Hikmah 71 dlm Al-Hikam:
“Tamak Akan Melahirkan Kehinaan”
ماَ سَبَقتْ اَغْصاَنَ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ
Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak (kerakusan).
Sifat tamak bagian dari besarnya aib yg mencela sifat kehambaan. Tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.
Sifat tamak (rakus) itu adalah sumber dari segala penyakit hati, karena tamak itu hanya bergantung pada manusia, minta tolong pada manusia, bersandar pada manusia, mengabdi pada manusia, yg demikian itu temasuk kehinaan, sebab ragu² dengan takdirnya Allah Ta’ala.
Abu Bakar al-Warraq al-Hakim berkata: “Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, ‘Siapakah ayahmu?’ Pasti jawabnya, ‘Ragu terhadap takdir Allah’. Dan bila ditanya, ‘Apakah pekerjaanmu?’ Jawabnya, ‘Merendahkan diri dan mencari kehinaan’. Dan bila ditanya, ‘Apakah tujuanmu?’ Jawabnya, ‘Memiskinkan seseorang.”
Suatu hikayat mengatakan: “Ketika Sayyidina Ali bin Abu Thalib kw. baru masuk ke masjid Jami’ di Bashrah, didapatinya banyak orang yg memberi ceramah di dalamnya. Maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan yg ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, maka mereka di usir dan tidak di izinkan memberi ceramah di masjid itu, dan ketika sampai ke majelis Hasan al-Basri, ia bertanya, ‘Wahai para pemuda! Aku akan bertanya kepadamu sesuatu hal, jika engkau dapat menjawab, aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, aku usir engkau sebagaimana teman²mu yg lain, telah aku usir itu’.
Jawab Hasan al-Basri, ‘Tanyakan sekehendakmu’.
Sayyidina Ali bertanya, ‘Apakah yg mengokohkan agama?’
Jawab Hasan, ‘Wara’ (menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yg bersifat syubhat dan haram).
Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi, ‘Apakah yg dapat merusak agama?’
Jawab Hasan, ‘Tamak (rakus)’.
Imam Ali berkata kepadanya, ‘Duduklah! Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang seperti engkaulah yg layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’-nya orang² khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’-nya orang² biasa (awam) yg baru sebatas meninggalkan perkara² syubhat’.”
Seorang Guru berkata: “Dahulu ketika dalam permulaan bidayahku di Iskandariyah, pada suatu hari ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seseorang yg mengenal aku, timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini, tiba² terdengar suara yg berbunyi, ‘Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk’.”
Wara’ dalam agama itu menunjukkan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah Ta’ala. Wara’ yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian, penerimaan atau penolakan, dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah Ta’ala.
Sahl bin Abdullah berkata: “Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, karena itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.”
Semua hamba pasti akan makan rezeki-Nya, hanya berbeda-beda, ada yg makan dengan kehinaan, yaitu peminta-minta. Ada yg makan rezeki-Nya dengan bekerja keras, yaitu para buruh, ada yg makan rezeki-Nya dengan cara menunggu, yaitu para pedagang yg menunggu sampai ada yg membeli barang²nya. Adapun yg makan rezeki-Nya dengan rasa mulia, yaitu orang² sufi yg merasa tidak ada perantara dengan Tuhan.
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan²nya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Syaikh Ibnu Atha‘illah berkata, “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yg dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”
Ketamakan merupakan sikap tercela yg dapat merusak ‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yg telah ditakdirkan Allah. Wallaahu a’lam