Hikmah 264 dlm Al-Hikam:
“Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan”
كَيْفَ تَطْلُبُ الْعِوَضَ عَلَى عَمَلٍ هُوَ مُتَصَدِّقٌبِهِ عَلَيْكَ؟ أَمْ كَيْفَ تَطْلُبُ الْجَزَاءَ عَلَى صِدْقٍ هُوَ مُهْدِيْهِ إِلَيْكَ؟
Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yg menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?
Amal yg boleh minta upah, ialah apabila amal ibadah itu semuanya tidak menguntungkan Tuhan, dan tidak menolak mudharat terhadap Tuhan, bahkan semua amal itu kembali kepada yg beramal sendiri. Lebih² amal perbuatan itu sebagai sedekah dari Tuhan, sedang keikhlasan beramal itu suatu hadiah yg sangat berharga dari Tuhan pula.
Syaikh Syu’bah bin al-Hajjaj al-Wasithi ra. berkata, “Menuntut balasan atas amal taat itu disebabkan oleh karena lupa terhadap karunia pemberian Allah.”
Syaikh Abul Abbas bin Atha’ullah ra. ketika ditanya, “Amal perbuatan apakah yg terdekat kepada murka Allah?” Jawabnya, “Melihat diri dan perbuatannya, dan lebih dari itu menuntut upah/balasan atas kelakuan amalnya.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bagaimana kau meminta pahala atas amal yg telah Allah Ta’ala sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yg manfaatnya kembali kepada orang itu. Disini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah Ta’ala. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.
Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah Ta’ala untukmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”
Disini Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “sedekah dan hadiah” sebagai pengingat atas hal yg disebutkan, yaitu bahwa amal dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan “bagaimana” yg menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.
Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “menyedekahkan”, sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yg merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, Beliau menggunakan lafal “menghadiahkan”. Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang² kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yg diberi hadiah itu. Wallaahu a’lam