Hikmah 110 dlm Al-Hikam:
“Sifat Asli Manusia Dan Waktu Terbaik Untuk Hamba”
فاَقَتُكَ لكَ ذاتِيَةٌ وَوُروُدُ الاَسباَبِ مُذَكِراَتٌ لكَ بماَ خَفىَ عليكَ منهَا وَالفاقَةُ الذ ّاَتِيَةٌ لاَتَرْفَعُهاَ العَوَارِضُ
Kefakiran/kebutuhanmu itu adalah sifat asli dalam dzat kejadianmu, sedang sebab²/kejadian yg menghinggapi dirimu itu untuk mengingatkan kamu apa yg tersembunyi bagimu dari sifat aslimu, sedangkan kebutuhan/sifat asli itu tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yg sementara.
Hikmah ini menjadi kelanjutan dari hikmah sebelumnya, yg menerangkan nikmat pemberian dari Allah.
Jadi jelas sudah, bahwa wujud/kejadianmu itu pemberian/ciptaan Tuhan, demikian pula hajat kebutuhan tiap detik untuk kelanjutan hidup, itupun pemberian Tuhan, maka jelas bahwa kebutuhan/kefakiran itu asli dalam kejadianmu.
Jadi apabila kamu lupa dengan kefakiranmu, seolah-olah kamu tidak berhajat karena sudah hidup, dalam kondisi sehat, punya harta maka itu suatu hal yg hinggap sementara ketika engkau lupa asal kejadianmu, maka Allah memberi padamu peringatan berupa penyakit, kekurangan harta, dll, untuk mengingatkan kamu asal kejadianmu (fakir). Sehingga kamu mau kembali lagi menjadi seorang hamba.
Sebagian ulama’ mengatakan: mengapa Fir’aun mengatakan “ANA ROBBUKUMUL-A’LAA” (akulah tuhan yg maha tinggi), itu dikarenakan Fir’aun itu kaya dan selalu sehat tidak pernah sakit. Fir’aun dalam waktu 40 tahun itu tidak pernah sakit sekalipun, seumpama dia pernah sekali saja sakit kepala atau panas badannya, tentu dia tidak akan mengaku menjadi Tuhan.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Jika kau mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.
Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka “Sebab² ketergantungan kepada Allah”, agar mereka kembali sadar dan ingat. “Sebab² ketergantungan kepada Allah” itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dan sebagainya.
“Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak ‘ubudiyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memenuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.
Sebagian orang mengatakan, “Yang membuat Firaun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai tuhan.”
Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang ‘arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. “Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.
Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridhaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.
“Ketergantungan kepada Allah” yg merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yg bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan hanyalah relatif dan sementara. Bukan perkara yg sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan sebaliknya, sehingga kau benar² merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah Ta’ala saja. Wallaahu a’lam