Hikmah 42 dlm al-Hikam:
“Tidak Ada Sesuatu pun yg Menghijabi Allah, Manusialah yg Terhijab dari Allah”
اَلْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِ نَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ , إِذْلَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَاحَجَبَهُ , وَلَوْ كَا نَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَا نَ لِوُجُو دِهِ حَا صِرٌ , وَكُلُّ حَا صِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَا هِرٌ وَ هُوَ الْقَاهِرُ فَوْ قَ عِبَا دِهِ .
Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yg terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yg terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Maha Kuasa (qâhir) atas segala sesuatu.” (QS. Al-An’am (6): 18)
Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Terhijab bukanlah sifat Allah Ta’ala. Yg memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
Hikmah di atas menepis anggapan yg menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah Ta’ala, berdasarkan firman-Nya:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan Dialah yg berkuasa atas sekalian hamba²Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am (6): 18)