Hikmah 159 dlm Al-Hikam:
“Sifat Ke-Kanak-Kanakan”
متى كنت اذا اُعطيتَ بسطك العطاءُوإذامنعت قبضك المنع فاستدلّ بذالك على ثبوت طفوليّتك وعدم صدقك في عبوديتك
Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.
Ketika suasana hatimu masih selalu berubah-ubah ketika menerima nikmat atau mendapat balak/ujian. Maka nyata bahwa engkau masih dipengaruhi oleh hawa nafsu, dan belum sungguh² dalam kedudukan kehambaan kepada Allah Ta’ala, dan pengertian terhadap hikmah rahmat Allah terhadap semua makhluk-Nya.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Itu adalah sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yg tak layak kau ikuti. Seperti halnya anak² yg tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yg belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu kepada-Nya.
Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum ‘arif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah. Siapa yg mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa ‘ubudiyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-aku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.
Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yg mengganggu kondisinya. Ini bukanlah bukti sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yg disebutkan di atas. Bagaimanapun, orang² ‘arif pasti tetap memiliki sisa² sifat kemanusiaan yg ada pada dirinya. Dengan sisa² sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Itu adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya. Wallaahu a’lam