Ruh berarti nyawa. Shaykh al-Akbar menyatakannya: Ruh, diterapkan pada apa yang mencurahkan ilmu tentang yang Gaib kepada hati dalam sebuah aspek khusus. Kita catat bahwa organ bagi pengalaman di kedua contoh ini (nafsu dan ruh), dan yang berikutnya (langkah keduapuluh enam), adalah hati. Tetapi kini, lokusnya dipandang dalam bentuk alamiahnya, bukan dalam bentuk kesejarahannya. Ia bukan lagi sekadar diperhatikan sebagai lokus-peristiwa, tetapi sebagai sebuah layar penglihatan. Sehingga apa yang semula adalah arena tindakan berubah menjadi arena penyaksian.
Shaykh ibn al-Habib dalam diwannya berkata: “Ruhku berkata padaku dan katanya, ‘Hakikatku adalah nur dari Allah, maka jangan melihat selain-Nya. Jika aku bukan cahaya maka aku adalah selain-Nya, padahal yang selain itu adalah ketiadaan, maka jangan merasa puas dengan itu.”
Ketika pengenalan itu telah terbit, tetaplah bagi si pencari untuk menginsafi rahasia ruh. Ia harus menemukan jati dirinya, wajah asli adami-nya. Inilah tahapan akhir makrifat, dan di tahapan ini ruh haruslah dinyatakan dengan nama lain, yang lebih sesuai dengan makna-maknanya.
Maka kita lihat disini bahwa tiga serangkai istilah yang digunakan untuk menyatakan arena diri tempat pengalaman yang paling akrab dan pribadi, tidak lain dari apa yang telah dinyatakan terdahulu sebagai hanya berbagai konsep dan pola-pola keyakinan.
Sumber: 100 Langkah