Hikmah 234 dlm Al-Hikam:
النَّعِيْمُ وَ إِنْ تَنَوَّ عَتْ مَظَا هِرُهُ إِنَّمَا هُوَ بِشُهُوْدِهِ وَاقْتِرَابِهِ، وَالْعَذَابُ وَإِنْ تَنَوَّعَتْ مَظَا هِرُ هُ إِنَّمَا هُوَ بِوُجُوْدِ حِجَا بِهِ، فَسَبَبُ الْعَذَابِ وُجُوْ دُ الْحِجَابِ وَ إِتْمَامُ النَّعِيْمِ بِا النَّظَرِ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِ يْمِ.
Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yg mulia.
Nikmat dekat Allah Ta’ala, lebih² melihat kepada Allah Ta’ala itu memang tiada bandingannya, sehingga apabila manusia di surga ditanya oleh Allah Ta’ala: “Apakah yg kamu rasa kurang, dan yg akan kamu minta?” Jawab mereka: “Kami cukup puas dan tidak ada hasrat untuk minta apa² lagi, sebab sudah cukup puas.” Tiba² dibukakan oleh Allah Ta’ala hijab untuk melihat wajah (Dzat) Allah Ta’ala, maka di situlah mereka merasa tidak ada nikmat yg lebih besar daripada melihat kepada Dzat Allah Ta’ala.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Walaupun nikmat dunia dan akhirat bermacam-macam bentuknya, entah berupa pakaian, makanan, bidadari, ataupun surga, kenikmatan saat menikmati semua itu terwujud lantaran kita menyaksikan Allah Ta’ala dan merasakan kedekatan-Nya. Maksudnya, semua kenikmatan itu akan menjadi nikmat yg sesungguhnya apabila saat mendapatkannya, kau tetap merasa menyaksikan Allah Ta’ala dan hadir bersama-Nya.
Jika tidak, semuanya bukanlah kenikmatan hakiki, melainkan derita dan azab karena derita dan azab, walaupun bentuknya beragam, bisa berupa siksaan fisik, neraka, atau rantai belenggu. Semuanya adalah akibat keberadaan hijab yg menghalangimu dari-Nya sehingga Dia tak tampak di hadapanmu. Jika kau menyaksikan-Nya, yg kau rasa bukan lagi azab sebenarnya, melainkan kenikmatan. Azab terasa akibat adanya hijab dan kesempurnaan kenikmatan terasa dengan melihat wajah-Nya Yang Mulia atau menyaksikan-Nya dengan mata batin di akhirat.
Kesimpulannya, kenikmatan sejati hanya dapat kita rasakan saat melihat Tuhan. Sementara itu, penderitaan yg sesungguhnya, terjadi ketika kita terhalang dari-Nya. Adapun sesuatu yg secara lahir dinikmati seseorang atau menjadi azab baginya, sesungguhnya itu bukanlah kenikmatan jika ia tidak melihat-Nya, bukan azab hakiki jika ia melihat-Nya. Wallaahu a’lam