Hikmah 115 dlm Al-Hikam:
“Hati Diterangi Dengan Nur Sifat-Nya”
اَناَرَالظواَهِر بِاَنواَرِ اَثاَرِهِ وَاَناَرَالسَّرَاءرَ اَوْصافِهِ لاَجْلِ ذٰلكَ اَفَلَتْ اَنْوَارُالظَّواهِرِ وَلمْ تأفـُلْ اَنْوَارُالقلوبِ واَالسرَاءرِ ،ولذَٰلكَ قِيلَ : انَّ شَّمسَ النَّهاَرِ تـَغْرُبُ بِليلٍ وَشَمْسَ القلوبِ ليسَتْ تغيْبُ
Allah telah menerangi alam (lahir) ini dengan cahaya makhluk (atsar)Nya, dan menerangi hati (sirr) dengan Nur sifat-Nya. Maka karena itu cahaya alam itu bisa terbenam, dan tidak dapat terbenam/hilang cahayanya hati dan sirr. Kata syair: “Sesungguhnya mataharinya siang itu terbenam waktu malam, tetapi mataharinya hati tidak pernah terbenam.”
Allah menerangi alam dengan Nur/cahaya bulan, bintang dan matahari yg semua itu makhluk yg rusak dan berubah, tetapi Allah menerangi hati (sirr) dengan Nur, ilmu dan ma’rifat yg langsung dari sifat² Allah, maka karenanya tidak dapat suram dan terbenam.
Syair ini mengingatkan pada kita tentang pentingnya memperhatikan sesuatu yg abadi dari pada yg bisa rusak dan sirna.
Sahl bin Abdullah ra. ketika ditanya tentang makanan (qut) jawabnya: Huwa-alhayyul-ladzii laa-yamuut. (Ia yg hidup dan tiada mati). Penanya berkata: Saya tidak bertanya tentang makanan itu, tapi makanan yg menguatkan, jawabnya: Ilmu, ketika ditanya: Makanan sehari-hari yg lazim? Jawabnya: Dzikir, ditanya: makanan jasmani? Jawabnya : apa urusanmu dengan jasmani, biarkan/serahkan pada yg membuat pada mulanya, Dia akan mengurusi selanjutnya, jika ada kerusakan kembalikan pada yg membuat, tidakkah itu sudah lazim, buatan sesuatu jika rusak kembalikan pada yg membuat untuk diperbaiki.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Allah Ta’ala menerangi seluruh langit dan bumi dengan cahaya dari jejak sifat²Nya atau dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang, yg kesemuanya mencerminkan sifat qudrah dan iradah Allah. Seluruh fenomena alam nyata ini menjadi terbuka bagi kita dengan cahaya bintang². Saat itu, kita bisa melihat seluruh alam semesta dan mengambil manfaat darinya atau menghindari bahayanya.
Allah menerangi relung batin dengan ilmu pengetahuan yg bersumber dari penampakan sifat²Nya pada hati orang² ‘arif. Relung batin orang² ‘arif itu menjadi terbuka dengan cahaya ilmu pengetahuan yg bersumber dari sifat² Allah Ta’ala atau meresapnya sifat² itu dalam hati mereka. Saat itulah, orang² ‘arif akan bisa melihat berbagai sifat yg ada dalam batin mereka sehingga mereka akan menghindari bahayanya dan mengambil manfaatnya.
Alam semesta bisa nyata dengan cahaya makhluk-Nya dan relung batin bisa nyata dengan cahaya sifat²Nya. Cahaya makhluk bersumber dari sesuatu yg hadits (baru), sedangkan cahaya sifat²Nya bersumber dari Dzat yg Qadim (terdahulu). Semua Cahaya lahir (yg berasal dari makhluk) itu akan redup.
Cahaya matahari akan hilang di malam hari. Cahaya bintang dan bulan akan hilang di siang hari. Namun, cahaya hati yg bersumber dari penyaksian terhadap sifat² Allah yg Qadim tidak akan pernah hilang dan redup. Tentu saja cahaya yg bersumber dari Yang Maha Qadim tidak akan sirna.
Yg membuat cahaya itu tidak tampak adalah sifat² kemanusiaan yg ada pada diri orang² ‘arif, sehingga cahaya itu seolah-olah tak ada. Padahal, cahaya itu tetap ada dalam hati mereka. Oleh sebab itu, seorang penyair berkata,
“Sesungguhnya, matahari siang terbenam menjelang malam, namun matahari hati tiada pernah tenggelam.”
Syair lain mengatakan:
“Matahari pencinta Tuhan akan terbit di malam hari.
Ia akan memancarkan sinarnya dan tak pernah terbenam.”
Di sini terkandung peringatan bahwa perkara² yg abadi itulah yg harus disukai, disenangi, perlu dilestarikan, dan dijaga kondisinya. Lain halnya dengan perkara² fana yg bisa terbenam, ia tak perlu digandrungi. Bila demikian, seorang hamba akan mengikuti keyakinan dan prinsip Ibrahim saat ia berkata, “Saya tidak suka sesuatu yg terbenam dan hilang.” Wallaahu a’lam