Hikmah 245 dlm Al-Hikam:
“Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya”
مَتَى آ لَمَكَ عَدَ مُ إِقْبَا لِ النَّاسِ عَلَيْكَ أَوْ تَوَ جُّهُهُمْ بِا لذَّ مِّ إِلَيْكَ، فَا رْ جِعْ إِلَى عِلْمِ اللهِ فِيْكَ، فَإِنْ كَا نَ لَا يُقْنِعُكَ عِلْمُهُ، فَمُصِيْبَتُكَ بِعَدَ مِ قَنَا عَتِكَ بِعِلْمِهِ أَشَدُّ مِنْ مُصِيْبَتِكَ بِوُ جُوْ دِ الْأَذَى مِنْهُمْ.
Ketika kau sedih lantaran tidak disambut oleh manusia atau dicela oleh mereka, kembalilah pada pengetahuan Allah tentang dirimu. Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, deritamu lantaran tidak puas dengan pengetahuan-Nya jauh lebih menyakitkan daripada derita karena disakiti manusia.
Seharusnya seorang hamba hanya memperlihatkan ridha dan murka Tuhannya saja, tidak gembira kecuali jika dirihai oleh Tuhan dan tidak sedih kecuali jika dimurkai oleh Tuhan, adapun pujian dan celaan orang, maka tidak harus dihiraukan, sebab jika engkau tetap baik dan untung, sebaliknya jika engkau busuk di sisi Allah Ta’ala, maka walaupun engkau dipuji-puji oleh semua manusia, maka engkau tetap tersiksa dan binasa. Contohnya para Nabi, Rasul dan wali tidak luput dari makian orang. Karena itu kewajibanmu ialah membereskan dan memperbaiki hubungan dengan Allah Ta’ala, asal sudah beres sudah cukup baik.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ketika manusia menyakitimu dengan tidak menyambutmu dan malah mencelamu, kembalilah kepada ilmu Allah Ta’ala tentang dirimu. Cukup Allah Ta’ala saja yg mengetahui siapa dirimu yg sebenarnya. Jangan pedulikan yg orang² ketahui tentang dirimu. Jika kau telah melakukan semua amalmu dengan tulus di hadapan Allah Ta’ala dan bahkan semua amalmu itu telah diterima-Nya, mengapa harus tertekan dengan celaan manusia yg tidak mengetahui apa² tentang siapa dirimu sebenarnya? Jika kau dihina dan dibenci Allah Ta’ala karena kau beramal tidak ikhlas, apa untungnya sambutan, keridhaan, dan pujian manusia untukmu?
Jika pengetahuan Allah Ta’ala tentang siapa dirimu yg sebenarnya tidak juga membuatmu puas, misalnya kau ingin juga manusia mengetahui siapa sebenarnya dirimu, bagaimana amalmu, dan seberapa hebat keikhlasanmu agar manusia menyambut dan mengagungkanmu, kau akan menderita. Kenapa? Karena kau tidak pernah puas dengan pengetahuan-Nya tentangmu. Bahkan, derita itu jauh lebih berat daripada deritamu ketika disakiti manusia. Celaan dan penolakan manusia memang merupakan sesuatu yg menyakitkan, namun di sisi lain, hal itu terkadang justru bisa membuatmu kembali kepada Allah Ta’ala.
Secara lahir, celaan mereka terhadapmu adalah musibah bagimu, namun secara batin, itu adalah nikmat. Oleh karena itu, tak patut bagi seorang murid untuk mempedulikan selain Allah Ta’ala. Janganlah kau merasa berbahagia bila kau tidak merasakan kedekatan-Nya denganmu dan kau tidak boleh merasakan kesedihan, kecuali kesedihan karena jauhnya Dia darimu. Kau tidak boleh mencari perhatian makhluk. Kau tidak layak mempedulikan penyambutan, pengabaian, celaan, atau pujian mereka karena mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhanmu sedikit pun.
Siapa yg merasa tertekan dengan penolakan atau celaan manusia, hendaknya ia kembali kepada Tuhannya. Cukup baginya apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. Ia tidak boleh menyertakan pengetahuan Allah Ta’ala tentang dirinya itu dengan pengetahuan manusia dengan tujuan agar mereka memuji dan mengagungkannya.
Ibrahim At-Taimi ra. berkata kepada salah seorang temannya, “Apa yg dikatakan orang² tentangku?” Temannya menjawab, “Kata mereka, kau riya’ dalam amalmu.” Ibrahim berkata, “Sekarang amalku semakin baik.” Temannya menjawab, “Bagus! Cukup Allah saja yg mengetahui siapa dirimu sebenarnya.” Setelah itu, Ibrahim pun hanya mencukupkan diri dan puas dengan apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. la tidak pernah mempedulikan apa yg diketahui dan dikatakan manusia tentang dirinya.
Basyar Al-Hafi ra. berkata, “Menerima pujian dari manusia lebih berat rasanya bagi hati daripada melakukan maksiat.” Wallaahu a’lam