Hikmah 201 dlm Al-Hikam:
لَا يَنْبَغِي لِلسَّا لِكِ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْ وَارِ دَاتِهِ, فَإِ نَّ ذَلِكَ يُقِلُّ عَمَلَهَا فِي قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْقِ مَعَ رَبِّهِ.
Tidak semestinya seorang salik mengungkapkan karunia (warid) yg diperolehnya. Hal itu bisa mengurangi pengaruh warid dalam qalbu dan menghalangi ketulusannya kepada Tuhan.
Seperti keterangan² terdahulu tentang warid, yaitu: perkara yg diberikan Allah kepada hamba-Nya yg berupa ilmu yg langsung dari Allah yg berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yg berjalan menuju Allah) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada Guru Mursyid-nya, karena bisa mengurangi atsar-nya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid di dalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Allah, karena menerangkan warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yg bisa menjadikan kuat sifat²nya nafsu. Yg demikian itu pandangannya belum bulat kepada Allah, tetapi masih selalu mengharap apa² dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yg diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia² yg lebih besar selanjutnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang salik tak layak untuk mengungkapkan anugerah dan karunia yg di alaminya, berupa ilmu laduni maupun rahasia² tauhid. Ia tidak boleh mengungkapkannya dengan keinginan sendiri. Justru semestinya ia menyembunyikan dan menjaganya agar tak seorang pun tahu, kecuali Guru Mursyid-nya.
Mengungkapkan hal itu bisa mengurangi kesan karunia itu di dalam qalbu sehingga ia tidak bisa memanfaatkannya secara utuh. Hal itu juga dapat menghalangi ketulusannya kepada Tuhan karena biasanya, pengungkapan tentang karunia itu tidak akan lepas dari nafsu syahwat. Saat mengungkapnya, nafsu menemukan kenikmatan dan kelapangan. Tentu hal itu akan menguatkan sifat² syahwatnya dan kekuatan sifat itulah yg menghalanginya untuk tulus kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam