Hikmah 70 dlm Al-Hikam:
قطَعَ السَّاءـرينَ لهُ، والواَصِلينَ مِنْ رُوءْيَةِ أعْمالهِمْ ، وَشُهُودِ أحْوالهِمْ. أمَّاالسّاءـرُونَ فَلاَِ َنَّهُمْ لَمْ يَتحَقــَّقوا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيهاَ. أمَّ الواَصِلوُنَ فَلاَِ َنَّهُمْ غيبهُمْ بِشُهُودِهِ عَنْهاَ
Allah membuat orang² yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang² yg telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa’irun belum benar2 ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.
Sehingga apabila ada amal perbuatan diri sendiri, maka itu hanya karunia, taufik dan rahmat Allah Ta’ala semata-mata. Tanda bahwa Allah telah memberi taufik dan hidayah pada seorang hamba, apabila disibukkan hamba itu dengan amal perbuatan taat, tetapi diputuskan dari pada ujub dan arogan dengan amal perbuatan itu, karena merasa belum tepat mengerjakannya, atau karena merasa bahwa perbuatan itu semata-mata karunia Allah, sedang ia sendiri merasa tiada berdaya untuk melaksanakan andaikan tiada karunia dan rahmat Allah Ta’ala.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Allah menghalangi pandangan para sa’irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memperhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama² dihalangi, penyebabnya berbeda. Pandangan para sa’irun dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain dzat-Nya.
Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sa’irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yg kedua lebih tinggi daripada yg pertama.
Oleh sebab itu, Al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yg diperintahkan oleh Syaikh mereka. Mereka menjawab, ”Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memperhatikan kekurangan di dalam ketaatan yg kami lakukan itu.”
Kemudian Al-Washiti berkata, ”Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran² kaum Majusi. Maukah kalian kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” Maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang² ‘arif, bukan merendahkan apa yg mereka alami karena hal itu juga termasuk kebaikan. Wallaahu a’lam