Lubb, inti adalah sebuah istilah Qur’ani. Shaykh al-Akbar menyatakannya sebagai: “Perihal cahaya Ilahi.”
Pada taraf pertama Jalan kita, maka kita menyaksikan seluruh bentuk luar diri sebagaimana ia ketika itu dirasakan, sekumpulan kain cabik usang dan sampah. Diri itu dilawan dengan persenjataan penyucian shalat, shaum, amal baik, yang terutama, sedekah. Ia dibersihkan dari kotorannya dengan berjalan di jalan Allah dan berkumpul dengan mereka yang telah tersucikan. Kini, si faqir telah memusatkan perhatian pada hati yang menjadi pusat kumpulan daya-daya bertentangan dan tidak berguna ini. Dengan dhikir dan fikir, himma-nya telah membawanya ke arena pemusatan perhatian. Di mana di awalnya ia duduk dalam sama’a (menyimak) layaknya seperti pada sebuah tontonan, memperhatikan adab-adabnya, dan menikmati keindahannya. Kini, matanya ditundukkan, pikirannya diheningkan, dan ia memusatkan perhatian atas detak kalbunya (“karena tidak ada dua kalbu di dalam dada”, Surat Al Ahzab ayat 4) saat ia menantikan rangkaian cahaya memasukinya.
Di tahap inilah ia bergerak dari sebuah pandangan statis atas kalbu sebagai segumpalan, seaktif, dan sepeka apapun, ke sebuah pandangan berbeda tentang sifat-sifatnya. Sebagai alat makrifat, ia kini harus melihatnya sebagai lubb-nya, inti dirinya. Apakah inti itu? Ia bukanlah semata pusat bendanya, tetapi ia sebenarnya memuat seluruh pola organisme paripurna itu. Sebagaimana, inti apel mengandung biji, yaitu pohon, bunga, buah, dan biji itu sendiri. Hadits Qudsi: “Seluruh semesta tidak dapat mengandung-Ku, namun kalbu mukmin mengandungi-Ku.”
Sumber: 100 Langkah