Hikmah 250 dlm Al-Hikam:
لَيْسَ الْمُتَوَا ضِعُ الَّذِي إِذَا تَوَاضَعَ رَ أَى أَنَّهُ فَوْقَ مَا صَنَعَ، وَ لَكِنَّ الْمُتَوَاضِعَ إِذَا تَوَا ضَعَ رَأَى أَنَّهُ دُوْ نَ مَا صَنَعَ.
Orang tawadhu’ bukanlah orang yg ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuat. Namun, orang yg tawadhu’ ialah orang yg melihat dirinya lebih rendah daripada yg diperbuat.
Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu’ kepada Allah, hingga mengetahui kedudukan dirinya (letak dirinya).”
Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Selama seseorang itu merasa ada orang yg lebih jahat darinya, maka ia sombong.” Dan ketika ditanya, “Bilakah seorang itu bertawadhu’?” Jawabnya, “Jika tidak merasa ada kedudukan atau kemuliaan, dan tawadhu’ seseorang itu menurut kadar makrifatnya terhadap Allah dan dirinya.”
Muhammad bin Muqatil ra. ketika dimintai doa oleh orang², ia menangis sambil berkata, “Semoga bukan sayalah yg menyebabkan kamu menderita bala bencana ini. Dan tanda bahwa ia benar² bertawadhu’, jika ia tidak marah ketika dihina atau dicela.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang yg merendah hati bukanlah orang yg saat melakukan sikap tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yg tawadhu’ ialah orang yg jika melakukan perbuatan tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yg diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.
Kesimpulannya, seorang yg tawadhu’ adalah orang yg tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yg memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yg jika melakukan perbuatan² tawadhu’, ia tidak menetapkan sikap tawadhu’ bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’ karena melihat dirinya lebih rendah daripada yg telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’ seperti itulah buah dari syuhud yg diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawadhu’ dan merasa lebih tinggi daripada yg telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.
Oleh sebab itu, Asy-Syibli berkata, “Siapa yg melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yg tawadhu’.”
Di antara tanda seseorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka. Wallaahu a’lam