Tiga serangkai pengertian berikut mendefinisikan makhluk manusia dalam semesta kearifan mereka. Tingkat pengalaman pertama bagi insan hewani adalah nafsu. Keinsafan atas diri adalah syarat asasi yang diperlukan bagi perjalanannya. Tanpa itu, yakni jika majnun (gila), maka anda tidak mungkin mulai bertolak. Hanya jika ada suatu arena pengalaman yang berfungsi maka dimungkinkan terjadinya dislokasi melalui suatu ikhtiar pengenalan diri sendiri.
Shaykh al-Akbar menyatakan nafsu sebagai: “Apa yang disebabkan oleh sifat-sifat si hamba.” Begitulah adanya diri itu, terpenjara oleh elemen-elemen utama yang dibayangkannya memerdekakan dirinya melalui berbagai amal. Semakin banyak sang diri bertindak, semakin banyak ia membangun suatu ilusi kelanggengan dan sejarah. Kejadian-kejadian itu memperkuat mitos tentang sang diri sendiri. Inilah mengapa Shaykh al-Kamil berkata bahwa segala sesuatu pada nafsu itu amat buruk. Tidak masuk akal untuk membayangkan bahwa anda bisa menempa nafsu yang baik. Itu jelas berhala yang lebih buruk daripada nafsu yang buruk.
Nafsu adalah berhala besar, yang mana sembari ia mendirikan berhala-berhala lain, ia tidak dapat menghancurkan dirinya sendiri. Inilah alasan mengapa seseorang mengikuti seorang Shaykh. Sang Shaykh sederhananya bertindak sebagai sebuah cermin diri yang akan membantu seseorang meloloskan diri dari tipu daya diri yang senantiasa berusaha melanggengkan dirinya.
Tujuan dari para Ahli Tariqat adalah fananya diri yang merasakan ini. Amalan dari Ahli Tariqat adalah dhikir yang membuat hati bersih sehingga apa yang sebelumnya nafsu yang mampat dan buram, berubah menjadi lembut dan bercahaya. Jika dhikir dan berkumpul bersama telah menaklukkan nafsunya, si pencari menjadi mampu memahami bahwa lokus makhluk manusia itu tidak seperti apa yang tampak. Sebagai ganti dari narasi fiksi ini, ia mampu melihat satu jati diri hayati asli. Di tahap ini ia tidak lagi mengacu kepada nafsu, melainkan kepada ruh.
Sumber: 100 Langkah