Hikmah 209 dlm Al-Hikam:
“Tidak Layak Bagi Seorang Hamba untuk Merasa Aneh Ketika Allah Menyelamatkannya dari Jerat Syahwatnya”
مَنِ اسْتَغْرَبَ أَنْ يُنْقِذَ هُ اللهُ مِنْ شَهْوَتِهِ , وَأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ وُجُوْدِ غَفْلَتِهِ , فَقَدِ اسْتَعْجَزَ الْقُدْرَةَ الْإِلَهِيَّةَ. “وَكاَنَ اللهُ علٰى كُلِّ شىءٍ مُقْتَدِرًا”
Siapa yg merasa tidak mungkin diselamatkan Allah dari syahwatnya dan dikeluarkan-Nya dari kelalaiannya, berarti menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal, “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi [18]: 45)
Kita harus yakin terhadap Qudrat (kekuasaan) Allah Ta’ala secara mutlak tanpa kecuali, termasuk menyelamatkan hamba dari nafsu syahwat, dan menghindarkan dari kelalaian. Dan qudrat Allah Ta’ala itu bersamaan dengan Iradah-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yg terjadi tanpa Iradah dan Qudrat-Nya, apabila Allah Ta’ala berkehendak, maka berjalanlah qudrat-Nya dengan perintah-Nya. Sesungguhnya perintah Allah Ta’ala jika menghendaki sesuatu, hanya berkata “Kun” maka terjadilah apa yg dikehendaki-Nya, pada saat yg ditentukan-Nya, dan menurut apa yg dikehendaki-Nya.
Maka dari itu jangan ada orang yg putus harapan dari rahmat Allah Ta’ala, walau bagaimanapun keadaannya. Tetapi juga jangan sampai mempermainkan dan meremehkan kekuasaan Allah Ta’ala itu. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, hai hamba-Ku yg telah keterlaluan menjerumuskan diri (berbuat dosa), jangan kamu putus harapan dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah sanggup mengampunkan semua dosa, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang yg merasa bahwa Allah Ta’ala mustahil akan menyelamatkannya dari syahwat dan kelalaian yg telah menguasainya berarti ia menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala mampu melakukan segala sesuatu, termasuk menyelamatkan manusia dari keburukan syahwat dan kelalaian. Oleh karena itu, seorang hamba harus menuju pintu Tuhannya dengan penuh kerendahan dan kehinaan. Semoga saja Dia akan memudahkan yg dirasa sulit baginya dan menampakkan yg dianggapnya mustahil.
Makna ini didukung oleh berbagai kisah yg di riwayatkan dari beberapa orang shaleh yg awalnya berkubang dalam kelalaian dan kesalahan. Allah Ta’ala mendekati mereka dengan kelembutan-Nya, memperbaiki amal mereka, dan menjernihkan ahwal mereka, seperti yg dialami Fudhail ibn Iyyadh, Abdullah ibn Mubarak, dan Abi ‘Iqqal ibn ‘Ulwan. Wallaahu a’lam