tersebut jadi lupa akan dunia, lupa akhirat, lupa derajat, lupa maqom, hal, dzikir, lupa akalnya, lupa dirinya sendiri, lupa fana’nya sebab tenggelam dalam ta’dhim kepada Allah Ta’ala.”
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
”Memberi isyarat” ialah menunjukkan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. ”Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah ghaib, bahkan serasa Allah memperhatikan-Nya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.
Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yg sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yg mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yg menunjukkan”, wujud objek “yg ditunjukkan”, dan wujud media “yg digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yg ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana’ karena ia belum keluar dari ranah indranya.
Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berdzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia² tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman² yg didapat melalui perasaan.
Orang yg mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memperhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak ghaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya, Orang ‘arif sesungguhnya ialah orang yg tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana’ dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.
Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yg sirna dari isyarat, yg di isyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yg mengisyaratkan dan yg di isyaratkan saat itu hanya Allah Ta’ala. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yg melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.
Syaikh Yusuf Al-‘Ajami berkata, ”Siapa yg berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yg berbicara adalah Yang Maha Haq melalui lisan hamba-Nya.”
Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,
“Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”
Seseorang dari mereka ditanya tentang kefana’an diri (peleburan diri). Ia menjawab, ”Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan dzikir, dan ia merasa fana’ dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana’ dari kefana’an itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.” Wallaahu a’lam