Hikmah 251 dlm Al-Hikam:
التَّوَاضُعُ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ مَا كَا نَ نَا شِئًا عَنْ شُهُوْدِ عَظَمَتِهِ وَ َتَجَلِّي صِفَتِهِ.
Tawadhu’ yg sebenarnya bersumber dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yg timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah Ta’ala yg tampak di mata seorang hamba itu yg menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.
Allah Ta’ala tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.
Ada pula sikap tawadhu’ yg tidak hakiki, yaitu yg bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawadhu’ ini bukan rendah hati yg sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah takabbur.”
Imam Al-Ghazali mengomentari ucapan Imam Al-Junayd ini dengan berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yg bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi.”
Orang yg rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana’ setelah melihat kebesaran Allah Ta’ala. Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yg bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.” Wallaahu a’lam