Hikmah 78 dlm Al-Hikam:
“Dua Macam Hamba Allah: Muqarrabin dan Abrar”
اِذاَ رَأيْتَ عَبْداً أقاَمهُ اللهُ تعالى بِوُجُودِ الاَورَدِ وَاَدَمَهُ عليهاَ مَعَ طُولَ الامساَدَ فَلاَ تـَسْتحْقِرَنَّ ماَمنَحَهُ مَولاهُ لاَنَّكَ لم تَرَعليهِ سِيماَ العاَرِفِينَ ولاَ بَهْجَةَ المُحِبِّينَ فَلولاَ واَرِدٌ ماكاَنَ وِرْدٌ
Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yg telah ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang² ‘arif atau keelokan kaum pecinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.
Wirid ialah macam²nya ibadah yg dikerjakan oleh hamba, seperti shalat, puasa, dzikir dan lainnya.
Jadi apabila kau merendahkan pemberian Allah pada sebagian hamba yg berupa wirid itu berarti kau kurang tata krama pada hamba tersebut.
Hamba Allah yg mendapat keistimewaan dari Allah ada dua macam:
1. Muqarrabin, yaitu mereka yg telah dibebaskan dari kepentingan nafsunya, dan ia hanya sibuk menunaikan ibadah dan taat kepada Tuhan, karena merasa sebagai hamba yg mengharapkan keridhaan Allah semata-mata, dan mereka yg disebut ‘arifin, muhibbin.
2. Abrar, yaitu mereka yg masih merasa banyak kepentingan dunia/nafsu keinginannya, dan mereka juga mengerjakan ibadah kepada Allah, mereka masih menginginkan masuk surga dan selamat dari neraka. Dan mereka yg dinamakan zahid ‘abid.
Dan masing² mendapat karunia sendiri² di dalam tingkat derajatnya yg langsung dari Allah Ta’ala.
Sebenarnya seseorang yg mendapat taufik dan hidayah dari Allah, sehingga dia istiqamah dalam menjalankan suatu wirid (taat ibadah), berarti telah mendapat karunia dan rahmat yg besar sekali, sebab ia telah diberi kunci oleh Allah untuk membuka dan menghasilkan karunia yg lain dari kebesaran Allah.
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
“Ditolong” ialah dipalingkan dari kesibukan² yg membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna ”dilanggengkan” di sini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid.
“Tanda orang² ‘arif“ ialah karakter orang² ‘arif yg meninggalkan ikhtiar dan tidak memperdulikan nasib dan keinginan dari mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “keelokan para pencinta Tuhan” ialah bukti² dan pengaruh cinta yg tampak pada diri orang² yg mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berdzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya, dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha untuk melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.
Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni yg istiqamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda² kaum ’arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istiqamah dalam berwirid.
“Wirid” bermakna segala amal ibadah yg dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, dzikir, maupun ibadah lainnya. Dengan demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
Kesimpulannya, hamba² Allah yg khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabiin dan abrar. Muqarrabin adalah orang² yg tidak memperdulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak² Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari ridha-Nya. Mereka adalah kaum ’arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, abrar ialah orang² yg dalam ibadah mereka masih memperdulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka masing². Wallaahu a’lam