Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
[ss_social_share]

Daftar Isi

01. Islam, Tasawuf, dan Tarekat

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan. KH Sholeh Bahruddin dalam kata pengantar mengatakan, Sabilus Salikin disarikan dari berbagai kitab tarekat atau tasawuf yang ada, dan banyaknya ragam tarekat/tasawuf itu menunjukkan kehebatan  Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Setelah mengkaji satu kitab dan diteruskan ke kitab lain, ternyata tidak ada Imam tarekat yang saling bertentangan. Jika kemudian muncul pertentangan, hal itu berasal dari  pengikutnya, karena fanatisme yang berlebihan (ta’assub).

BAB I: Pendahuluan

Banyak yang beranggapan bahwa aliran tasawuf dalam Islam lahir karena pengaruh dari luar. Anggapan itu mencuat karena tasawuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani, juga agama Hindu dan Budha.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Bahwa ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang penuh nafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci, dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan serta melakukan beberapa pantangan.

Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, ruh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, ia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi (penjelmaan). Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Sampai di sini, tampak adanya perbedaan. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tidak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa ruh sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana (tempat kebebasan). Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi (renungan) dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani, dan agama Kristen telah datang jauh sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut di atas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?, (Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, Abdul Qâdir Isa, halaman: 30).

Tasawuf dan tarekat adalah korban yang paling sering dihujat sesat oleh saudara-saudara seiman. Mereka memandang tasawuf dan tarekat sebagai sarang bid’ah hal-hal yang baru yang diklaim tidak pernah diajarkan dalam Islam atau tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasûl. Dalil utama yang sering dikemukakan mereka adalah hadits Nabi Saw. yang sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة. رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: حديث حسن صحيح  . (رياض الصالحين، ج 1، ص: 128)

Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 128).

Benarkah tasawuf dan tarekat itu bid’ah?

  • Pengertian Tasawuf

Banyak sekali definisi tasawuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.

Definisi-definisi yang dikemukakan sama dengan yang dilakukan empat orang buta, dalam kisah Rumi, ketika mereka menggambarkan bentuk gajah. Masing-masing menggambarkan bentuk gajah sesuai dengan bagian tubuh yang disentuhnya. Bagi yang pertama, bentuk gajah seperti mahkota, bagi yang kedua seperti pipa air, bagi yang ketiga, seperti kipas, dan bagi yang terakhir seperti tiang.

Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf, sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:

  1. Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu “perjalanan” menuju Malik al-Muluk (Raja semua raja), (yakni Allâh `azza wa jalla).
  2. Tasawuf adalah mencari wasilah (alat yang menyampaikan) ke puncak fadhilah (keutamaan).

Definisi paling panjang yang dikutip Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani berasal dari perkataan Imam al-Junaid Ra ketika ditanya orang mengenai makna tashawwuf: Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:

  1. Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba-lomba mengerjakannya.
  2. Selalu bersandar kepada Allâh `azza wa jalla,
  3. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
  4. Sabar kehilangan dunia (harta).
  5. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
  6. Sibuk dengan Allâh SWT dan tidak sibuk dengan yang lain.
  7. Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
  8. Merealisasikan rasa ihlas ketika muncul godaan.
  9. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
  10. Teguh kepada Allâh SWT dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini, dan jika tidak, maka ia adalah pendusta, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1).

Beberapa fuqaha’ ahli fiqih juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277 menegaskan: “Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir”.

Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji), itulah ilmu tasawuf”.

Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan: “Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allâh SWT secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul (ibadah) dengan Allâh SWT dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi”.

Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu buhul: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.

Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allâh Swt.), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim, pemimpin tharîqah sufi al-Asyirah al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa “Tasawuf adalah taqwa. Taqwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allâh Swt. dan meninggalkan semua larangan-Nya. Taqwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qana’ah, tawadhu’, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makarim al-akhlaq (akhlak yang mulia) atau al-akhlaq al-mahmudah (akhlak yang terpuji)”.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul (ibadah) dengan Allâh Swt. dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn `Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, menegaskan bahwa “tasawuf adalah akhlak”. Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam kitabnya Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’: “Tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang ) mulia.”

Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi Saw. yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal

وحَدَّثنا مُحَمد بن رزق الكلواذي، قال: حَدَّثنا سَعِيد بن منصور، قال: حَدَّثنا عَبد العزيز عن ابن عجلان عن القعقاع، عَن أبي صالح، عَن أبي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ، (سنن الكبرى للبيهقي، ج 1، ص: 191، إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 46)

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 1, halaman: 191, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 46).

Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”

Apapun definisi yang dikemukakan para ulama’ mengenai tasawuf, yang jelas bahwa tashawwuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial, bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.

Pernyataan Imam Muhammad Zaki Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tashawwuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah hijrah menuju Allâh Swt, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi”, (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tashawwuf Salafi, halaman: 7).

Tidak satu definisi pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allâh Swt), karena hal itu menyangkut soal rasa dan “pengalaman”, bukan penalaran atau pemikiran. Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.

Sumber: Alif.ID

02. Tasawuf dalam Konteks Keilmuan

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan,  tasawuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara tasawuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam).

Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah yang sangat terkenal, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ: أَخْبَرْنَا أَبُوْ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيْ زَرْعَةَ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ، فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: مَا الْإِيْمَانُ ؟ قَالَ: (الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ)، قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ ؟ قَالَ: (الإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ)، قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ)، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: (مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْأَمَّةُ رَبَّهَا، وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبْلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِيْ خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللهُ)، ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} [لقمان: 34] الآيَةَ، ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: (رُدُّوْهُ). فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا، فَقَالَ: (هَذَا جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِيْنَهُمْ)

Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tasawuf sebagai “saudara kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tasawuf dan fikih, gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.

Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan ihsan,  tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, usuludin, dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, ihsan). Islam diartikan  mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.

“Iman adalah beriman kepada Allâh SWT, malaikat, rasul-rasul,  kitab-kitab, dan  kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah usuludin atau ilmu kalam. Ihsan adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allâh SWT, seakan-akan Allâh SWT berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allâh SWT tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam tasawuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, ihsan, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, usuludin, dan tasawuf” (Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan syari’ah. Tasawuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syariah. Syariah sendiri –merujuk al-Qur’an dan al-Hadits– dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi SAW, yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

Adalah mustahil memahami syariah (sebagai produk)  secara sempurna tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau kalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).  (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406-407, al-Shidîq wa al-Tahqîq, halaman: 177).

Fikih dan tasawuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ulama tidak bertasawuf, maka ia kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus”.

Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amîn al-Qurdhi, juga mengungkapkan hal senada: “Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (bertasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (bertasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408).

Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman Ibn Affan RA. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali bin Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma’rifat dan tasawuf, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 28, halaman: 211-212): وَلَايَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ

Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim

Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.

Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahl ‘ulum al-qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Ia menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû’ al-Fatawâ (Beirut: Dar al-Kitab al Arabi, tahun 1973).

Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allâh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tasawuf pada umumnya.

Imam-imam tasawuf menjadikan Allâh SWT sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amradh al-Qulub wa Syifauha, halaman: 68).

Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dalam kitabnya Madârij al-Sâlikin, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tahun 1973), mengatakan tentang Abu Yazid al-Busthami dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allâh yang Maha Suci) adalah  seperti  Abu Yazid al-Busthami. Semoga Allâh SWT merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya keinginannya,  ia menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allâh SWT)”. Inilah hakikat tasawuf.”

Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyah berkata:

“Tasawuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allâh) berada pada wilayah hati”.

Sumber: Alif.ID

03. Tarekat dalam Alquran dan Hadis

Tarekat adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’i sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”.

Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tarekat karena ia selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah atau mengingat Allah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi SAW disebut dengan tarekat hasanah (cara yang baik). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dalam musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيْقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَلِ بِهِ اُكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيْقًا حَتَّى أَطْلَقَهُ أَوْ أَكْفَتَهُ إِلَى تَعْلِيْقِ شُعَيْبِ الْأَرْنَؤُوْطِ : صحيح وهذا إسناد حسن

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tarekat yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allâh SWT) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku, (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 2, halaman: 203).

Ungkapan tarekat hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perilaku hati yang diliputi kondisi ihsan (beribadah seolah–olah melihat Allâh SWT atau kondisi khusyu’) yakin berjumpa dengan Allâh SWT dan kembali kepada-Nya,

(الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿٤٦

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya, (al-Baqarah, 2: 46).

Ibadah (misalnya shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh nabi disebut sebagai shalat al-munafiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.

(فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5), (al-Maun, 107: 4-5).

Di dalam Alquran pun kata tarekat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.

Setelah Allâh SWT menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas tarekat, Allâh SWT. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

(وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً ﴿١٦﴾ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧

Seandainya mereka istiqamah di atas tarekat niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barangsiapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih, (al-Jinn, 72: 16-17).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq RA ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-tarekat dan ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allâh SWT dengan sesuatu (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-tarekat) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, tarekat dalam ayat tersebut adalah ”jalan menuju tauhid yang murni”.

Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syaikh-syaikh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah: “Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allâh dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh tarekat dan pakar-pakar agama.”

Dalam ayat yang lain tarekat disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allâh berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode), (al-Maidah, 5:48).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah tarekat (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-duanya (syari’ah dan tarekat) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allâh SWT semata (ibadat Allâh wahdah).

Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran  dan Sunnah sebagaimana disiplin keilmuan Islam lainnya. Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh para imam tasawuf, diantaranya:

  1. Imam Junaid mengatakan, “Sesungguhnya ilmu kita ini adalah berdasar Alquran  dan Sunnah”
  2. Syaikh Sahal Tastarimengatakan,“Ushul kita (tasawuf ada tujuh, yaitu berpegang teguh kepada Alquran, melaksanakan Sunnah Rasulullah, makan yang halal, mencegah yang menyakitkan, menjauhi dosa, taubat dan melaksanakan hak-hak.”, (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 170).

قال سهل: أُصُوْلُنَا سَبْعَةُ أَشْيَاءَ: التَّمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، وَالْاِقْتِدَاءِ فِى سَنَةِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَكَالُ الْحَلَالِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاجْتِنَابُ الْاَثَامِ، وَالتَّوْبَةُ، وَاَدَاءُ الْحُقُوْقِ.

  1. Syaikh Hasan Syadzili, “Apabila kasyafmu bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah maka lakukanlah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan tinggalkan kasyf dan ilham.” (Iqadhul Humam (syarah matan Hikam), Ahmad bin ‘Ajibah juz 2, halaman: 302-303)
  2. Syaikh Abu Hasain al-Waraqmengatakan, “Tidaklah seorang hamba sampai kepada Allâh SWT kecuali dengan Allâh SWT (Alquran) dan sesuai dengan kekasihNya (Rasulullah) dalam melaksanakan syari’ahNya. Barangsiapa menjadikan jalan wushul tanpa melaksanakan al-Sunnah, maka ia (sebenarnya) menyesatkan meskipun dikira memberikan petunjuk.” (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 230).

قال: وقال أبو الحسين: لَايَصِلُ الْعَبْدُ اِلَى اللهِ إِلَّا بِااللهِ، وَبِمُوَافَقَةِ حَبِيْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِى شَرَائِعِهِ. وَمَنْ جَعَلَ الطَّرِيْقَةَ اِلَى الْوُصُوْلِ فِي غَيْرِ الْاِقْتِدَاءِ يَضِلُّ، مِنْ حَيْثُ يَظُنُّ أَنَّهُ مُهْتَدٌ.

  1. Syaikh Abd. Wahab Sya’rani: “Sesungguhnya jalan kaum sufi adalah tertulis dalam Alquran dan Sunnah “ (Lathaif al-Minan wa al-akhlaq Wahab Sya‘rani, juz I, halaman: 2).
  2. Abu Yazid al-Busthamimengatakan ketika ditanya tentang sufi, “allah Yaitu yang meletakkan Alquran di sisi kanan dan Sunnah di sisi kiri, “(Syathahat al-Shufiyah Abd Rahman Badawi, halaman: 96).
  3. Menurut Syaikh Amîn al-Qurdhidalam kitab Tanwîr al-Qulûb halaman 409, pokok ajaran tasawuf ada lima:
    • Taqwallah dalam keadaan tersembunyi dan terlihat direalisasikan dalam sifat wira’i dan istiqamah.
    • Mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dalam ucapan, perbuatan direalisasikan dalam bentuk budi pekerti yang baik.
    • Berpaling dari mahluk direalisasikan dalam sifat sabar dan tawakkal.
    • Rela atas pemberian Allâh SWT baik sedikit atau banyak diwujudkan dalam sifat qana’ah dan pasrah.
    • Kembali kepada Allâh SWT dalam setiap keadaan senang dan susah direalisasikan dalam syukur ketika senang dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allâh SWT dalam keadaan susah.

Masih banyak lagi pernyataan para imam tasawuf yang senada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran an Sunnah.

Alquran dan Hadis merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didengar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, Apa dasar Alquran-Hadisnya sehingga anda berkata demikian?’ atau ‘Bagaimana Alquran dan Hadisnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan tasawuf.

Di sini sekilas akan disampaikan beberapa dasar Alquran dan Hadis yang melandasi teori dan amalan tasawuf.

Sumber: Alif.ID

04. Dasar Alquran Tentang Tarekat

Alquran dan Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan. Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menyawab, “Alquran”.

Para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang banyak menghafalkan isi Alquran dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah, yakni akhlak Alquran.

Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Alquran dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Alquran, Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dan ruang lingkup Alquran dan Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Alquran dan Sunnah itu sendiri.

Abu Nashr as-Siraj al-Thusi, dalam kitabnya aI-Luma’ menjelaskan bahwa dari Alquran dan Sunnah itulah, para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan pada Ilahi, dan ma’rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniah mereka. Itu semua mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis. Lebih lanjut, Ath-Thusi mengemukakan bagaimana para sufi secara khusus lebih menaruh perhatian terhadap moral luhur serta sifat dan amalan utama. Hal ini demi mengikuti Nabi, para sahabat, serta orang-orang setelah mereka. Ini semua, menurut Al-Thusi, ilmunya dapat disimak dalam kitab Allâh SWT, yakni Alquran.

Alquran merupakan Kitab Allâh yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat Alquran itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat Alquran dipahami secara lahiriah saya, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dan sumber ajaran Islam, Alquran dan Sunnah, serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Alquran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Allâh SWT Hal ini misalnya sebagaimana difirmankan Allâh SWT dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة : 54)

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmn, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54)

Dalam Alquran, Allâh pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، (التحريم: 8)

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allâh dengan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allâh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beniman bersama dengan dia sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya engkau Mahakuasa alas segala sesuatu, (Q.S. Al-Tahrîm, 66: 8)

Alquran pun menegaskan tentang keberadaan Allâh SWT di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskannya

وَ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (البقرة: 115)

Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wayah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui), (Q.S. Al-Baqarah, 2:115)

Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saya ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Allâh SWT pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakiNya, sebagaimana firman-Nya:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ، (النور: 35)

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pobon) Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saya hampir-hampir meneRAngi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di alas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (Q.S. al-Nûr, 24:35)

Allâh SWT pun memberikan penjelasan tentang kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disitir dalam firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ،(البقرة: ١٨٦)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu beRAda dalam kebenaRAn, (Q.S. Al-Baqarah, 2:186)

Kata “da’a” dalam ayat itu tidak diartikan sebagai berdoa oleh kalangan sufi, tetapi berseru dan memanggil. Dasar-dasar tasawuf ini ternyata banyak ditemukan dalam Alquran.

Lebih dari itu, pada ayat 16 dan SuRAt Qaf, Allâh SWT menjelaskan:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ، (ق: ١٦)

“Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh daRAhnya sendiri, (Q.S. Qaf, 50:16)

Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, manusia tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.

Alquran pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allâh SWT:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ، (فاطر: ٥)

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh, (Q.S. Fâthir, 35:5)

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk mejauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan (maqamât) dan keadaan (ahwal) yang dilalui para sufi (yang pada dasarya merupakan objek tasawuf), landasannya akan banyak ditemukan dalam Alquran. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan sebagian maqamat dan ahwal para sufi. Di antaranya adalah:

  1. Tingkatan zuhud misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal mula beRAngkatnya tasawuf), telah dijelaskan dalam Alquran:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى، (النساء: 77)

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhiRAt itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. al-Nisak, 4: 77)

  1. Tingkatan taqwa berlandaskan pada firman Allâh SWT:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ، (الحجرات: ١٣)

Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal, (Q.S. Al-Hujurât, 49:13)

  1. Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allâh SWT berikut:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ، (الطلاق: ٣)

Dan barangsiapa bertawakal kepada Allâh, niscya Allâh mencukupkan (keperluan)-nya, (Q.S. Al-Talâq, 65:3)

عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ، (الزمر: ٣٨)

Dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman itu bertawakal, (Q.S. al-Zumar, 39:38)

  1. Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allâh SWT berikut ini:

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ ،( إبراهيم:٧)

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (Q.S. IbRAhim, 14:7)

  1. Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allâh SWT berikut ini:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ، ( غافر:٥٥)

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan unluk dosamu dan bertasbihlah seRAya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi, (Ghâfir, 40:55)

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ، (البقرة: 155)

Dan berikanlah berita gembiRA kepada orang-orang yang sabar, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:155)

  1. Tingkatan rela (ridla) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة:119)

Allâh rela terhadap mereka, dan mereka pun rela terhadap-Nya, (QS. Al-Maidah,2: 119)

  1. Tingkatan cinta berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة: 54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54).

  1. Tingkatan malu berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، (العلق:١٤)

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh melihat segala perbuatannya?, (Q.S. al-‘Alaq, 96:14)

  1. Mujahadah al-Nafs (memerangi nafsu) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى، (النزعات: ٤١)

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya), (Q.S. Al-Nazi’at, 79:40-41)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ، ( يوسف: ٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Yusuf, 12:53)

  1. Ahwal sufi:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ، (الأعراف: ٥٦)

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allâh) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan RAsa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, (QS. al-‘ARAf, 7:56)

مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لَآتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، (الأنكبوت: ٥)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Q.S. Al-‘Ankabut, 29:5)

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ ، (فاطر: ٣٤)

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allâh yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri, (Q.S. Fathir, 39:34)

Demikianlah, sebagian ayat Alquran yang dijadikan sebagai landasan dan dasar kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi tentang maqamat dan ahwal, dicarikan rujukannya dalam Alquran. Namun, siapa saya yang berminat mengkaji masalah ini secara mendalam dapat membacanya dalam karya-karya para sufi, seperti ar-Risâlah al-Qusyairiyah karya Imam al-Qusyairi, al-Luma’ karya Syaikh Ath-Thusi, dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali.

Sumber: Alif.ID

05. Dasar Hadis Tentang Tarekat

Sejalan dengan apa yang disitir dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kontek Hadis. Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan dan dasar ajaran-ajaran tasawuf adalah hadis-hadis berikut.

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 301)

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunji, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Atsar al-Ahâdîts al-Dha’îfah wa al-Maudhu’ah fi al-‘Aqîdah Abd. Rahman Abd. al-Khaliq, juz 1, halaman: 15, Tafsîr al-Alusi, juz 19, halaman: 418)

لاَيَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْـبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّذِيْ يَمْشِي بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ فَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ يَمْشِي

Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sebingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal, dan kakinya yang dia pakai unluk berjalan, maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat berbicara, berpikir, mengepal, dan berjalan, (Jâmi’ al-‘Ulum wa al-Hukum, juz 1, halaman: 365)

Hadis di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’, yaitu fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan sebagai yang dicintainya.

Berikut ini dikemukakan beberapa hadis yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:

  • Aisyah berkata:

اَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ: أَفَلاَ اُحِبُّ اَنْ اَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا.

Adalah Nabi bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allâh, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allâh telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menyawab, Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allâh yang bersyukur?, (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

  • Rasulullâh SAW bersabda:

وَاللهِ اِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ اَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Demi Allâh, aku memohon ampunan kepada Allâh dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali.” H.R. Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 2, halaman: 338, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :67)

  • Rasulullâh SAW bersabda:

اِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ اَذَنْـتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ اَحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِيْ لأَعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ.

Sesungguhnya Allâh SWT telah berfirman, “Siapa memusuhi kekasihKu, maka Aku menyatakan perang kepadannya Tidak ada yang paling Aku sukai dan hamba-Ku yang mendekatkankan diri kepada-Ku selain menjalankan kewajibannya. Hendaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan-Ku juga dengan menjalankan kesunahan-kesunahan sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaRAn dan penglihatannya, juga akan menjadi tangan dan kakinya. Setiap penmohonannya pasti akan Aku kabulkan. Jika meminta perlindungan, Aku akan melindunginya”,H.R Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 91, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :105)

Maksudnya: pernyataan bahwa Allâh akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki hamba yang dicintai-Nya merupakan mayaz untuk menjelaskan pertolongan Allâh.

  • Rasulullâh SAW bersabda:

لَوْ اَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَتَّى تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Seandainya kalian benar-benar bentawakal kepada Allâh, maka Allâh akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana bunting yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang sudah kenyang”.  H.R. At-Tirmidzi. Hadis Hasan, (Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1394)

  • Rasulullâh SAW bersabda:

اِزْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِى اَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوْكَ

Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu”, (Sunan Ibn Majjah, juz 3, halaman :1373).

Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau mejauhi pola hidup kebendaan saat orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.

Selama di Gua Hira, Rasulullâh SAW hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang memakai pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum, kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allâh SWT, sehingga Siti Aisyah, istrinya, bertanya, ‘Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullâh SAW, padahal Allâh SWT senantiasa mengampuni dosamu?’ Rasulullâh SAW menyawab, ‘Apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allâh SWT?’

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketaqwaan, ke-fana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati. Khalifah Umar bin al-Khattab RA pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan RA banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Alquran. Baginya, Alquran ibarat surat dan kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun ia pergi. Demikian pula, sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Tamim ad-Dary, dan Hudzaifah aI-Yamani.

Uraian dasar-dasar tasawuf di atas, baik Alquran, Hadis, maupun suri teladan para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Alquran. Dan sini, jelaslah bahwa pertumbuhan pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dan sumber Alquran itu sendiri.

Faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, selain berupa pernyataan Alquran dan Hadis, adalah perilaku Rasulullâh SAW sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh) tidak jarang pergi meninggalkan keramaian dan hidup menyepi untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allâh dan mendapat petunjuk dari-Nya.

Sumber: Alif.ID

06. Tarekat dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Penjelasan Ibn Taimiyah mengenai tarekat sangat penting untuk dikemukakkan lebih jauh disini, sebab –sekali lagi– selama ini ia sering dituding sebagai antitarekat, bahkan dijadikan rujukan utama oleh sebagian kecil umat untuk menentang tarekat. Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah menentang tarekat/tasawuf kecuali yang nyata sekali bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.

Ketika memuji Imam al-Junaid al-Baghdadi berkenaan dengan kewajiban seorang salik (Orang yang berjalan menuju Allâh Swt. agar mengenal Sang Pencipta sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ihlas), Ibn Taimiyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah:

“Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok akidah ahl al-Sunnah dan imam-imam para syaikh, khususnya syaikh-syaikh sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-Iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal, dan akhlak lebih besar keteguhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya. Mereka dengan semua itu lebih besar perhatiannya dan lebih banyak pemeliharaanya. Orang yang belum memasuki semua itu tidak dapat serta merta menjadi ahli tharîqah mereka.”

Dalam kitabnya yang lain al-Hasanah wa al-Sayyiah, Ibn Taimiyah menegaskan lebih lanjut bahwa orang yang mengikuti Imam al-Junaid adalah orang yang memperoleh hidayah, selamat dan bahagia: “Barang siapa menempuh jalan yang ditempuh oleh al-Junaid yang merupakan salah seorang pakar tashawwuf dan ma’rifah, maka ia benar-benar telah mendapat hidayah, selamat dan bahagia.”

Selain Imam al-Junaid al-Baghdadi, Ibn Taimiyah juga memuji dan membela para Syaikh tarekat lainnya, seperti: Abu Yazid al-Busthami, Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, dan bahkan juga Imam al-Ghazali. Tentang Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya Ibn Taimiyah menggambarkannnya sebagai berikut:

“Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani dan syaikh tarekat seperti beliau merupakan syaikh yang paling gigih memerintahkan menetapi syari’ah, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini. Beliau memerintahkan seorang salik (murid yang menempuh suluk/perjalanan menuju Allâh Swt) agar tidak memiliki sama sekali kehendak yang bersumber dari hawa nafsu melainkan ia berkehendak sesuai dengan yang dikehendaki Allâh ‘azza wa jalla.”

Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa Ibn Taimiyah menyebut para sufi sebagai ahl ulum al-Qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang bebas dari bid’ah ketika ia mengatakan: “Perkataan pakar-pakar ilmu hati dari kalangan sufi dan yang selain mereka, seperti Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli pula Ibn Taimiyah mengutip pernyataan yang mengukuhkan kebenaran tarekat para sufi: “Tarekat para sufi adalah tujuan (ghayah), karena mereka menyucikan kalbu mereka dari hal-hal selain Allâh dan memenuhinya dengan dzikrullah; dan ini merupakan prinsip dakwah para rasul.”

Pengakuan Ibn Taimiyah mengenai kebenaran tarekat para sufi juga mencuat dari pernyataanya yang dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Aqidah al-Ishfahaniyah, yaitu ketika ia berbicara tentang mu’jizat para Nabi: “Tidak ada jalan bagi akal untuk memahami mukjizat para nabi hanya dengan komoditi akal semata. Hal-hal lain dari keistimewaan para nabi hanya dapat dipahami dengan “rasa” oleh orang yang menempuh tarekat tasawuf…”

Jika Nabi memiliki suatu keistimewaan yang Anda tidak punya modelnya, maka Anda sama sekali tidak akan memahami keistimewaan itu, apalagi membenarkannya, karena pembenaran hanya muncul setelah pemahaman, dan model yang dimaksudkan di sini terdapat di awal tarekat tasawuf. Adapun rasa (dzauq) maka ia seperti ‘menyaksikan’ dan ‘mengambil dengan tangan’ dan hal itu tidak ada kecuali dalam tarekat para sufi.

Ibn Taimiyah bahkan tidak mengingkari konsep “mabuk” yang kadang-kadang melahirkan berbagai ungkapan yang sepintas terkesan berbau syirik tetapi sebenarnya tidak dimaksudkan demikian, ungkapan-ungkapan yang dikenal dengan syathahat. Ungkapan-ungkapan pada dasarnya muncul secara otomatis dari kondisi fana’ (“ekstase”) yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pertimbangan atau kesadaran apapun kecuali semata-mata karena terbuai oleh keagungan dan keindahan Tuhan.

Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Sebagian tokoh sufi yang mengalami kondisi spiritual tertentu (dzawi al-ahwal) kadang-kadang mengalami ‘mabuk dan lenyap dari selain Allâh’ dalam keadaaan fana’ yang singkat. Keadaan mabuk seperti itu terjadi tanpa disengaja, tanpa pertimbangan. Kadang-kadang dalam keadaan itu ia berkata subhani (maha suci aku), atau ungkapan-ungkapan lain seperti yang mempengaruhi Abu Yazid al-Busthami dan orang-orang berjiwa sehat (al-ashihha) lainnya.”

Hal itu menurut Ibn Taimiyah sejalan dengan makna-makna hadits qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dalam hadits itu disebutkan bahwa apabila seorang hamba selalu berupaya menempuh jalan pendekatan diri kepada Allâh dengan melaksanakan secara intensif al-faraidh (perkara-perkara yang diwajibkan) dan al-nawafil (perkara-perkara yang disunnahkan), sebuah upaya yang bermuara pada suatu keadaan (hal) yang dalam hadits itu diungkapkan dengan “sampai Aku mencintainya” (hatta uhibahu), “maka Akulah yang menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.”

Semua ini dikemukakan Ibn Taimiyah ketika ia membela ahli tarekat yang sejalan dengan sunnah. Di sela-sela pembelaan ini ia menegaskan: Pokok-pokok madzab ahli tarekat yang Islami adalah mengikuti para nabi dan para rasul.

Sumber: Alif.ID

07. Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa tarekat atau thariq al-shafiyyah (jalan para sufi) pada hakikatnya adalah: jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan kalbu dari hal-hal selain Allâh, serta memenuhinya dengan dzikrullah dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring).

Dasarnya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (Q.S. Ali Imrân 3:191)

Dengan kata lain, tarekat pada dasarnya adalah “pengamalan syariah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah.”

Di dalam janji Alquran yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (Khair Ummat Ukhrijat li al-Nas)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿١١٠

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik, (Q.S. Ali Imran, 3:110)

Dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummat wasathan litakuna syuhada li al-nas)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهََ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia, (Q.S. Al-Baqarah, 2:143).

Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW:

وقال: الْإِسْلَامُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ،  )صحيح البخاري ، 1/ 454)

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya, (Shahîh al-Bukhâri, juz 1, halaman: 454).

Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.

Pernyataan Alquran,

(كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَ اللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٢٤٩

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar, ( Q.S. al-Baqarah, 2:249).

Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syariah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan.

Pada umumnya mereka mengamalkan syariah tanpa melibatkan tarekat, padahal di dalam tarekat sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh al-Mukarram Said Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi Alquran,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir iblis la’natullah, musuh paling nyata setiap mukmin, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al khasyi’in yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.

Syari’at, tarekat, dan hakikat adalah tiga hal yang memiliki hubungan yang sangat kuat, yang salah satu dari ketiganya tidak bisa diabaikan.

Ibarat lautan yang di dalamnya terdapat mutiara yang amat besar dan indah. Untuk bisa mencapai dan mengambil mutiara tersebut, tentu kita membutuhkan kapal. Untuk mencapai dan memperoleh mutiara hakikat itu, kita butuh kapal syari’at untuk mengarungi lautan tarekat dengan selamat.

Perumpamaan lainnya, syari’at adalah pohon, tarekat adalah dahannya, dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa hidup hanya bersyariat tanpa berhakikat, maka sia-sia. Barangsiapa hanya berhakikat tanpa bersyariat, maka kerusakan baginya. Lebih jelasnya hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408-409

Dalam sebuah syair disebutkan:

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ وَحَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلَا

Syariat bagaikan kapal, tarekat bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 9)

Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman 324 disebutkan pula bahwa orang-orang ahli dhahir adalah mereka yang ahli syariat, dan orang-orang ahli batin adalah mereka yang ahli hakikat. Keduanya menetapi hakikat, karena jalan menuju Allâh al-Haqq di dalamnya terdapat hal yang dhahir dan yang bathin. Yang dhahir dari jalan itu adalah syariat, dan bathinnya adalah hakikat. Bagian inti hakikat terdapat dalam syariat, layaknya bagian inti dari keju itu terdapat pada susu. Tanpa adanya kemurnian susu, maka tak akan terbentuk keju.

Dengan demikian, maksud dari hakikat dan syariat adalah melaksanakan ubudiyah dengan cara yang diridhai. Tiap syariat yang tidak disertai hakikat, maka syariat itu rusak. Dan tiap hakikat yang tidak disertai syariat, maka hakikat itu batal. Syariat itu benar, dan hakikat itu adalah hakikat bagi syariat. Syariat adalah menjalankan perintah Allâh, dan hakikat adalah menyaksikan (dengan dzat Allâh) dalam perintah-Nya. (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324)

Tarekat, Jalan Menuju Makrifat

Pengamalan tarekat akan membuahkan apa yang disebut dengan haqîqah, dan jalan tritunggal syarîat-tarekat-hakikat, pada gilirannya akan membuahkan al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) yang oleh Nabi SAW disebut sebagai “pangkal ilmu” (RA’s al-‘Ilm) (Musnad al-Rabi, halaman: 311), bahkan juga “pangkal harta atau modal “ (RA’s al-Mal). (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman: 7), semuanya tertuang secara ringkas dalam sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

1532: Syariah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku, (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).

Mengenal Allâh (al-makrifah billah) merupakan tujuan utama penciptaan makhluk. Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقَتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوْنِى

Dulu Aku adalah mutiara yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal; maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Abjad al-Ulum, Juz 2, halaman: 159).

Menurut al-Qari isi Hadis tersebut sesuai dengan firman Tuhan.

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku, (QS. Adz-Dzariyat, 51:56)

Ungkapan li ya’buduni atau “agar mereka mengabdi kepada-Ku” oleh Ibn Abbas ditafsirkan dengan li ya’Rafuni yaitu agar mereka mengenal-Ku’, (Kasyf al-Khafa, juz 2, halaman: 173).

وقال مجاهد: إلا ليعرفوني. وَهَذَا أَحْسَنُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْلُقْهُمْ لَمْ يُعْرَفْ وُجُوْدُهُ وَتَوْحِيْدُهُ، (تفسير البغوي، ج 7 ، ص: 380)

Penafsiran li ya’buduni dengan li ya’RAfuni dikemukakan juga oleh para mufassir lainnya seperti Mujahid yang dikutip oleh al Tsa’alibi dalam Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran, al-Baghawi dalam Ma’alim al Tanzil, dan al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran, Abu al-Saud dalam Tafsir-nya, Ibn Juraij yang dikutip oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, dan juga Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani.

Mengenal Allâh SWT merupakan keharusan bagi seorang hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Mengenal Allâh SWT juga berarti mengenal jalan kembali kepada-Nya. Jalan kembali ini pulalah yang sebenarnya juga disebut dengan tarekat, yaitu jalan yang memang disiapkan secara khusus untuk ditempuh oleh hati (qalb), jiwa (nafs) atau ruh (ruh), tiga istilah yang menunjuk kepada satu makna yang dalam bahasa Imam al-Ghazali disebut dengan lathifah RAbbaniyyah (yaitu Dzat Mahahalus yang dinisbatkan kepada Allâh Swt). (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 3-4)

Dzat yang sangat halus tersebut adalah unsur yang asal penciptaannya berasal dari Allâh SWT sebagaimana tersiRAt dari firman Allâh SWT, “nafakhtu fihi min ruhi” (setelah Kutiupkan kepadanya sebagian ruh-Ku).

(فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ ﴿٢٩

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (Q.S. al-Hijr, 15:29).

(فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ﴿٧٣

Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya, (QS. Shad, 38:72).

Unsur inilah yang mampu mencapai prestasi al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) dan ia pulalah yang kelak kembali ke “asal”-nya (Allâh ‘azza wa jalla).

Persoalan mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya ini sudah harus diselesaikan di dunia ini. Jika di dunia seseorang tidak mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah, setidak-tidaknya sangat sulit untuk kembali kepada Tuhannya; artinya, ia tidak akan masuk ke dalam golongan yang dipanggil oleh Allâh SWT dengan firman-Nya:

 (يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, serta masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku, (Q.S. al-Fajr, 89:27-30).

Dalam kaitan ini pulalah Allâh SWT menegaskan:

(وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢

Barangsiapa di dunia buta (mata batinnya), maka dia di akhirat akan lebih buta lagi dan tersesat jalannya, (QS. al-Isra, 17:72)

Sumber: Alif.ID

08. Tarekat, Teknik Berzikir Efektif

Di samping menunjuk kepada pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, tarekat juga dapat didefinisikan secara singkat sebagai “teknik berzikir efektif”. Sebelumnya telah disebutkan bahwa istilah tarekat dalam Alquran dan Hadis digunakan dalam konteks zikrullah dalam kerangka tauhid.

Dalam hadis al-Bukhari berikut kata thuruq (bentuk jamak dari thariq dan tarekat) juga digunakan dalam konteks ini:

وَفِي الْحَدِيْثِ إِنَّ للهَ تَعَالَى مَلَائِكَةٌ سِيَاحِيْنَ فِي الدُّنْيَا سِوَى مَلَائِكَةِ الْخَلْقِ إِذَا رَأَوْا مَجَالِسَ الذِّكْرِ يُنَادِيْ بَعْضُهُمْ بَعْضًا أَلَا هَلُمُّوْا إِلَى بَغِيَّتِكُمْ فَيَأْتُوْنَهُمْ وَيَحْفُوْنَ بِهِمْ وَيَسْتَمِعُوْنَ أَلَا فَاذْكُرُوْا اللهَ وَذْكُرُوْا أَنْفُسَكَ، (الحديث متفق عليه من حديث أبي هريرة(

Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tarekat-tarekat mencari ahli zikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berzikir kepada Allâh, mereka berseru, ‘Sebutkan kebutuhan kalian’.”Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Malaikat-malaikat itu kemudian mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia, (Ihya ‘Ulumuddin, juz 1, halaman :34).

Kata thuruq (tarekat-tarekat atau jalan-jalan) dalam Hadis tersebut menunjukkan kepada halaqah atau majelis zikir. Halaqah artinya lingkaran, dan halaqah zikir menunjukan kepada makna “sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berzikir dan bermunajat kepada Allâh ‘azza wa jalla”. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, halaqah zikr ini disebut oleh Nabi SAW sebagai riyadh al-jannah (taman-taman surga):

عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعَوْا قَالَ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ

Jika kamu melewati taman-taman sorga, maka masuklah ke sana”. Para sahabat bertanya, “Apa taman surga itu?” Nabi menjawab, “Halaqah-halaqah zikir, (Sunan al-Tirmidzi, Juz 5, halaman :532, Musnad Ahmad,juz 3, halaman:150).

Hadis tersebut memerintahkan orang-orang mukmin agar bergabung dengan halaqah zikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah SWT

Di dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa berzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena diantara dalil-dalil yang berkenaan dengan zikir justru menunjukan kepada hukum wajib.

Zikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah SWT, di samping digunakan lafadz yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allâh SWT bahkan masih menggunakan lam al-taukid (lam yang dibaca fatihah dan menunjuk pada makna “sungguh atau sangat”) untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat zikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Salat Jumat di akhir khutbahnya, “Wa ladzikrullahi akbar (sungguh zikrullah itu akbar).”

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan, (QS. al-Ankabut, 29:45).

Keakbaran kedudukan zikrullah sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh hadis Nabi SAW dalam riwayat Ahmad dengan sanad hasan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ قَالَ مَكِّيٌّ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا وَذَلِكَ مَا هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang lebih baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda.” zikrullah, (Musnad Ahmad, Juz 5, halaman: 239).

Selain sebagai amalan yang paling agung, zikrullah bahkan merupakan inti atau ruh semua aktivitas. Setiap aktivitas yang di dalamnya tidak ada zikrullah adalah sia-sia dan tidak mempunyai nilai apa-pun di mata Allâh SWT Dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Imam al-Nasa’i, Nabi SAW menyebut aktivitas semacam ini sebagai permainan belaka:

فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ وَلَعْبٌ

Segala sesuatu yang tidak bertolak dari zikrullah adalah permainan, (al-Sunan al-Kubra, Juz 5, Halaman: 302).

Satu faktor yang menyebabkan dzikrullah menduduki posisi tertinggi dalam keseluruhan aktivitas seorang mukmin yaitu terkait erat dengan keberadaanya sebagai pengusir iblis atau setan dari dalam diri manusia. Tidak dipungkiri bahwa makhluk terkutuk ini selalu menempel di dalam diri manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَالشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِينَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِيَّاهُ إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)  صحيح البخاري- طوق النجاة ، 6: 34)

Tidaklah seorang anak-pun dilahirkan kecuali dia pasti disentuh oleh syetan, (Shahih al-Bukhari-Thuq al-Najah, Juz 6, halaman: 34).

8325 – إِنَّ لِلْوَسْوَاسِ خُطَمًا كَخُطَمِ الطَّائِرِ فَإِذَا غَفَلَ ابْنُ آدَمَ وَضَعَ ذَلِكَ الْمِنْقَارَ فِى أُذُنِ الْقَلْبِ يُوَسْوِسُ فإن ابنُ آدم ذكرَ اللهَ نَكَصَ وَخَنَسَ فَلِذَلِكَ سُمِيَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَاسُ، (ابن شاهين فى الترغيب فى الذكر عن أنس وهو ضعيف)جامع الأحاديث ،ج 9، 239)

Dalam bahasa Ibn Abbas yang dikutip oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman Hadis tersebut diungkapkan dengan kata-kata:“Tidaklah seorang manusia yang terlahir ke dunia kecuali al-waswas bertengger di hatinya; jika ia melakukan zikrullah, setan itu menahan diri; tetapi jika ia lalai, setan itu bergerilnya membisikkan godaan-godaan” (Jami Hadis, juz 9, halaman: 239).

يا رسول الله. فقال: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنْ ابْنِ آدَمَ (3) مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَقْذَفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شرًا” (4(وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ يَعْلَى الْمُوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا عَدِي بْنُ أَبِيْ عَمَارَةِ، حَدَّثَنَا زيادًا (5) النّميري، عن أنس بن مالك قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعُ خُطَمِهِ (6) عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ (7) خَنَسَ، وَإِنْ نَسِيَ (8) اِلْتَقَمَ قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ.

Ibn Abbas menjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan dikutip juga oleh Imam Ibn Katsir dan Imam al-Thabari dalam kitab tafsir mereka, bahwa yang dimaksud al-waswas adalah setan, kemudian ia berkata: “Setan itu mendekam di kalbu anak Adam; jika ia lupa dan lalai, setan itu membisikkan godaan-godaan, dan jika ia berdzikir kepada Allâh, setan itu menahan diri”. (Mushannaf Ibn Syaibah, juz 7, halaman: 135, Tafsir Ibn Katsir, juz 4, halaman: 539, Tafsir al-Thabari, juz 30, halaman: 355).

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia adalah iblis, sang iblis tidak pernah berhenti menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Adam diciptakan dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut zikrullah. Hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi SAW melalui sabda beliau dalam riwayat Imam Ibn Hibban, Tirmidzi, dan Abu Ya‘la:

كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يَحْرَزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ

Seseorang tidak akan bisa melindungi diri-nya dari setan kecuali hanya dengan zikrullah, (Shahih Ibn Hibban, Juz 14, halaman: 125, Sunan al-Tirmidzi, Juz 5, halaman: 148, Musnad Abi Ya’la, juz 3, halaman: 140).

Persoalannya, setiap orang sudah berzikir, sudah biasa menyebut asma’ Allah SWT dan mengingat-Nya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang iblis baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengkil, dendam, ‘ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara simultan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-fakhsya’ wa al-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan zikir mereka.

Rahasia kegagalan zikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal mereka tidak melibatkan tarekat sebagai “teknik berzikir efektif”. Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan dengan tidak melibatkan tarekat (teknik/metode/cara) yang tepat, maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.

Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini. Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelepas dahaga, mencuci dan atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi (‘ilm al-tarekat) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi Raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.

Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allâh yang oleh Alquran disebut sebagai ‘ulya (tertinggi) (kalimatullahi hiyal ‘ulya)? Bagaimana dengan zikrullah yang oleh Alquran digambarkan dengan kata akbar ‘maha hebat’ (wa ladzikrullahi akbar)

Disinilah letak urgensi tarekat sebagai “teknik berzikir efektif”, yaitu agar zikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang iblis, terutama yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.

Sebagai “teknik berzikir efektif” tarekat melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah zikir itu sendiri. Yang menjadi fondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, tarekat bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket zikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.

Sumber: Alif.ID

09. Lafal Dzikir yang Paling Utama

Di dalam Alquran perintah berdzikir diungkapkan berkali-kali dan pada umumnya muncul dalam tiga redaksi, yaitu:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلاً ، (ألإنسان :٢٥

Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang, (Q.S. Al-Insan, 76:25), atau

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزاً وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيراً وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ ، (ال عمران :٤١)

Berkata Zakariya: “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari”, (Q.S. Ali Imrân, juz 3, halaman:41, atau

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ وَاذْكُرُواْ اللهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُونَ،   (الأنفال: ٤٥)

Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung, (Q.S. al-Anfâl, 8:45)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، (الجمعة:١٠)

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung, (Q.S. al-Jumu’ah, 62:10).

Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai lafadz yang ma’tsur dari beberapa Hadis Nabi SAW seperti subhanAllâh, alhamdulillah, Allâhu akbar, la ilaha illAllâhistighfar, shalawat, al-asma al-husna, membaca ayat-ayat suci Alquran, dan lain sebagainya. Hanya saja, lafal dzikir yang paling utama dan paling agung adalah al-nafy wa al-itsbat (di Indonesiakan menjadi “nafi-isbat”), yaitu ungkapan la ilaha illAllâh (tidak ada Tuhan selain Allâh).

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلهِ قَالَ شُعَيْبُ الْأَرْنَؤُوْطِ : إسناده حسن

Yang didasarkan pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa Dzikir yang paling utama adalah lâ ilâha illAllâh”, (Shahih Ibn Hibban, juz 3, halaman: 126, Sunan al-Tirmidzi, juz 5, halaman: 426 dan Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1249).

Selanjutnya Nabi SAW mengatakan:

قَالَ (مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ، ) صحيح البخاري، ج 1، ص: 59)

Allâh benar-benar mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan lâ ilâha illallâh semata-mata mengharap ridha-Nya”, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 59, juz 5, halaman: 2063).

Di samping itu, keutamaan dzikir ini dapat dipahami dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam-imam Hadis lainnya:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَقَدْ ظَنَنْتُ – يَا أَبَا هُرَيْرَةَ – أَنْ لَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ هَذَا الْحَدِيْثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيْثِ اَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إله إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ،  )صحيح البخاري ج 1، ص:  49)

Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat kelak adalah orang yang berdzikir dengan lâ ilâha illallâh secara murni dari kalbu atau jiwanya”, (Musnad Ahmad, juz 2, halaman :373, Shahîh al-Bukhari, juz 1, halaman: 49, juz 5, halaman: 2402, al-Sunan al-Kubra, juz 3, halaman: 42).

Lafal dzikir nafi isbat (lâ ilâha illAllâh), dipilih dan dilazimkan oleh ahli tarekat Naqsyabandiyah sebagai lafal dzikir yang paling pokok.

Dalam Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawuf yang terhimpun dalam Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Imam al-Ghazali menegaskan, “Penyucian jiwa yang paling efektif adalah dengan mengintensifkan dzikir tarekat al-Naqsyabandiyah, yaitu dzikir dengan ismu dzat dan nafi isbat”, (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179).

Unsur-unsur pokok lainnya yang menjadi syarat dan rukun dalam tarekat baik sebagai “teknik berdzikir efektif” maupun sebagai “cara pengamalan syariah” dan “jalan menuju ma’rifah” adalah: mursyid (guru), wasilah (alat), rabithah (proses), dan mujahadah (suluk/iktikaf) semuanya disajikan dalam buku ini.

Dzikir itu Wajib Bukan Sunnah

Pandangan umum yang dikenal orang selama ini mengenai hukum berdzikir adalah bahwa berdzikir itu sunnah. Pandangan ini tampaknya perlu digarisbawahi dan dikaji ulang. Dimaklumi bahwa sunnah berimplikasi “jika dikerjakan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak apa-apa”, sedangkan wajib memiliki implikasi “apabila dikerjakan memproleh pahala dan kalau ditinggalkan ada sanksi, dosa atau siksa.”

Kalau berdzikir itu sunnah, maka konsekuensinya adalah bahwa orang yang tidak melakukan dzikir tidak dikenai sanksi apa pun, padahal Allâh berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾

Barangsiapa tidak mau berdzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta, (Q.S. Thaha, 20: 124).

لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧﴾

Barangsiapa berpaling (tidak mau) berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia memasukkannya ke dalam siksa yang pedih, (Q.S. al-Jinn, 72:17).

Dengan menyimak ketiga firman tersebut tidak diragukan lagi bahwa hukum berdzikir itu wajib, bukan sunnah.

Oleh karena itu pula, setelah turun firman Allâh,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (191), (Q.S. Ali Imrân, 3:190-191).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ يُصَلِّيْ فَأَتَاهُ بِلَالُ يُؤَذِّنُهُ بِالصَّلَاةِ فَرَآهُ يَبْكِيْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَبْكِيْ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ! فقال: يَا بِلَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا وَلَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيَّ اللَيْلَةَ آيَةً { إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب } ثم قال: وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيْهَا) تفسير القرطبي ج 4،ص 300)

Nabi SAW melakukan shalat sambil terus menerus menangis, dan ketika ditanya mengapa, beliau bersabda, “Telah turun kepada ayat inna fi khalqis samawati..(sesungguhnya dalam penciptaan langit …dst.); maka celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkan isinya, (Shahih Ibn Hibban, juz 2, halaman: 386, Tafsir al-Qurthubi, juz 4, halaman: 300, Tafsir Ibn Katsir, juz , halaman: 441).

Sumber: Alif.ID

10. Unsur-unsur Tarekat, Mursyid

Kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan isim fa’il (Inggris: present participle) dari kata kerja arsyada-yursyidu yang berarti membimbing, menunjuki (jalan yang lurus). Dari kata itu terbentuk kata rasyad (hal memperoleh petunjuk/kebenaran) atau rusyd dan rasyada (hal mengikuti jalan yang benar/lurus). (Lisan al-Arab, juz 3, halaman: 175-176).

Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tasawuf/tarekat mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.

Dalam Alquran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyifati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللهِ مَن يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيّاً مُّرْشِداً ﴿١٧﴾

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allâh, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapati memiliki wali mursyid (pemimpin yang mampu memberi petunjuk), (Q.S. al-Kahfi, 18:17)

Kata wali (Awliya’) sendiri menunjukan kepada beberapa makna, antara lain al-nashir (penolong), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 406), al-mawla fi al-din (pemimpin spiritual), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 408), al-shadiq (teman karib) dan al-tabi al-muhibb (pengikut yang mencintai), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 411). Semua makna ini berserikat dan secara simultan menjelaskan makna wali dalam ayat di atas, yaitu “orang yang mencintai dan dicintai Allâh sehingga layak menjadi pemimipin spritual yang harus diikuti”.

Pengertian wali semacam ini digambarkan dalam sebuah Hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan beberapa imam Hadis lainnya dengan redaksi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: قَالَ اللهُ – عَزَّ وَجَلَّ – : مَنْ آَذَى لِي وَلِيًّا فَقَدِ اسْتَحَقَّ مُحَارَبَتِي ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِمِثْلِ أَدَاءِ فَرَائِضِي ، وَإِنَّهُ لَيَتْقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ رِجْلَهُ الَّتِي بِهَا يَمْشِي ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا ، وَلِسَانَهُ الَّذِي يَنْطِقُ بِهِ ، وَقَلْبَهُ الَّذِي يَعْقِلُ بِهِ ، إِنْ سَأَلَنِي أَعْطَيْتُهُ ، وَإِنْ دَعَانِي أَجَبْتُهُ) مسند أبي يعلى، ج 12، ص: 520(

Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai berupa ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku pasti dengannya ia mendengar, (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan, (Akulah) lisannya yang dengannya ia mengucapkan, dan (Akulah) hatinya yang dengannya ia berangan-angan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, (Musnad Abi Ya’la, juz 12, halaman: 520).

Menurut berbagai riwayat yang shahih, wali-wali Allâh adalah hamba-hamba Allâh yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allâh” sebagaimana halnya Nabi SAW yang oleh ‘Aisyah dengan “selalu berdzikir kepada Allâh dalam setiap detik yang beliau miliki” (kana yadzkurullaha fi kulli ahyanihi, (Musnad Abi Ya’la, juz 8, halaman: 355). Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيْحَ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ، (المعجم الكبير ، ج10، ص: 205)

Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullah; apabila mereka dilihat orang maka (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allâh, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205).

Maksud “kunci-kunci dzikrullah” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allâh SWT sesuai dengan Hadis dalam riwayat Ibn Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allâh itu? Beliau menjawab:

قال رجل: يَارَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ). مسند البزار ،ج 2، ص: 187)

Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu berdzikir kepada Allâh karena melihat mereka, (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, juz 7, halaman: 79, Musnad al-Bazar, juz 2, halaman: 187).

Imam al-Suyuthi mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kaum Hawariyyun bertanya kepada Nabi Isa As., “Siapa wali-wali Allâh yang tidak ada Rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih?” Nabi Isa menjawab:“Orang-orang yang memandang hakikat dunia sementara manusia memandang permukaannya, dan orang-orang yang memandang dunia yang abadi (akhirat) sementara manusia memandang dunia yang fana” (Tafsir al-Durr al-Mantsur, juz 4, halaman: 370).

Dalam sebuah Hadis sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ( إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عُبَّادًا لَيْسُوْا بِأَنْبِيَاءٍ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ قِيْلَ: مَنْ هُمْ لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ ؟ قَالَ: هُمْ قَوْمٌ تَحَابُوْا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلَا انْتِسَابٍ وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ لَا يَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلَا يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزَنَ النَّاسُ ثُمَّ قَرَأَ: { أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (صحيح ابن حبان ج 2،ص: 332)

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada’ tetapi pada hari kiamat para Nabi dan syuhada’ menginginkan seperti mereka karena kedudukan mereka di sisi Allâh ‘azza wa jalla.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan apa amal-amal mereka? Boleh jadi kami akan mencintai mereka.” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allâh tidak atas dasar hubungan darah antara mereka dan tidak pula atas dasar harta yang saling mereka berikan. Demi Allâh, wajah mereka adalah nur (Allâh) dan mereka berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari nur; mereka tidak takut ketika orang lain takut”. Kemudian Rasulullah membacakan ayat


أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allâh tidak ada Rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih, (Q.S. Yunus, 10:62).

Hadis tersebut dikutip oleh Imam al-Jauzi dari jalur ‘Umar bin al-Khattab RA. dalam Zad al-Masir-nya, (Zad al-Masir, juz 4, halaman: 43-44), dan dikutip juga oleh Imam Ibn Hibban dalam Shahih-nya (Shahih Ibn Hibban, juz 2, halaman: 332), dan oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman: 134), dari jalur Abu Hurairah.

Tugas mursyid

  1. Mursyid sebagai Pemandu Jalan

Mursyid dalam tarekat adalah seorang wali yang layak diikuti sebagai imam dalam perjalanan menuju Tuhan. Ia adalah wali Allâh Swt yang ciri khasnya sebagaimana disebutkan di atas. Jalan menuju Tuhan bukan jalan yang mulus melainkan jalan yang berliku-liku dan penuh dengan rintangan-rintangan berupa ranjau-ranjau iblis sehingga diperlukan pemandu yang arif untuk bisa selamat dari semua rintangan itu. Seorang salik, orang yang menempuh perjalanan (menuju Tuhan) atau yang biasa disebut dengan murid, yang telah membulatkan kehendaknya untuk menempuh perjalanan (menuju Tuhan) tidak boleh tidak harus didampingi mursyid sebagai pemandu jalan yang menuntun dan sekaligus memperingatkannya apabila ada bahaya yang mengancam. Keberadaan seorang mursyid dengan fungsi ini sangat mutlak.

Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari, kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi yang dikutip oleh Annemarie Schimmel (Dimensi Mistik dalam Islam, halaman:106), untuk menggambarkan betapa sulitnya perjalanan itu dan betapa pentingnya keberadaan seorang pemandu (mursyid).

Di antara syarat tarekat mu’tabarah adalah tarekat tersebut bersambung sampai Rasulullah dan diakui keberadaannya. Hal ini disebabkan karena jika seorang yang sanadnya terputus, atau tidak diberi izin untuk membaiat para murid tarekat, maka bagi seorang salik tidak boleh untuk mengambil sanad atau mempelajari tarekat dari guru tersebut. Bahkan, lebih berbahaya lagi jika seorang salik belajar tarekat hanya melalui bacaan atau buku-buku tanpa melalui baiat dan bimbingan seorang mursyid yang telah memiliki wewenang untuk mengajarkan tarekat tersebut. Karena jika sudah demikian, maka yang menjadi pembimbingnya adalah setan.

Syaikh Amîn al-Qurdhi mengatakan, “Wajib bagi orang yang menempuh thâriqah yang sempurna perjalanannya kepada Allâh dan suluknya atas kuasa seorang mursyid yang sampai pada maqam-maqam yang luhur itu, yang bersambung sampai Rasulullah SAW, juga mendapatkan izin (wewenang) dari gurunya untuk memberi arahan dan petunjuk kepada Allâh, bukan didasarkan pada ketidaktahuan atau berdasarkan nafsu. Oleh karena itu, guru yang arif yang telah sampai (pada maqam-maqam itu) menjadi perantara bagi murid menuju Allâh, yang menjadi pintu bagi murid untuk masuk menuju Allâh. Barangsiapa tidak mempunyai guru yang menunjukkannya, maka yang menjadi penunjuknya adalah setan.” (Tanwîr al-Qulûb, halaman:524-525)

Posisi mursyid atau syaikh sufi menurut Ibn Taimiyah tidak ubahnya seperti imam dalam shalat dan pemandu haji (dalil-al-hajj); imam shalat diikuti oleh makmum, mereka shalat sesuai dengan shalatnya imam (yushalluna bi shalatihi), sedangkan pemandu haji menunjukan kepada jamaah jalan menuju baitullah (yadullu al-wafd ala thariq al-bait), (Minhaj Sunnah al-Nabawiyyah, juz 8, halaman: 38).

Dalam peristiwa Isra dan Miraj (perjalanan Nabi menuju Tuhan), Nabi SAW dipandu oleh Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, imam atau guide, yaitu pemandu jalan yang menuntun dan membimbing beliau hingga sampai di hadirat Allâh ‘azza wa jalla.

فقال: مَا هَذِهِ يَا جِبْرَائِيْلُ؟ قَالَ: سِرْ يَا مُحَمَّدْ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، فَإِذَا شَيْءٌ يَدْعُوْهُ مُتَنَحِّيًا عَنِ الطَّرِيْقِ يَقُوْلُ: هَلُمَّ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ جِبْرَائِيْلُ: سِرْ يَا مُحَمَّدُ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، قَالَ: ثُمَّ لَقِيَهُ خَلْقٌ مِنَ الْخَلَائِقَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا آخِرُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا حَاشِرُ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: اُرْدُدْ السَّلَامَ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ: فَرَدُّ السَّلَامَ، ثُمَّ لَقِيَهُ الثَّانِيْ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَقَالَةِ الْأَوَّلِيْنَ (1) حَتَّى انْتَهَى إِلَى بَيْتِ الْمُقَدَّسِ، فَعُرِضَ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَاللَّبَنُ وَالْخَمْرُ، فَتَنَاوَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّبَنَ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَصَبْتُ يَا مُحَمَّد الْفِطْرَةَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْمَاءَ لَغَرَقْتَ وَغَرَقَتْ أُمَّتُكَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْخَمْرَ لَغَوَيْتَ وَغَوَتْ أُمَّتُكَ، ثُمَّ بُعِثَ لَهُ آدَمُ فَمَنْ دُوْنَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَأَمَّهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ. ثُمَّ قَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَمَّا الْعَجُوْزُ الَّتِيْ رَأَيْتَ عَلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ، فَلَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ عَمْرِ تِلْكَ الْعَجُوْزِ، وَأَمَّا الَّذِيْ أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، فَذَاكَ عَدُوُّ اللهِ إِبْلِيْسُ، أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ سَلَّمُوْا عَلَيْكَ، فَذَاكَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى، (تفسير الطبري ج 17، ص: 336)

Dalam Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa dalam Mi’raj itu, Nabi SAW bertemu dengan seorang tua renta di sisi jalan, dan ketika beliau bertanya siapa orang itu, Jibril As. berkata, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beliau juga mendengar sebuah suara yang menyeru beliau agar menyingkir dari jalan, “Halumma ya muhammad (ke sinilah Muhammad)!, sebelum Nabi SAW sempat menoleh Jibril sudah langsung memperingatkan, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beberapa saat kemudian Jibril memberikan penjelasan. Orang tua yang engkau lihat di sisi jalan tadi menunjukan bahwa tidak tersisa dari dunia ini kecuali sekadar sisi umur orang tua itu, sedangkan suara yang hendak memalingkanmu adalah Iblis (Tafsir al-Thabari, juz 17, halaman:336, Tafsir Ibn Katsir, juz 3, halaman:6, Al-AHadis al-Mukhtarah, juz 6, halaman:258).

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW memang menjadi rujukan utama para sufi, terutama yang berkenaan dengan unsur Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, sang pemandu.

Keberadaan unsur Jibril AS. sangat mutlak sedemikian rupa sehingga andai kata unsur ini tidak ada, maka Nabi SAW akan terperangkap oleh jebakan iblis. Lalu bagaimana dengan umat beliau? Apakah mereka juga memerlukan unsur Jibril ini? Jawabannya pasti: ya, tidak boleh tidak. Posisi dan fungsi unsur Jibril As. ini justru diduduki dan dilaksanakan oleh Nabi sendiri.

Urgensi unsur Jibril sangat jelas terutama mengingat pernyataan Nabi SAW bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang mukmin, (Syarh Sunan Ibn Majjah, halaman: 313). Artinya, orang-orang mukmin juga dimungkinkan mengalami mi’raj dengan izin dan kehendak Tuhan. Sebagai saRAna mi’raj, dalam shalat seorang mukmin harus melibatkan unsur Jibril, kalau tidak, maka shalatnya akan didominasi oleh unsur setan, sehingga shalat itu menjadi shalat yang tanpa makna, gersang, dan jauh dari nilai-nilai khusyuk, yang pada gilirannya tidak dapat berfungsi sebagai tanha an al-fahsya wa al-munkar mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, (Q.S. al-Ankabut, 29:45).

Shalat semacam ini kata Nabi SAW dalam riwayat al-Thabrani dengan perawi-perawi sahih (Majma al-Zawaid, juz 2: 258), adalah shalat yang hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allâh SWT (man lam tanhahu shalatuhu an al-fahsya wa al-munkar lam yazdad minAllâhi illa budan), (al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, halaman: 54). Berbagai kasus dalam kehidupan orang-orang mukmin menjadi bukti tak terbantah atas pernyataan ini.

Mi’raj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia SWT dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Dalam sejarah Nabi SAW dikenal dua jenis mi’raj: Khusus dan umum. Mi’raj khusus dialami Nabi SAW pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu. Sedangkan mi’raj umum dialami Nabi SAW pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allâh dengan diangkat sebagai Rasul.Dalam wacana sufi mi’raj umum lebih sering disebut dengan istilah muraqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat surga dan neraka dengan mata kepala (muraqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.

Dalam kitab Shahih-nya Imam Muslim memuat bab yang menyinggung soal muraqabah; di dalamnya diriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Hanzhalah al-Usayyidi, salah seorang sekretaris Rasulullah SAW, ia berkata bahwa ketika Nabi bercerita tentang surga dan neraka, ia dan Abu Bakar al-Shiddiq RA. merasa melihat surga dan Neraka itu dengan mata kepala mereka, tetapi masing-masing dari mereka banyak yang lupa apa yang mereka lihat, lalu mereka memutuskan untuk menghadap Nabi SAW dan menanyakan hal itu. Dialog antara Hanzhalah dan Nabi dapat disimak dari kutipan berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بِنْ يَحْيَى اَلتَّيْمِي وقطن بن نسير واللفظ ليحيى أخبرنا جعفر بن سليمان عن سعيد بن إياس الجريري عن أبي عثمان النهدي عن حنظلة الأسيدي قال وكان من كتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال * لَقِيَنِي أَبُو بَكْر، فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، مَا تَقُولُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بَكْر: فَوَاللهِ، إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْر، حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يَا رَسُولَ اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: وَمَا ذَاكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ ، نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ، عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً، وَسَاعَةً، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. (صحيح مسلم- عبد الباقى، ج 4، ص: 1100)

Aku (Hanzhalah) berkata, Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah. Rasulullah SAW bertanya, Ada apa? Aku (Hanzhalah) berkata, Wahai Rasulullah, kami pernah berada di hadapanmu mendengarkan engkau bercerita kepada kami tentang surga dan neraka sehingga kami seolah-olah melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala. Setelah kami pulang dari hadapanmu, serta bertemu dan bermain-main dengan anak-istri kami dan pergi keperkarangan kami, kami banyak lupa tentang hal itu.

Rasulullah SAW bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian berkekalan dengan apa yang kalian lihat dihadapanku dan berkekalan dalam dzikir, niscaya para malaikat menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan dijalan-jalan (tarekat-tarekat) kalian. Sayangnya, wahai Hanzhalah, (muraqabah itu) hanya sesaat dan sesaat (ini diucapkan tiga kali oleh beliau), (Shahîh Muslîm-‘Abd al-Bâq, juz 4, halaman:1100, Musnad Ahmad, juz 4, halaman:346, Sunan al-Tirmidzi, juz 4, halaman:666).

Dalam kasus tersebut para sahabat telah mengalami muraqabah dan sekaligus mi’raj, karena m’iraj pada dasarnya dapat dipahami sebagai naik dan melintasi alam fisik, keluar dari dimensi ruang dan waktu, serta memasuki dan menyaksikan alam metafisik ketuhanan. Pengalaman mi’raj para sahabat tersebut terjadi berkat bimbingan Rasul SAW sebagai pemandu, sebagaimana Rasul sendiri mengalami mi’raj berkat bimbingan Jibril AS. dengan izin Allâh SWT. Dengan kata lain, mereka dibawa mi’raj oleh Nabi SAW sebagaimana Nabi dibawa mi’raj oleh Jibril AS. dengan izin Allâh. (Lalu, bagaimana dengan orang-orang mukmin lain yang tidak bertemu dengan Nabi? Siapa yang akan membawa mereka mi’raj?).

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman itu adalah bahwa yang bersangkutan pasti menyadari secara haqqul yaqin bahwa ungkapan Alquran inna lillahi wa inna ilaihi RAjiun (kami milik Allâh dan kepada-Nya kami pulang)

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ، (البقرة: ١٥٢)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku, (Q.S. al-Baqarah, 2:152).

Ini adalah benar (haqq), dan bahwa mereka ketika hidup di dunia pada hakikatnya sedang berada dalam perjalanan pulang menuju Tuhan, sebuah perjalanan yang sangat sulit dan berliku-liku.

Dengan adanya seorang pemandu, perjalanan itu akan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar sehingga tepat sekali ungkapan Rumi yang dikutip sebelumnya, Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari.

Sumber: Alif.ID

11. Mursyid Sebagai Khalifah Rasul

Ngaji bersambung kitab Sabilus Salikin sudah sampai bagian ke-11. Pada edisi lalu, dibicarakan tentang mursyid sebagai satu dari sejumlah unsur tarekat, serta tugas mursyid sebagai pemandu jalan. Tugas mursyid yang lain adalah sebagai khalifah rasul. Menjadi mursyid tentulah tidak mudah dan ada kualifikasinya, yang juga dijabarkan di edisi ke-11 ini.

Imam-imam Hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang di dalamnya antara lain Nabi SAW bersabda:

… عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ….

Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-RAsyidin yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geRAham kalian, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 18, Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 10, halaman:114).

Dalam Hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi SAW disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-Rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi SAW sendiri. Tidak mungkin Nabi SAW memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syaRA.

Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-Khulaf al-Rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-Khulafa al-Rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara atau pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA., Umar bin al-Khattab RA., Utsman Ibn Affan RA., dan Ali bin Abi Thalib RA.

Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz RA. diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-Khulafa al-Rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-Khulafa al-Rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, pengertian al-Khulafa al-Rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi SAW tidak sekedar sebagai kepala negara atau pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.

Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh Alquran digambarkan memiliki tugas-tugas:

  1. Membacakan kepada umat ayat-ayat Allâh SWT
  2. Menyucikan kalbu mereka.
  3. Mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾

Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Ali Imrân: 164).

Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi SAW sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiyah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-Khulafa al-Rasyidin pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW diposisikan sebagai waratsah al-Anbiyâ’ (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan al-Ilm (ilmu) :

وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ، (صحيح ابن حبان، ج 1، ص: 289)

Allah Berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar, (Fathir, 35:32).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (al-Nahl, 16:43).

وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَن فِي الْقُبُورِ ﴿٧

Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui, (al-Anbiya, 21:7).

Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi SAW juga tidak meminta upah atas dakwah beliau

وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٤﴾

Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam, (Yusuf, 12: 104).

Dan Allâh SWT memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka.

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٢١﴾

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, (Yâsin, 36:21).

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا ﴿٥٧﴾

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (menghaRApkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya, (al-Furqân 25:57).

Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allâh, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.

Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib RA. ketika berkata kepada Kuhail ibn Ziyad, Demi Allâh SWT, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allâh SWT agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allâh SWT.

Bahwa al-Khulafa al-Rasyidin yang dimaksud oleh Nabi SAW lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar bin al-Khattab RA. dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi SAW agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni RA., seorang laki-laki dalam Hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai Khayr al-Tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;

عن عمر رضي الله عنه، قَالَ: إنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُوْلُ: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ، فَمُرُوهُ، فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 240، تذكرة الأولياء، ص: 49)

Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allâh SWT untuk kalian, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 240, TadzkiRAt al-Auliyâ’, halaman: 49).

Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni RA. inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA., disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمَنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ

Aku mencium nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman, (Syaikh Ismail haqqi bin Musthofa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18)

Nafas al-Rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allâh SWT yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allâh SWT di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah SAW (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman:113).

Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni RA. dan Nabi SAW meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Sifat dan Syarat (kualifikasi) Mursyid

Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullâh SAW dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama’ dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama’ itu sendiri, yaitu takut kepada Allâh SWT sebagaimana diisyaratkan Alquran:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ﴿٢٨﴾

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allâh Maha perkasa lagi Maha Pengampun, (Fathir, 35:28).

Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama’ semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama’ su’ (jahat) : Di antara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama’ dunia dan ulama’ akhirat. Yang dimaksud dengan ulama’ dunia di sini adalah ulama’ su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 58).

Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:

Mursyid adalah orang yang:

  1. Dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan.
  2. Format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi SAW
  3. Mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa.
  4. Memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi SAW
  5. Terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya.
  6. Suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, beRAngan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya.
  7. Bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem.
  8. Kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah SAW sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (Ilm al-Mukallafin), (Khulashah al-Tashanif al-Tasawuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 173).

Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-MukarRAm Saidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:

  1. Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allâh SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allâh SWT, karena Allâh SWT
  2. Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allâh SWT, karena Allâh SWT
  3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allâh SWT, biidznillâh.
  4. Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
  5. Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh Hadis dan Alquran dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan Hadis, Alquran dan akal).
  6. Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allâh. Ia ada giat bergeloRA dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allâh SWT dalam hidupnya.
  7. Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allâh dan Rasul dengan silsilah yang nyata, (Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, halaman: 173).

Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allâh SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi bagi orang yang berdzikir itu tidak bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, dan juga tidak bisa menghasilkan inti dari dzikir kecuali berguru kepada seseorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna dan yang memahami makna Alquran dan kitab-kitab agama, serta memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushul. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.

Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Memahami apa yang dibutuhkan oleh para sâlik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan sâlik ketika mengawali suluknya sehingga sâlik tidak bertanya kepada selain mursyid.
  2. Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata kRAma hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
  3. Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid sâlikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
  4. Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
  5. Menjaga diri dari harta sâlik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
  6. Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya
  7. Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
  8. Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, guRAuan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
  9. Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
  10. Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
  11. Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
  12. Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwâl-nya yang baik.
  13. Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukâsyafah atau musyâhadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan derajat diri murid sendiri.
  14. Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melarang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
  15. Membuat tempat khalwat untuk digunakan sâlik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Dan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
  16. Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Dan hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
  17. Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
  18. Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
  19. Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذي

Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya.

Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).

  1. Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
  2. Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
  3. Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
  4. Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muRAm. Dan ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Dan ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
  5. Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendo’akannya.

Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).

Sumber: Alif.ID

12. Wasilah

Urgensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah. Allâh SWT memerintahkan agar orang-orang mukmin mencarinya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan carilah wasilah (yang menyampaikanmu) kepada Allâh, serta berjuanglah di jalan-Nya, agar kamu menang, (al-Maidah, 5:35).

Dari uraian-uraian berikut akan dipahami bahwa mursyid adalah pembawa wasilah sebagaimana Jibril adalah pembawa Buraq yang oleh Imam Zubaidi disebut sebagai kendaraan para nabi, (Syarh al-Nawawi Shahih Muslim, juz 2, halaman: 210).

Pengertian Wasilah

Wasilah artinya alat atau menurut definisi al-Razi dan Louis Ma’luf yaitu alat yang dipergunakan untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain, (Mukhtar al-Shihah, juz 1, halaman: 300, al-Munjid fial-Lughah, halaman: 900). Menurut Abd. Rauf, wasilah adalah alat yang memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau dengan kata lain yang memungkinkan tercapainya suatu tujuan, (al-Ta’arif, halaman: 726).

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah lepas dari yang dimanakan wasilah dengan berbagai bentuknya. Seseorang tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang tinggal di luar negri, misalnya, tanpa menggunakan wasilah yang disebut telepon.

Hubungan melalui telepon semacam ini adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon bukan perantara, melainkan alat yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dua orang yang saling berjauhan. Perantara sangat berbeda dengan alat (wasilah). Dalam bahasa Arab, perantara biasa disebut dengan wasithah; bukan wasilah. Uang dan kendaraan adalah contoh lain dari wasilah yang sangat dibutuhkan untuk mempermudah tercapainya tujuan.

Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, yang dimaksud wasilah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan diri kita. Dengan pengertian semacam ini, maka sudah barang tentu alat tersebut sudah harus bisa sampai terlebih dahulu kepada Allâh, padahal tidak ada sesuatu yang dapat sampai kepada Allâh kecuali yang berasal dari Allâh itu sendiri. Satu-satunya yang dapat sampai kepada Allâh hanyalah cahaya (Nur) Allâh sendiri, sebagaimana tidak ada yang dapat sampai kepada matahari kecuali cahaya matahari itu sendiri.

Dengan demikian, wasilah yang dimaksud dalam ayat 35 Surah al-Maidah pasti bukan amal saleh, bukan pula keimanan dan ketaatan sebagaimana yang dipahami orang selama ini, melainkan cahaya (Nur) Allâh.
Perintah Tuhan dalam ayat 35 Surat al-Maidah tersebut adalah perintah mencari wasilah, bukan perintah mencari amal saleh, keimanan, dan ketaatan.

Mengenai tiga perkara ini perintah Tuhan yang muncul adalah mengerjakan, sehingga redaksi yang digunakan Tuhan dalam al-Qur’an bukan ibtaghu, melainkan i`malu kerjakanlah, aminu berimanlah, dan athi`u taatlah atau kata-kata lain yang menjadi derivasinya. Jadi, kata ibtaghu carilah dalam ungkapan ibtaghu al-Wasilata menjadi kata kunci dalam memahami perintah ini.

Dalam peristiwa spektakuler Isra-Miraj, selain unsur Jibril dan Muhammad, terdapat satu unsur lagi yang terlibat, yaitu Buraq, kendaraan para nabi. Dikatakan kendaraan ini disebut buraq karena warnanya yang maha putih, cahayanya yang mahaterang, kecepatannya yang mahatinggi, dan segala sesuatu yang melekat pada buraq mirip dengan kilat semuanya di luar persepsi manusia. Kata buraq memang terambil dari barq kilat, (Lisan al-Arab, juz 10, halaman: 15). Dalam riwayat yang berasal dari Anas bin Malik Ra. disebutkan bahwa buraq itu lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal (peranakan kuda jantan dan keledai betina), (Shahih al-Bukhari, juz 2, halaman: 1173, Shahih Muslim, juz 1, halaman: 145, 150).

Bahasa yang digunakan oleh Rasulullâh Saw. dalam menggambarkan karakteristik buraq sebagai kuda terbang adalah bahasa kias (majaz). Hal itu tampaknya memang disengaja oleh Nabi Saw. agar bisa dipahami oleh akal umat sesuai dengan tingkat peradaban dan pengetahuan mereka ketika itu; dan bahasa semacam ini sangat sering digunakan oleh Beliau Saw. dalam al-Hadits dan bahkan juga oleh Allâh Swt. dalam al-Qur’an. Dan Allâh Swt. tidak mengutus seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa yang dipahami kaumnya agar ia bisa memberikan penjelasan yang terang.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٤﴾
Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia memberikan penjelasan yang terang, (QS. Ibrahim, 14:4).

Benda tercepat yang dipahami bangsa Arab ketika itu adalah kuda untuk binatang darat dan burung untuk binatang udara, sehingga sangat wajar apabila Nabi Saw. menggambarkan buraq sebagai binatang serupa kuda atau keledai yang bisa terbang sebagai perpaduan antara kecepatan kuda dan burung.

Sejalan dengan perjalanan sang waktu, peradaban dan pengetahuan manusia berkembang dengan pesat. Dari penelitian-penelitian para ilmuwan berhasil diketahui bahwa benda yang memiliki kecepatan paling tinggi bukan lagi kuda atau burung; kecepatan itu dimiliki oleh cahaya. Dari buku-buku fisika diketahui bahwa kecepatan cahaya adalah 300.00 km/detik.

Andaikata Rasulullâh Saw. hidup dan mengalami Isra-Mi’raj pada abad ini, abad teknologi yang dengan berbagai jenis kendaraan super canggih, maka dapat dipastikan bahwa buraq yang dikendarai beliau dalam peristiwa spektakuler itu tidak akan digambarkan sebagai kuda terbang yang lebih cepat dari kuda atau burung, melainkan sebagai benda yang jauh lebih cepat daripada cahaya fisik, yang tiada lain adalah cahaya Allâh Swt. sendiri, cahaya metafisika Ketuhanan, yang hakikatnya hanya diketahui oleh Sang Pemilik.

Jadi, buraq adalah cahaya (Nûr) Tuhan, dan cahaya (Nûr) inilah yang disebut wasilah. Sebagaimana unsur Jibril, keberadaan unsur buraq mutlak diperlukan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan.

Sumber: Alif.ID

13. Qalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Di dalam Alquran, Allâh SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nûr)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:

اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣٥﴾

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (an-Nûr, 24:35).

Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir RA. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri al-Muhammad, Nur Muhammad, (Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 259). Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan: “Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allâh SWT untuk Nabi-Nya SAW al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah Qalbu (rohani)-nya, sedangkan al-Mishbah adalah nubuwat”, (Tafsir al-Bughawi, juz 3, halaman: 346).

Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar RA. yang dikeluarkan oleh Imam al-ThabRAni, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir: “al-misykah adalah rongga dada (jasmani) Muhammad SAW, al-zujajah Qalbu (rohani)-nya sedangkan al-Mishbah adalah nur yang ada di dalam Qalbunya”, (Majma al-Zawaid, juz 7, halaman:83, al-Mu’jam al-Awsath, juz 2, halaman: 235, al-Mu’jam al-Kabir, juz 12, halaman: 317, Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 263, Fath al-Qadir, juz 4, halaman: 36).

Cahaya (nur) yang ada dalam kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk di dalamnya Alquran yang juga disebut dengan cahaya (nur) yang diturunkan ke dalam qalbunya

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُوراً مُّبِيناً ﴿١٧٤﴾

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Alquran), (al-Nisâ’, 4: 174)

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٩٧﴾

Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Alquran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembiRA bagi orang-orang yang beriman, (al-Baqarah, 2:97).

Nur Muhammad tersebut merupakan cahaya Allâh ada di bumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada di sisi Allâh sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:

“Cahaya (Allâh) di atas cahaya (Muhammad); Allâh menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”

Maksudnya adalah bahwa cahaya Allâh berhubungan langsung dengan cahaya Muhammad, karena pada hakikatnya cahaya Allâh dan cahaya Muhammad adalah satu, dan ditempat lain digambarkan sebagai tali Allâh SWT yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini Allâh SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٠٣﴾

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah meneRangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk, (Ali Imrân, 3: 103).

Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan di sini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nûr) Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, di samping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:

أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّن رَّبِّهِ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ﴿٢٢﴾

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata, (al-Zumar, 39:22).

Imam al-Qurthubi mengutip sebuah Hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang? Rasulullâh SAW menjawab: Jika cahaya (Nur) itu masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullâh SAW menjawab: Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya, (Tafsir al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam Alquran), juz 15, halaman: 247).

Dari informasi di atas semakin jelas bahwa cahaya (Nur) Allâh SWT bersemayam di dalam kalbu orang yang dikehendaki lapang dadanya oleh Allâh SWT, dan karena kondisi orang semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allâh Swt, maka berarti bahwa orang yang didalam kalbunya terdapat cahaya (Nur) Allâh Swt tiada lain adalah ahli dzikir. Ia adalah orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allâh SWT.

Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allâh SWT yang oleh beliau disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allâh yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah al-anbiya ahli waris para Nabi, yang kepada mereka Allâh SWT mewariskan Alquran, sehingga di kalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.

Mencari dan melihat mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allâh SWT kepada orang-orang yang beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allâh serta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabitah (Merabit).

Unsur lain yang juga sangat fundamental dalam tarekat sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabitah al-mursyid (merabit mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadîr-nya: “Cara memperoleh akhlak yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid yang sempurna”, (Faydh al-Qadîr, juz 3, halaman: 467).

Bersahabat dengan mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang benar, dan membangkitkan gelora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama iblis.

Dalam setiap kalbu terdapat apa yang disebut hazhzh al-Syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang diambil Jibril dari qalbu Nabi Muhammad SAW. pada saat Beliau SAW berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang kebeRangkatan beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 147, Shahih Ibn Hibban, juz 14, halaman: 242, al-Mustadrak, juz 2, halaman: 575, Musnad Ahmad, juz 3, halaman: 149, 288, Musnad Abi Ya’la, juz 6, halaman: 108, 224, Musnad Abi Awanah, juz 1, halaman: 113, 125).

Sumber: Alif.ID

14. Rabitah (Merabit)

Dari segi bahasa makna rabitah adalah hubungan atau ikatan; terambil dari kata rabth yang berarti mengikat atau menghubungkan, (al-Munawir Qamus ‘Arabi-Indunisia, halaman: 501). Ungkapan rabitah al-mursyid, dengan demikian, menunjukan kepada makna menghubungkan diri dengan mursyid atau merabit dengan mursyid.

Pada hakikatnya perintah rabitah itu mengikuti dan mempunyai landasan dari ayat Alquran, Hadis dan pendapatnya para ulama’, Di dalam Alquran perintah melakukan rabitah diungkapkan melalui firman Allâh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung, (Ali `Imrân, 3: 200).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, (al-Maidah: 35)

Sedangkan dari Hadis sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih al-Bukhari:

أَنَّ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ  الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ شَكَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمَ انْفِكَاكِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ حَتَّى فِى الْخَلَاءِ، أَيْ بِحَسْبِ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَجْهَهُ يَأْخُذُهُ الْحَيَاءَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (البهجة السنية، ص: 71)

Sesungguhnya sayyidina abu bakar as-Shiddiq RA. mengeluh kepada nabi Muhammad SAW. Tidak dapat berpisah dengan nabi hingga di dalam tempat mandi sekalipun (secara ruhani atau terbayang-bayang), sehingga Abu Bakar RA. merasa malu terhadap nabi SAW, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 71).

وعن أَبي موسى الأشعري رضي الله عنه: أن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (( المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 237)

Kata rabithu dalam ayat tersebut menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab-nya bermakna hafizhu atau lazimu berkekalan atau terus-menerus, yaitu al-Muwazhabah ‘ala al-Amr berkekalan atau terus-menerus melakukan sesuatu. Asal makna rabithu (ribath atau murabathah) adalah al-Iqamah ‘ala jihad al-‘aduw (melakukan perang terhadap musuh), (Lisan al-Arab, juz 7, halaman: 303).

Pemahaman ideal mengenai maksud kata rabithu (ribrah atau murabathah) dalam firman Allâh tersebut, dengan menyimak makna-makna yang terkait dengan kata itu sendiri, muncul dalam tarekat, yaitu berkekalan atau terus-menerus menghubungkan diri secara rohani dengan mursyid dalam rangka memerangi iblis sebagai musuh manusia yang paling nyata. Tidak ada musuh yang paling layak untuk selalu diwaspadai dan diperangi kecuali iblis la’natullah yang memang berusaha terus menghancurkan manusia.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) pada dasarnya adalah berjamaah secara rohani dengan mursyid, yaitu imam-berimam dalam khafilah rohani Rasulullah SAW Menunjuk kepada pengertian inilah Imam Ja’far al-Shâdiq, tokoh sufi dari kalangan ahli bait Nabi SAW, yang dikutip oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani dalam ensiklopedia orang-orang suci–nya yang berjudul Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengatakan: “Barangsiapa menjalani hidup dengan bergabung dalam batin (rohani) Rasul, maka dialah yang disebut orang sufi, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 20).

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) menunjuk kepada makna melibatkan Rasul SAW dalam setiap munajat dan ibadah agar munajat dan ibadah itu dapat langsung mendapat sambutan dari Allâh sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allâh SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللهَ تَوَّاباً رَّحِيماً ﴿٦٤﴾

Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, (al-Nisâ’, 4: 64).

Melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dalam ibadah dapat disimak pula dari sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan imam-imam Hadis lainnya disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin kepada Nabi SAW, untuk menunaikan ibadah umrah, Nabi SAW bersabda:

فَقَالَ يَا أَخِي لَا تَنْسَنَا مِنْ دُعَائِكَ، (مسند أحمد، ج 1، ص: 326)

“Wahai saudara mudaku, serikatkan (libatkan) kami dalam doamu dan jangan lupakan kami, (Musnad Ahmad, juz 1, halaman: 326).

Dalam kasus yang berbeda, melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dapat disimak dari kisah Umar ibn Khaththab RA. yang melibatkan Paman Nabi SAW yang bernama Abbas RA. ketika ia berdo’a memohon hujan:

فَقَدْ ذَكَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَوَسَّلُوْنَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ فِي الْاِسْتِسْقَاءِ ثُمَّ تَوَسَّلَ بِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوَسَّلَهُمْ هُوَ اِسْتِسْقَاؤُهُمْ، (تحفة الأحوذي، ج 10، ص: 26)

Sayyidina umar RA. Telah menyebutkan sesungguhnya para sahabat bertawassul kepada nabi di waktu masih hidup untuk meminta hujan kepada Allah SWT kemudian para sahabat bertawassul kepada paman nabi (abbas) setelah wafat beliau, (Tuhwah al-Ahwadzi, juz 10, halaman: 26).

Artinya, Umar melibatkan ‘Abbas RA. sebagai pengganti Rasul SAW untuk mendapatkan karunia Allâh SWT berupa hujan. Dengan melibatkan ‘Abbas RA. sesungguhnya Umar RA. hendak bergabung dalam khafilah rohani Rasul SAW melalui orang yang masih hidup dan yang dicintai Rasul SAW meskipun Umar RA. sendiri memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasul SAW

Berdasarkan hal ini, maka orang-orang mukmin lainnya, apalagi yang hidup pada masa sekarang, sudah seyogianya mencari seorang hamba Allâh SWT yang karena kecintaan dan ketaatannya kepada Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW layak dicintai oleh Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW dan layak pula menduduki posisi sebagai khalifah pengganti Rasul SAW.

Teknik Melakukan Rabitah

Di dalam shalat, ketika melakukan tasyahud, kita diperintahkan mengucapkan salam kepada Nabi SAW, Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam dan Rahmat serta barakah Allâh untukmu wahai Nabi SAW). Perintah ini harus dilakukan secara lahir dan batin, secara lahir dengan mengucapkan salam itu sendiri, sedangkan secara batin adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani Rasul SAW, agar kita bisa bersama dengan Beliau SAW

Bersama dengan Rasul SAW sekaligus mengandung makna bersama dengan Allâh SWT karena Rasul SAW tidak pernah berpisah sedetik-pun dari-Nya. Kenyataan bahwa di dalam rohani Beliau SAW tersimpan Nur Allâh SWT, dan bahwa Beliau SAW sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah RA. selalu berdzikir kepada Allâh SWT

حدثنا هارون بن معروف حدثنا اسحاق الأزرق حدثنا زكريا بن أبي زائدة عن خالد بن سلمة عن البهي عن عروة : عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يذكر الله في كل احيانه، (مسند أبى يعلى، ج 8، ص: 355 )

Dalam kaitan inilah mengapa sebagian Kaum Arifin yaitu orang-orang yang sudah mengenal Allâh SWT secara tahkik berkata: “Bersamalah engkau selalu dengan Allâh, dan jika engkau belum bisa, maka bersamalah engkau selalu dengan orang yang sudah bersama dengan Allâh”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 512).

Namun begitu, karena kita tidak mengenal Rasul SAW secara jasmani, maka yang dapat kita lakukan adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani ulama yang kita kenal secara jasmani, yaitu ulama yang benar-benar berkapasitas sebagai Waratsah al-Anbiyâ’ (Ahli Waris Para Nabi), yang kepada mereka beliau mewariskan isi rohani beliau dengan izin Allâh SWT.

Hamba-hamba Allâh SWT seperti itu dalam Alquran disebut antara lain dengan al-Shadiqun, dan Allâh memerintahkan kita agar selalu bersama dengan mereka (secara jasmani dan rohani).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh SWT dan hendaklah kamu selalu bersama orang-orang yang benar, (al-Taubah, 9: 119).

Bahkan, bersama atau berjamaah secara rohani jauh lebih mungkin direalisasikan daripada berjamaah secara jasmani, sebab tidak mungkin kita dapat berjamaah dengan mereka secara jasmani dalam semua keadaan. Maka al-Shadiqun yaitu orang-orang yang benar, dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang benar dalam keimanan mereka kepada Allâh, sehingga sebutan lain yang dikemukakan Alquran untuk mereka adalah al-Muminuna Haqqan, orang-orang mukmin sejati (hak), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allâh SWT, hati mereka bergetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allâh SWT kepada mereka keimanan mereka semakin bertambah, dan hanya kepada Allâh SWT mereka bertawakal, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian harta yang dikaruniakan kepada mereka.

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٤﴾ كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾

(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka, (al-Anfâl, 8: 3-5).

Bukan orang-orang yang beriman tetapi di dalam hatinya tumbuh subur sifat-sifat nifaq (munafik) yang diantara ciri-ciri utama mereka adalah bahwa mereka tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴿١٤٢﴾

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali, (al-Nisâ’, 4: 142).

Mereka tiada lain adalah wali-wali Allâh yang oleh Nabi sebagaimana disinggung sebelumnya disebut dengan Mafatih al-Dzikr ‘kunci-kunci dzikir’, dan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kaum sufi, dan oleh Ibn Taimiyah disebut sebagai golongan yang paling baik setelah Nabi, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 11, halaman: 17). Memandang mereka melahirkan dzikir kata Nabi dalam riwayat Imam al-ThabRAni ketika menggambarkan keberadaan mereka, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205). Memandang mereka, terutama yang dilakukan secara rohani, mewujudkan apa yang dimaksud dengan Rabitah di sini.

Rabitah sebagai Penghalau Iblis

Melakukan Rabitah pada dasarnya dimaksudkan sebagai realisasi atas perintah berjamaah yang dalam nash diungkapkan dengan berbagai redaksi. Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir-nya mengutip sebuah Hadis Nabi SAW, Kalian harus berjamaah, (al-Tarikh al-Kabir, juz 8, halaman: 447). sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa Nabi SAW bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وإِيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، أَخْرَجَهُ الترمذيُّ

Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-berai, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-Rasûl juz 6, halaman: 669).

Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhutbah menyampaikan sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda: Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian, (Sunan al-Tirmidzi, juz 4, halaman: 465, al-Sunan al-KubRA, juz 5, halaman: 388).

Dalam riwayat Imam al-Baihaqi Hadis tersebut diungkapkan dengan redaksi:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظِ ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوْبَ ثَنَا عَبَّاسُ بْنِ مُحَمَّدٍ الدَّوْرِيْ ثَنَا هَارُوْنُ بْنُ مَعْرُوْفٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَثَنِيْ سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ الْعُمْيَاءِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ مَهْجَانِ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ مِنْ أَهْلِ إِيْلِيَاءِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ حَدِيْثٍ ذَكَرَهُ قَالَ: لَمَّا دَخَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ حَمِدَ اللهُ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَرَ وَأَمَرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا خَطِيْبًا كَقِيَامِيْ فِيْكُمْ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَصِلَةِ الرَّحْمِ وَصِلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ

Kalian harus berjamaah, karena tangan Allâh ada di atas jamaah dan setan bersama orang yang sendirian, (Syu’ab al-Iman, juz 7, halaman: 488).

Hadis-Hadis di atas semuanya mengisyaratkan pentingnya berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah, baik secara jasmani maupun secara rohani.

Dalam shalat kita dianjurkan berjamaah; bahkan setengah ulama menghukumi shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 451; Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, halaman: 153).

Tujuan paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.

Kalau yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani, maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal, sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu pun harus dikondisikan agar juga berjamaah, yaitu dengan melakukan rabitah (merabit mursyid).

Rabitah yang dilakukan secara berkesinambungan melahirkan berbagai fenomena positif sebagai karunia Tuhan yang jenisnya bergantung kepada kehendak-Nya, antara lain yang paling utama adalah mengalami atau merasakan kahadiran Tuhan. Apa yang dialami Nabi Yusuf As. ketika nyaris terjerumus dalam kemesuman merupakan salah satu indikasi atas kenyataan ini.

Di dalam Alquran diceritakan bahwa Yusuf sudah nyaris melakukan perbuatan mesum bersama Zulaikha andai kata ia tidak melihat dan mengalami bukti Tuhannya. Ibn Abbas RA. menjelaskan, yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam Tafsir-nya, bahwa ungkapan andai kata Yusuf tidak melihat bukti Tuhannya dalam surah Yusuf ayat ke-24 tersebut adalah andaikata ia tidak melihat bayangan bentuk wajah ayahnya, (Tafsir al-Thabari, juz 16, halaman: 34, nomor 19013). Dari penjelasan Ibn Abbas ini semakin jelas bahwa Yusuf mengalami rabitah secara otomatis dengan izin Allâh SAW

وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابُ، وَذَهَبَ لِيَحِلَّ سَرَاوِيْلَهُ، فَإِذَا هُوَ بِصُوْرَةِ يَعْقُوْبَ قَائِمًا فِي الْبَيْتِ، (تفسير الطبري، ج 16، ص: 34، رقم 19013)

Dalam hal berdzikir kepada Allâh khususnya, melakukan rabitah merupakan keharusan, karena jalan yang ditempuh dalam berdzikir adalah jalan rohani yang sangat halus dan penuh dengan ranjau-ranjau iblis yang selalu berusaha memalingkannya dari jalan Allâh untuk kemudian menjerumuskannya ke dalam kesesatan.

Dalam kaitan inilah Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan dalam kitabnya Nihayah al-Zain, Orang yang berdzikir wajib mengikuti salah seorang Imam dari Imam-imam tasawuf, (Nihayah al-Zain (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) halaman: 7).

Sumber: Alif.ID

15. Suluk

Dalam wacana sufi, perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk. Adapun orang yang melakukan perjalanan disebut sâlik.

Asas pertama tarekat adalah al-Iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allâh SWT dengan menapaki jalan-jalan (menuju-Nya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Ihsan: Seolah-olah beribadah melihat Allâh SWT apabila tidak maka sadirilah bahwa Allâh SWT melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan carilah wasilah, serta bersungguh-sungguhlah menapaki jalan-jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu memperoleh kemenangan atau kesuksesan, (al-Maidah, 5:35).

Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalan-Nya lebah pun bahkan menjadi objek yang dikhitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, maka tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan untukmu.

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٦٩﴾

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan, (al-Nahl, 16: 69).

Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوْا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾

Dan orang-orang yang ber-mujahadah di dalam Kami, kepada mereka Kami benar-benar menunjukkan jalan-jalan menuju Kami; sesungguhnya Allâh benar-benar bersama dengan orang yang mengalami ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allâh), (al-Ankabût, 29:69).

Latihan kejiwaan

Di dalam suluk, para sâlik menyibukan diri dengan riyadhah (latihan kejiwaan) dalam Rangka pendekatan diri kepada Allâh (al-Taqarrub ilallâh) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib) dan nawafil (sunnah), semua aktivitas ini dilakukan di atas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud konkret pengamalan firman Allâh SWT dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً، (سنن الترمذي، ج 4، ص: 418، رقم: 3603، صحيح البخاري، ج 4، ص: 541، رقم: 7405).

Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diri-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari, (Sunan at-Tirmidzi, juz 4, halaman: 418, nomor: 3603, Shahih al-Bukhari, juz 4, halaman: 541, nomor: 7405).

Intinya semua sunnah Nabi sebagai model Alquran yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa Aisyah diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah Alquran, (Musnad Ahmad, juz 6, halaman: 91, al-Mu’jam al-Awsath, juz 1, halaman: 30), diwujudkan secara konkret dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan dalam wudhu, berdzikir dalam setiap keadaan (berdiri, duduk dan berbaring), berjamaah dalam semua salat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan shalat sunah, mengosongkan qalbu dari selain Allâh SWT, mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnah Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.

Suluk sekaligus merupakan jalan menuntut ilmu dan ma’rifah yang dengannya Allâh SWT melempangkan jalan menuju surga yang notabene jalan menuju Allâh SWT sendiri karena surga tidak ada kecuali di sisi Allâh. Sebuah Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam Hadis lainnya, mendukung kenyataan ini:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allâh memudahkan baginya jalan menuju surga, (Sunan at-Tirmidzi, juz 5, halaman: 48, Sunan Ibn Majjah, juz 1, halaman: 71).

Sumber: Alif.ID

16. Suluk dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah yang selama ini dituding sebagai anti tarekat ternyata justru sangat mendukung suluk sebagai unsur fundamental dalam tarekat. Dalam kaitan ini ia menegaskan dalam Majmû’ al-Fatawâ-nya, ”Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, dan akhlak”.

Semua ini sangat jelas dalam ibadah Alquran dan Sunnah, karena suluk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mukmin. Oleh karena itu, semua sahabat mengenal suluk dengan petunjuk Alquran dan Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasul sendiri.  Mereka tidak membutuhkan ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat, dan tidak pernah saling bertentangan satu sama lain.

Ini berbeda ketika ahli-ahli membicarakan fikih. Mereka cenderung saling bertentangan dalam kasus-kasus fiqih. Mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan fikih.

Adapun masing-masing dari mereka yang melakukan suluk, mendekatkan diri kepada Allâh SWT dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan yang disunnahkan,  berpedoman kepada Alquran dan Sunnah. Jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allâh dan Rasul-Nya.

Kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi SAW sendiri. Ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allâh nurun ‘ala nurin (cahaya di atas cahaya), (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 273).

Lebih jauh Ibn Taimiyah menegaskan bahwa masalah suluk merupakan bagian dari masalah akidah yang semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah sehingga tidak layak dipertentangkan: “Masalah suluk merupakan salah satu jenis masalah akidah; semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah. Mereka (para sahabat) tidak pernah saling bertentangan dalam masalah akidah dan tidak pula dalam masalah tarekat (jalan) menuju Allâh. Apalagi, dengan tarekat seseorang dapat menjadi salah seorang wali dari wali-wali Allâh yang abrar (bebas dari noda durhaka)  dan muqarrabin, (didekatkan kepada Allâh).

Oleh karena itu, syaikh-syaikh tarekat sufi jika memerlukan rujukan dalam perkara-perkara syariat seperti yang berkenaan dengan nikah, warisan, bersuci, sujud sahwi, dan yang semacamnya,  akan mengikuti (taklid) ahli-ahli fiqih…berijtihad. Barang siapa di antara mereka mengikuti Rasul, maka ia benar, dan barangsiapa menyimpang dari Rasul, maka ia salah”, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 274).

Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, suluk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fikih, atau merupakan realisasi konkret dari tasawuf yang oleh Imam Muhammad Ibn Ahmad bin Jazi al-Kalabi al-Gharnathi disebut sebagai fikih batin, (al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277).

Hal-hal yang berkenaan dengan suluk semuanya didasarkan pada Alquran dan Sunnah. Khalwat Nabi SAW di Gua Hira’, khususnya, menjadi rujukan utama bagi para salik sebagaimana ditegaskan juga oleh Buya Hamka ketika ia mengatakan: “Maka kaum Shufiyah yang menyucikan dirinya dalam khalwatnya itu, pun mengambillah contoh teladan atas amal-amal mereka dalam khalwat, suluk dan tarekat, dan bermacam-macam sistem yang lain: khalawat dan tahannust Nabi di Gua Hira’, sampai terbuka hijab kegaiban oleh kemurnian jiwa”, (Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 23).

Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya, seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau “mengalami” Allâh Swt secara haqq al-Yaqin (keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun), sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberadaan dan keesaan-Nya. Ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Allâh SWT sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya.

Pelita mereka berasal dari nûrun ‘ala nûrin (cahaya di atas cahaya). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah sambil mengutip firman Allâh SWT dalam ayat ke 35 dari surah al-Nur menggambarkan  dengan ungkapan: “Lampu-lampu seseorang yang ‘mengalami’ Allâh SWT secara tahkik (muwahhid) dan yang berjalan (salik) di atas jalan dan tarekat Rasul menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api. Nurun ‘ala nurin, Allâh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia”, (Madârij al-Sâlikin, juz 3, halaman: 98).

Suluk, Realisasi Khalwat, Uzlah, dan I’tikaf

Dalam tarekat sufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu (10, 20, atau 40 hari) di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi.

Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira’. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam Hadis lainnya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa umm al-Mu’min Aisyah berkata:

ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ فَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِىَ، (سنن الكبرى للبيهقى، ج 9، ص: 6).

Nabi digemarkan oleh Allâh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira’ dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 9, halaman: 6).

Para sufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh Alquran disebut sebagai rumah-rumah yang diizinkan Allâh SWT untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (al-Nûr, 24:36).

Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan ‘uzlah; mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengheRAnkan apabila suluk mereka disebut juga dengan I’tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.

Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I’tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan RAmadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Aisyah RA. berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Nabi SAW selalu I’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan RAmadhan sampai Allâh mewafatkan beliau, (Shahih Muslim, juz 2, halaman: 830).

Dan satu yang barangkali penting digarisbawahi di sini adalah bahwa I’tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri; artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadhan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ، (المستدرك، ج 1، ص: 439)

Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri, (al-MustadRAk, juz 1, halaman: 439).

Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam Hadis lainnya meriwayatkan dari Aisyah RA. bahwa ia berkata: “Nabi SAW pernah melakukan I’tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal”.

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ….﴿١٤٢﴾

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan TauRAt) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam, (Q.S al-A’râf: 142).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah mengutip pendapat ulama’ yang mendukung keabsahan I’tikaf sebagai ibadah yang mandiri ketika ia mengatakan: “I’tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, salat, jihad dan ribath (merabit); i’tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan ketaatan kepada Allâh Ta’ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan i’tifaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya haji”, (Hasyiyah Ibn al-Qayyim, juz 7, halaman: 106).

Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allâh SWT akan melahirkan manusia baru, yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW

أبو هريرة رضي الله عنه: قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَخْلَصَ للهَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةَ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. أخرجه رزين، (جامع الأصول فى أحادث الرسول، ج 11، ص: 557، عوارف المعارف، ص: 255)

Barangsiapa mengikhlaskan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-RAsûl, juz 11, halaman: 557; `Awârif al-Ma’ârif, halaman: 255).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidani kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.

Sumber: Alif.ID

17. Beragam Tarekat Satu Hakikat

Tarekat adalah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal tarekat dari generasi ke generasi sampai sekarang.

Adapun dalam konteks wirid, Nabi SAW telah memberikan isi dzikir kepada para sahabat sesuai dengan derajat dan ahwalnya. Secara khusus ada dua sahabat yang diberikan oleh Rasulullâh SAW:

  1. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq. Ia mengambil dari beliau dzikir ismu al-Mufrad yaitu “Allâh”.
  2. Sahabat Ali bin Abi Thalib. Ia  mengambil dari beliau dzikir al-nafi wa al-itsbat yaitu “la ilaha illallâh”. Sebagaimana disebutkan oleh beberapa sumber sejarah, sahabat Ali bin Abi Thalib RA para suatu hari datang kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Ali kamu harus melanggengkan dzikir kepada Allâh SWT dalam keadaan sendiri (khalwat)”.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Sahabat Ali berkata, “Ini adalah fadhilah dzikir. Setiap manusia melakukan dzikir.” Maka Rasulullah bersabda, “ Wahai Ali kiamat tidak akan terjadi selama disebut lafadz “Allâh”. Lalu sahabat Ali bertanya, “Bagaimana cara aku berdzikir wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Pejamkan matamu lalu dengarkan aku tiga kali, lalu ucapkanlah tiga kali sekiranya aku mendengar.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Kemudian Rasulullah bersabda, “Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Ali mendengar. Lalu Ali mengucapkan  Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Rasulullah SAW Mendengar”, (Abd Rahman Jabarut, Tarikh ‘Ajaibu al-Atsar fi al-Tarajim wa al-Akhbar, Juz 1, halaman: 346).

Sejak munculnya tasawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Tarekat” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Tarekat Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Tarekat Arbabi al-Aql wa al-Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran.

Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata atau empiris). Istilah “tarekat” terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “tarekat.”

Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allâh SWT dan ridhanya. Ada yang menggunakan metode latihan-Iatihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthmainah, lalu ke nafsu mulhimah, kemudian ke tingkat nafsu radhiyah, lalu ke nafsu mardhiyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah.

Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allâh dalam keadaan apapun.

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakekatnya satu. Hal ini sesuai dengan pernyataan para imam dan Syaikh tarekat. Di antaranya adalah:

  1. Imam al-Junaid bin Muhammad(297 H): Ahli Sufi adalah penghuni satu rumah, dimana orang lain tidak dapat memasukinya, (al-Risalah al-Qusyairiyah, halaman: 127).
  2. Imam Ibnu Arabi(638 H): Sesungguhnya para ahli adzwaq (Tarekat) jelas berada pada satu jalan, (al-Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 213).
  3. Ibnu ‘Ajibahmenjelaskan pernyataan Ibnu Bana Sirqisthi: Madzhab Sufi telah disepakati maksud dan aktifitasnya meskipun berbeda-beda jalurnya. Sesungguhnya al-Haq adalah satu dan jalannya adalah satu meskipun berbeda-beda jalurnya, titik akhirnya satu dan Rasanya (dzauq) satu. Maknanya sebagaimana dikatakan bahwa tarekat-tarekat itu bermacam-macam dan jalan al-Haq adalah satu. Madzhab Sufi adalah kesesuaian atau kesamaan antara ushul dan furu’, (al-Futuhât al-Ilahiyah, halaman: 101).
  4. Razaq Qasyani(730 H), “Maksud saya, sesungguhnya jalan (thariq) dan tujuan (ghayah) adalah hakekatnya satu, yaitu Al-Haq (Allâh Swt)”, (Syarah Fushûsh al-Hikam, halaman: 155).
  5. Qadir Isa: Sesungguhnya jalan (thariq) hakekatnya satu, meskipun beRagam metode amaliyah dan tata cara sesuai dengan ijtihad pada masa, situasi dan kondisi saat itu. oleh karena itu muncul beRagam tarekat sufi yang mana hakikatnya adalah satu, ( Haqaiq ‘an al-Tasawuf, halaman: 272).

Selain beberapa pernyataan di atas, ada beberapa pernyataan senada yang mungkin terlalu banyak kalau semuanya ditulis. Diantaranya adalah:

  1. Syaikh Abu Nasr Siroj al-Thusi(378 H), (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 457).
  2. Syaikh Abu Thalib al-Makki(386 H), (Qûth al-Qulûb, juz 2, halaman: 79).
  3. Imam Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli(505 H), (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 255).
  4. Syaikh Ahmad Shawi al-Maliki al-Khalwati(1241 H), (al-AsRAr al-RAbbaniyah wa al-Fuyudhat al-Rahmaniyah, halaman: 45).
  5. Syaikh Muhammad Kansus Tijani(1294 H), (Kasyfu al-Hijab, halaman: 329).
  6. Syaikh Muhammad Abu al-Faidl al-Manufi(1312 H), (Ma’alim al-Thariq ila Allâh, halaman: 262).

Kebanyakan orang menganggap bahwa tasawuf terdiri dari beberapa madzhab dan aliran. Mereka menyamakan dengan bidang keilmuan yang menggunakan analisa logika sebagaimana filsafat. Kalau filsafat menggunakan analisa logika maka pantas muncul beberapa aliran. Sedangkan tasawuf adalah pengalaman seseorang (tajribah), maka tetap satu madzhab dan tidak terjadi brRagam aliran. Kalau kenyataan jalan (tarekat) tasawuf bermacam-macam, tetapi adanya perbedaan dan beragam jalan tersebut, semuanya menuju satu tujuan, (lihat al-Ta’arruf limadzhab ahli al-Tashawuf, halaman: 12-13).

Melihat beberapa pernyataan di atas maka sangat jelas sekali bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakikatnya satu, yaitu al-Haq Allâh SWT (ilahi anta maqshudi waridlaka mathlubi).

Sumber: Alif.ID

18. Nama-Nama Tarekat Sedunia

Tarekat sangat banyak jumlahnya. Mari kita mengenal mereka secara mendalam. Namun terlebih dahulu, lihat dan baca dulu seratusan nama tarekat di bawah ini. Penjelasan lebih lanjut hadir di ngaji berikutnya
  1. Tarekat al-Ibâhiyyah
  2. Tarekat al-ittihâdiyyah
  3. Tarekat al-Ahmadiyyah atau Badawiyah: Tarekat syaikh Badawi, (w. 1276 M), mempunyai beberapa cabang, yaitu :
  • Tarekat as-Syannawiyyah
  • Tarekat al-Marâziqah
  • Tarekat al-Kannâsiyyah
  • Tarekat al-Inbâbiyyah
  • Tarekat al-Humûdiyyah
  • Tarekat al-Munâfiyyah
  • Tarekat as-Salamiyyah
  • Tarekat al-Halbiyyah
  • Tarekat az-Zâhidiyyah
  • Tarekat as-Syu’aibiyyah
  • Tarekat at-Tasqiyâniyah
  • Tarekat al-‘Arabiyyah
  • Tarekat as-Sathuwihiyyah
  • Tarekat al-Bandâriyyah
  • Tarekat al-Musallimiyyah atau Tarekat Sarnabalillah
  • Dan Tarekat Bayumiyyah.
  1. Tarekat al-Idrisiyyah: cabang dari Tarekat al-Khâdhirîyah daeRAh ‘Ashir
  2. Tarekat al-Adhamiyyah: dinisbatkan pada Syaikh IbRAhim bin Adham
  3. Tarekat al-Isma’îliyyah: Tarekat  daeRAh Qordofah
  4. Tarekat al-Isyrâqîyyah: mengikuti Tarekat  SuhRAwardiyah al-Halbî, nama lengkapnya Syihabuddin Yahya bin Habsyi bin Amirqi as-SuhRAwardi al-îsyrâqîyyah dijuluki as-Suhrâwardi al-Maqtul.
  5. Tarekat al-AsRAfiyyah: cabang dari tarekat Syadziliyah di turki (Abdullah ar-Rumi)
  6. Tarekat al-I’ti basyiyyah: cabang dari tarekat Khalwatiyah
  7. Tarekat ightisyâsyiyyah: cabang dari tarekat Kubrâwiyah di Khurosan
  8. Tarekat Akbariyyah: Tarekat  Hâtimiyyah
  9. Tarekat ‘Amirul Ghunyah: cabang Hâtimiyah dari Tarekat  Idrisiyyah
  10. Tarekat al-Ummi Sananiyyah: Tarekat  Sananiyyah
  11. Tarekat al-Awyasiyyah: dinisbatkan kepada Uwais al-Qorni
  12. Tarekat al-Bâbâiyyah
  13. Tarekat al-Buhuriyyah
  14. Tarekat al-Burâqiyyah
  15. Tarekat al-Burhaniyyah atau Tarekat  al-Burhamiyyah atau Dasuqiyah, cabangnya tarekat al-Sahawiyah dan tarekat al-Syarâbanah
  16. Tarekat al-Basthâmiyyah atau al-Thaifuriyyah: dinisbatkn pada syaikh Abi Yazid Thaifur al-Busthami
  17. Tarekat al-Bakriyyah: dari mesir cabangnya Tarekat  al-Qâdiriyah dan Tarekat  al-Khalwatiyyah
  18. Tarekat al-Bukâiyyah: keturunan sudan berbasis Qâdiriyah, dan memiliki dua cabang yaitu Fadhliyah dan Saidiyah al-Banawah cabang dari tarekat al-Qâdiriyah
  19. Tarekat al-Bunuhiyah: tarekat Maghribiyah (maroko)
  20. Tarekat al-Bairiyah: tarekat dari jalan Qiliqiyah
  21. Tarekat al-Bairuhajat: tarekat Afghoniyah dari pengikut al-Anshori al-Harowi
  22. Tarekat al-Byromiyah: pendirinya adalah haji Byrom keturunan Turki dari tarekat al-Shafawiyah, terpecah menjadi:
  • al-Hamzawiyah
  • al-Syaikhiyah
  • al-Hammatiyah
  1. Tarekat al-Bayumiyah: cabang dari al-Ahmadiyah
  2. Tarekat al-Bataiyyah: tarekat Tunisiyah maroko
  3. Tarekat al-Tijaniyah: tarekat jazariyah maghribiyah tersebar hingga ke sudan
  4. Tarekat al-Tasyasyatiyah: tarekat india, afganistan
  5. Tarekat al-Jabawiyah: tarekat al-Sa’diyah
  6. Tarekat al-Jarahiyah: cabang turki dari tarekat al-Khalwatiyah
  7. Tarekat al-Jazuliyah: cabang tarekat al-Syadziliyah, diantaranya adalah cabang:
  • al-Darqowah
  • al-Hammadasyah
  • al-AiSAWiyah
  • al-Syarqowah
  • al-Thaibiyah
  1. Tarekat al-Jalalah: cabang tarekat al-Qâdiriyah dalam maghrib maroko
  2. Tarekat al-Jalaliyah al-Najariyah: cabang tarekat al-Suhrâwardiyah, daeRAh india dinisbatkan kepada syaikh Makhdum Jihaniyan, w. 1383 M.)
  3. Tarekat al-Jamaliyah: cabang farisy dari tarekat al-Sahrurodiyah, pendirinya adalah ardestani (alm) keturunan ke-15 masehi. Dan juga tarekat al-Jamaliyah yaitu tarekat Turki yang bertempat di Istanbul
  4. Tarekat al-Jalwatiyah: cabang Turki shofwiyah, cabangnya adalah:
  • tarekat al-Hasyimiyah
  • al-Rusyaniyah (Kalsyaniyah)
  • al-Fana’iyah
  • al-Hudza’iyah dinisabtkan kepada syaikh Junaid
  1. Tarekat al-Junaidiyah: keturunan Junaidi dan cabangnya adalah:
  • tarekat al-Khawajikan
  • al-Kubrâwiyah
  • al-Qâdiriyah
  1. Tarekat al-Hatimiyah: keturunan ibnu arâby (Akbariyah)
  2. Tarekat al-Habibiyah: cabang dari tarekat al-Syadiliyah
  3. Tarekat al-Haririyah: cabang dari Tarekat ar-Rifaiyyah
  4. Tarekat al-Hafnawiyah: cabang dari tarekat al-Khalwatiyah (wafat 1767 M.)
  5. Tarekat al-Hakimiyah: dinisbatkan kepada imam hakim at-Tîrmîdzi
  6. Tarekat al-Hallajiyah: dinisbatkan kepada al-Hallaj
  7. Tarekat al-Hamadasyiyah: cabang maghroby dari tarekat al-Jazulawiyah yang mempunyai cabang:
  • tarekat al-Daghwaghiyah
  • tarekat al-Shadaqiyah
  • tarekat al-RAbahiyah
  • tarekat al-Qasimiyah
  1. Tarekat al-Hamzawiyah: gabungan tarekat dari tarekat al-BiRAmiyah dan tarekat al-Malamiyah
  2. Tarekat al-Hanshaliyah: tarekat bangsa maghRAbiyah (Maroko)
  3. Tarekat al-Haidariyah: cabang dari tarekat al-Qondariyah (Paris atau PRAncis)
  4. Tarekat al-Khâdiriyah atau Khidriyah: tarekat yang dinisbatkan pada ibnu Dabbagh, cabangnya:
  • al-Murghaniyyah
  • al-Idrisiyyah
  • al-Sanusiyyah.
  1. Tarekat al-KhaiRAziyah: dinisbatkan pada Abi Sa’id al-Khiroz
  2. Tarekat al-Khafifiyah: Ibnu Khofif as-Syirozi
  3. Tarekat al-Khafiyah: nama laqab dari tarekat an-Naqsyabandiyah di negara china dan Turkistan.
  4. Tarekat al-Khalwatiyyah: cabang tarekat Suhrowardiyyah di kurosan (IRAn) cabang yang di turki adalah:
  • Sarâhiyah Ightibasyiyah as-Sayaqiyah
  • al-Niy aziyah
  • al-Sunbûliyah
  • al-Syamsiyyah
  • al-Kalfaniyyah
  • as-Syuja’iyah

cabang di Mesir adalah:

  • al-Dha’ifiyyah
  • al-Hafnuwiyyah
  • as-Saba’iyah
  • as-Shawiyah
  • ad-Dardiyah
  • al-mughsiyah
  • an-Naubah
  • al-Hîjaz
  • al-Khalîlyyah, di Tunisia
  • al-Khumûsiyyah al-Khawâjâkân di IRAn merupakan cabang Tarekat al-Junaidi, di daeRAh Turkinistan disebut al-Yusûwiyah dinisbatkan pada syaikh Yusuf al-Hamdzânî
  • ad-Darqâwah cabang Tarekat al-Jazûliyyah, Tarekat ad-Darqawah memiliki cabang:
  • al-Bauzîdiyah al-Kitâniyyah
  • al-hîrâqiyyah
  1. Tarekat al-Khilyaliyah
  2. Tarekat al-Khumusiyah
  3. Tarekat al-Khâwajakân
  4. Tarekat al-Khowâthoriyyah
  5. Tarekat al-Dardiriyah
  6. Tarekat al-Darqowah
  7. Tarekat ad-Dasuqiyah: Burhaniyah
  8. Tarekat ad-Dahriyah: berkembang di negara Yaman, China dan Turki
  9. Tarekat ad-Dahabiyah: sebutan tarekat al-Kubrowiyah di Paris atau PRAncis
  10. Tarekat ar-Rohhâliyyah
  11. Tarekat ar-Rohmâniyyah: cabang kholwatî.
  12. Tarekat ar-RosûliSyâhiyyah di India
  13. Tarekat ar-RAsyidiyah: cabang tarekat al-Yusufiyyah.
  14. Tarekat ar-Rifa’iyyah: cabang dari Tarekat ini adalah:
  • Tarekat as-Suriyah
  • al-Haririyah
  • as-Sa’diyah
  • as-Siyadiyah

sedangkan di mesir cabangnya bernama:

  • Tarekat al-Baziyah
  • al-Malikiyah
  • Tarekat al-Habibiyah.
  1. Tarekat ar-Rukniyah: cabang dari tarekat al-KubRawiyah berkembang di IRAq dinisbatkan kepada (‘ala’ ad-Daulah as-Samnani (w. 1336 M))
  2. Tarekat ar-RAusyiniyah: cabang tarekat Khalwatiyyah berkembang di Mesir dan Turqi, dinisbatkan pada Syaikh al-Kalsyâni 1553 M (cabang Tarekat as-SuhRAwardiyah).
  3. Tarekat ar-Rumiyah atau Tarekat Asrofiyyah
  4. Tarekat az-Zarruqiyah: cabang iRAn dari tarekat as-Syadzili dinisbatkan pada Syaikh Zaruq
  5. Tarekat az-Ziyaniyah: cabang maghrobi dari tarekat as-Syadzili
  6. Tarekat az-Zainiyah: cabang tarekat as-Suhrowardiyyah di turki
  7. Tarekat as-Sâlimiya atau Sahliyah
  8. Tarekat as-Sab’îniyah: tarekat yang dinisbatkan kepada Ibnu Sab’in
  9. Tarekat as-Siqthiyah: Tarekat yang dinisbatkan kepada Sari as-Siqthi (w. 867 M)) di turki
  10. Tarekat as-Salâmiyah atau Tarekat ‘Arûsiyah
  11. Tarekat as-Sulthâniyah: turkinistaniyah
  12. Tarekat as-Samâniyah: cabang tarekat as-Syadzili dinisbatkan kepada Muhammad Abdul Karim as-Samani al-Madani
  13. Tarekat as-Sunbuliyah: cabang tarekat Khalwatiyah di turki
  14. Tarekat as-Sannan Ummiyah: di turki
  15. Tarekat as-Sananiyah: di tunis
  16. Tarekat as-Sanusiyah: di libya
  17. Tarekat as-Suhrowardiyyah: dinisbatkan kepada Abdul Qohir as-Suhrowardi disebut juga Siddîqiyah berdasarkan nama Abu Bakar as-Siddiq dan memiliki cabang yaitu:
  • Jalâliyah
  • Jamaliyah
  • Khalwatiyah
  • RAusyaniyah
  • Shofwiyah
  • Zainiyah
  1. Tarekat as-Sahliyah: dinisabtkan kepada syaikh Sahal at-Tastari
  2. Tarekat as-Suhailiyah: cabang tarekat jazair as-Syadzili
  3. Tarekat as-Sayâriyah: dinisbatkan kepada syaikh Abil Abbas as-Sayari
  4. Tarekat as-Syadziliyah: cabangnya adalah:
  • al-Habîbiyah
  • al-Karzâziyah
  • an-Nasyiriyah
  • as-Syaikhiyah
  • Syahiliyah
  • al-Yusufiyah
  • az-Zaruqiyah
  • az-Ziyaniyah
  • al-Bakriyah
  • al-Khowathiriyah
  • al-Jauhariyah
  • al-Makkiyah
  • al-Hasyimiyah
  • al-Samaniyah
  • al-‘Afifiyah
  • al-Qâsimiyah
  • al-‘Arûsiyah
  • al-Handusyiyah
  • al-Qâwujiyyah.
  1. Tarekat as-Syarqawah: cabang maghrob dari tarekat al-Jazuliyah
  2. Tarekat as-Syarqâwiyah: tarekat al-Khalwatiyah
  3. Tarekat as-Syatthâriyyah: dinisbatkan kepada syaikh abdullah as-Syaththar (w. 1415 M))
  4. Tarekat as-Sya’baniyah: cabang Tarekat Kholwatiyah
  5. Tarekat as-Syaudziyah: cabang Tarekat sab’îniyah di turki
  6. Tarekat at-Thâlibiyah atau Maghribiyah
  7. Tarekat al-‘Arûsiyah: cabang Tarekat Qâdiriyah
  8. Tarekat al-‘Azûziyah: di tunis
  9. Tarekat al-‘Asyîqiyyah: adalah Tarekat syathâriyyah di india dan dinisbatkan kepada Abu Yazid al-‘Isyqi
  10. Tarekat al-‘Alwaniyah
  11. Tarekat al-‘Alâwiyah: di nisbatkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib
  12. Tarekat al-‘Awamiriyah: Berada di Tunisiah
  13. Tarekat al-‘Idrusiyah: Berada di Yaman
  14. Tarekat al-Ghazâliyah: Berada di MadRasah al-Ghazâliyah
  15. Tarekat al-Ghautsiyah: cabang Tarekat syathariyah di india
  16. Tarekat Firdausiyyah: cabang Tarekat Kubrâwiyyah di india
  17. Tarekat Qâdiriyah: dinisbatkan kepada ‘Abdul Qâdir Jailani dan mempunyai cabang di yaman dan somali:
  • Alyafi’iyah
  • Masyari’iyah
  • ‘Arabiyah,
  • dan di india :
  • al-Banawah
  • al-Karzamar,
  • dan di anâdul :
  • al-AsyRAfiyah
  • Hindiyah
  • al-Khalusiyah
  • Nabalasiyah
  • Rumiyah
  • Waslaniyah
  • dan di mesir :
  • al-FaRAdhiyah
  • Qasimiyah
  • dan di maghribi :
  • ‘Amariyah
  • ‘Arusyiyah
  • Bau’iliyah
  • al-Jalalah
  • al-Bukaiyah
  1. Tarekat al-Qorrâ’iyyah: berada di tunis.
  2. Tarekat al-Qusyairiyyah: dinisbatkan kepada Imam Qusyairî.
  3. Tarekat al-Qoshâriyyah: dinisbatkan kepada Khamdûn al-Qoshâr dan nama dari Tarekatnya yaitu malamatiyah.
  4. Tarekat al-Qolandariyyah: berada di paris.
  5. Tarekat al-Qunyawiyyah
  6. Tarekat al-Kubrâwiyah: merupakan cabang Tarekat dari Junaidiyah, cabang-cabangnya yaitu:
  • al-‘Idrusiyah
  • al-Hamdaniyah
  • al-Ightisaiyah
  • an-Nur Bakhsyiyah
  • an-Nuriyati
  • ar-Rukniyah.
  1. Tarekat al-Karzuniyah: cabang Tarekat al-Khafifiyah
  2. Tarekat al-Karzariyah
  3. Tarekat al-Matbuliyah: dinisbatkan kepada syaikh IbRAhim al-Matlubi
  4. Tarekat al-Muhâsabah: dinisbatkan kepada syaikh Hârits al-Muhâsibî.
  5. Tarekat al-Muhammadiyah: dinisbatkan kepada nabi Muhammad yang pertama menggunakan nama ini adalah Ali al-Khowas dan Abdul Wahhab as-Sya’roni
  6. Tarekat al-Madâriyah: berada di hindia.
  7. Tarekat al-Madâniyah: nama awal Imam Syadziliyah.
  8. Tarekat al-MuRAdiyah: berada di turki.
  9. Tarekat al-Murâzaqâh: cabang dari Tarekat al-Ahmadiyah.
  10. Tarekat al-Masyisyiah: dinisbatkan kepada Ibnu Masyis.
  11. Tarekat al-Mishriyah: an-Niazayiah cabang dari Tarekat Jalwatiyah.
  12. Tarekat al-Muthâwa’ah: al-Ahmadiyah.
  13. Tarekat al-MaghRAbiyah: Tarekat berkembang di maghrib yang diikuti oleh murid-murid, penyair paris
  14. Tarekat al-Malamiyah: berada di KhaRasan.
  15. Tarekat al-Malamatiyah: al-Hamzawiyah cabang Tarekat al-BiRAmiyah di turki.
  16. Tarekat al-Manshuriyyah: berada di al-Halajiyah.
  17. Tarekat al-Maulawiyyah: dinisbatkan kepada Jalaluddin ar-Rumiy, cabangnya al-Bustansyiniyah wal Irsyadiyah.
  18. Tarekat an-Ni’matulliyyah: Tarekat syi’ah di kota Kurman paris yang bersumber dari Tarekat Qâdiriyyah al-Yafi’iyah.
  19. Tarekat an-Naqsyabandiyah: berada di Turkistan dari Thaifuriyah
  20. Tarekat al-Khalidiyah: Tarekat an-Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada Khalid an-Naqsyabandi.
  21. Tarekat an-Nuruddiniyah: berada di JaRAkhiyah yang dinisbatkan kepada Tarekat ad-Diniyah.
  22. Tarekat an-Nuriyah: yang dinisbatkan kepada Abi Khasin an-Nuri.
  23. Tarekat an-Niyazziyah: cabang dari Tarekat Jalwatiyah di turki.
  24. Tarekat al-Haddarah: berada di al-Maghrib.
  25. Tarekat al-Warits ‘Alisyahiyah: berada di hindia.
  26. Tarekat al-Yusuyah: cabang dari Khawajakan diTurkistan.
  27. Tarekat Yunusiyah: dinisbatkan kepada syaikh asy-Sibaniy, (1222M).
  28. Tarekat al-Haddaiyah: dinisbatkan kepada syaikh Imam al-Haddâd
  29. Tarekat Jistiyah atau Histiyah: dinisbatkan kepada Mu’inuddin al-Jisti
  30. Tarekat Umâriyah
  31. Tarekat Utsmaniyah
  32. Tarekat al-Abbasiyah
  33. Tarekat az-Zainabiyah
  34. Tarekat Qâdiriyah an-Naqsyabandiyah: dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas(1802-1872 M.)
  35. Tarekat Haqqâniyah an-Naqsyabandiyah: yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani

Berdasarkan rujukan kitab: Mausu’ah as-Shufiyah, halaman: 264-270, Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 2-3, Risalah al-Qusyairiyah, A’lâm as-Shûfiyah, Thabaqât as-Shûfiyah, Thabaqât al-Kubrâ, an-Nafahât al-Qudsiyah, al-Munqabah al-Auliyâ’, Thabaqât al-Qâdhi al-Zakariyah, Thabaqât al-Masyayikh.

Sumber: Alif.ID

19. Pengertian Sufi dan Tasawuf

Ngaji kitab Sabilus Salikin yang disusun oleh pengasuh Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan, Sholeh Bahruddin beserta para santri, telah memasuki Bab II yaitu tentang Sufi dan Tasawuf.  Sufi dan tasawuf dimaknai secara berbeda oleh banyak ulama. Terdapat hampir 90 ulama yang memaknainya di dalam kitab Tahdzib al-Asrar fi Ushul al-Tasawwuf, namun untuk edisi ke-19 ini akan dituliskan 45 ulama dulu, dan bersambung di edisi ke-20.


Para ‘Ulama‘ memberikan pengertian berbeda-beda atas makna sufi dan tasawuf. Rasûlullah SAW bersabda;

مَنْ سَمِعَ صَوْتَ اَهْلِ الصُّوْفِ يَدْعُوْنَ فَلَمْ يُؤْمِنْ عَلَى دُعَائِهِمْ كُتِبَ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

Barangsiapa mendengar suara ahli tasawuf yang sedang berdo’a dan dia tidak mengucapkan amin atas do’anya maka dia termasuk golongan orang yang lalai, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11).

Berikut ini pendapat para ‘ulama‘ sufi tentang pengertian sufi dan tasawuf yang dijelaskan dalam kitab Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11-22;

  1. Ibrâhîm bin Adham, tasawuf adalah luhurnya sebuah tujuan yang dicita-citakan setiap umat agar terhindar dari tergelincirnya langkah dan melakukan Zuhud (Mencegah) dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allâh SWT, bukan dari sesuatu yang di haramkan Allâh SWT
  2. Sarri as-Saqathi, sufi adalah seseorang yang tidak pernah padam dari cahaya ma‘rifat Allâh SWT sebab cahaya sifat wira’i dirinya, orang yang tidak berbicara dengan bathin ilmu yang bisa merusak dhahirnya ilmu, orang yang tidak tertarik dengan kemuliaan yang bisa merusak batas-batas aturan.
  3. Dzunnun al-Mishri, ketika di tanya apakah tasawuf itu lafadz yang musytaq atau julukan? beliau berkata; tasawuf adalah menutupi dan menyimpan amal yang bisa menyebabkan riya’.
  4. Syaikh Imam al-Junaidî, tasawuf adalah;
    1. Meninggalkan ikhtiyar.
    2. Menjauhi sesuatu yang tidak pantas.
    3. Seseorang yang mempunyai 8 sifat yaitu sakha’ (dermawan), sabar, ridha, isyarah, ghurbah (menyendiri), berpakaian sufi, siyâhah (perjalanan ruhani), dan merasa fakir.

al-Junaidî juga menjelaskan bahwa orang sufi memiliki tiga sifat, yakni:

  • Bagaikan bumi, yang semua orang menempatinya baik orang yang taat atau orang tidak taat.
  • Bagaikan mendung yang menaungi siapa saja.
  • Bagaikan hujan yang menyirami orang taat dan yang tidak taat.
  1. Abû Ja’far al-Naisâburî, sufi adalah seseorang yang perilaku dan perbuatannya suka memaafkan (pemaaf), mengajak untuk berbuat kebaikan (amar ma‘ruf), dan menjauhi dari sifat-sifat bodoh.
  2. Abû ‘Utsman al-Hairi, siapakah orang sufi itu? Beliau berkata;
    1. Orang-orang mu‘min yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh… (QS. al-Ahzab: 23)
    2. Orang yang tidak membanggakan amalnya, karena orang yang membanggakan amalnya berarti meremehkan nikmat Tuhannya.
  3. Abu Yazid al-Busthami, tasawuf adalah membuang nafsu dalam Abu Yazid al-Busthami, tasawuf adalah membuang nafsu dalam ibadah, menyandarkan hati pada sifat ketuhanan, berperilaku dengan akhlak yang luhur dan melihat Allâh SWT secara utuh. Tasawuf juga dapat ditinjau dari tiga sisi;
    1. Syari‘at: membersihkan hati dari kotoRAn dan berperilaku baik pada sesama makhluk dan mengikuti Rasul pada semua syari‘atnya
    2. Haqiqat: tidak ada kejelekan, tidak ada kehidupan, tidak ada keburukan, terbebas dari menghamba kepada syahwat (nafsu), keluar dari syubhat, melebur sifat-sifat kemanusiaan, meninggalkan semua yang dicintai dan cukup dengan Allâh
    3. al-Haq: Allâh al-Haq memilih Sufi karena sifatnya yang bersih, sehingga dikatakan golongan yang bersih.
  4. Sahal bin Abdullah, Sufi adalah; orang yang darahnya selalu dialirkan, miliknya selalu dimubahkan, tidak melihat sesuatu kecuali dari Allâh, mensucikan Allâh pada semua ciptaan-Nya. Dan tasawuf adalah; Menghindari perselisihan, meRasa tenang terhadap Allâh SWT, berlindung kepada Allâh SWT, dan menjauhi makhluk.
  5. Abû Husain al-Nûri, tasawuf ialah meninggalkan semua bagian nafsu, bisa menguasai waktu. Dan orang Sufi adalah; mereka yang meRasa tenang ketika tidak ada, dan mengalah ketika ada, mereka yang meninggalkan kepentingan nafsu dan memilih kepentingan Allâh SWT, serta mereka yang menemukan dan memahami keberadaannya.
  6. Jâbir bin Dâwud, tasawuf ialah mengharapkan Allâh yang Haq pada makhluk tanpa perantara makhluk.
  7. Muhammad bin Alî al-Tirmidzî, orang Sufi ialah orang yang tujuan dan cita-cita utamanya adalah Allâh yang H
  8. Abûl Abbâs bin Masrûq, orang yang berpura-pura tasawuf akan di siksa dengan siksa yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluk di alam ini, sedangkan orang yang ber-tasawuf dengan sungguh-sungguh akan diberi kenikmatan yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluk di alam ini.
  9. Muznî al-Kabîr, tasawuf adalah berbudi pakerti dan mengosongkan tangan dari beberapa harta dan membersihkan jiwa dari berangan-angan serta menjaga Allâh yang Haq pada setiap keadaan.
  10. al-Wâlîd bin Qâsim, tasawuf adalah menjaga gerak-gerik sifat dari mengikuti jejak syahwat (hawa nasfu) dan bersegera memilih Allâh yang Haq dalam segala keinginanya.
  11. Abû Husain bin Hindun, Tasawuf adalah memurnikan cinta.
  12. al-Kattânî, Tasawuf berarti bersih dan menyaksikan, Tasawuf juga berarti budi pekerti, seseorang yang tambah Tasawuf-nya berarti bertambah pula akhlaknya. Orang Sufi ialah orang yang ta‘at dan ketika beribadah dianggap masih melakukan kesalahan dan membutuhkan banyak istighfar.
  13. Abû Ali al-Rudzbârî, Tasawuf adalah;
    1. Membersihkan budi pekerti dari kotoRAn seorang hamba
    2. Nama untuk orang-orang yang dipercaya oleh Allâh dan orang-orang yang dicintai oleh Allâh
    3. Menetap atau mendiami pada pintu Allâh sekalipun ditolak
    4. Membatasi kebebasan, dan

Abû Ali al-Rudzbârî juga berkata, bahwa Sufi ialah barangsiapa yang melepas setiap geRAkan dengan berfikir dan tunduk pada jalur takdir serta tidak memperoleh teman kecuali secukupnya.

  1. Husain bin Mansyûr, Sufi adalah;
    1. Seseorang yang tidak bisa menerima orang lain dan tidak diterima orang lain
    2. Seseorang yang mempunyai sifat dari Allâh SWT
    3. Orang yang mempunyai sifat seperti yang di Isyarahkan oleh Allâh SWT di dalam Alquran;
  2. as-Syiblî, Sufi adalah;
    1. Orang yang selalu menepati janji-janji Allâh SWT
    2. Orang yang tidak memandang di dunia dan akhirat bersama dengan selain Allâh SWT
    3. Orang yang memutuskan hubungan yang tidak bisa menjadi lantaran kepada Allâh SWT seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa yang memutskan hubungannya dengan kaumnya sehingga melakukan khâlwat (menyendiri)
    4. Orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu
    5. Bagaikan anak kecil yang berada dipangkuan Allâh SWT (dalam kekuasaan) yang Haq

Imam as-Syiblî juga mengatakan bahwa Tasawuf adalah membatasi gerakanmu dan menjaga setiap nafasmu, serta terjaga dari memperhatikan alam semesta (perhatiannya hanya kepada dunia)

  1. Ruwaim, Tasawuf adalah;
    1. Permulaan menggunakan ruh jika mampu, jika tidak mampu jangan sekali-kali sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna
    2. Meninggalkan keutamaan diantara dua hal dan melakukan segala amal kebaikan. Imam Ruwaim juga berkata, Sufi ialah melakukan segala amal kebaikan.
  1. ‘Amr bin ‘Utsmân al-Makki, orang Sufi adalah orang yang menggunakan keutamaan waktu yang ada.
  2. Abûl ‘Abbâs bin ‘Atha’;
    1. Orang Sufi adalah orang yang jiwanya bersih dari kotoRAn dan sifat-sifat indRawi
    2. Keutamaan orang Sufi adalah mengalahkan seluruh manusia dengan kepasrahannya
    3. Permulaan Tasawuf adalah sâlik berdiri di depan Allâh yang Haq sepertihalnya mayit bearada ditangan orang yang sedang memandikannya, mayit tetap dalam kekuasaan orang yang memandikan dan tidak ada pilihan lain bagi mayit tersebut.
  3. Abbas al-Jarîrî, Sufi adalah tidak menghiRAukan terhadap kenikmatan yang dianggap baik dan cobaan yang dianggap jelek. Sedangkan Tasawuf adalah;
    1. Memperhatikan keadaan hati dan tetap teguh pada akhlak/etika
    2. Manusia yang paling utama ketika menyibukkan dirinya dengan memanfaatkan semua waktu yang ada.
  4. Qays bin Abdul Azîz, Tasawuf adalah sabar terhadap rekayasa nafsu dan menghindari sesuatu yang dianggap jinak.
  5. Ahmad RAjâ’ al-Makkî, orang Sufi adalah orang yang cara makannya seperti orang yang sakit dan tidurnya seperti orang yang tenggelam, sedangkan Tasawuf ialah tunduk kepada Allâh yang H
  6. Yahya al-‘Alawî, Tasawuf adalah menetapi (menguatkan) sirrî sampai tidak tersisa (habis)
  7. Abû ‘Abdillah al-QuRAsyî, Tasawuf adalah mengawali dengan menghilangkan sifat-sifat insaniyah (manusiawi) dan diakhiri dengan mengikat sifat-sifat ubudiyah (menghamba).
  8. Abûl Hadîd, Tasawuf adalah Allâh memuliakanmu di keRajaan-Nya seperti Allâh memuliakan selainmu dikeRajaan-Nya. (tidak meRasa lebih mulia dari orang lain/tawaddhu‘).
  9. Abû Khashîb, Tasawuf adalah budi pekerti yang tidak sepatutnya digunakan kecuali untuk taat kepada Allâh SWT
  10. Fâris al-Baghdâdî, perilaku Sufi ada 3, antara lain; sadar dan mengambil ‘ibâRAt, malu dan memohon ampun, serta menerima teguRAn dan menerima alasan.
  11. al-Nashîbî, Sufi adalah orang yang tidak mengenal lelah untuk mencari Allâh SWT dan tidak menggelisahkan sebab.
  12. al-Nabâjî, Tasawuf adalah mensucikan Rahasia dari kotoRAn dengan berpaling pada selain Allâh yang H
  13. Abû Turâb al-Nakhsyabî, Sufi adalah;
    1. Orang yang tidak mengotori segala sesuatu melainkan membersihkan segala sesuatu
    2. Orang yang bersih karena Allâh SWT
  14. Samnûn al-Muhibbi, Tasawuf adalah;
    1. Masuk dalam segala budi pekerti yang baik dan keluar dari segala budi pekerti yang jelek
    2. Mengirimkan jiwa dalam hukum Allâh SWT
  15. Abû Muhammad al-Murta‘isyu, Sufi adalah tidak sebaiknya mendahulukan jejak cita-citanya (hawa nafsu)
  16. Abû Zayd al-Warâq, Tasawuf adalah sebagaimana firman Allâh SWT “Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh. Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)” (Q.S. al-Ahzab: 23)

…رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً ﴿الأحزاب: ٢٣﴾

Dan sifat mereka adalah sebagaimana firman Allâh SWT “….mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”, (Q.S. Ibrahîm: 43)

…لَا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ ﴿الأحزاب: 34﴾

  1. Ibrâhîm al-Khawâsh, Tasawuf adalah meninggalkan beban dan mengerjakan uasaha sampai tampak indah (berhasil dengan baik)
  2. Abû Sa‘îd al-Hasan bin Yasâr al-Bashri, Tasawuf adalah senang dalam beribadah, mengeRAhkan kesunguh-sungguhan dan meninggalkan kesibukan perkara yang tidak ada gunanya.
  3. Abû Sulaimân al-Dârâni, Tasawuf adalah pekerjaannya itu hanya Allâh yang mengetahui, serta bersama Allâh dan hanya Allâh yang mengetahui.
  4. Abû Ya‘qub al-NahRAjûriketika ditanya perihal Tasawuf, beliau berkata; mereka yang mengadu itu termasuk umat yang tertinggal, dan Tasawuf itu adalah membawa hati dengan menitipkan kehadiRAn kepada Allâh SWT sehingga Allâh SWT bercakap-cakap dengan hatinya.
  5. Abûl Hasan al-Sanjâri, Sufi adalah orang yang berpuasa dan shalat dengan menetapi ataupun berpaling, baik berzuhud dan menyepi sendiri, baik cepat dan pelan.
  6. al-Hasan bin Ahmad al-Masûhi, Tasawuf adalah memutus sesuatu yang mengantungkan kepadanya, mengambil dengan kebenaran, berbicara dengan lembut dan putus asa dari makhluk.
  7. Abû ‘Alî al-Makkî, Tasawuf adalah tiga nama/sifat yang terkumpul yaitu; penetapan, keikhlasan dan kebinasaan, penetapan yang dimaksud alah bersama Allâh SWT, dan keikhlasan itu dari sifat kemanusiaan dan kebinasaan dari Akhlak.
  8. Mimsyâd al-Dainûri, Tasawuf adalah;
    1. Kejernihan Rahasia dan amal (perbuatan) karena untuk mencari ridha Allâh al-Jabbar, dan persahabatan dengan manusia tanpa usaha (mencari)
    2. Kecukupan, sedikit mengetahui manusia, dan meninggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
  9. Abû ‘Ali al-Hasan al-Asfihâni, Sufi adalah orang yang memakai pakaian kain wool (bulu domba) yang bersih, orang yang memakan hawa nafsu dengan Rasa pahit, orang yang membuang dunia dibelakang tengkuk, dan mengikuti jejak Nabi SAW.

Sumber: Alif.ID

20. Pengertian Sufi dan Tasawuf (lanjutan)

Sabilus Saikin bagian ke-20 masih melanjutkan pengertian sufi dan tasawuf  menurut ulama dalam kitab Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf. Bagian sebelumnya menjabarkan pengertian sufi dan tasawuf hingga nomor 45. Berikut ini lanjutannya.

  1. Abû ‘Ali al-Hasan, sufi adalah kaum pilihan, dia dipilih maka dia memilih.
  2. Abû Husain bin Jarîr, sufi adalah orang yang tidak terhalangi oleh bumi dan langit dan tidak tertutupi kecuali pandangan yang belawanan.
  3. Abû Bakar Muhammad bin Mûsa al-Wasîthi, sufi adalah orang yang ucapannya penuh dengan ibarat, serta hatinya menerangi jalan fikirannya.
  4. ‘Ali bin Sahal, sufi adalah orang yang bersih dari bencana dan sirna dari melihat pemberian.
  5. Qazuwainî, Tasawuf adalah ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan tanpa usaha.
  1. Abû Ja’far al-Haddâd, tasawuf adalah merasa tenang terhadap Allâh SWT, dan Lari dari makhluk.
  2. ‘Ali bin ‘Abdullah, tasawuf adalah ilmu yang samar sifatnya tapi tetap hakikatnya
  3. Abul Husain al-Zanjânî, tasawuf adalah bagusnya amal (perbuatan), sempurnanya ‘ubudiyah (ibadah) dan meRasa fakir kepada Allâh SWT serta bagusnya orang yang mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
  4. Abul Husain al-Warâq, sufi adalah orang yang jika dihadapkan pada dua keadaan, maka dia akan memilih hal yang paling baik dan yang paling luhur.
  1. Abû ‘Abdullah bin Jallâ’, sufi adalah;
    1. Orang yang fakir dan sunyi dari sebab
    2. Orang yang selalu bersama Allâh SWT dimanapun berada dan dia tidak tercegah dari Allâh SWT oleh setiap kedudukannya.
  2. Ibnu Yazdâniyâr, tasawuf adalah orang yang menerima agama dengan baik, menjaga, membersihkan dan memenuhi.
  3. Ghânim bin Sa‘îd, tasawuf adalah memuliakan kefakiran dan mengagungkan Allâh yang H
  1. ‘Utsmân al-Maghribî, tasawuf adalah keadaan hatinya bercampur kebingungan dan orang yang bingung tidak ada nama yang dikenal.
  2. Abû Hatim al-‘Athâr, sufi adalah mereka para pemimpin yang membentangkan pemberitahuan.
  3. al-Quhthabî, sufi adalah orang yang mensifati seluruh dhahirnya sebagai pertanda dirinya, meremehkan segala sesuatu yang rusak (sesuatu selain Allâh), jiwanya resah meninggalkan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh SWT (taqarrub), jiwanya memutuskan bukti dan faidah, keadaan jiwanya merasa lemah berhadapan dengan Allâh SWT.
  1. Abû Bakar bin Sannân, tasawuf adalah engkau menemukan kelemahan dalam dirimu, sehingga kekuasaan (Allâh) menjadi jelas terhadapmu.
  2. Zanzânî, tasawuf adalah menghilangkan kedudukan, tidak menghiraukan kehidupan dunia dan akhirat (lebih mementingkan bermu‘amalah dengan Allâh), setiap orang yang kembali kepada Allâh maka dia telah mengesakan Allâh. setiap orang yang kembali kepada nafsunya maka dia telah menemukannya. Setiap orang yang kembali kepada makhluk maka dia telah menemukan mereka. Dan hal ini telah diketahui.
  1. Yûsuf bin Husain, beliau berkata;
    1. Tasawuf adalah menanggung resiko dalam bermu‘amalah dengan Allâh sampai tidak menggunakan beberapa waktu yang dimakruhkan
    2. Orang-orang terbaik dari sufi adalah yang terbaik dari manusia, yang terjelek dari sufi adalah yang terjelek dari manusia, sehingga para sufi adalah yang terbaik atas segala keadaan
    3. Setiap umat memiliki ahli sufi, mereka adalah titipan Allâh yang keberadaannya diRahasiakan dari manusia.
  1. Abû Bakar al-Warâq, sufi adalah orang yang hatinya bersih dari macam-macam kotoran, hatinya selamat dari kejelekan orang lain, hatinya mengakar dengan sifat mengerahkan seluruh kemampuan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (ngalah).
  2. Abû Bakar bin Thâhir: sufi adalah orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibanding Allâh (lebih mencintai Allâh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allâh maka dia tidak beruntung.
  1. al-Zaqâq, sufi adalah orang yang menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
  2. Abû Ya’qub al-Muzâbili, tasawuf adalah melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan kepada manusia).
  3. Hasnûn al-Dainûri, tasawuf adalah menjaga dzat yang disembah, meniggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil sesuatu dari yang ada.
  1. Abû Bakar al-Zâhdâbâdî, tasawuf adalah
    1. Meniggalkan Rasa aman dari ajakan nafsu
    2. Tidak hidup kecuali dengan dzat yang wajib wujudnya di dunia dan akhirat.
  2. Abû Muhammad al-Zanjâni, tasawuf adalah mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
  3. Abû Bakar al-HalanjiTasawuf adalah jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak berbohong.
  1. Abû Hasan al-Sirwâni al-Kabîr, sufi adalah orang yang selalu bersama dengan al-Waridad (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
  2. Ja’far bin Muhammad bin Nashîr al-Khalidi, tasawuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan) manusia, dan melihat kepada Allâh secara menyeluruh.
  3. Abû al-Hasan al-Bûsyanji, tasawuf adalah meringkas harapan, melanggengkan amal (ibadah), memperbanyak takut (kepada Allâh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allâh).
  1. Abû Bakar al-Daqi, sufi adalah;
    1. Bangun tidur langsung berdzikir atau tafakkur sampai tertidur
    2. Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama Allâh.
  2. Abû ‘Abdillah Ahmad bin ‘Athâ’ al-Rûdzabâri, sufi adalah orang yang merasa nikmat dengan cobaan karena dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzat yang telah menentukan cobaan tersebut, Allâh telah menentukan cobaan itu kepadanya sehingga dia merasakan kenikmatan terhadap sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada Allâh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.
  1. Umar bin Najîd, sufi adalah orang yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
  2. Abû Abdillah bin Khafîf, Tasawuf adalah;
    1. Sabar atas berlakunya ketetapan Allâh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka
    2. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allâh SWT secara hakiki, mengikuti syari’at Rasulullah SAW
    3. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allâh SWT, berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan meRasakan Rasa yang sama ketika dipuji dan dicela

Abû Abdillah bin Khafîf juga berpendapat, bahwa sufi adalah orang yang memperhatikan Allâh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.

  1. Abû Sahal: tasawuf adalah berpaling dari pertentangan.
  2. Abû Qâsim al-Nashrâbadi:tasawuf adalah cahaya dari Allâh yang Haq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari jiwa (khatir) yang berasal dari Allâh yang memberi tanda isyarat menuju kepada Allâh.
  1. Husain al-Hamîri, sufi adalah;
    1. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqam) ketetapannya
    2. Keberadaan Sufi ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah hijab (penghalang)
    3. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut Hadis qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allâh, yang bisa memuat Allâh hanya hati hamba Allâh)

لَايَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلَاسَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ التَّقِى، (فيض القدير ،ج 2 حديث 4969)

Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang sufi.

  1. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barangsiapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
  1. Abû Qasim Al-Râzî, tasawuf adalah;
    1. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allâh al-Haq
    2. Tasawuf dapat membuahkan tawaddhu‘, meninggalkan memandang selain Allâh dan meninggalkan meRasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berubat kebaikan kepada seluruh makhluk baik mukmin dan kafir selama tidak merobohkan syari’at dan masuk pada kemakruhan.
  2. Abû Bakar al-Husaini al-Mukri, tasawuf adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.
  1. Manshûr bin Muhammad al-Sajzî, tasawuf itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
  2. Husain bin al-Mutsannâ,tasawuf adalah membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan adanya al-Washlu (diterima oleh Allâh).
  3. Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu tasawuf dan hakikatnya. Beliau menjawab, tasawuf adalah ambillah lahirnya jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di dalamnya. Lalu Imam Ruwaim berkata, sufi adalah orang yang melaksanakan taat kepada Allâh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allâh.
  1. Basyar, sufi adalah orang yang dikhususkan oleh Allâh.
  2. Abû Qâsim, sufi adalah orang yang bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11-22).

Selanjutnya, Sayyidina ‘Usmân bin ‘Affan berkata; tasawuf adalah mencari washîlah menuju keutamaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak ketuhanan, (Mu’jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 22).

Berikut ini penjelasan beberapa ‘Ulama’ tentang tasawuf yang terdapat di dalam kitab Hilyah;

  1. Abû Yazîd al-Rabi‘ bin Khutsaimberkata sesungguhnya tasawuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiRAukan unsur lahir/zhahir, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 5).
  2. ‘Urwah bin Zubair, tasawuf adalah menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).
  1. Sâlim bin Abdullah, tasawuf adalah menetapi khudhu‘ (sifat tunduk) dan qunu‘ (sifat rendah diri) serta tidak berkeluh kesah, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).
  2. Abû al-‘Aliyyah, tasawuf ialah ridha dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan kenikmatan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 112).
  1. Muhammad bin Wâsi‘,sesungguhnya tasawuf ialah khusyû‘ (tunduk), khumûl (menyembunyikan amal yang baik dan menampakkan amal yang buruk), qunu‘ (sifat rendah diri), dan dzubûl (sifat layu), (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 238).

Menurut Imam Qusyairi terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orang sufi;

عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الْغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ، (الرسالة القشيرية، ص: 126-127).

Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;

  • Seorang Sufi Shâdiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal
  • Seorang Sufi Kâdzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 126-127).

Sementara itu, maqâm orang sufi ada tiga, diantaranya;

  1. Maqâm Islâm, kesempurnaan taqwâ dan istiqâmah
  2. Maqâm Imân, kesempurnaan thuma‘nînah dan yaqîn
  3. Maqâm Ihsân, adalah tingkatan yang tertinggi. Yaitu maqâm dimana seorang hamba dapat ber-musyâhadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 84).

Dalam Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’ disebutkan bahwa sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.

وَقِيْلَ: الصُّوْفِي مَنْ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ،

Dikatakan bahwa seorang Sufi adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 329).

Kemuliaan dan keutamaan para sufi adalah bahwa mereka bisa mencapai Haqîqat Îmân dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Îmân yang diantaranya adalah Îmân kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridha, pasrah, kesempurnaan ma’rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembiR maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 69).

Fudhayl bin Iyad menceritakan kisah seorang raja yang terkenal dengan nama Sultan Hârun al-Rasyîd yang sedang mendengarkan nasihat seorang ‘ulama’ sufi yang bernama Syaikh Raja‘ bin Hayat yang mengatakan; “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allâh SWT di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawatir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas kasihan dan memintakan rahmat Allah untuk anda?”

Seketika itu, Sultan Hârun al-Rasyîd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan  Hârun al-Rasyîd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Raja‘ bin Hayat berkata; “Wahai pimpinan orang-orang mu’min, sesungguhnya paman nabi yang bernama abbas datang kepada nabi lalu bartanya tentang kepemimpinan”. Nabi SAW bersabda;

إِنَّ الْإِمَارَةَحَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ.

“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada hari kiyamat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.

Mendengar nasihat ini Sultan  Hârun al-Rasyîd menangis dengan keras lalu Sultan  Hârun al-Rasyîd meminta nasihat lagi, syaikh Raja’ bin Hayat berkata wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh allah tentang keadaaan ini pada hari kiyamat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi SAW bersabda;

مَنْ أَصْبَحَ لَهُمْ غَاشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.

Kemudian Sultan Hârun al-Rasyîd menangis, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 341).

Sumber: Alif.ID

21. Pembahasan Tasawuf

“Barangsiapa yang bertasawuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman), dan barangsiapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa bertasawuf maka dia disebut fasiq. Barangsiapa yang menyeimbangkan antara keduanya maka dialah ahli haqîqat yang sesungguhnya (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 64)”

Demikian terjemahan dari kalimat ini:

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam bahwa Allâh SWT telah menyebutkan di dalam Alquran orang-orang yang tulus,  taat (patuh), tunduk, yakin, ihlas,  berbuat baik, dan orang-orang yang takut kepada Allâh. Alquran juga menyebutkan  orang-orang yang selalu mengharap ridha Allâh,  ahli ibadah, orang-orang yang beri‘tikaf,  sabar,  ridha,  tawakal,  tawaddhu‘,  mencintai Allâh, dan bertaqwa. Mereka adalah orang-orang pilihan,  berbakti, dan  dekat dengan Allâh.

Tidak ada pula perbedaan pendapat bahwa mereka semua adalah umat Muhammad SAW. Jika mereka tidak ada di masa nabi Muhammad dan memang mustahil keberadaannya di semua masa, maka tentu Allâh tidak akan menyebutkannya di dalam Alquran dan Rasûlullah tidak akan menjelaskannya di dalam Hadis, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 20).

وَمَوْضُوْعُ هٰذَا الْعِلْمِ: اَلذَّاتُ الْعَلِيَّةُ، لِأَنَّهُ يَبْحَثُ عَنْهَا بِاعْتِبَارِ مَعْرُوْفَتِهَا : ذَاتًا وَصِفَاتٍ وَأَسْمَاءٍ : تَعَلُّقًا وَتَـخَلُّقًا وَتَـحَقُّقًا. وَوَاضِعُهُ: اَلرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحْيًا وَإِلْهَامًا. وَحَدُّهُ: صِدْقُ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ تَعَالٰى مِنْ حَيْثُ يَرْضَى، بِمَا يَرْضَى. وَاسْتِمْدَادُهُ: مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَإِلْهَامَاتِ الصَّالِـحِيْنَ، وَفُتُوْحَاتِ الْعَارِفِيْنَ. وَثَمْرَتُهُ: تَصْفِيَةُ الْبَوَاطِنِ بِالتَّخَلِّيَّةِ وَالتَّحَلِّيَّةِ لِتَتَهَيَّأَ لِوَارِدَاتِ الْأَنْوَارِ الْإِلٰهِيَّةِ وَالْفُتُوْحَاتِ الرَّبَّانِيَّةِ.

Tema pembahasan tasawuf adalah dzat yang maha tinggi (Allâh), karena yang dibahas tentang ma’rifatullah baik dzat, sifat dan nama-nama-Nya dengan ta’alluq, takhalluq, dan tahaqquq-Nya. Peletak dasar tasawuf adalah Rasulullah SAW melalui wahyu dan ilham. Batas tasawuf adalah kebenaran dalam ber-tawajjuh (menghadap) kepada Allâh dari apa saja dan dengan apapun yang diridhai-Nya.

Landasan/dasar tasawuf adalah Alquran, Hadis, ilham para orang-orang shalih dan orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang terbuka hatinya). Buah tasawuf adalah membersihkan batin dengan takhalliyah (membersihkan batin dari sifat-sifat tercela) dan tahalliyah (membersihkan batin dengan sifat-sifat terpuji) agar siap untuk menerima nur ilâhiyah (cahaya ketuhanan), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 60).

Rukun Tasawuf

Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasanî menjelaskan beberapa rukun tasawuf berikut ini;

وَقَدْ قَالُوْا: اَرْكَانُ التَّصَوُّفِ مَجْمُوْعَةٌ فِيْ اَرْبَعَةِ الْاَشْيَاءِ، وَهِيَ: كَفُّ الْأَذَى، وَحَمْلُ الْجَفَا، وَشُهُوْدُ الصَّفَا، وَرَمْيُ الدُّنْيَا بِاالْقَفَا.

Rukun tasawuf ada empat;

  1. Kafful Adzâ, yakni Mencegah penganiayaan/kezhaliman,
  2. Hamlul Jafâ, yakni Sabar (menerima) ketidakramahan atau kebrutalan orang lain,
  3. Syuhudu al-Shafâ, yakni kejernihan hatinya tampak dalam perilakunya, dan
  4. Ramyud Dunyâ bil Qafâ, yakni Menghilangkan kecintaan dunia (zuhud), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 13).

Lima Pokok/Dasar Tasawuf

نَقْضُ الْأُصُوْلِ وَالْأَرْكَانِ هُوَ: إِهْمَالُهَا وَالْعَمَلُ بِأَضَدَادِهَا. وَأُصُوْلُ التَّصَوُّفِ خَمْسَةٌ: تَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ. وَاِتْبَاعُ السُّنَّةِ فِي الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ. وَالْإِعْرَضُ عَنِ الْـخَلْقِ فِي الْإِقْبَالِ وَالْإِدْبَارِ. وَالرِّضَى مِنَ اللهِ فِي الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ. وَالرُّجُوْعُ إِلَى اللهِ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ.

  • Taqwa kepada Allâh di kala sepi dan dalam keramaian,
  • Mengikuti sunnah Nabi dalam segala ucapan dan perbuatan,
  • Tidak bergantung terhadap makhluk baik di hadapan maupun di belakangnya,
  • Ridha dengan pemberian Allâh baik banyak maupun sedikit, dan
  • Semua permasalahan di kembalikan kepada Allâh baik dalam waktu gembiRA maupun susah, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 354).
  • Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu Tasawuf

وَأَمَّا ثُبُوْتُ شَرَفِهِ بِاالنَّقْلِ، فَلَا شَكَّ أَنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ الْأُمَّةِ وَرَدَتْ بِمَدْحِ جُزْئِيَّاتِهِ وَمَسَائِلِهِ، كَالتَّوْبَةِ، وَالتَّقْوَى، وَالْإِسْتِقَامَةِ، وَالصِّدْقِ، وَالْإِخْلَاصِ، وَالطُّمَأْنِيْنَةِ، وَالزُّهْدِ، وَالْوَرَعِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالرِّضَى، وَالتَّسْلِيْمِ، وَالْمَحَبَّةِ، وَالْمُرَاقَبَةِ، وَالْمُشَاهَدَةِ، وَغَيْرِ ذٰلِكَ مِنْ مَسَائِلِهِ.

Keutamaan dan kemuliaan ilmu tasawuf tidak diRagukan di dalam Alquran, Hadis dan Ijma’ ‘Ulama’ tentang  bagian-bagian dan berbagai permasalahannya, seperti taubat, taqwa, istiqamah, jujur, ikhlas, thuma‘ninah, zuhud, wara’, tawakkal, ridha, berserah diri, kecintaan kepada Allâh, muraqabah, musyahadah, dan lain sebagainya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 61).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mengetahui perilaku hati (yang baik atau yang tercela) dan cara membersihkan dari sifat-sifat tercela serta menghiasi diri dengan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang tercela. Sasaran tasawuf adalah perilaku hati dan panca indra, sedangkan buahnya adalah sucinya hati dan ma‘rifat, juga selamat di akhirat dan ridha Allâh serta kebahagiaan yang abadi.

Sedangkan kemuliaannya adalah;

(وَفَضْلُهُ) أَنَّهُ أَشْرَفُ الْعُلُوْمِ لِتَعَلُّقِهِ بِمَعْرِفَةِ اللهِ تَعَالَى وَ حُبِّهِ وَهِيَ أَفْضَلُ عَلَى اْلإِطْلاَقِ (وَنِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُوْمِ) أَنَّهُ أَصْلٌ لَهَا وَشَرْطٌ فِيْهَا إِذْ لَا عِلْمَ وَلاَ عَمَلَ إِلاَّ بِقَصْدِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ فَنِسْبَتُهُ لَهَا كَالرُّوْحِ لِلْجَسَدِ.

Keutamaannya ilmu tasawuf sesungguhnya paling mulia karena berhubungan dengan ma‘rifat dan cinta kepada Allâh SWT, sementara hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu yang lainnya adalah menjadi pokok dan syarat atas keberadaan ilmu-ilmu yang lain, karena tidak ada ilmu dan amal kecuali bertujuan tawajjuh kepada Allâh SWT bisa disimpulkan bahwa hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu-ilmu yang lain seperti halnya ruh dengan jasad, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406).

Hakikat Tasawuf

Tasawuf adalah sebuah ilmu untuk menggembleng batin yang bertujuan agar keadaan dan perilaku diri menjadi lebih baik, dan semakin dekat dengan Allâh sang Khaliq. Sehingga tidak salah jika tasawuf disebut sebagai ilmu batin, karena sasaran utamanya adalah sisi batin. Tasawuf adalah ilmu yang paling luhur dan agung, yang paling terang dalam menyinari batin.

وَاعْلَمْ أَنَّ التَّصَوُّفَ وَيُقَالُ لَهُ عِلْمُ الْبَاطِنِ. مِنْ أَجَلِّ الْعُلُوْمِ قَدْرًا وَأَعْظَمِهَا مَحَلاًّ وَفَخْرًا. وَأَسْنَاهَا شَمْسًا وَبَدْرًا . وَقَدْ فَضَّلَ اللهُ أَهْلَهُ عَلَى الْكَافَّةِ مِنْ عِبَادِهِ بَعْدَ رُسُلِهِ وَأَنْبِيَائِهِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ. وَجُعِلَ قُلُوْبُهُمْ مَعْدَنَ اْلأَسْرَارِ. وَاخْتَصَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اْلأُمَّةِ بِطَوَالِعِ اْلأَنْوَارِ. فَهُمُ الْغِيَاثُ لِلْخَلْقِ. وَالدَّائِرُوْنَ فِيْ عُمُوْمِ أَحْوَالِهِمْ مَعَ الْحَقِّ.

Sehingga para Mutashawwif atau Sufi (orang yang mempelajari dan berperilaku Tasawuf) adalah orang-orang yang diberikan keunggulan dari semua manusia setelah para Nabi dan Rasul. Dalam hati mereka terkuak rahasia-rahasia langit. Hati mereka penuh dengan cahaya Ilahi dan mereka menjadi penolong dan pelindung bagi umat yang membutuhkannya. Karena hati mereka selalu bersama Allâh al-Haq (Yang Maha Benar), maka setiap ucapan dan perbuatan mereka bersumber dari al-Haqq, sehingga selalu diarahkan pada kebenaran, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 404).

قَدْ عَلِّمُوْا أَنَّ دَوَامَ السَّيْرِ قَطْعًا يُؤَدِّيْ إِلَى الْوُصُوْلِ.

Sudah diketahui bahwa sebuah perjalanan seseorang yang langgeng (ber-tasawuf) dapat mengantarkan pada wushûl (sampainya seorang sûfî kepada ma‘rifatullah), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 72).

Wushûl kepada Allâh SWT yang dimaksud adalah ketika seorang Sûfî atau Sâlik (murid) sampai pada titik kesenangan, ketenangan, dan kerinduan kepada Allâh SWT yang besar dan jernihnya cinta kepada Allâh SWT hal ini lah yang kemudian seorang sufi atau salik mendapatkan predikat/gelar al-Shâdiq, as-Sâirin, dan al-Thâlibin. Ketiga gelar ini adalah derajad yang dekat dengan Allâh SWT, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 265)

Oleh karena itu, ilmu untuk menggembleng dan membenahi sisi batin adalah sebuah ilmu yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dipilih oleh Allâh SWT

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ تَعَالَى وَحُكْمٌ مِنْ حِكَمِ اللهِ يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ . أَخْرَجَهُ الدَّيْلَمِيْ عَنْ عَلِي، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 324).

Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Ilmu batin adalah salah satu rahasia dari rahasia-rahasia Allâh SWT, dan salah satu hukum dari hukum-hukum Allâh SWT yang diletakkan dalam hati para hamba yang dikehendaki-Nya”. HR. ad-Dailami dari Ali, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324).

Mati/Lenyapnya Ilmu Tasawuf

Tasawuf atau tarekat akan hilang sebab para ahlinya wafat, dengan demikian akan hilang pula pengetahuan atau ilmunya (haliyah, tradisi-tradisi dll).

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتِّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.

Sesungguhnya Alah tidak akan mengambil suatu ilmu dari suatu kaum, akan tetapi Allâh akan mengambilnya dengan mewafatkan para ulama’ sehingga tidak ada seorangpun yang ‘alim, kemudian mereka menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang ketika ditanya, maka mereka menjawab (memberikan fatwa) dengan tanpa landasan keilmuan, yang sesat dan menyesatkan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 15).

Sumber: Alif.ID

22. Istilah-istilah dalam Tasawuf

Penjelasan dan keterangan

Berikut ini adalah penjelasan beberapa istilah;

  • Sâlik adalah murid, yakni para penempuh jalan ruhani, (Mu’jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 190).
  • Tahallî adalah menghiasi diri dengan asma-asma Allâh sesuai dengan batasan yang telah disyari‘atkan yang sulit untuk dibedakan, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 168). Tahallî juga berarti sebgai tahapan penghiasan diri dengan segala amal shalih, (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12)
  • Takhallî adalah menyendiri dan berpaling dari hal-hal yang dapat menyibukkan diri dari Allâh SWT, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 169). Takhallî juga berarti tahapan pengosongan dan pembersihan diri dari sifat dan perbuatan tercela, (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12)
  • Tajallî adalah nur ilahiyah yang turun kepada seseorang yang bisa membuka hati dari rahasia alam ghaib, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 171). Tajallî juga bermaksud sebagai tahapan penampakan diri Tuhan atau nur ilahiyah kepada para salik menuju kedekatan dengan Tuhan (ma’rifat billah), (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12).
  • Sirrî adalah sesuatu yang tidak bisa diRasakan oleh angan-angan, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 211).
  • Fana’ dan Baqa’ adalah dua nama yang menjadi sifat seorang hamba yang selalu mengesakan Allâh SWT Sehingga menjadikan terangkatnya deRajat dari golongan orang ‘awâm menuju kepada deRajat golongan orang yang khâs (khusus). Artinya Fana’ dan Baqa’ pada awalnya adalah hilangnya kebodohan sebab tetapnya ilmu dan hilangnya kemaksiatan sebab ketaatan atau kepatuhan, hilangnya lupa kepada Allâh sebab dzikir dan hilangnya melihat geRAk-gerik hamba disebabkan tetapnya melihat pertolongan Allâh SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 195). Fana’ juga berarti hilangnya sifat-sifat yang buruk, dan Baqa’ berarti tampaknya sifat-sifat yang terpuji, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Mengenai hakikat Fana’ dan Baqa’ dijelaskan;

(وَأَمَّا حَقِيْقَةُ الْفَنَاءِ وَالْبَقَاءِ) فَالْفَنَاءُ سُقُوْطُ الْأَوْصَافِ الْمَذْمُوْمَةِ، وَالْبَقَاءُ وُجُوْدُ الْأَوْصَافِ الْمَحْمُوْدَةِ. فَمَتَى بَدَلَ الْعَبْدُ أَوْصَافَهُ الْمَذْمُوَمَةَ فَقَدْ حَصَلَ لَهُ الْفَنَاءُ وَالْبَقَاءُ. وَالْفَنَاءُ اِثْنَانِ: (أَحَدُهُمَا) مَا ذَكَرْنَاهُ وَهُوَ بِكَثْرَةِ الرِّيَاضَةِ (وَالثَّانِيْ) عَدَمُ الْإِحْسَاسِ بِعَالَمِ الْمَلَكُوْتِ، وَهُوَ بِالْاِسْتِغْرَاقِ فِيْ عَظَمَةِ الْبَارِي وَمُشَاهَدَةِ الْحَقِّ. (جامع الأصول في الأولياء، 172)

Adapun hakikat fana’ dan baqa’. Fana’ adalah hilangnya sifat-sifat yang hina, dan baqa’ adalah wujudnya sifat-sifat yang terpuji. Ketika seorang hamba (sâlik) mengganti sifat-sifatnya yang hina, maka tercapailah baginya fana’ dan baqa’. Fana’ ada 2 macam; pertama sebagaimana yang telah kami sebutkan yaitu dengan memperbanyak riyadhah (olah batin, tirakat; jawa) kedua, tidak adanya pengindraan terhadap ‘alam malakut, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam keagungan Allâh Sang Pencipta, dan musyahadah (seakan melihat) Allâh Yang Haq, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172, lihat juga di dalam kitab al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Allâh SWT telah menetapkan ukuran segala sesuatu sebelum alam diciptakan pada zaman azali. Ketetapan ini dalam bahasa tauhid lebih dikenal dengan istilah qadha’, yang berarti kehendak atau ketetapan Allah terkait dengan segala sesuatu baik yang wujud maupun tidak wujud. Karena qadha’ adalah kehendak Allâh SWT, maka qadha’ merupakan salah satu sifat dari dzat Allâh SWT yang qadim (lampau yang tidak ada permulaannya).

وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَهُوَ تَعَلُّقُ إِرَادَةِ اللهِ بِالْأَشْيَاءِ فِي اْلأَزَلِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْمَا لاَ يَزَالُ عَلَى وِفْقِ عِلْمِهِ فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ. وَأَمَّا الْقَدَرُ فَهُوَ إِيْجَادُ اللهِ اْلأَشْيَاءَ عَلَى قَدَرٍ مَخْصُوْصٍ، وَوَجْهٍ مُعَيَّنٍ أَرَادَهُ اللهُ تَعَالَى فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ اْلأَفْعَالِ ، فَالْقَضَاءُ قَدِيْمٌ وَالْقَدَرُ حَادِثٌ. (تنوير القلوب، ص 87)

Setiap ketetapan tersebut diwujudkan dalam qadar dengan ukuran-ukuran tertentu, dan dengan bentuk-bentuk tertentu. Qadar adalah bentuk perwujudan dari sebuah perencanaan Allah pada zaman azali. Karena qadar berhubungan dengan perwujudan terhadap ada atau tidaknya segala sesuatu, maka qadar bersifat Hadis (baru), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 87).

Berikut ini adalah sebuah Hadis yang menjelaskan bahwa do’a dapat menolak qadha’ dan perbuatan baik dapat menambah umur.

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيْدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (فيض القدير، ج 6، ص 582)

Rasûlullah SAW bersabda: “Tiada yang bisa menolak qadha’ (ketentuan Allah) kecuali do’a, dan tiada yang dapat menambah usia kecuali perbuatan baik”, (Faydh al-Qadîr, juz 6 halaman: 582).

  • Sementara itu ikhlâs adalah perbuatan yang didasari ketulusan, yakni beRAmal tanpa mengharap imbalan apapun, baik imbalan yang bersifat duniawi maupun imbalan yang bersifat ukhRawi, antara zhahir dan batin sama-sama rela. Pengertian ikhlas ini, lebih lumRAh kita dengar dalam istilah Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Menurut pendapat Syaikh Ruwaim disebutkan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya layaknya dia menyembunyikan keburukannya, sehingga sama sekali dia tidak ingin menampakkan apalagi memamerkan kebaikan apapun yang pernah dilakukannya. berikut penjelasannya;

قَالَ: الْإِخْلَاصُ كُلُّ عَمَلٍ لَا يُرِيْدُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ غَرْضًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. وَقَالَ: هُوَ أَنْ تَسْتَوِيَ عِبَادَةُ الْعَابِدِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ. وَقِيْلَ: الْمُخْلِصُ مَنْ يُخْفِيْ حَسَنَاتِهِ، كَمَا يُخْفِيْ سَيِّئَاتِهِ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 274)

Ruwaim berkata: “Ikhlâs adalah semua perbuatan yang pelakunya tidak mengharapkan bagian baik di dunia maupun di akhirat”. Ruwaim selanjutnya berkata: “Ikhlâs adalah penyembahan seorang hamba antara zhahir dan batinnya sama”. Dikatakan pula bahwa seseorang yang ikhlâs adalah (seperti) orang yang menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana dia menyembunyikan keburukannya,  (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 274)

وَضِدُّ الْإِخْلَاصِ الرِّيَاءُ وَهُوَ إِرَادَةُ نَفْعِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ

  • Kebalikan ikhlas adalah riya’, riya’ adalah menghendaki kemanfaatan dunia dengan perbuatan akhirat, (Sirâj al-Thâlibîn, juz 2, halaman: 364).

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ خَرَجُوْا مِن دِيَارِهِم بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّوْنَ عَن سَبِيْلِ اللهِ وَاللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ، (الأنفال: ٤٧)

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allâh SWT Dan (ilmu) Allâh SWT meliputi apa yang mereka kerjakan, (Q.S. al-Anfâl: 48)

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ وَهُوَ الرِّيَاءُ (إرشاد العباد، ص: 67، سراج الطالبين، ج 1، ص: 233).

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah Hadis dari Rasûlullâh SAW: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti atas diri kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (Irsyâd al-‘Ibâd, halaman: 67, Sirâj al-Thâlibîn, Juz 1 halaman: 233).

Riya’ (pamer) dikelompokkan menjadi 5 bagian:

وَالْمُرَائُ بِهِ كَثِيْرٌ وَتَجْمَعُهُ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ وَهِيَ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ الرِّيَاءُ فِى الدِّيْنِ بِالْبَدَنِ: وَذَلِكَ بِإِظْهَارِ النُّحُوْلِ وَالصَّفَارِ لِيُوْهَمَ بِذَلِكَ شِدَّةَ الْاِجْتِهَادِ وَعَظُمَ الْحُزْنِ عَلَى أَمْرِ الدِّيْنِ وَغَلَبَةِ خَوْفِ الآخِرَةِ، فَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَيُرَاؤُوْنَ بِإِظْهَارِ السِّمَنِ وَصَفَاءِ اللَّوْنِ وَاعْتِدَالِ الْقَامَةِ وَحُسْنِ الْوَجْهِ وَنَظَافَةِ الْبَدَنِ وَقُوَّةِ الْأَعْضَاءِ وَتَنَاسُبِهَا، الثَّانِى الرِّيَاءُ بِالْهَيْئَةِ وَالزِّيِّ: أَمَّا الْهَيْئَةُ فَبِتَشْعِيْثِ شَعْرِ الرَّأْسِ وَحَلْقِ الشَّارِبِ وَإِطْرَاقِ الرَّأْسِ فِى الْمَشِيِّ وَالْهُدُوْءِ فِى الْحَرَكَةِ وَإِبْقَاءِ أَثَرِ السُّجُوْدِ عَلَى الْوَجْهِ، وَالْمُرَاؤُوْنَ بِالزِّيِّ عَلَى طَبَقَاتٍ: فَمِنْهُمْ مَنْ يَطْلُبُ الْمَنْزِلَةَ عِنْدَ أَهْلِ الصَّلَاحِ بِإِظْهَارِ الزُّهْدِ فَيَلْبِسُ الثِّيَابَ الْمُخْرِقَةَ الْوَسَخَةَ الْقَصِيْرَةَ الْغَلِيْظَةَ لِيُرَائِيَ بِغَلَظِهَا وَوَسَخِهَا وَقَصْرِهَا وَتَخَرُّقِهَا أَنَّهُ غَيْرُ مُكْتَرِثٍ بِالدُّنْيَا، الثَّالِثُ الرِّيَاءُ بِالْقَوْلِ: وَرِيَاءُ أَهْلِ الدِّيْنِ بِالْوَعْظِ وَالتَّذْكِيْرِ وَالنُّطْقِ بِالْحِكْمَةِ وَحِفْظِ اْلأَخْبَارِ وَالآثَارِ، وَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَمُراَءَاتُهُمْ بِالْقَوْلِ بِحِفْظِ الْأَشْعَارِ وَالْأَمْثَالِ والتَّفَاصُحِ فِى الْعِبَارَاتِ وَحِفْظِ النَّحْوِ الْغَرِيْبِ لِلْإِغْرَابِ عَلَى أَهْلِ الْفَضْلِ وَإِظْهَارِ التَّوَدُّدِ إِلَى النَّاسِ لِاسْتِمَالَةِ الْقُلُوْبِ، الرَّابِعُ الرِّياَءُ بِالْعَمَلِ: كَمُرَاءَاةِ الْمُصَلِّى بِطُوْلِ الْقِيَامِ وَمَدِّ الظَّهْرِ وَطُوْلِ السُّجُوْدِ وَالرُّكُوْعِ وَإِطْرَاقِ الرَّأْسِ، وَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَمُرَاءَاتُهُمْ بِالتَّبَخْتُرِ وَالْإِخْتِيَالِ وَتَحْرِيْكِ الْيَدَيْنِ وَتَقْرِيْبِ الْخَطَا وَالْأَخْذِ بِأَطْرَافِ الذَّيْلِ وَإِدَارَةِ الْعَطْفَيْنِ لِيَدُلُّوْا بِذَالِكَ عَلَى الْجَاهِ وَالْخَشَمَةِ، الْخَامِسُ: الْمُرَاءَاةُ بِالْأَصْحَابِ وَالزَّائِرِيْنَ وَالْمُخَالَطِيْنَ كَالَّذِيْ يَتَكَلَّفُ أَنْ يَسْتَزِيْرَ عَالِمًا مِنَ الْعُلَمَاءِ لِيُقَالَ إِنَّ فُلَانًا قَدْ زَارَ فُلَانًا، (احياء علوم الدين، ج 3، ص: 263-264).

Riya’ (pamer) banyak sekali macamnya dan dikelompokkan menjadi lima bagian:

  1. Riya’ dalam masalah agama dengan badannya, yaitu dengan memperlihatkan kurusnya badan dan pucatnya wajah agar orang tersebut disangka sebagai orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan sangat prihatin atas perkara agama dan sangat takut kepada akhirat. Adapun ahli dunia maka dia memamerkan dengan menampakkan kegemukannya, bersihnya kulit, tegak bentuk tubuhnya, ketampanan wajahnya, bersih dan kuatnya anggota badan, dsb.
  2. Riya dengan keadaaan tubuh dan penampilan. Adapun riya dengan keadaan tubuh adalah kumalnya rambut, memotong kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, pelan-pelan dalam bergerak dan menetapkan bekasnya sujud pada kening. Sedangkan riya dengan penampilan adalah orang yang mendapatkan kedudukan menurut ahli shalâh (ahli kebaikan) dengan menampakkan kezuhudannya dengan menggunakan pakaian compang-camping, kotor, pendek, kasar kainnya supaya terlihat jelek, kumuh, pendek, dan compang-camping pakaian tersebut sesungguhnya dia tidak termasuk orang yang susah di dunia.
  3. Riya’ dengan ucapan. Riya ahli agama adalah dengan petuah, memberi nasihat, ucapan yang bijaksana, menjaga Hadis Nabi dan atsar sahabat Nabi. Adapun riya’ ahli dunia adalah dengan ucapan, yaitu dengan menghafal syair-syair serta pribahasa, fasih dalam mengucapkan kalimat, menjaga kaidah bahasa yang aneh. Bagi orang yang memiliki keutamaan menampakkan Rasa senang pada manusia supaya mendapatkan simpati
  4. Riya’ dengan perbuatan, seperti riyanya orang yang shalat dengan memperpanjang berdiri ketika sholat, menegakkan punggung, memanjangkan sujud dan ruku’ dan menundukkan kepala. Adapun ahli dunia, riyanya dengan sombong, menghayal, menggerak-gerakkan kedua tangan, memperpendek langkah kaki, mengambil sesuatu dengan saputangan, mencari simpati supaya memperoleh jabatan dan nama baik
  5. Riya’ dengan banyaknya sahabat, orang yang berkunjung, teman sejawat, seperti orang yang mempertajam ucapan dengan tujuan supaya para ‘Ulama’ mendatanginya sehingga dia mengatakan sesungguhnya ‘Ulama’ ini telah mendatangi seseorang, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 263-264).
  • Berikutnya penjelasan mengenai Ahwal yang merupakan jama’ dari kata hâl, yang bermakna sesuatu yang terjadi di dalam hati atau hati yang tertimpa sesuatu. Menurut al-Junaidi, hâl adalah sesuatu yang singgah di dalam hati. Karena itulah, hâl tidak bisa kekal, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 40). Hâl juga berarti sebuah makna atau keadaan yang datang pada hati dan bukan hasil usaha dari diri Sâlik, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 57)

Bersambung…

Sumber: Alif.ID

23. “Wira’i”

Begitu banyak istilah dalam ilmu tasawuf. Edisi ini masih melanjutkan tema mengenai istilah-istilah dalam tasawuf. Yang pertama adalah wira’iWira’i adalah maqam yang mulia.  Rasûlullah SAW bersabda, “tiang agamu adalah wira’i“.

Wira’i memiliki tiga tingkatan:

1) Orang yang menghindari syubhat, yaitu sesuatu antara halal dan haram. 2) Orang yang menghindari sesuatu yang menghentikan hati dari berdzikir kepada Allâh SWT. 3) Orang-orang yang terhindar dari sesuatu yang menyibukkan hatinya dari berdzikir kepada Allâh SWT (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 42).

Orang-orang yang wira’i juga memiliki perbedaan berdasarkan tingkatannya;

وَالْوَرَعُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: وَرَعُ اْلعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَتَكَّلَمَ إِلاَّ بِاللهِ سَاخِطًا أَوْ رَاضِيًا، وَوَرَعُ الْخَاصِّ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ كُلَّ جَارِحَةٍ عَنْ سُخْطِ اللهِ، وَوَرَعُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ

جَمِيْعُ شُغْلِهِ يَرْضَى اللهُ بِهِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).

Wara‘ ada tiga macam; Wara‘-nya orang ‘awâm yaitu tidak berbicara kecuali dengan Allâh SWT, baik dalam keadaan senang atau tidak. Wara‘-nya orang khâsh adalah dengan menjaga semua anggota tubuh dari kemurkaan Allâh SWT, dan Wara‘-nya orang akhâsh yaitu dengan (menjaga) semua kesibukannya agar diridhai oleh Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Berikut ini adalah mutiara nasihat Dzunnun al-Mishri yang terangkum dalam kitab Hilyah:

1. Tiga tanda khauf (takut) adalah; a) wara‘ dari barang syubhat dengan cara memperhatikan ancaman, b) Menjaga lisan dengan memperhatikan keagungan, dan c) Mengobati kesedihan yang berat menjadi lebih ringan daripada menghadapi murka dzat yang sabar lagi pemaaf (al-Halîm).

2. Tiga tanda amal ikhlas; a) Pujian dan hinaan dari manusia terasa sama, b) Melupakan pandangan manusia tentang amal karena memandang kepada Allâh SWT, dan c) Menetapkan pahala amal di akhirat dengan pengampunan Allah dan menetapkannya di dunia dengan pujian yang baik.

3. Tiga tanda kesempurnaan amal adalah; a) Meninggalkan perjalanan keliling negara-negara, b) Menyedikitkan atau meminimalkan kegembiraan karena mendapatkan kenikmatan seperti menghadapi cobaan, dan c) Ketulusan hati pada semua keadaan baik Rahasia maupun terlihat.

4. Tiga tanda ‘Amal Yaqin adalah; a) Meminimalkan perbedaan dengan manusia dalam pergaulan, b) Tidak menghiraukan pujian manusia, dan c) Menghilangkan hinaan manusia.

5. Tiga tanda tawakkal; a) Melepaskan hubungan-hubungan dengan manusia, b) Tidak mencari simpati dalam kesempatan untuk menaikkan kedudukan, dan c) Jujur dalam mu‘amalah (pekerjaan) dengan sesama mahluk.

6. Tiga tanda kesabaran adalah; a) Menjauhi pergaulan dengan keras, b) Berdiam diri pada saat terkena cobaan, dan c) Menampakkan kekayaan dalam kehidupan padahal berada dalam jeratan kefakiran

7. Tiga tanda hikmah adalah; a) Melepaskan jiwa dari keterikatan dengan manusia, b) Menasihati manusia menurut kadar akalnya sehingga mereka mampu melakukan nasihat tersebut. Sedangkan yang ketiga beliau tidak menyebutkan.

8. Tiga tanda zuhud adalah; a) Angan-angan yang pendek, b) Cinta kefakiran, dan c) Merasa cukup dengan kesabaran.

9. Tiga tanda ahli ibadah adalah; a) Mencintai waktu malam untuk digunakan tahajjud, berdzikir dan berkhalwat, b) Tidak suka dengan datangnya tubuh karena terlihat manusia, dan c) Lupa dengan amal-amal yang baik karena takut timbul fitnah.

10. Tiga tanda tawaddhu‘; a) Mengecilkan diri karena mengetahui celah pada dirinya, b) Menghormati manusia karna menghormati ke-Esaan Allâh SWT, dan c) Menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain

11. Tiga tanda dermawan adalah; a) Memberikan sesuatu padahal dirinya membutuhkan, b) Takut meRasa cukup karena pemberiannya tidak diikuti orang lain, dan c) Takut jiwanya meRasa cukup karena berhasil memasukkan kebahagiaan kepada manusia.

12. Tiga tanda budi pekerti yang baik adalah: a) Meminimalkan perbedaan terhadap manusia yang bergaul, b) Memperbaiki ahlak yang ditolak (jelek), dan (c) Menetapkan tercegahnya nafsu yang selalu mencela terhadap orang-orang yang berselisih dengannya tanpa mengetahui aib mereka.

13. Tiga tanda belas kasih Rasul bagi makhluk; beliau tidak menyebutkan yang pertama, melainkan yang kedua dan yang ketiga, yaitu: b) Menangisi (sedih dalam hati) terhadap anak yatim dan orang-orang miskin, dan c) Menghilangkan hinaan terhadap musibah orang muslim dan memberikan nasihat kepada manusia.

14. Tiga tanda orang-orang yang berkecukupan dengan Allâh SWT adalah: a) Tawaddhu‘ kepada orang-orang faqir dan orang-orang yang hina, b) Mengagungkan terhadap orang-orang kaya yang sombong, dan c) Meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang cinta dunia lagi sombong.

15. Tiga tanda malu: a) Menemukan kedamaian dalam hati dengan hilangnya keresahan, b) Memenuhi kholwatnya dengan tafakkur bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh, dan (c) MeRasakan kewibawaan Allâh SWT dengan muraqabah yang jernih.

16. Tiga tanda ma‘rifat adalah: a) Menerima apa adanya atas semua yang ditetapkan oleh Allâh SWT, (b) Memutuskan semua hal yang merintangi jalan menuju Allah. (c) Bangga dengan Allâh SWT

17. Tiga tanda taslîm (orang yang pasrah): a) Menerima semua ketentuan-ketentuan Allâh SWT dengan senang hati, b) Bersabar ketika menerima cobaan, dan c) Bersyukur ketika dalam kebingungan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 31-32).

Kemudian, Dzunnun al-Mishri meneruskan kembali nasihat-nasihatnya di halaman berikutnya:

1. Tiga tanda al-Hummul (menyembunyikan amal baik); a) Tidak bicara kepada orang atau mencegah pembicaraan, b) Tidak suka menampakkan ilmu di depan teman, dan c) MeRasa menemukan sesuatu yang menyakitkan ketika memberi nasihat, karena tidak menyukai perkataan.

2. Tiga tanda al-Hilm (sabar dan pemaaf) adalah; a) Meminimalkan amarah saat perbedaan pendapat dan menerima manusia karena tawaddhu‘ kepada Allâh SWT, b) Melupakan perbuatan jelek seseorang dan memaafkannya, dan c) Membalas kejelekan seseorang dengan kebaikan.

3. Tiga tanda Taqwâ; a) Meninggalkan kesenangan yang tercela walaupun ada kesempatan melakukannya, b) Melakukan amal-amal kebaikan walaupun nafsu berlari darinya, dan c) menyampaikan amanat kepada pemiliknya walaupun ada kebutuhan terhadapnya.

4. Tiga tanda yang menempel (dekat) dengan Allâh SWT; a) Lari kepada Allâh SWT dalam semua keadaan, b) Meminta kepada Allâh SWT atas segala sesuatu, dan c) Meminta arahan tiap waktu terhadap-Nya.

5. Tiga tanda raja‘ adalah; a) Beribadah dengan manisnya hati, b) Bernafaqah (bersedekah) di jalan Allâh SWT karena meyakini adanya pahala, dan c) Tiada henti-hentinya melaksanakan keutamaan amal dengan kejernihan jiwa.

5. Tiga tanda malu (kepada manusia) adalah; a) Menimbang ucapan sebelum berbicara, b) Menjauhi sesuatu yang akan membutuhkan alasan darinya, dan c) Meninggalkan ajakan orang bodoh karena merasa kasihan kepadanya.

6. Tiga tanda malu (kepada Allah) seperti yang disabdakan Rasûlullah SAW;

قَالَ الرَّسُوْلُ: أَنْ لَا تَنْسَى الْمَقَابِرَ وَالْبَلَا، وَ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى، وَ أَنْ تَتْرُكَ زِيْنَةَ الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا.

Tiga tanda tersebut adalah; a) Tidak melupakan kuburan dan akhirat, b) menjaga kepala dan isinya, dan c) meninggalkan keindahan kehidupan dunia.

7. Tiga tanda al-Afdhâl (keutamaan) adalah; a) Menyambung kembali tali persaudaraan yang sudah putus, b) Memberi kepada orang yang menolak memberi, dan c) Memaafkan terhadap orang yang mendhalimi.

8. Tiga tanda kejujuran adalah; a) Terus menjaga kejujuran, b) Berdiam diri ketika melihat yang berharga, dan c) Tidak suka istiqamah sirrî (rahasia) kepada Allâh SWT terlihat manusia baik secara diam-diam atau terlihat, hal ini karena lebih mementingkan Allâh SWT dari pada pandangan manusia.

9. Tiga tanda memutuskan rintangan dari jalan menuju Allâh SWT adalah; a) Lebih mendahulukan ilmu, b) Cepat memahami hukum, dan c) Tajam pemahaman.

9. Tiga tanda amal-amal petunjuk (al-rasyîd) adalah; a) Tetangga yang baik, b) Memberi nasihat saat bermusyawarah, dan c) bagus dalam bertetangga.

10. Tiga tanda kebahagiaan adalah; a) Memahami agama, b) Ringan melakukan amal ibadah, dan c) Bagus dalam bertetangga, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 61-62)

Mengenai tanda-tanda orang faqîr yang sesungguhnya, Ibrâhîm al-Khawwâs menjelaskan ada dua; 1) Tidak mau mengeluh/mengadu, dan 2) Menyembunyikan bekas/jejak musibah, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 47).

Berikut ini adalah macam-macam faqîr;

وَالْفَقْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَقْرُ الْعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَطْلُبَ الْمَعْدُوْمَ حَتَّى يَفْقُدَ الْمَوْجُوْدَ، وَفَقْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ السُّكُوْتُ عِنْدَ الْعَدَمِ، وَفَقْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ الْبَذْلُ وَاْلإِيْثَارُ عِنْدَ الْوُجُوْدِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Faqîr ada tiga macam; faqîr-nya orang ‘awâm, yaitu tidak mencari yang tidak ada sehingga barang yang ada menjadi sirna. faqîr-nya orang khâsh yaitu diam ketika tidak adanya sesuatu. faqîr-nya orang akhash, yaitu dengan mengupayakan dan mengutamakan yang ada, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Muraqabah

Berikutnya keterangan mengenai muraqabahMurâqabah secara bahasa berarti pendekatan. Sedangakan secara istilah, murâqabah adalah mata hati yang selalu memandang Allah SWT dengan ta’dzim (mengagungkan-Nya), (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179). Muraqabah juga berarti mengetahui dan meyakini bahwa sesungguhnya Allâh SWT Maha melihat segala sesuatu yang ada di dalam hati dan mengetahui semua itu. Allâh Swt selalu memantau setiap getaran yang tercela yang membuat hati sibuk hingga lupa berdzikir, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 51).

Al-Harits berkata, barangsiapa yang memperbaiki hati/batinnya dengan jalan muraqabah dan ikhlas dalam beramal, maka Allâh akan menghiasi dhahir/lahirnya dengan perilaku mujahadah serta senang melakukan amalan-amalan yang sunnah, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 62).

Selanjutnya adalah penjelasan tentang mahabbatullâh. Yakni cinta kepada Allâh SWT dengan mengikuti jejaknya Nabi Muhammad SAW dari segi akhlak/perilakunya, pekerjaanya, serta hal-hal yang telah diperintahkan. Sunnahnya yaitu mengikuti syari‘atnya sebagaimana mencintai Allâh adalah dengan mencintai Rasul Nya, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 278).

وَلاَ تَحْصُلُ حَقِيْقَةُ الْمَحَبَّةِ مِنَ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ إِلاَّ بَعْدَ سَلاَمَةِ الْقَلْبِ مِنْ كُدُوْرَاتِ النَّفْسِ. فَإِذَا اسْتَقَرَّتْ مَحَبَّةُ اللهِ فِى الْقَلْبِ خَرَجَتْ مَحَبَّةُ الْغَيْرِ. لِأَنَّ الْمَحَبَّةَ صِفَةٌ مُحْرِقَةٌ تَحْرُقُ كُلَّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا (وَعَلاَمَتُهَا) قَطْعُ شَهَوَاتِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ . وَقَالَ يَحْيَ بْنُ مُعَاذٍ: صَبْرُ الْمُحِبِّيْنَ أَشَدُّ مِنْ صَبْرِ الزَّاهِدِيْنَ، (تنوير القلوب، ص: 485).

Hakikat kecintaan seorang hamba kepada Allâh tidak akan terwujud kecuali dengan hati yang telah bersih dari segala kotoran. Ketika mahabbatullâh telah ada dalam hati, maka cinta kepada selain-Nya akan sirna. Ini disebabkan karena mahabbah adalah satu sifat yang bisa membakar segala sesuatu yang tidak termasuk bagian dari mahabbah itu sendiri. Di antara tanda-tanda Mahabbatullâh adalah hilangnya keinginan duniawi maupun ukhaawi. Yahya ibn Mu‘adz berkata: “Kesabaran para pecinta Allâh SWT itu lebih dahsyat daripada kesabaran orang-orang yang ahli zuhud”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 485).

وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامِ: عَلَامَةُ حُبِّ اللهِ حُبُّ ذِكْرِهِ.

Nabi SAW bersabda: “Tanda cinta kepada Allâh SWT adalah cinta menyebut-Nya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 290).

وَحَدَّثَنِيْ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُهِيْلٍ بنِ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ لِجِبْرِيْلَ قَدْ أَحْبَبْتُ فُلاَنًا فَأُحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِيْ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأُحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي اْلأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ مَالِكٌ لاَ أَحْسَبُهُ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِي الْبُغْضِ مِثْلَ ذَلِكَ، (تنوير الحوالك، ج 3، ص: 128).

Sementara itu, Ketika Allâh SWT mencintai seorang hamba karena mulia budi pekerti, kearifan, dan kebijaksanaannya yang selalu bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Maka, tidaklah sulit bagi Allâh SWT untuk mengangkat derajat hamba yang dicintai-Nya. Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril bahwa Dia mencintai seorang hamba, yang kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Dan jika sudah demikian, maka seluruh penduduk langit pun turut mencintai hamba tersebut. Demikan halnya dengan hamba yang dimurkai-Nya, jika Allâh SWT murka terhadap seorang hamba, maka Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Sehingga seluruh penduduk langit pun turut murka pada hamba tersebut, (Tanwîr al-Hawâlik, juz 3, halaman: 128).

Berikutnya tentang prasangka atau praduga yang memiliki peran besar dan hikmah yang agung dalam kehidupan ini. Maka sudah sepatutnya kita harus selalu menjaga setiap bisikan hati agar tetap  berprasangka baik (Husnuzhan) terhadap segala sesuatu yang telah Allâh SWT tetapkan, agar kita termasuk orang-orang yang beruntung. Dan sebaliknya, dengan berburuk sangka (Su’udzan) kepada-Nya akan memberikan kemadharatan pada diri kita sendiri.

Rasûlullâh SAW Bersabda;

قَالَ اللهُ تَعَالٰى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.

Allâh SWT berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika dia berprasangka baik, maka (baik) baginya. Dan jika dia berprasangka buruk, maka (buruk) baginya”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 643).

وَقَدْ قَالَ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ خَيْرًا، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 374).

Allâh SWT berfirman: “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku, oleh karena itu berbaik prasangkalah kepada-Ku”.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian dan sebuah keyakinan bahwa Allâh SWT sangat dekat dengan kita. Sehingga kedekatan itu adalah kedekatan secara hakiki.

الْقُرْبُ الْحَقِيْقِيُّ قُرْبُ اللهِ مِنْكَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ. وَقَالَ تَعَالَى: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لاَ تُبْصِرُوْنَ وَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ. وَحَظُّكَ مِنْ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ مُشَاهَدَتُكَ لِقُرْبِهِ فَقَطْ، فَتَسْتَفِيْدُ بِهَذِهِ الْمُشَاهَدَةِ شِدَّةَ الْمُرَاقَبَةِ وَغَلَبَةَ الْهَيْبَةِ وَالتَّأَدُّبَ بِآدَابِ الْحَضْرَةِ وَأَمَّا أَنْتَ فَلاَ يَلِيْقُ بِكَ إِلاَّ وَصْفُ الْعَبْدِ وَشُهُوْدُهُ مِنْ نَفْسِكَ كَمَا يَقُوْلُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بَعْدَ هَذَا إِلَهِيْ مَا أَقْرَبَكَ مِنِّيْ وَمَا أَبْعَدَنِيْ عَنْكَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 40).

Kedekatan hakiki adalah dekatnya Allâh SWT dengan dirimu. Allâh SWT berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat”, (Q.S. al-Baqarah: 186). Dan Allâh SWT berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”, (Q.S. al-Waqi‘ah: 85).

Dan firman Allâh: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada uRAt lehernya”, (Q.S. Qaaf: 16). Bagianmu dari semua itu adalah persaksianmu terhadap kedekatan-Nya saja. Dengan musyahadah ini kau ambil hikmah dengan kedekatan yang sungguh-sungguh, ketakutan yang mendalam, dan beretika dengan etika di hadapan Allâh SWT Tidak pantas bagimu, kecuali dengan beretika sebagai seorang hamba, dan penyaksianmu kepada Allâh SWT melalui dirimu.

Sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’allif (Ibnu ‘Atha’illah) setelah ini: “Tuhanku, alangkah dekatnya Engkau dariku, dan alangkah jauhnya diriku dari-Mu”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 40).

Pandangan Allâh SWT terhadap makhluk-Nya berbeda dengan apa yang menjadi pandangan makhluk. Allâh SWT memberikan penilaian atas seorang hamba bukan dari sisi zhahirnya, melainkan yang menjadi ukuran adalah sisi batinnya. Seburuk apapun wajah seorang hamba dan serendah apapun derajatnya di mata manusia, namun penilaian Allâh SWT hanya tertuju pada kemuliaan hatinya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullah SAW;

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ . رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 419)

Nabî SAW bersabda: “Sesungguhnya Allâh SWT tidak memandang penampilan kalian, juga tidak memandang harta kalian, melainkan Dia memandang hati kalian”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 419).

Selain itu, ada pula sebuah pengakuan dosa dari seorang hamba dengan memohon ampun kepada Allâh SWT akan tetapi pengakuan tersebut adalah bohong. Hal itulah yang kemudian Rasûlullâh SAW menganggap mereka adalah golongan orang-orang yang menghina Allâh SWT

وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ الْمُسْتَغْفِرُ بِالِّلسَانِ الْمُصِرُّ عَلَى الذُّنُوْبِ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِرَبِّهِ، (تنبيه الغافلين، ص: 370).

Dikisahkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Orang yang memohon ampun dengan lisan (membaca istighfar) tapi tetap melakukan perbuatan dosa, maka dia seperti orang yang menghina Tuhannya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 370).

Sumber: Alif.ID

24. Taubat

Pada dasarnya pengakuan dosa dengan memohon ampun kepada  Allâh SWT merupakan perbuatan taubat. Karena secara harfiah taubat adalah rujû‘ (kembali). Sedangkan secara istilah, taubat adalah kembali dari ucapan dan perbuatan yang buruk menuju ucapan dan perbuatan yang baik.

Firman Allâh SWT;

يٰآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا. (التحريم: ٨)

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang semurni-murninya, (Q.S. at-Tahrîm: 08).

Berikut ini adalah macam-macam taubat;

فَالتَّوْبَةُ وَهِيَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: تَوْبَةُ الْعَامِّ وَهِيَ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالسَّيْئَاتِ، تَوْبَةُ الْخَاصِّ وَهِيَ أَنْ يُخَلِّيَ قَلْبَهُ مِنْ مَعْرِفَةِ مَا سِوَى الله، وَتَوْبَةُ اْلأَخَصِّ وَهِيَ أَنْ تَسْتَغْرِقَ رُوْحَهُ بِمَحَبَّةِ اللهِ

لَابِمَحَبَّةِ غَيْرِ اللهِ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76 )

Taubat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;

  1. Taubat orang ‘awâm yaitu taubat dari dosa dan keburukan,
  2. Taubat orang khâsh adalah mengosongkan hatinya dari ma‘rifat selain Allâh SWT, dan
  3. Taubat orang akhâsh adalah dengan menenggelamkan ruhnya dalam mahabbah (cinta) Allâh SWT, bukan mahabbah selain-Nya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Pembagian-pembagian tersebut didasarkan pada maqam (tingkatan-tingkatan tertentu). Orang ‘awâm adalah orang biasa pada umumnya. Sedangkan orang khâsh ada yang menyebutkan bahwa ini adalah tingkatan para ‘Ulama’, dan para wali (kekasih) Allâh SWT, dan orang akhâsh atau akhâshshul khâsh adalah tingkatan bagi para Nabî dan RAsûl.

Mengenai syarat-syarat taubat dijelaskan sebagai berikut;

شُرُوْطُ التَّوْبَةِ: النَّدَمُ عَلَى مَا عَمِلَ مِنَ الْمُخَالَفَاتِ، وَتَرْكُ الزَّلَّةِ فِى الْحَالِ، وَالتَّصْمِيْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ مَا عَمِلَ مِنَ الْمَعَاصِي. (الرسالة القشيرية، ص 92)

Syarat-syarat taubat adalah menyesali perbuatan yang jelek, meninggalkan perbuatan jelek seketika, membulatkan tekad (berniat) untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 92, lihat juga di dalam kitab Minahu as-Saniyah, halaman: 2). Juga dijelaskan;

(وَشُرُوْطُ التَّوْبَةِ) عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثَةٌ: النَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ، وَالتَّرْكُ فِى الْحَالِ، وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَايَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ فِى الْمُسْتَقْبَلِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص 177-178).

Dan syarat taubat menurut golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah ada tiga; menyesali perbuatan buruk yang telah berlalu, meninggalkan perbuatan buruk, dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan buruk tersebut di masa yang akan datang, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 177-178).

Selanjutnya diterangkan;

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: شُرُوْطُ التَّوْبَةِ ثَمَانِيَةٌ، الثَّلَاثَةُ الْمَذْكُوْرَةُ، وَالرَّابِعُ: أَدَاءُ مَظَالِمِ النَّاسِ وَحُقُوْقِهِمْ، وَالْخَامِسُ: قَضَاءُ مَا فَوْتَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ. وَالسَّادِسُ: إِذَابَةُ كُلِّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ بِالرِّيَاضَةِ وَالْمُجَاهَدَةِ. وَالسَّابِعُ: إِصْلَاحُ الْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ وَالْمَلْبُوْسِ بِجَعْلِهَا مِنْ جِهَّةِ الْحَلَالِ. وَالثَّامِنُ: تَطْهِيْرُ الْقَلْبِ مِنَ الْغِلِّ وَالْغَشِّ وَالْمَكْرِ وَالْحَسَدِ وَطُوْلِ اْلأَمَلِ وَغَيْرِهَا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 178)

Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Syarat-syarat taubat ada 8, yang tiga sudah disebutkan sebelumnya. Dan yang keempat, menerima aniaya manusia dan memenuhi hak-haknya. Kelima, meng-qadha’ kewajiban yang telah tertinggal. Keenam, menghilangkan setiap daging yang tumbuh dari baRAng haram dengan riyadhah dan mujahadah. Ketujuh, mencari makanan, minuman dan pakaian yang halal. Kedelapan, mensucikan hati dari tipu daya, rekayasa, hasud dan banyak beRAngan-angan, dan lain sebagainya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 178).

Alhaqq

Berikutnya adalah penjelasan lafadz-lafadz yang berlaku dikalangan ‘Ulama’ Sufi, antara lain;

  1. اَلْـحَقُّ بِالْـحَقِّ لِلْحَقِّal-haq yang dimaksud adalah Allâh SWT dan di dalam keterangan tafsir Abû Shalih;

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ …. ﴿المؤمنون : ٧١﴾

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka…, (Q.S. al-Mu’minun: 71).

Abû Sa‘îd menjelaskan, yang dimaksud kalimat tersebut di atas adalah mengenai hati seorang hamba yang bersemayam bersama al-haq dengan al-haq dan karena al-haq. Yaitu, al-Haq adalah Allâh SWT

  1. مِنْهُ بِهِ لَهُ, yaitu dari Allâh SWT dengan Allâh SWT dan karena Allâh SWT Maksud dari kalimat tersebut adalah seorang hamba Allâh yang melihat amal perbuatanya dan disandarkan pada dirinya sendiri, maka ketika hatinya sudah dipenuhi dengan cahaya ma‘rifat, dia akan tahu bahwa semua perkara itu dari Allâh SWT, berdiri dengan izin Allâh SWT, diketahui karena Allâh SWT, dan dikembalikan pada Allâh SWT hal inilah yang singgah di hati hamba Allâh SWT dalam suatu waktu, kemudian timbul dalam hatinya peRasaan ridha dan menyerahkan diri pada Allâh SWT dan sifat-sifat baik lainnya, maka hati menjadi jernih pada setiap tingkah laku dan waktunya, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 287).

وَقَالَ سَهَلْ: الْآيَاتُ لِلهِ، وَالْمُعْجِزَاتُ لِلْأَنْبِيَاءِ، وَالْكَرَامَاتُ لِلْأَوْلِيَاءِ، وَالْمَغُوْثَاتُ لِلْمُرِيْدِيْنَ، وَالتَّمْكِيْنُ لِأَهْلِ الْخُصُوْصِ، (طبقات الصوفية، ص: 171).

Sahal berkata: bahwa ayat-ayat adalah milik atau untuk Allâh SWT, mukjizat adalah untuk para Nabi, kaRamah untuk para wali, al-Maghûtsât (pertolongan) untuk orang-orang yang membutuhkan, dan al-Tamkîn (semangat untuk beribadah) bagi orang-orang tertentu, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 171).

Berikutnya penjelasan mengenai tiga ungkapan tentang pembagian ilmu ma‘rifat (ilmu pengetahuan).

وَالْعِبَارَاتُ الَّتِيْ تُطْلَقُ عَلَى الْعُلُوْمِ الْجَلِيَّةِ ثَلَاثَةٌ: عِلْمُ الْيَقِيْنِ، وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ، وَحَقُّ الْيَقِيْنِ، (سراج الطالبين، ج 1، ص: 43).

Yakni Ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan ilmu-ilmu yang agung, yaitu; ‘Ilmul Yaqîn, ‘Ainul Yaqîn, dan Haqqul Yaqîn, (Sirâj al-Thâlibîn, juz 1 halaman: 43).

عِلْمُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنَ الدَّلِيْلِ الْعَقْلِيِّ. وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِالْمُشَاهَدَةِ. وَحَقُّ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنْ فَنَاءِ صِفَاتِ الْعَبْدِ وَبَقَاؤُهُ بِالْحَقِّ عِلْمًا وَشُهُوْدًا وَحَالًالَاعِلْمًا فَقَطْ، فَالَّذِيْ يَفْنَى مِنَ الْعَبْدِ عَلَى التَّحْقِيْقِ صِفَاتُهُ لَاذَاتُهُ، (السير والسلوك إلى ملك الملوك، ص: 39-40).

Ilmul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan dari dalil ‘aqli (nalar). ‘Ainul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan melalui musyahadah. Haqqul yaqîn adalah ilmu yang diperoleh dari fana’ (sirna)-nya sifat-sifat hamba, dan baqa’ (tetap)-nya hamba dengan Allâh SWT yang haqq secara ilmu, persaksian dan hal (anugrah Allâh), dan bukan dengan ilmu saja. Sedangkan yang sirna pada hakikatnya adalah sifat hamba, bukan dzat-Nya, (al-Sair wa al-Sulûk ila Malik al-Mulûk, halaman: 39-40).

Tentang penjelasan lebih lanjut mengenai tiga pembagian ilmu ini, bisa dibaca di Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 196.

Selanjutnya mengenai Ulul ‘Ilmî al-Qâimîn yang merupakan para pewaris nabi yang selalu berpegang teguh pada kitab-kitab Allâh SWT, bersungguh-sungguh mengikuti jejak Rasûlullah SAW, para sahabat, dan tabi‘in yang mengembara di jalan para wali dan orang-orang shalih. Mereka ada tiga kelompok; 1) ahli Hadis, 2) ahli fiqih, dan  3) ahli tasawuf.

Yang menjadi dasar keterangan tersebut adalah Hadis iman. Yakni, ketika malaikat jibril bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal pokok. Yaitu; 1) tentang Islâm dan Îmân, 2) Ihsân lahir batin, dan 3) HaqîqatIslâm itu dhahir, Îmân itu dhahir-batin, dan Ihsân itu Haqîqat dhahir batin. Hadis tersebut adalah;

اَلْإِحْسَانُ اَنْ تَعْبُدَاللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (أخرجه بخاري ومسلم وأبو داود وإبن ماجه)

“Ihsân ialah beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak mampu maka sesungguhnya Allâh melihatmu”.

Malaikat jibril membenarkan hal itu. Ilmu itu disertai dengan amal, amal itu disertai dengan ikhlas. Ikhlas ialah menghaRAp ridha Allâh SWT, kesimpulannya tiga kelompok di atas berbeda ilmu dan amalnya, tujuan dan deRajatnya memiliki keutamaan sendiri-sendiri, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 12).

Syariat dan Hakekat

Berikutnya adalah penjelasan tentang syarî‘at;

فَالشَّرِيْعَةُ هِيَ: إِصْلَاحُ الْـجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ، وَهِيَ تَدْفَعُ إِلَى الطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ إِصْلَحُ السَّرَائِرِ الْبَاطِنَةِ، وَهِيَ أَيْضًا تَدْفَعُ إِلَى الْـحَقِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ كَشْفُ الْحِجَابِ وَمُشَاهَدَةُ الْأَحْبَابِ مِنْ دَاخِلِ الْحِجَابِ، فَالشَّارِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالطَّارِيْقَةُ أَنْ تَقْصِدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تَشْهَدَهُ.

Syarî‘at adalah memperbaiki organ-organ tubuh secara lahir, dan syari’at  merupakan jalan menuju tarekat, yang mana tarekat adalah usaha untuk memperbaiki batiniyah, dan tarekat  merupakan pengantar menuju Haqîqat, yang dapat membuka penghalang (hijab), dan melihat (musyahadah) dengan kekasih. Pendek kata, syarî‘at adalah beribadah (menghamba) kepada-Nya, sedangkan tarekat adalah menjadikan Allâh sebagai satu-satunya tujuannya, dan haqîqat adalah kemampuan menyaksikan Allâh SWT dengan mata hatinya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 27).

Pada dasarnya syarî‘at dan haqîqat tidak bertentangan, karna haqîqat adalah asrâru al-rubûbiyah (rahasia ketuhanan) dan untuk bisa mencapainnya harus melalui tarekat. Yaitu dengan menjalankan syarî‘at Islâm dengan keteguhan hati. Maka barangsiapa yang menjalankan cara (tarekat) seperti itu maka dia akan sampai pada haqîqat, sehingga haqîqat menjadi pamungkas atau pemuncak dari tujuan syarî‘at. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Junaidî ketika beliau ditanya tentang haqîqat, beliau menjawab;

مَا بَلَغَ أَحَدٌ دَرَجَةَ الْحَقِيْقَةِ إِلَّا وَجَبَ عَلَيْهِ التَّقَيُّدُ بِحُقُوْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَحَقِيْقَتِهَا، وَصَارَ مُطَالِبًا بِآدَابٍ كَثِيْرَةٍ، لَمْ يَطَالِبِ اللهُ بِهَا غَيْرَهُ.

Seseorang tidaklah sampai pada deRajat Haqîqat, kecuali dia harus menjalani penghambaan dengan sepenuh hati. Sehingga dia menjadi orang yang dipenuhi dengan adab, dan Allah SWT tidak mencari dengan jalan selain itu, (al-Intishâr Lil Auliyâ’ al-Akhyâr, halaman: 126).

Berikut ini adalah tamtsil antara syarî‘at dan haqîqat;

الشَّرِيْعَةُ عَمَلُ الْـجَوَارِحِ، وَالْـحَقِيْقَةُ مَعْرِفَةُ الْبَوَاطِنِ، فَالشَّرِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تُشَاهِدَهُ، فَالشَّرِيْعَةُ مِنْ وَظَائِفِ الرُّوْحَانِيَّةِ، الشَّرِيْعَةُ قُوَّةُ الْبَشَرِيَّةِ، وَالْـحَقِيْقَةُ قُوَّةُ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَمَا نَقْضُ مِنْ أَحْدِهِمَا يُزَادُ فِي الْآخِرِ.

Dengan demikian, syarî‘at merupakan amal perbuatan organ-organ tubuh zhahir. Sedangkan haqîqat adalah ilmu pengetahuan tentang batin. syarî‘at adalah suatu amaliah/pekerjaan dimana seorang hamba menyemba Allâh SWT sedangkan haqîqat adalah amaliah/pekerjaan yang dilakukan oeh seorang hamba dan bagaimana ia melihat/menyaksikan Allâh SWT dengan mata batinnya. Syarî‘at juga merupakan bagian dari fungsi spiritual dan penguat organ tubuh (jasmani), sementara haqîqat adalah penguat ruh (rohani) dan keduanya tidak akan mengurangi antara yang satu dengan yang lainnya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 331).

Sesunguhnya perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama’ tentang ilmu zhahir itu rahmat dari Allah Swt, karena orang yang membenarkan akan membantah orang yang menyalahkan. dan berusaha menjelaskan (kepada semua orang) tentang kesalahan orang yang menyalahkan, tentang perbedaan pendapat untuk memperebutkan kebenaran dalam masalah agama. Sehingga mereka menghindari hal itu. Jika tidak demikian maka manusia akan rusak karena hilangnya esensi agama.

Begitu juga dengan perbedaan pendapat dikalangan ‘Ulama’ Ahli Haqîqat itu juga rahmat dari Allâh SWT, dikarenakan masing-masing berbicara pada masanya, menjawab pertanyaan dilihat dari sisi keadaan batinnya, memberikan isyarat yang ditimbulkan oleh pengertian yang muncul dalam hati sebagai akibat dari istiqamah dalam ketaatan, mereka adalah ahli berbuat ketaatan, mampu menguasai hatinya, sebagai murid, dan Ahli Haqîqat, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 102).

Sumber: Alif.ID

25. Islam, Iman, dan Ihsan

Pilar agama itu ada tiga, yakni islam, iman, dan ihsan……

أَرْكَانُ الدِّيْنِ ثَلَاثَةٌ: الْإِسْلَامُ، وَالْإِيْمَانُ، وَالْإِحْسَانُ، (دُرُوْسُ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ، ص: 3)

Berikut ini pembahasan islam, iman, dan ihsan:

هٰذِهِ مَنَازِلُ الثَّلَاثُ هِيَ الَّتِيْ يَنْزِلُهَا الْمُرِيْدُ وَيَرْتَحِلُ عَنْهَا. مَنْزِلُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرُ الْجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَتَحْلِيَتُهَا بِطَاعَةِ عَلَّامِ الْغُيُوْبِ. وَمَنْزِلُ الْإِيْمَانُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرِ الْقُلُوْبِ مِنَ الْمَسَاوِى وَالْعُيُوْبِ، وَتَحْلِيَتُهَا بِمَقَامَاتِ الْيَقِيْنِ، لِتَتَهَيَّأَ لِحَمْلِ مَعْرِفَةِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَمَنْزِلَةُ الْإِحْسَانُ، وَهُوَ مَحَلُّ الشُّهُوْدِ وَالْعَيَانُ.
Islâm adalah tempat penyucian anggota-anggota lahir dari segala dosa dan menghiasinya dengan tujuan taat kepada Allâh ‘allam al ghuyub.

Îmân adalah tempat penyucian hati dari perbuatan buruk dan sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan maqâm-maqâm yaqin agar siap untuk menggapai ma’rifatullah.

Ihsân adalah tempat di mana seorang hamba dapat bermusyahadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 68).

Sementara itu, hilangnya Islâm disebabkan empat hal;
ذِهَابُ الْإِسْلَامِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: أَوَّلُهَا: لَايَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ، وَالثَّانِى: يَعْمَلُوْنَ بِمَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالثَّالِثُ: لَايَتَعَلَّمُوْنَ مَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالرَّابِعُ: يَمْنَعُوْنَ النَّاسُ مِنَ التَّعَلُّمِ، (طبقات الصوفية، ص: 173).

  1. Tidak mengamalkan/mengerjakan apa yang sudah diketahui.
  2. Mengamalkan apa yang tidak diketahui (beramal tidak berilmu).
  3. Tidak mau mempelajari apa yang tidak diketahui.
  4. Melarang manusia/orang lain untuk belajar, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 173).

Ibnu Salim di dalam kitab al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 273 menjelaskan empat rukun Îmân, antara lain;

  1. Îmân kepada Qadar
  2. Îmân kepada Qudrat
  3. Membinasakan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki.
  4. Menemukan pertolongan Allâh SWT dalam segala urusan.

Sementara itu, di dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331 dijelaskan mengenai syarat-syarat Îmân;
(وَاعْلَمْ) أَنَّكَ إِذَا سُئِلْتَ عَنْ شُرُوْطِ اْلِايْمَانِ؟ (فَالْجَوَابُ) عَشْرَةٌ اَلْـخَوْفُ مِنَ اللهِ وَالرَّجَاءُ فِى فَضْلِ اللهِ وَالْاِشْتِيَاقُ إِلَى اللهِ وَالتَّعْظِيْمُ لِمَنْ عَظَّمَ اللهَ وَالْتَهَاوُنُ بِمَنْ تَهَاوَنَ بِاللهِ وَالرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ وَالْـحَذْرُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَالشُّكْرُ لِنِعْمَةِ اللهِ وَالتَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ وَالتَّسْبِيْحُ بِحَمْدِ اللهِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 331).

Sepuluh syarat Îmân tersebut antara lain adalah sebagai berikut;

  1. al-Khauf, takut kepada Allâh SWT
  2. al-Rajâ’, mengharap anugerah Allâh SWT
  3. Isytiyâq, rindu kepada Allâh SWT
  4. al-Ta‘dzim, menghormati orang yang menghormati Allâh SWT
  5. al-Tahâwun, meremehkan orang yang meremehkan Allâh SWT
  6. Ridhâ, menerima keputusan Allâh SWT
  7. al-Hadzr, takut dari berbuat makar terhadap Allâh SWT
  8. al-Syukru, syukur atas nikmat Allâh SWT
  9. al-Tawakkal, tawakkal kepada Allâh SWT, dan
  10. al-Tasbîh, bertasbih dengan memuji Allâh SWT (dzikirullah).

Salah satu sifat orang yang beriman adalah mencari perantaraan, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 74).
Dalam istilah tauhid, Îmân berarti membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Dan dalam pemahaman lain dapat diartikan bahwa Îmân adalah menetapkan keyakinan akan sebuah kebenaran dalam hati, kemudian keyakinan itu diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.

Dalam melaksanakan perintah serta meninggalkan larangan Allâh dan Rasul-Nya, sering kali manusia teledor, lalai atau bahkan meninggalkannya, hal ini kemudian Nabi Muhammad memberikan resep untuk memperbarui keadaan keimanan yang tidak stabil, dengan memperbanyak membaca tahlil, seperti hadist berikut ini;
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم قَالَ جَدِّدُوْ اِيْمَانَكُمْ, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ نُجَدِّدُ اِيْمَانَنَا؟ قَالَ اَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasûlullah SAW bersabda; “Perbaruilah îmân kalian semua”, kemudian ada yang berkata; “wahai Rasûlullah bagaimana caranya kita semua bisa memperbarui îmân?” Rasûlullah menjawab; “perbanyaklah membaca tahlil”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 250).

Berikut ini adalah firman Allâh SWT kepada Nabi Musa As.;
يَا مُوْسَى لَوْلَا مَنْ يَقُوْلُ لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ اللهُ لَسَلَّطْتُ جَهَنَّمَ عَلَى أَهْلِ الدُّنْيَا، (حلية الأولياء، جز 2، ص: 236، جز 4، ص: 436. كاشفة السجا ، ص: 14)
Hai Musa, andaikata di dunia ini tidak ada orang yang mengucap lafad لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ niscaya aku (Allâh) akan memasukkan penduduk dunia ke neraka jahannam, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 236, Juz 4 halaman: 436, Kâsyifah al-Sajâ, halaman: 14).

Ada sebuah hadîts shahîh yang menjelaskan bahwa kiamat (hari akhir) tidak akan pernah terjadi selama manusia membaca tahlil (لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ) dan Rasûlullah SAW bersabda bahwa kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada manusia yang berdzikir.

Berikut penjelasan Hadisnya;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَبَّاسِ وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ، وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَمْرُو بْنُ الْعَاصْ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلعم قال: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ مِنْ اَحَدٍ يَقُوْلُ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ. هٰذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amar bin Ash, sesungguhnya Rasûlullah SAW Bersabda; “Hari kiamat tidak akan terjadi selama ada seseorang yang membaca لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 3 halaman: 74).

وَقَالَ النَّبِي صلعم: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ فِي الْاَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ الله الله.
Dan Rasûlullah SAW Bersabda; “Kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada orang yang berdzikir Allâh, Allâh”, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 171).

Selanjutnya, Rasûlullah SAW juga menjelaskan bahwa hari kiamat tidak akan pernah terjadi sehingga banyak terjadi pembunuhan dan peperangan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 407).
قال رسول الله: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ. قُلْنَا:وَ مَا الهرج؟ قال: الْقَتْلُ.

Îmân sendiri memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya.
وَإِذَا سُئِلْتَ عَنِ الْإِيْمَانِ عَلَى كَمْ قِسْمٍ (فَالْجَوَابُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: إِيْمَانٌ مَطْبُوعٌ لاَ يَزِيْدُ وَلاَ يَنْقُصُ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمَلاَئِكَةِ. وَإِيْمَانٌ مَعْصُوْمٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَزِيْدُ بِنُزُوْلِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِمْ، وَلاَ يَنْقُصُ. وَإِيْمَانٌ مَقْبُوْلٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُؤْمِنِيْنَ تَارَةً يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَتَارَةً يَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ذَاتُ اْلإِيْمَانِ يَزِيْدُ باِلطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ. وَإِيْمَانٌ مَوْقُوْفٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَإِذَا ذَهَبَ النِّفَاقُ مِنْ قُلُوْبِهِمْ صَحَّ إِيْمَانُهُمْ وَإِيْمَانٌ مَرْدُوْدٌ وَهُوَ إِيْمَانُ الْكُفْرَةِ وَالنَّصَارَى وَمَا أَشْبَهَ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 331).

Keterangan di atas menjelaskan mengenai lima golongan atau macam-macam Îmân. Berikut penjelasan yang dimaksud;

  1. Golongan yang Îmân-nya bersifat tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para malaikat.
  2. Golongan yang Îmân-nya terus bertambah. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para Nabi dan Rasul. Hal itu disebabkan para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang dijaga dari kesalahan (ma’shum).
  3. Golongan yang Îmân-nya dapat berkurang karena maksiat, dan dapat bertambah karena taat. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang mu’min.
  4. Golongan yang Îmân-nya didiamkan dalam arti Îmân mereka tidak akan benar selama kemunafikan masih ada dalam hati mereka. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang yang munafik.
  5. Golongan yang Îmân-nya ditolak, mereka adalah golongan orang-orang kafir, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331).

Berikutnya adalah keterangan mengenai tempatnya Îmân dan Islâm yang dijelaskan di dalam kitab Syarh al-Hikam;
قاَلَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ ظَاهِرُ الْقَلْبِ مَحَلُّ اْلإِسْلاَمِ وَبَاطِنُهُ مَكَانُ اْلإِيْمَانِ فَمِنْ هَهُنَا تَفَاوَتَ الْمُحِبُّوْنَ فِى الْمَحَبَّةِ لِفَضْلِ اْلإِيْمَانِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَفَضْلِ الْبَاطِنِ عَلَى الظَّاهِرِ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 36).
Sebagian orang alim berkata: “Bagian luar hati adalah tempatnya Islâm, bagian dalam hati adalah tempatnya Îmân. Dari sinilah para pecinta itu berbeda-beda dalam cintanya, karena lebih unggulnya Îmân atas Islâm-nya, dan lebih unggulnya batin atas lahirnya”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 36).

Selanjutnya mengenai empat tingkatan/derajad Îmân yang dijelaskan di dalam kitab Tanwîr al-Qulûb;
(وَاعْلَمْ) أَنَّ اْلِإيْمَانَ أَرْبَعُ مَرَاتِبَ (اَلْأُوْلَى) إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ دُوْنَ قُلُوْبِهِمْ وَإِنَّمَا يَنْفَعُهُمْ فِى الدُّنْيَا لِحِفْظِ دِمَائِهِمْ وَصَوْنِ أَمْوَالِهِمْ، وَهُمْ فِى الْآخِرَةِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: (إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ) ـ (الثَّانِيَةُ) إِيْمَانُ عَامَّةِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لَكِنَّهُمْ لَمْ يَتَخَلَّقُوْا بِمُقْتَضَاهُ، وَلَمْ تَظْهَرْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ الْيَقِيْنِ فَيُدَبِّرُوْنَ مَعَ الله وَيَخَافُوْنَ وَيَرْجُوْنَ غَيْرَهُ، وَيَجْتَرِئُوْنَ عَلىَ مُخَالَفَةِ أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ (الثَّالِثَةُ) إِيْمَانُ الْمُقَرَّبِيْنَ، وَهُمْ الَّذِيْنَ غَلَبَ عَلَيْهِمْ اسْتِحْضَارُ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ، فَانْطَبَعَتْ بِذَلِكَ بَوَاطِنُهُمْ، وَصَارَتْ بَصَائِرُهُمْ كَاَنَّهَا تُشَاهِدُ الْأَشْيَاءَ كُلَّهَا صَادِرَةً مِنْ عَيْنِ الْقُدْرَةِ الْأَزَلِيَّةِ، فَظَهَرَتْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ ذَلِكَ، فَلَا يَعُوْلُوْنَ عَلَى شَىْءٍ سِوَى اللهِ، وَلَا يَخَافُوْنَ وَلَا يَرْجُوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّ الْخَلْقَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا، وَلَا يَمْلِكُوْنَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، وَلَا يُحِبُّوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُ لَا مُحْسِنَ سِوَاهُ، وَلِهَذَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: (وَهَبْ لَنَا حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ بِكَ حَتَّى لَا نَخَافَ غَيْرَكَ، وَلَا نَرْجُوْ غَيْرَكَ، وَلَا نُحِبَّ غَيْرَكَ، وَلَا نَعْبُدَ شَيْئًا سِوَاكَ) وَلَا يَعْتَرِضُوْنَ شَيْئًا مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَحْكَامِهِ: لِأَنَّهُ الْحَكِيْمُ، وَرَأَوْا الآخِرَةَ مَحَلَّ الْقَرَارِ، فَسَعَوْا لَهَا سَعْيَهَا (الرَّابِعَةُ) إِيْمَانُ أَهْلِ الْفَنَاءِ فِى التَّوْحِيْدِ الْمُسْتَغْرِقِيْنَ فِى الْمُشَاهَدَةِ، كَمَا قَالَ سَيِّدِيْ عَبْدُ السَّلاَمِ: وَأَغْرِقْنِيْ فِى عَيْنِ بَحْرِ الْوِحْدَةِ حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَسْمَعَ وَلَا أَجِدَ وَلَا أَحَسَّ إِلَّا بِهَا، وَقَالَ: وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ وَحَلَّ بَيْنِيْ وَبَيْنَ غَيْرِكَ. وَهَذا الْمَقَامُ يَحْصُلُ وَيَنْقَطِعُ، (تنوير القلوب، ص: 83).

Empat tingkatan Îmân yang dimaksud di atas adalah;
1) Îmân-nya orang-orang munafik hanya membenarkan dengan lisan mereka tanpa diyakini dengan hati, akan tetapi Îmân mereka berguna di dunia untuk menjaga darah dan harta mereka, sedang di akhirat sebagaimana firman Allâh SWT; “Sesungguhnya orang-orang munafik akan ditempatkan di neraka yang paling bawah”.

2) Îmân-nya orang-orang mu’min. Mereka meyakini dengan hati dan membenarkan dengan lisan, akan tetapi mereka tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan Allâh SWT, dan buah dari keyakinannya tidak tampak. Maka, ketika mereka ber-tadabbur pada Allâh SWT mereka masih takut dan berharap pada selain-Nya, dan mereka berani untuk mengingkari perintah-Nya dan larangan-Nya.

3) Îmân Muqarrabin, yaitu mereka yang menyibukkan diri dengan menghadirkan aqidah keimanan, sehingga keimanan mereka menyatu dalam batin mereka. Mata hati mereka seolah-olah memandang segala sesuatu yang keseluruhannya itu keluar dari ketentuan pada zaman azali. Maka, tampaklah hasil dari keimanan mereka. Mereka tidak meminta tolong kepada selain Allâh SWT, mereka tidak takut dan tidak pula berharap kecuali kepada Allâh SWT Mereka berkeyakinan bahwa makhluk itu tidak mempunyai kemanfaatan dan bahaya baginya. Dan juga tidak kematian, kehidupan, dan kebangkitannya, dan tidak mencintai selain Allâh SWT karena selain Allâh SWT tidak bisa berbuat kebaikan. Oleh karena itu Syaikh Abû Hasan berkata: “Berilah kami haqîqat Îmân kepada-Mu sehingga kami tidak takut kepada selain-Mu, tidak mengharap sesuatu kepada selain-Mu, tidak mencintai kepada selain-Mu, dan tidak menyembah sesuatu selain-Mu”. Dan mereka (muqarrabin) tidak berpaling dari kehendak dan hukum-Nya. Karena sesungguhnya Allâh SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, dan mereka berkeyakinan bahwa akhirat adalah tempat yang kekal, maka mereka pun berlomba-lomba.

4) Îmân-nya Ahlul Fana’ dalam ketauhidannya yang tenggelam dalam musyahadah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Abdu as-Salam: “Tenggelamkanlah aku dalam sumber lautan keesaan-Mu sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak menemukan dan meRasakan kecuali kepada-Mu. Kumpulkanlah antara aku dan engkau dan halangi antara aku dan selain engkau”, (Tanwîr al-Qulûb, halman: 83).

Dan pembahasan berikutnya tentang hakikat Ihsân.
(وَأَمَّا حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ) فَهِىَ أَنْ يَعْبُدَ الْعَبْدُ رَبَّهُ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، كَمَا فِى حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ وَقَالَ الْجَلَالُ الْمَحَلِّى: حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ مُرَاقَبَةُ الله تعالى فِى جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ الشَّامِلَةِ لِلْإِيْمَانِ وَالْإِسْلاَمِ حَتَّى تَقَعَ عِبَادَاتُ الْعَبْدِ كُلُّهَا فِى حَالِ الْكَمَالِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَغَيْرِهِ.
Yakni, seorang hamba yang sedang beribadah/menyembah kepada Allâh SWT seakan-akan melihat Allâh SWT Imam Jalal al-Mahallî menyatakan bahwa hakikat Ihsân adalah muraqabah kepada Allâh SWT dalam berbagai ibadah yang meliputi Îmân dan Islâm. sehingga seluruh ibadah seorang hamba mencapai kesempurnaan, seperti ikhlas, dan lain-lain, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 86).

Sumber: Alif.ID

26. Akhlak Mulia (Husnul Khuluq)

Etika baik, budi pekerti luhur, atau akhlak terpuji memang bisa dibentuk oleh lingkungan. Namun, akhlak mulia bukan semata karena dibentuk oleh lingkungan. Akhlak mulia adalah sebuah anugerah yang Allâh SWT berikan kepada hamba-Nya yang terpilih.

Seorang hamba yang dikehendaki Allâh SWT untuk menjadi hamba yang baik, maka Allâh SWT akan menganugerahkan baginya akhlak mulia. Sebaliknya, jika seorang hamba dikehendaki menjadi orang yang tidak baik, maka Allâh SWT berikan baginya akhlak yang tidak baik.

إِنَّ هٰذِهِ اْلأَخْلاَقَ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَرَادَ اللهُ تَعَالَى بِهِ خَيْرًا مَنَحَهُ خُلُقًا حَسَنًا، وَمَنْ أَرَادَ بِهِ سُوْءًا مَنَحَهُ خُلُقًا سَيِّئًا، (فيض القدير، ج 2، ص: 694).

Sesungguhnya akhlak ini dari Allâh SWT, barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki baik maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang mulia dan barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki buruk maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang buruk, (Faydh al-Qadîr, juz 2 halaman: 694).

فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرِوَايَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْهَيْئَةُ بِحَيْثُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَفْعَالُ الْجَمِيْلَةُ الْمَحْمُوْدَةُ عَقْلًا وَشَرْعًا سُمِيَتْ تِلْكَ الْهَيْئَةُ خُلُقًا حَسَنًا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

Husnul khulûq merupakan suatu ungkapan keadaan jiwa yang tertanam di dalamnya. Berbagai perbuatan muncul darinya dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Dan apabila keadaan yang tertanam itu muncul darinya perbuatan yang baik menurut akal dan norma, maka disebut dengan etika yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 49).

فَالْخُلُقُ الْحَسَنُ صِفَةُ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضَلُ أَعْمَالِ الصِّدِّيْقِيْنَ وَهُوَ عَلَى التَّحْقِيْقِ شَطْرُ الدِّيْنِ وَثَمْرَةُ مُجَاهَدَةِ الْمُتَّقِيْنَ وَرِيَاضَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 45)
Husnul khulûq merupakan sifat para Rasul dan perbuatan utama para shiddiqin. Husnul khulûq secara hakiki merupakan separuh dari keimanan, hasil dari mujahadah para muttaqin, dan hasil latihan orang yang beribadah, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 45).

Berikut ini adalah dasar Husnul khulûq;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ، رواه أحمد والحاكم والبيهقي، (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus Allâh SWT untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46)

Allâh SWT berfirman;

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ. (القلم: ٤)

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung, (Q.S. al-Qalam: 4)

عَنْ أَبِى دَرْدَاءَ قَالَ: قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْقَلُ مَا يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، رواه أبو داود والترمذي. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Rasûlullah bersabda: “Amal yang paling berat di mizan (timbangan amal) pada hari kiamat adalah taqwa kepada Allâh SWT dan budi pekerti yang baik”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46).

Berikut ini empat rukun yang dapat menghasilkan Husnul Khulûq dengan cara mengambil jalan tengah (i‘tidal) dan sesuai dengan keadaan;

الْأَرْكَانُ الْأَرْبَعَةُ وَاعْتَدَلَتْ وَتَنَاسَبَتْ حَصَلَ حُسْنُ الْخُلُقِ وَهُوَ قُوَّةُ الْعِلْمِ وَقُوَّةُ الْغَضَبِ وَقُوَّةُ الشَّهْوَةِ وَقُوَّةُ الْعَدْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْقُوَى. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

  1.  قُوَّةُ الْعِلْمِ, berfungsi mempermudah menemukan perbedaan antara ucapan, i‘tiqad dan perbuatan yang benar dan yang salah. Jika berhasil maka bisa menghasilkan hikmah yang menjadi pokok akhlak yang baik.
  2.   قُوَّةُ الْغَضَبِ, berfungsi mengekang dan mampu melepaskan menurut batas kebijaksanaan (akal dan norma).
  3.   قُوَّةُ الشَّهْوَةِ, berada di bawah kendali hikmah (akal dan norma).
  4.   قُوَّةُ الْعَدْلِ, berfungsi menguasai قُوَّةُ الشَّهْوَةِ dan قُوَّةُ الْغَضَبِ di bawah akal dan norma, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49).
  1.  الحِكْمَةُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ بِهَا يُدْرِكُ الصَّوَابَ مِنَ الْخَطَاءِ فِي جَمِيْعِ الْأَفْعَالِ الِاخْتِيَارِيَّةِ
  2. الشَّجَاعَةُ كَوْنُ قُوَّةِ الْغَضَبِ مُنْقَادَةُ لِلْعَقْلِ فِي إِقْدَامِهَا وَإِحْجَامِهَا
  3. الْعِفَّةُ تَأَدُّبُ قُوَّةِ الشَّهْوَةِ بِتَأْدِيْبِ الْعَقْلِ وَالشَّرْعِ
  4. الْعَدْلُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ وَقُوَّةٌ بِهَا تُسَوِّسُ الْغَضَبَ والشَّهْوَةَ وَتَحْمِلُهُمَا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ وَتَضْبِطُهُمَا فِي الْاِسْتِرْسَالِ وَالْاِنْقِبَاضِ عَلَى حَسَبِ مُقْتَضَاهَا. فَمَنِ اعْتَدَلَ هَذِهِ الْأُصُوْلَ الْأَرْبَعَةَ تَصْدُرُ الْأَخْلَاقُ الْجَمِيْلَةُ كُلُّهَا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49-50)

Pokok dan sumber akhlak

1. Hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran dari semua perbuatan sadar yang salah.

2. Keberanian adalah kekuatan sifat kemarahan yang ditundukkan oleh akal dalam keputusan maju dan mundurnya.

Sifat yang muncul dari keberanian adalah al-Karâm (dermawan), an-Najdah (keberanian), at-Tasahum (keinginan pada hal-hal yang menyebabkan perbuatan baik), Kasrun Nafsi (mengekang hawa nafsu), al-Ihtimal (menanggung penderitaan), al-Hilm (sabar dan pemaaf), ats-Tsabat (pendirian teguh), Kadzmul Ghaidh (menahan amarah), al-Waqar (berwibawa), at-Tawâdud (penuh cinta) dll.

Jika keberanian terlalu lemah, maka menimbulkan sifat-sifat yang seperti an-Nihanah (rendah diri), adz-Dzullah (hina), al-Jaz‘u (penyesalan), al-Khusasah (pendek pikir dan hina), Shagrun Nafsi (kecil jiwa), al-Inkibat (merasa terkekang untuk menuntut haknya).

Jika keberanian terlalu tinggi, maka muncul sifat-sifat yang jelek seperti Tahawwur (berani tanpa perhitungan dan pemikiran), al-Badzahu (angkuh), al-Shalifu (pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, dalam arti perbuatan atau suatu hal), Isytisyathah (sifat amarah yang berlebihan), sombong/‘Ujub (membanggakan diri).

3. Menjaga kehormatan diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan didikan akal dan norma.

Sifat baik yang muncul dari menjaga kehormatan diri adalah pemurah, malu, sabar, toleran, Qana’ah (menerima apa adanya), Wira’i, lemah lembut, suka menolong, tidak tamak.

Jika dorongan ‘Iffah (menjaga kehormatan diri) terlalu lemah dan kuat maka akan memunculkan sifat yang jelek seperti sifat rakus, sedikit Rasa malu, keji, boros, kikir, riya’, mencela diri, gila, suka bergurau, pembujuk, hasut, iri hati, mengadu domba, merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dan meremehkan fakir miskin, dll.

4. Adil adalah keadaan jiwa dan kekuatannya yang mengusai kemarahan dan syahwat dan membawanya kepada kehendak hikmah (ilmu dan norma), dan mencegahnya menurut batas kebijaksanaan.

Sifat baik yang muncul dari sifat adil adalah Husnu at-Tadbir (penalaran yang baik), Juudah adz-Dzihn (kejernihan hati), Tsiqabat ar-Ra’yi (kecerdasan berpikir), Ishabah adz-Dhan (kebenaran dugaan), kecerdasan berpikir terhadap amal-amal yang lembut dan kecerdasan berfikir terhadap bahaya jiwa yang tersembunyi.

Jika dorongan adil terlalu lemah maka akan menimbulkan sifat-sifat yang jelek seperti kebodohan, al-Ghumarah (tidak punya kepandaian), al-Humku (dungu), gila, dll.

Jika dorongan adil terlalu kuat maka akan muncul sifat-sifat jelek seperti cerdik licik, jahat, al-Makru (rekayasa), al-khada’ (suka menipu), al-Addaha’ (tipu muslihat).

Barangsiapa pokok dan sumber akhlaknya i’tidal (tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat) maka akhlak yang keluar darinya adalah seluruh akhlak yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49-50).

Sementara itu, sumber akhlak yang tercela (buruk) dijelaskan sebagai berikut;

  • Ridha terhadap jiwanya yang makin jauh kepada Allâh SWT
  • Takut terhadap makhluk, dan
  • Dan mementingkan duniawi.

Kemudian dari ciri yang pertama muncullah syahwat (keinginan), kelalaian, dan maksiat. Lantas dari ciri yang kedua muncullah sifat pemarah, dengki dan hasud. Dan ciri yang ketiga  muncullah sifat serakah, tama’ (mengharapkan pemberian selain dari Allâh), dan sifat kikir.

Sumber: Alif.ID

27. Perilaku Orang Takwa

Takwa adalah merasa takut untuk melakukan hal/perbuatan yang dilarang oleh Allâh SWT, sehingga memilih untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allâh SWT.

berikut ini adalah macam-macam perilaku orang yang takwa:

وَالتَّقْوَى وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَقْوَى الْعَامِّ بِالِّلسَانِ وَهُوَ إِيْثَارُ ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلَا يُزَالُ عَلَى ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى الْخَاصِّ بِاْلأَرْكَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى اْلأَخَصِّ بِالْجِنَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76)

Taqwâ ada tiga macam. Takwanya orang awam dengan lisan, yaitu lebih mendahulukan menyebut Allâh daripada menyebut makhluk. Takwanya orang khash dengan anggota tubuh, yaitu lebih mendahulukan untuk melayani Allâh daripada melayani makhluk. Takwanya orang akhash dengan hati, yaitu lebih mendahulukan cinta kepada Allâh daripada cinta kepada makhluk, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Syaikh Abû Yazîd berkata jika seorang laki-laki telah menghamparkan sajadahnya di atas air, dan duduk bersila di atas udara, maka janganlah kamu terperdaya hingga kamu melihat bagaimana dia menjalani perintah dan menjauhi larangan Allâh SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 280).

Tangisan Orang yang Takut kepada Allâh

Menangis karena takut kepada Allâh memang benar adanya, dan hal itu dijelaskan di dalam Alquran;

وَيَـخِرُّوْنَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا (الإسراء: ١٠٩)

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu‘”, (Q.S. al-Isra’: 109).

خَرُّوْا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (المريم: ٥٨).

Mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, (Q.S. Maryam: 58).

Dan berikut ini adalah penjelasan Nabî SAW ketika ditanya tentang perihal keselamatan dan tangisan.

وَقَالَ أَبُوْ أُمَامَةُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاالْنَجَاةُ؟ فَقَالَ:(أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلِيَسَعْكَ بَيْتَكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ)، وَقَالَ عَلَيْهِ وَالسَّلَامِ: (حُرِّمَتْ النَّارُ عَلَى ثَلَاثِ أَعْيُنٍ: عَيْنٍ سَهَرَتْ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَعَيْنٍ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ)، وَسَكَتَ الرَّاوِىْ عَنِ الثَّالِثَةِ. وَقَالَ: (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اَبْكُوْا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا. فَإِنَّ أَهْلَ النَّارِ يَبْكُوْنَ فِى النَّارِ حَتَّى تَسِيْلَ دُمُوْعُهُمْ فِى وُجُوْهِهِمْ كَأَنَّهَا أَنْهَارٌ، فَإِذَا فَرَغَتْ دُمُوْعُهُمْ تَسِيْلُ الدِّمَاءُ فَلَوْ أَنَّ سُفُنًا أُرْسِلَتْ فِى مَجَارَي دُمُوْعِهِمْ لَجَرَتْ) .(وَاعْلَمْ) أَنَّ الْبُكَاءَ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ مِنْ أَدَلِّ الْأَدِلَّةِ عَلَى الْخَوْفِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَالْمَيْلِ اِلَى الآخِرَةِ. وَالْجَالِبُ لِلْبُكَاءِ شَيْآنِ: الْخَوْفُ مِنَ اللهِ، وَالنَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ مِنَ التَّفْرِيْطِ وَالتَّقْصِيْرِ، وَأَعْظَمُ سَبَبِهِ الْمَحَبَّةُ. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 263-264)

Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apa keselamatan itu?”. Nabî menjawab: “Jagalah lisanmu, luaskanlah rumahmu, menangislah atas kesalahanmu”. Nabi bersabda: “Tiga mata yang diharamkan masuk neraka; mata yang terjaga fi sabilillah, mata yang menangis karena takut kepada Allâh SWT”, dan perawi Hadis tidak meneruskan pada bagian yang ketiga. Nabi juga bersabda: “Wahai manusia menangislah engkau, jika engkau tidak bisa menangis maka paksalah untuk menangis, karena sesungguhnya ahli neraka itu menangis di neraka sehingga air matanya mengalir di wajahnya bagaikan aliRAn sungai, ketika air matanya habis maka mengalirlah darah (sebagai ganti air mata), seandainya sebuah kapal yang dilepas pada aliRAn air matanya maka kapal akan berlayar”.

Ketahuilah bahwa menangis karena takut kepada Allâh SWT itu merupakan bukti Rasa takut kepada Allâh SWT dan condongnya diri untuk lebih memilih akhirat. Dua hal yang bisa menyebabkan menangis, yaitu takut kepada Allâh SWT, menyesal terhadap perilaku yang melampaui batas dan kecerobohan yang telah lalu. Dan penyebab utamanya adalah mahabbah (rasa cinta), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 263-264).

Berikut ini adalah kisah para sahabat menangis ketika mengingat kematian dan akan adanya hari kimat;

وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدُ الْعَزِيْزِ يَجْمَعُ الْفُقَهَاءَ فَيَتَذَاكَرُوْنَ الْمَوْتَ وَالْقِيَامَةَ ثُمَّ يَبْكُوْنَ حَتَّى كَأَنَّ بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ جَنَازَةً، وَمَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: تَعْجِيْلِ التَّوْبَةِ، وَقَنَاعَةِ الْقَلْبِ، وَنَشَاطِ الْعِبَادَةِ. وَمَنْ نَسِيَ الْمَوْتَ عُوْقِبَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ تَسْوِيْفِ التَّوْبَةِ، وَعَدَمِ الرِّضَا بِالْكَفَافِ، وَالتَّكَاسُلِ فِى الْعِبَادَةِ. (تنوير القلوب ص 451)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengumpulkan para ahli fiqih, kemudian mereka saling mengingatkan tentang mati dan kiamat, kemudian mereka menangis seakan-akan di depan mereka tertapat jenazah. Barangsiapa yang banyak mengingat mati maka akan diberi kemuliaan dengan tiga hal; mempercepat taubat, hati yang menerima, giat dalam ibadah. Dan barangsiapa yang lupa dengan mati maka akan disiksa dengan tiga hal: menunda-nunda taubat, tidak senang dengan kecukupan, malas dalam ibadah, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 451).

Sabar, Tawakal, dan Tawadhu‘

Menurut Imam Junaid, sabar adalah menahan kepahitan tanpa bermuram wajah, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allâh SWT supaya kamu beruntung, (Q.S. Ali ‘Imran: 200).

Makna dari kata ayat di atas adalah;

  • اصْبِرُوْا, sabar yang berarti mengajak nafsu untuk taat dan patuh kepada Allâh SWT
  • صَابِرُوْا, sabar dengan perubahan hati (dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik) untuk menghadapi cobaan Allâh SWT
  • رَابِطُوْا, persambungan sirri dengan Rasa rindu kepada Allâh SWT

مَا رُزِقَ عَبْدٌ خَيْرًا لَهُ وَلَا أَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Tiada rizki yang diberikan kepada seorang hamba itu lebih baik dan lebih luas daripada sabar, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).

Dari segi perilaku, sabar dikelompokkan menjadi tiga golongan;

وَالصَّبْرُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرُ الْعَامِّ وَهُوَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، وَصَبْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ مَعَ الْحَقِّ مَعَ الْمَعِيَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Tiga golongan tersebut adalah; sabar-nya orang ‘awam yaitu dari kemaksiatan, sabar-nya orang khâs yaitu atas ketaatan, dan sabar-nya orang akhâs yaitu bersama Allâh SWT

Sementara itu, dari segi maqâm, sabar terbagi menjadi lima.

(وَالصَّبْرُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرٌ لِلهِ، وَصَبْرٌ فِى اللهِ، وَصَبْرٌ بِاللهِ، وَصَبْرٌ مَعَ اللهِ، وَصَبْرٌ عَنِ اللهِ. فَالصَّبْرُ لِلهِ عَنَاءٌ، وَالصَّبْرُ فِيْهِ بَلَاءٌ، وَالصَّبْرُ بِهِ بَقَاءٌ، وَالصَّبْرُ مَعَهُ وَفَاءٌ، وَالصَّبْرُ عَنْهُ جَفَاءٌ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 272).

Lima sabar itu adalah; 1) Sabar Lillâh (tunduk, patuh kepada Allâh SWT), 2) Sabar Fillâh (cobaan), 3) Sabar Billâh (tetap untuk selalu bersama Allâh SWT), 4) Sabar Ma‘allâh (menepati janji setia), dan 5) sabar ‘Anillâh (jauh dari Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 272).

Dan orang-orang yang bersabar atas perilaku buruk orang lain dikategorikan sebagai orang-orang yang shiddiq (terpercaya). Itulah kisah, as-Syadzili membiarkan perilaku orang-orang/musuh yang menyakiti beliau.

(إِنَّمَا أَجْرَى اْلأَذَى عَلَى أَيْدِيْهِمْ كَيْلَا تَكُوْنَ سَاكِنًا إِلَيْهِمْ أَرَادَ أَنْ يُزْعِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى يُشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٌ) وُجُوْدُ أَذَى النَّاسِ لِلْعَبْدِ نِعْمَةٌ عَظِيْمَةٌ عَلَيْهِ لَا سِيَّمَا مِمَّنْ اِعْتَادَّ مِنْهُ الْمُلَاطَفَةَ وَالْإِكْرَامَ وَالْمُبَرَّةَ وَالْاِحْتِرَامَ لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْقِدُهُ عَدَمَ السُّكُوْنِ إِلَيْهِمْ وَتَرْكَ اْلاِعْتِمَادِ عَلَيْهِمْ وَفَقْدَ اْلأُنْسِ بِهِمْ فَيَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ عُبُوْدِيَّتُهُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ سَيِّدِيْ أَبُو الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ آذَانِيْ إِنْسَانٌ مَرَّةً فَضَقْتُ ذَرْعًا بِذَلِكَ فَنِمْتُ فَرَأَيْتُ يُقَالُ لِيْ مِنْ عَلَامَةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ كَثْرَةُ أَعْدَائِهَا ثُمَّ لَا يُبَالِيْ بِهِمْ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 57-58).

Allâh SWT memberikan potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan, agar engkau tidak merasa tentRAm dengan mereka. Allâh SWT menghendakimu agar menjauhi segala sesuatu yang dapat menyibukkan dirimu sehingga jauh dari Allâh SWT Perbuatan manusia yang menyakitkan atas seorang hamba merupakan sebuah kenikmatan yang besar bagi dirinya. Apalagi perbuatan yang menyakitkan itu dari orang yang biasa menyayanginya, memuliakannya, berbuat baik padanya, dan menghormatinya. Karena perbuatan itu akan menjadikan dirinya tidak merasa tentram, tidak tergantung, dan tidak terhibur dengan mereka.

Jika sudah demikian, maka akan menjadi nyata ubudiyahnya kepada Allâh SWT Abu Hasan al-Syadzili RA. berkata: “Seorang manusia menyakitiku, dan aku tak mampu membalasnya. Lalu aku tertidur, kemudian aku bermimpi”, dan dikatakan kepadaku “Termasuk dari tanda-tanda orang yang shiddiq (yang berbakti kepada Allâh SWT) adalah orang yang banyak musuh, namun dia tidak mempedulikan mereka”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 57-58).

Orang yang bersabar juga harus mengetahui, macam-macam bala’ (ujian/cobaan dari Allâh SWT), itulah sebabnya ada tiga kategori bala’ yang diberikan oleh Allâh SWT kepada hambanya sesuai dengan tingkat dan kemampuan.

وَالْبَلَاءُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: بَلاَءُ الْعَامِّ وَهُوَ لِلتَّأْدِيْبِ، وَبَلاَءُ الْخَاصِّ وَهُوَ لِلتَّهْذِيْبِ، وَبَلاَءُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ لِلتَّقْرِيْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Ketiga bala’ itu adalah; 1) Bala’-nya orang ‘awam, sebagai bentuk pelajaran, 2) Bala’-nya orang khâs, sebagai bentuk perbaikan etika, dan 3) Bala’-nya orang akhâs sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Berikutnya mengenai tanda-tanda orang yang tawakkal.

(وَعَلاَمَةُ الْمُتَوَكِّلِ) أَنْ لَايَسْأَلَ وَلَايَرُدَّ وَلَا يَحْبِسَ (وَأَكْمَلُ) أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى كَالْمَيِّتِ بَيْنَ يَدَيِ الْغَاسِلِ يُقَلِّبُهُ كَيْفَ أَرَادَ لَايَكُوْنُ لَهُ حَرَكَةٌ وَلاَ تَدْبِيْرٌ. قَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ ذَرْوَةُ اْلإِيْمَانِ اْلإِخْلاَصُ وَالتَّوَكُّلُ وَاْلاِسْتِسْلاَمُ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ (وَلَيْسَ) فِى الْمَقَامَاتِ أَعَزُّ مِنَ التَّوَكُّلِ فَإِنَّ التَّوَكُّلَ عَلَى اللهِ يُحَبِّبُ الْعَبْدَ وَأَنَّ التَّفْوِيْضَ إِلَى اللهِ يَهْدِيْهِ وَبِهُدَى اللهِ يُوَافِقُ الْعَبْدُ رِضْوَانَ اللهِ وَبِمُوَافَقَةِ رِضْوَانِ اللهِ يَسْتَوْجِبُ الْعَبْدُ كَرَامَةَ اللهِ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَيُسَلِّمْ لِقَضَائِهِ وَيُفَوِّضْ اَلْأَمْرَ إِلَيْهِ وَيَرْضَ بِقَدَرِهِ فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَأَحْسَنَ اْلإِيْمَانَ وَالْيَقِيْنَ وَفَرَّغَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ لِكَسْبِ الْخَيْرِ وَأَقَامَ اْلأَخْلاَقَ الصَّالِـحَةَ الَّتِيْ تُصْلِحُ لِلْعَبْدِ أَمْرَهُ وَمَنْ طَعَنَ فِى التَّوَكُّلِ فَقَدْ طَعَنَ فِى اْلإِيْمَانِ لِأَنَّهُ مَقْرُوْنٌ بِهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَهْلَ التَّوَكُّلِ فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ تَعَالَى، (تنوير القلوب، ص: 479).

Orang yang bertawakal, adalah mereka yang tidak meminta, tidak menolak, dan tidak menahan. Keadaan yang paling sempurna dari tawakal ini adalah seorang sâlik menghadapkan dirinya kepada Allâh SWT seakan-akan dia adalah mayat yang ada di hadapan orang yang memandikannya, tubuhnya dibolak-balikkan dia tetap diam dan menerima apa adanya. Abu Darda’ menyatakan bahwa buah imân adalah ikhlâs, tawakal, dan pasrah sepenuhnya kepada Allâh ‘Azza wa jalla. Tidak ada maqâm (tempat) yang lebih mulia dibandingkan dengan tawakal. Karena tawakal menjadikan hamba mencintai Allâh SWT Dengan kepasrahan ini, sâlik memperoleh hidayah, sehingga dia pun memperoleh keridhaan-Nya. Jika Allâh SWT telah meridhainya, maka kemuliaan dari Allâh SWT akan diperolehnya.

Oleh karena itu, barangsiapa bertawakal kepada Allâh SWT, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, ridha dengan qodar-Nya, maka dia benar-benar telah menegakkan agama, dan memperbaiki iman dan keyakinannya. Sehingga kedua tangan dan kakinya hanya tergerak untuk kebajikan. Dia benar-benar menjadi orang yang berakhlak mulia, yang dengan akhlak mulia tersebut segala urusannya pun menjadi baik. Sebaliknya, barangsiapa menghina terhadap tawakal, maka dia menghina keimanannya, karena keimanan selalu bersamaan dengan tawakal. Barangsiapa mencintai orang-orang ahli tawakal, maka dia mencintai Allâh SWT, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 479).

Berikut ini adalah macam-macam tawakal:

وَالتَّوَكَّلُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَوَكَّلُ الْعَامِّ وَهُوَ عَلىَ الشَّفَاعَةِ، وَتَوَكَّلُ الْـخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَتَوَكَّلُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ عَلَى الْعِنَايَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).

Tawakal terbagi menjadi tiga; 1) Tawakalnya orang ‘awâm yaitu tawakal atas syafa‘at, 2) Tawakalnya orang khâsh yaitu tawakkal atas ketaatan, dan 3) Tawakalnya orang akhâsh yaitu tawakkal atas pertolongan, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Selanjutnya adalah pembahasan tentang tawaddhu‘:

أَمَّا التَّوَاضُعُ فيِ اِصْطِلَاحِهِمْ: اَلْإِسْتِسْلَامُ لِلْحَقِّ وَتَرْكُ الْإِعْتِرَاضِ عَلَى الْحُكْمِ (الطرق الصوفية، ص: 265).

Tawaddhu‘ menurut istilah ahli ‘Ulama’ Sufî adalah menyerahkan diri kepada kebenaran dan meninggalkan berpaling pada hukum, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 265).

وَقِيْلَ: هُوَ اَلْـخُشُوْعُ لِلْحَقِّ وَالْإِنْقِيَادُ وَقَبُوْلُهُ مِنَ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيْرِ وَالْكَبِيْرِ وَالصَّغِيْرِ وَالشَّرِيْفِ وَالْوَضِيْعِ (الطرق الصوفية، ص: 266).

Dikatakan juga: “Tawaddhu‘ adalah tenangnya hati pada kebenaran, mengikuti dan menerima kebenaran itu, baik dari orang kaya, fakir, orang tua, anak kecil, orang mulia maupun orang yang rendah”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 266).

Mengenai dasar Tawaddhu‘,di dalam Alquran dijelaskan;

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (الشعراء: 215)

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, (Q.S. al-Syu‘arâ’: 215).

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً (الفرقان: 63)، مَعْنَاهُ: خَاشِعِيْنَ مُتَوَاضِعِيْنَ.

(Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) (Q.S. al-Furqan: 63), maknanya: “Dengan khusyu‘, dengan tawaddhu‘”.

Rasûlullah SAW bersabda;

قَالَ النَّبِيُّ: لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.

Nabi SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebiji SAWi dari sifat sombong”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 311).

قَالَ النَّبِيُّ: مَا تَوَاضَعَ رَجُلٌ للهِ اِلَّا رَفَعَهُ اللهُ.

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah tawaddhu‘ seorang laki-laki kepada Allâh SWT, kecuali Allâh SWT mengangkat derajatnya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 67).

Sementara itu Barangsiapa yang melihat dirinya memiliki nilai-nilai (kelebihan), maka tidak ada baginya sikap tawaddhu‘.

وَقِيْلَ: عَلَامَةُ التَّوَاضُعِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِنْسَانُ أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ خَيْرٌ مِنْهُ.

Abû Sulaimân al-Dârâni berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah apabila seseorang meyakini bahwa sesungguhnya orang lain itu lebih baik dari dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).

قَالَ أَبُوْ يَزِيْدَ: اَلتَّوَاضُعُ مَنْ لَايَرَى فِي الْخَلْقِ شَرًّا مِنْهُ.

Abu Yazid al-Busthami berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah seseorang yang tidak melihat makhluk lebih jelek dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ آدَمِيٍّ إِلاَّ فِي رَأْسِهِ حِكْمَةٌ بِيَدِ مَلِكٍ فَإِذَا تَوَاضَعَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ إِرْفَعْ حِكْمَتَهُ وَإِذَا تَكَبَّرَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ ضَعْ حِكْمَتَهُ. أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِيُّ عَنْ أَبِيْ عَبَّاسٍ، (الطرق الصوفية، ص: 267).

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah ada anak cucu Adam, kecuali mempunyai sebuah hikmah dari Allâh SWT Ketika dia tawaddhu‘, maka dilaporkan kepada Allâh SWT”. Lalu Allâh SWT berfirman: “Tampakkan hikmahnya!”. Dan ketika dia sombong maka dilaporkan kepada Allâh SWT: “Hilangkan hikmahnya!”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).

قَالَ (عم): مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَ اللهُ

Barangsiapa tawaddhu‘ kepada Allâh SWT maka Allâh SWT akan mengangkat derajatnya, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).

Sumber: Alif.ID

28. Hati

وقال في الحكم : “نُوْرٌ مُسْتَوْدَعٌ فِي الْقُلُوْبِ، مَدَدُهُ النُّوْرُ الْوَارِدُ مِنْ خَزَائِنِ الْغُيُوْبِ”، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 32).

Seperti yang dijelaskan di dalam kitab al-Hikam bahwa Nur (cahaya ilahi) bertempat atau dititipkan di hati seseorang, cahaya yang diturunkan Allâh SWT dari persaudaraan yang gaib. Dalam hal ini, pembahasan hati ini terkait dengan masalah ikhlas yaitu termasuk Rahasiaku yang kutitipkan di hati seorang hamba yang aku cintai, tidak karena terlihat oleh malaikat yang mencatatnya, dan juga tidak karena setan yang merusak amalnya, (al-Futuhat al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 32).

Mengenai macam-macam hati, dijelaskan;

وَالْقَلْبُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: قَلْبُ الْعَامِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى الدُّنْيَا حَوْلَ الطَّاعَةِ، وَقَلْبُ الْخَاصِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى الْعُقْبَى حَوْلَ الْكَرَامَاتِ، وَقَلْبُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى حَوْلَ اْلأُنْسِ وَالْمُنَاجَاتِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Hati ada tiga macam; hati orang awam adalah hati yang melayang dalam urusan dunia yang dibarengi dengan ketaatan. Hati orang khash adalah hati yang melayang dalam urusan akhirat yang diliputi dengan kemuliaan. Hati orang akhash adalah hati yang melayang dalam SidRAtul Muntaha (keagungan Allâh SWT yang tanpa batas) dalam keadaan terhibur dan selalu bersama dengan Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 78).

Berikutnya mengenai penjelasan yang meneRangkan obat hati;

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِاالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الْصَالِحِيْنَ، (طبقات الصوفية، ص: 222).

Obat hati ada lima; 1) Membaca Alquran dengan tadabbur (berusaha memahami maknanya). 2) Mengosongkan perut (lapar berpuasa). 3) Qiyâmul Lail (mengisi malam-malamnya dengan ibadah). 4) menghamba atau mendekatkan diri kepada Allâh pada malam hari. 5) Bergaul dengan para shalihin, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 222).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hati orang yang fasiq dan munafiq;

وَصَلاَحُ الْقَلْبِ إِنَّمَا يَكُوْنُ بِطَهَارَتِهِ عَنِ الصِّفَاتِ الْمَذْمُوْمَةِ كُلِّهَا دَقِيْقِهَا وَجَلِيْلِهَا وَهَذِهِ هِيَ الصِّفَاتُ الْمُنَاقِضَةُ لِلْعُبُوْدِيَّةِ مِنْ أَوْصَافِ الْبَشَرِيَّةِ الَّتِيْ أَشَارَ إِلَيْهَا الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَهِيَ الَّتِيْ تَسُمُّ صَاحِبَهَا بِسُمَّةِ النِّفَاقِ وَالْفُسُوْقِ وَهِيَ كَثِيْرَةٌ مِثْلُ الْكِبْرِ وَالْعُجْبِ وَالرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْحِقْدِ وَالْحَسَدِ وَحُبِّ الْجَاهِ وَالْمَالِ وَيَتَفَرَّعُ عَنْ هَذِهِ اْلأُصُوْلِ فُرُوْعٌ خَبِيْثِيَّةٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ وَالتَّذَلْذُلِ لِلْأَغْنِيَاءِ وَاسْتِحْقَارِ الْفُقَرَاءِ وَتَرْكِ الثِّقَّةِ بِمَجِيْءِ الرِّزْقِ وَخَوْفِ سُقُوْطِ الْمَنْزِلَةِ مِنْ قُلُوْبِ الْخَلْقِ وَالشُّحِّ وَالْبُخْلِ وَطُوْلِ اْلأَمَلِ وَاْلأَشَرِ وَالْبَطَرِ وَالْغِلِّ وَالْغَشِّ وَالْمُبَاهَاةِ وَالتَّصَنُّعِ وَالْمُدَاهَنَةِ وَالْقَسْوَةِ وَالْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ وَالْغَفْلَةِ وَالْجَفَاءِ وَالطَّبْشِ وَالْعَجَلَةِ وَالْحِدَّةِ وَالْحَمِيَّةِ وَضَيِّقِ الصَّدْرِ وَقِلَّةِ الرَّحْمَةِ وَقِلَّةِ الْحَيَاءِ وَتَرْكِ الْقَنَاعَةِ وَحُبِّ الرِّيَاسَةِ وَطَلَبِ الْعُلُوِّ وَالْاِنْتِصَارِ لِلنَّفْسِ إِذَا نَالَهَا الذُّلُّ . وَعُنْصُرُ يَنَابِيْعِهَا إِنَّمَا هُوَ رُؤْيَةُ النَّفْسِ وَالرِّضَا عَنْهَا وَتَعْظِيْمِ قَدْرِهَا وَتَرْفِيْعِ أَمْرِهَا فَبِهَذِهِ اْلأُمُوْرِ كَفَرَ مَنْ كَفَرَ وَنَافَقَ مَنْ نَافَقَ وَعَصَى مَنْ عَصَى وَبِهَا خَلَعَ مِنْ عُنُقِهِ رِبْقَةَ الْعُبُوْدِيَّةِ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، (شرح الحكم، ج 1، ص: 30).

Hati yang baik hanya bisa terwujud dengan membersihkannya dari semua sifat tercela, baik yang kecil maupun yang besar. Semua sifat ini adalah sifat manusia yang bertentangan dengan ubudiyah (sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengaRAng). Sifat-sifat ini meRAcuni pemiliknya dengan RAcun kemunafikan dan kefasikan. Sifat-sifat ini banyak, seperti sombong, kagum terhadap diri sendiri, riya’, pamer, dengki, hasud, cinta pada jabatan dan harta. Dari sifat-sifat tercela itu, akan bercabang lagi menjadi beberapa sifat buruk seperti permusuhan, kebencian, merasa hina di hadapan orang-orang kaya, meremehkan orang-orang fakir, tidak yakin atas datangnya rizki, takut deRajatnya jatuh dalam pandangan manusia, pelit, kikir, banyak berangan-angan, serakah, menyalahgunakan kenikmatan, dendam, menipu, membanggakan diri sendiri, sikap berpura-pura, mencari muka (menjilat), berhati batu, kasar dan keras tutur katanya, lalai (dari dzikir kepada Allâh SWT), sulit menerima nasihat, kasar prilakunya, tergesa-gesa, mudah marah, memandang rendah orang lain, tidak lapang dada, sedikit kasih sayangnya, sedikit Rasa malunya, tidak qona’ah, senang jabatan, mencari kedudukan yang tinggi, mengedepankan hawa nafsu ketika ditimpa kehinaan, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 30).

Pangkal dari sifat-sifat tersebut bersumber dari mementingkan, merelakan, dan mengagungkan nafsu. Dengan sifat-sifat tersebut, orang yang kafir tetap menjadi kafir, orang yang munafik tetap menjadi munafik, dan orang yang durhaka tetap menjadi durhaka. Dan sifat-sifat tersebut juga menjadi sebab lepasnya ikatan ubudiyah kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, (Syarh al-Hikam, juz 1 halaman: 30).

Selanjutnya tentang pembagian h;

وَالرُّوْحُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: أَرْوَاحُ اْلأَعْدَاءِ وَهِيَ فِى الْجَحِيْمِ مُعَذَّبَةً، وَأَرْوَاحُ اْلأَوْلِيَاءِ وَهِيَ فِى النَّعِيْمِ مُنْعَمَةً، وَأَرْوَاحُ اْلأَنْبِيَاءِ وَهِيَ عِنْدَ الْكَرِيْمِ مُكْرَمَةً، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Ruh ada tiga macam; ruh para musuh Allâh SWT disiksa di neraka Jahim, ruh para kekasih Allâh SWT diberi kenikmatan di surga Na’im, dan ruh para nabi dimuliakan di sisi-Nya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 78).

Sumber: Alif.ID

29. Zuhud

Zuhud adalah kosongnya hati dari sesuatu yang tidak ada padanya (Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 116). Syaikh Dhiya’uddin Ahmad Musthafa al-Kamasykhânawi mendefinisikan zuhud menjadi tiga golongan. 

وَالزُّهْدُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَزُهْدُ الْعَامِّ تَرْكُ الْحَرَامِ، وَزُهْدُ الْخَاصِّ تَرْكُ الْفُضُوْلِ مِنَ الْحَلاَلِ، وَزُهْدُ اْلأَخَصِّ تَرْكُ مَا يُشْغِلُهُ عَنِ اللهِ تَعَالَى.

Zuhud ada tiga macam. Pertama,  zuhud orang ‘awâm yaitu dengan meninggalkan yang haram. Kedua,  zuhud orang khâsh, yakni meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara halal. Ketiga,  zuhud orang akhâsh yaitu dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkan (memalingkan) dirinya dari Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Tidak mudah tergiur dengan kenikmatan dan gemerlap dunia, akan menjadikan diri kita lebih nyaman, sehingga diri tak tersiksa dan hati pun menjadi tenang. Sebaliknya, menuruti keinginan nafsu dan mencintai seluruh kesenangan duniawi menjadikan diri semakin tersiksa, hati menjadi tidak tenang karena takut kenikmatan dunia yang dimiliki menjadi sirna.

Jika semua hal ini dapat kita pahami dengan baik, maka kita tidak akan mudah terbujuk oleh kepalsuan duniawi. Rasulullah bersabda;

اَلزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، وَالرَّغْبَةُ فِي الدُّنْيَا تُطِيْلُ الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.

“Zuhud akan membuat hati dan badan menjadi nyaman. Dan mencintai dunia semakin menambah kesedihan dan kesusahan”, (Faydh al-Qadîr, juz 4 halaman: 96).

Salah satu faedah zuhud adalah dicintai Allah dan dicintai manusia. Rasulullâh SAW bersabda:

عَنْ سَهَلْ بِنْ سَعِدْ: أَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَ صلعم: فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ دُلُّنِيْ عَلَى عَمَلٍ اِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيْ اللهُ وَ أَحَبَّنِيْ النَّاسُ. قَالَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ. وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ.

Diriwayatkan dari Sahal bin Sa‘id, sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabî lalu bertanya: ”Wahai Rasûlullâh SAW tunjukkanlah kepadaku satu amal, yang ketika saya amalkan maka Allâh dan manusia mencintaiku”.

Rasûlullâh SAW menjawab: “Berzuhudlah di dunia, maka Allâh akan mencintaimu, berzuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki manusia maka manusia akan mencintaimu”.

Orang yang cinta harta benda menjadikan dirinya buta, tak kenal kawan, tak kenal keluarga. Harta lebih berharga baginya dibandingkan kawan dan keluarga yang dimilikinya. Demi harta, orang tersebut rela memutus tali persahabatan dan kekeluargaan karena cinta butanya pada dunia.

Seringkali kita temui di masyarakat, perpecahan keluarga yang disebabkan perebutan harta warisan, atau lahan bisnis yang semuanya tak lain adalah bagian dari gemerlap kenikmatan dunia.

Sementara itu, ada juga orang-orang yang lebih memilih untuk mengedepankan harta ketimbang pendidikan. Mereka menganggap bahwa harta yang melimpah akan menjadi jaminan kebahagiaan di masa mendatang.

Mereka lupa bahwa kenikmatan dunia yang mereka miliki, sewaktu-waktu dapat sirna dari genggaman mereka. Mereka juga lupa, bahwa harta melimpah tanpa diimbangi ilmu pengetahuan untuk mengelolanya, hanya akan menjadikan harta itu semakin menipis dan habis.

Mereka lebih memilih kaya harta, namun minim ilmu. Bukankah segala urusan baik urusan dunia maupun akhirat harus dipahami ilmunya?

Dua hal di atas, mementingkan kenikmatan dunia dan merelakan keadaan yang minim ilmu (bodoh) adalah dua hal yang kemudian oleh Abu Hasan al-Syadzili dipandang sebagai hal yang sangat berbahaya yang dapat menjadikan seseorang itu celaka.

وَقَالَ: لَا كَبِيْرَةَ عِنْدَنَا إِلَّا فِي اثْنَيْنِ حُبِّ الدُّنْيَا بِالْإِيْثَارِ وَالْمَقَامِ عَلَى الْجَهْلِ بِالرِّضَا، لِأَنَّ حُبَّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ كَبِيْرَةٍ، وَالْمَقَامُ عَلَى الجَهْلِ أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 45).

Abu Hasan al-Syadzili berkata: Tidak ada kerusakan yang besar bagiku kecuali dua perkara. Yaitu, memilih cinta dunia dan rela dengan deRajad kebodohan. Karena, mencintai dunia merupakan pangkal setiap dosa besar dan kebodohan adalah pangkal setiap kemaksiatan, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 45).

Dunia ini, jika semakin kita terus membenamkan diri di dalamnya, maka semakin dalam kita terjerumus dalam kepalsuannya. Sebaliknya, jika kita menggunakan dunia ini sebatas kebutuhan kita untuk mengabdikan dan menyembahkan diri kepada Allâh SWT, maka dunia ini yang akan mencari dan mengabdi kepada kita.

Betapa banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Allâh SWT, hidup mereka tentRAm, serba kecukupan. Dunia menjadi pelayan mereka, bukan mereka yang menjadi pelayan dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allâh SWT kepada dunia ketika menciptakannya: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku, maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdiannya”.

فَمَنْ أَرَادَ اللهُ أَنْ يَتَّخِذَهُ وَلِيًّا كَرِهَ إِلَيْهِ الدُّنْيَا وَوَفَقَهُ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَسَهَّلَهَا عَلَيْهِ كَمَا وَقَعَ لِبَعْضِهِمْ فَإِنَّهُ خَرَجَ يَتَصَيَّدُ فِى بَرِيَةٍ وَإِذَا شَابٌ رَاكِبٌ أَسَدًا وَحَوْلَهُ سِبَاعٌ فَلَمَّا رَأَتْهُ اِبتَدَرَتْ نَحْوَهُ فَزَجَرَهَا الشَّابُ ثُمَّ قَالَ: مَا هَذِهِ الْغَفْلَةُ؟ اِشْتَغَلْتَ بِهَوَاكَ عَنْ أُخْرَاكَ وَبِلَذَّتِكَ عَنْ خِدْمَةِ مَوْلَاكَ، أَعْطَاكَ الدُّنْيَا لِتَسْتَعِيْنَ بِهَا عَلَى خِدْمَتِهِ فَجَعَلْتَهَا ذَرِيْعَةً لِلْاِشْتِغَالِ عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَتْ عَجُوْزٌ بِيَدِهَا شُرْبَةُ مَاءٍ فَشَرِبَ وَنَاوَلَهُ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ: هِىَ الدُّنْيَا وُكِّلَتْ بِخِدْمَتِيْ. أَمَّا بَلَغَكَ أَنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَهَا قَالَ: مَنْ خَدَمَنِيْ فَاخْدِمِيْهِ وَمَنْ خَدَمَكَ فَاسْتَخْدِمِيْهِ. فَخَرَجَ عَنْ الدُّنْيَا وَسَلَكَ الطَّرِيْقَ وَصَارَ الْأَبْدَالَ، (تنوير القلوب، ص: 448).

Apabila Allâh SWT menghendaki seorang hamba untuk dijadikan kekasihnya, maka Allâh SWT akan menjauhkan dunia darinya, dan Allâh SWT memberikan pertolongan serta kemudahan baginya untuk melakukan amal-amal yang baik.

Sebagaimana terjadi pada seorang kekasih Allâh SWT Yaitu ketika dia keluar untuk berburu, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemuda yang menunggangi harimau yang dikelilingi oleh binatang buas. Ketika hewan-hewan buas itu melihatnya dan hendak menerkamnya, maka pemuda tersebut mencegahnya.

Lalu pemuda itu berkata: Apakah ini tergolong lupa? Kamu sibukkan dirimu untuk menuruti hawa nafsu, kesenangan dunia dan meninggalkan akhirat serta meninggalkan pengabdian kepada sang pencipta. Allâh SWT memberimu dunia untuk membantumu dalam mengabdi kepada-Nya. Akan tetapi, engkau jadikan dunia ini sebagai perantara yang menyibukkan dirimu jauh dari-Nya.

Kemudian keluarlah seorang perempuan tua yang membawa air, pemuda itu pun meminumnya. Laki-laki itu bertanya kepada pemuda tentang perempuan itu, lalu pemuda itu berkata: “Dia adalah dunia yang dipasrahkan kepadaku karena pengabdianku (kepada-Nya). Tidakkah telah sampai kepadamu ketika Allâh SWT menciptakan dunia, lalu Allâh SWT berfirman: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdian darinya”.

Setelah itu, laki-laki tersebut meninggalkan dunia dan menjalani tarekat, hingga dia menjadi seorang wali abdal, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 448).

Berikutnya adalah penjelasan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi mengenai etika/akhlak seorang sâlik untuk tidak mencintai jabatan dan kedudukan;

وَمِنْهَا تَرْكُ حُبِّ الْجَاهِ وَالرِّيَاسَةِ لِأَنَّهَا قَاطِعَةٌ عَنْ طَرِيْقِ الْحَقِّ. عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ ضَارِيَانِ بَانَا فِيْ زُرَيْبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الشَّرَفِ وَالْمَالِ لِدِيْنِهِ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتُّرْمُذِىّ

Di antara tata krama seorang sâlik terhadap dirinya sendiri adalah meninggalkan cinta jabatan dan kepemimpinan. Karena hal itu menjadi pencegah dirinya dari jalan yang benar.

Diriwayatkan dari Rasûlullâh SAW: “Tiadalah dua harimau yang lapar lagi galak yang semalaman berada di kandang kambing itu lebih berbahaya daripada kerakusan seseorang pada kemuliaan dan harta atas agamanya”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 533).

Dan selanjutnya adalah perintah atau anjuran bagi seseorang untuk menyembunyikan jati diri;

(اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لاَ يُدْفَنُ لاَ يَتِمُّ نِتَاجُهُ) لاَ شَيْءَ أَضَرُّ عَلَى الْمُرِيْدِ مِنَ الشُّهْرَةِ وَانْتِشَارِ الصَيْتِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ حُظُوْظِهِ الَّتِيْ هُوَ مَأْمُوْرٌ بِتَرْكِهَا وَمُجَاهَدَةِ النَّفْسِ فِيْهَا وَقَدْ تَسْمَحُ نَفْسُ الْمُرِيْدِ بِتَرْكِ مَا سِوَى هَذَا مِنَ الْحُظُوْظِ وَمَحَبَّةُ الْجَاهِ وَإِيْثَارُ اْلاِشْتِهَارِ مُنَاقِضٌ لِلْعُبُوْدِيَّةِ الَّتِيْ هُوَ مُطَالَبٌ بِهَا قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَمَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا صَدَّقَ اللهُ مَنْ أَحَّبَ الشُّهْرَةَ، (شرح الحكم، ج 1، ص: 11).

Pendamlah dirimu dalam kesamaran (tidak dikenal orang), karena sesuatu yang tumbuh dari yang tak dipendam tidak akan sempurna hasilnya. Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi sâlik dibandingkan kemasyhuran (terkenal) diri dan nama, karena hal itu termasuk bagian terbesar yang diperintahkan untuk ditinggalkan dan memerangi nafsu di dalamnya, dan terkadang hati sâlik masih tolerir untuk meninggalkan selain kemasyhuran.

Mencintai jabatan dan memilih kemasyhuran itu bertentangan dengan tuntutan ibadah atas dirinya. Ibrâhîm bin Adham RA. berkata: “Allâh SWT tidak membenarkan orang yang mencintai kemasyhuran”, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 11).

Pada zaman Nabi, orang-orang yang zuhud, ahli ibadah, dan orang yang ahli taubat mempunyai beberapa keistimewaan yaitu senang dan bersungguh-sungguh untuk melakukan ibadah.  Mereka itu di antara adalah:

  • Abdullâh Ibnu Umarmelakukan puasa di siang hari dan ibadah malam harinya dan menghatamkan Alquran setiap malam, dia bercita-cita untuk tidak kawin.
  • Utsman bin Mazh’un, dia senang beribadah sehingga meninggalkan rumah dan tidak kawin
  • Bahlul Ibnu Dzu’aib, beliau datang kepada Nabi dalam keadaan menangis karena dosa-dosa yang telah dilakukan, apabila Allâh mengambilku dengan sebagian dosaku maka Aku akan selamanya berada di neraka Jahannam, kemudian saya pergi ke gunung untuk menghapus dosa-dosaku dengan mengikat kedua tangan ke leher menggunakan besi, kemudian dia mengeluh kepada Allâh : Ya Tuhanku Ya Tuanku, saya adalah Bahlul yang telah terbelenggu dengan Rantai yang mengakui terhadap dosa-dosanya.
  • Haula’ binti Tuait, beliau mengikat badannya dengan tambang agar supaya tidak tertidur dalam Rangka untuk beribadah dan Siti ‘Aiysh melaporkan hal tersebut kepada Nabi kemudian Nabi berkata: lakukanlah sesuatu sesuai dengan kemampuan karena Allâh itu tidak condong sampai kita condong kepadanya, dan amal yang dicintai oleh Allâh itu langgeng meskipun sedikit, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 89).

Sumber: Alif.ID

30. Pengertian Tarekat

وَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ الشَّرِيْعَةِ وَالطَّرِيْقَةِ فَقَالَ الصَّاوِي، وَالشَّرِيْعَةُ الْأَحْكَامُ الَّتِيْ شَرَعَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالْمَكْرُوْهَاتِ وَالْجَائِزَاتِ. وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالْوَاجِبَاتِ وَالْمَنْدُوْبَاتِ وَالتَّرْكُ لِلْمَنْهِيَّاتِ وَالتَّخَلِّي عَنْ فُضُوْلِ الْمُبَاحَاتِ وَالْأَخْذُ بِالْأَحْوَطِ كَالْوَرَعِ وَبِالرِّيَاضَةِ مِنْ سَهَرٍ وَجُوْعٍ وَصُمْتٍ

Perbedaan antara syari’at dan tarekat, dikatakan oleh al-Shawa, syari’at adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah ‘azza wa jalla yang disampaikan oleh Rasalullah saw, tentang hal-hal yang wajib dilakukan, yang haram, yang makruh, dan yang jaiz.

Tarekat adalah melaksanakan hal-hal yang wajib dan yang mandzub (sunnah), meninggalkan hal-hal yang dilarang, tidak melakukan hal-hal yang mubah yang tak berguna, memilih perilaku yang paling hati-hati seperti wira’i, dan memilih riyadhah seperti tidak banyak tidur pada malam hari, berlapar-lapar, dan diam (tidak berbicara tanpa guna), (Ahkamul Fuqaha’).

وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ السَّيْرَةُ الْمُخْتَصَّةُ بِالسَّالِكِيْنَ إِلَى اللهِ تَعَالَى مَعَ قَطْعِ الْمَنَازِلِ وَالتَّرَاقِي فِى الْمَقَامَاتِ

Tarekat adalah cara tertentu yang dilakukan oleh para pelaku suluk menuju kepada Allah SWT dengan menempuh beberapa pos dan peningkatan maqâm demi maqam, (Jami’ul Ushul, halaman: 335).

Ilmu Tarekat semuanya bermazhab empat;

وَأَحْسَنُ الْمَذَاهِبِ فِي الْأَحْكَامِ مَذْهَبُ الْفُقَهَاءِالْمَرْجُوْعِ إِلَيْهِمْ، كَالْأَئِمَّةِ الْأَرْبِعَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 89).

Sebaik-baik bermazhab dalam hukum adalah bermazhab kepada para fakaha sebagaimana al-imam al-arba’ah (imam empat madzhab), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 89).

هٰذِهِ الطَّرِيْقَةُ مَوْرُوْثَةٌ، أَخْذُهَا عَارِفٌ عَنْ عَارِفٍ إِلَى سَيِّدِ الْعَارِفِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلْنَذْكُرْ سِلْسِلَتَنَا تَبَرُّكًا وَاقْتِدَاءً.

Tarekat ini adalah warisan yang diwariskan dari orang ‘arif (makrifat), bersumber dari orang ‘arif, sampai kepada Sayyidil ‘arifin Nabi Muhammad SAW yang menjadi penghulu para ‘arifin, yang menyebutkan silsilahnya untuk tabrrukan dan iqtida’ (mengikuti perilaku mereka), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 271).

إِنَّ الْعَارِفَ لَا يَلْزَمُ حَالَةً وَاحِدَةً, إِنَّمَا يَلْزَمُ رَبَّهُ فِي الْحَالَاتِ كُلِّهَا.

Orang yang ‘arif (bijaksana) tidak hanya mengandalkan satu macam cara dalam menempuh jalan menuju hakikat, akan tetapi banyak cara yang dilakukan agar bisa mencapai tujuan yang dikehendaki (ma‘rifatullah), (Thabaqat as-Shafiyah, halaman: 34).

Wajib Mencari Guru yang Bisa Mengantarkan kepada Allah SWT

Wajib bagi salik untuk mencari seorang guru yang dapat mengantarkan dirinya kepada Allah SWT setelah mempelajari hal-hal yang wajib atau fardlu atau sesuatu yang dikhususukan untuk sebagian orang bukan untuk sebagian orang lain, dan sesungguhnya salikus shadiq adalah orang yang mengetahui keagungan sifat ketuhanan dan beberapa haq dalam tingkatan sifat ketuhanan terhadap semua makhluk dan hal tersebut mewajibkan bagi salik untuk selalu bersungguh-sungguh, tunduk dan rendah hati kepada Allah dan selalu mencintai Allah dan mengagungkannya dan selalu cenderung kepada Allah. Hatinya selalu cinta kepada Allah dan berpaling dari selain Allah SWT, (Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, halaman: 112).

وَهَلْ طَلَبَ الشَّيْخَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ؟ فَيَجِيْبُ عَلَى كُلِّ فَرْدٍ أَنْ يَطْلُبَ مَنْ يُوْصِلُهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى بَعْدَ تَعْلِيْمِ الْفَرَائِضِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص: 112)

Seorang guru (mursyid) memiliki kepandaian (mahir). Kemahiran atau kemampuan dalam suatu hal merupakan buah dari keluasan dan kedalaman keilmuannya, sedangkan yang disebut orang yang mahir adalah orang yang luas dan dalam ilmunya. Dalam hadis diterangkan;

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 117).

Orang yang mahir dalam membaca Alquran akan senantiasa bersama para malaikat safarah yang mulia”. Jadi, arti luas di sini adalah luas dalam hafalannya atau keilmuannya, (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 117)

Dasar Salik dalam Bertarekat

Barangsiapa yang ingin bertarekat menuju Allah SWT, dan berperilaku mengikuti Rasulullah, menyerupai orang-orang salih dengan mendaki tangga-tangga mereka, maka salik wajib membersihkan ahlak-ahlak yang tercela (takhalli). Menghiasi akhlak dengan sifat-sifat keutamaan dan terpuji yang bisa mendekatkan kepada Allâh SWT Seperti tawaduk, sabar dan pemaaf (al-hilm) ridha terhadap yang terjadi, ikhlas dalam amal ibadah dan sifat-sifat iman yang bisa membawa salik naik ke tangga-tangga yang luhur.

Jika salik sudah berakhlak dengan hal tersebut, maka Allah SWT akan memanggilnya “Wahai Hambaku”, lalu salik menjawab “aku penuhi panggilan-Mu”, dengan bersunggguh-sungguh dan orang yang menyatakan kebenaran, semua itu di sandarkan kepada Allah SWT Hal inilah yang di maksud dengan ibadah yang khusus (ubudiyah al-khas), definisi ibadah (secara umum) adalah menyembah kepada Allah yang maha mengasihi yang melakukan pemaksaan kepada semua mahluk-Nya. Allah SWT Berfirman;

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا ﴿مريم: 93﴾

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba, (Q.S. Maryam: 93).

Ubudiyah yang dimaksud pada ayat tersebut diharuskan kepada para kekasih (wali) Allah, maka ubudiyah ini senada dengan firman Allâh yang terdapat pada Surat al-Furqan ayat 63-68, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz 1 halaman: 05).

al-Qusyairi berkata: taubat itu derajat dari derajatnya para salikin, dan maqâm pertama dari maqam thalibin. Abu Ya‘qub Yusuf bin Hamdan as-Susi berkata: taubat adalah maqâm pertama dari beberapa maqam untuk menuju kepada Allah SWT, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 119).

As-Syaikh Abu Thalib RA. berkata: “Seorang salik tidak akan bisa menjadi wali Abdal, sampai dia mengganti makna sifat ketuhanan dengan sifat kehambaan, mengganti akhlak setan dengan sifat orang mukmin, mengganti watak hewan dengan sifat para ahli ruhani yaitu beberapa dzikir dan ilmu. Jika sudah demikian, maka dia akan menjadi wali Abdal yang mendekatkan diri, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 30).

قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فَلاَ يَكُوْنُ الْمُرِيْدُ بَدَلاً حَتَّى يَبْدُلَ بِمَعَانِي صِفَاتِ الرُّبُوْبِيَّةِ صِفَاتِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَأَخْلاَقَ الشَّيَاطِيْنِ بِأَوْصَافِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَطَبَائِعَ الْبَهَائِمِ بِأَوْصَافِ الرُّوْحَانِيِّيْنَ مِنَ اْلأَذْكَارِ وَالْعُلُوْمِ فَعِنْدَهَا يَكُوْنُ بَدَلاً مُقَرِّبًا، (شرح الحكم، ج 1، ص: 30).

Sumber: Alif.ID

31. Zikir (1)

Zikir merupakan rukunnya tarekat dan menjadi kuncinya haqîqat dan juga menjadi pedangnya para murid (salik) dan benderanya kewalian. Allah SWT berfirman:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. (الأحزاب: ٤١)

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, (Q.S. al-Ahzâb: 41).

فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ (النساء: 103)

Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, (Q.S. an-Nisâ’: 103).

Nabi SAW bersabda kepada Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw.:

عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ فِى الْخَلْوَةِ.

Berzikirlah selalu kepada Allah SWT dalam keadaan sendiri.

Jika seorang hamba hendak dijadikan sebagai kekasih-Nya, maka Allah SWT akan membukakan pintu zikir untuknya.

وَقاَلَ الشَّيْخُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخَرَازِ: إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يُوَالِيَ عَبْدًا مِنْ عَبِيْدِهِ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ ذِكْرِهِ فَإِذَا اسْتَلَذَّ الذِّكْرَ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ الْقُرْبِ ثُمَّ رَفَعَهُ إِلَى مَجَالِسِ اْلأُنْسِ ثُمَّ جَعَلَهُ عَلَى كُرْسِيِ التَّوْحِيْدِ ثُمَّ رَفَعَ عَنْهُ الْحِجَابَ وَأَدْخَلَهُ دَارَ الْفُرْدَانِيَّةِ وَكَشَفَ لَهُ حِجَابَ الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ وَإِذَا وَقَعَ بَصَرُهُ عَلَى الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ بَقَى بِلاَ هُوَ فَحِيْنَئِذٍ يَصِيْرُ الْعَبْدُ زَمَنًا فَانِيًا فَوَقَعَ فِيْ حِفْظِهِ وَبَرِئَ مِنْ دَعَاوِى نَفْسِهِ. (تنوير القلوب، ص 510)

Syaikh Abu Sa‘îd al-Kharâz menyatakan bahwa ketika Allah menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu zikir. Dan ketika dia telah merasakan nikmat zikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah. Selanjutnya, dia akan diberi ketenteraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah), dibuka baginya hijab keagungan Allah. Dan ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah. Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).

Mengenai atsar zikir dijelaskan bahwa apa yang dirasakan oleh seseorang ketika berzikir;

وَتِلْكَ النَّتِيْجَةُ إِنَّمَا هِيَ الذَّهُوْلُ عَنْ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَالْخَوَاطِرِ الْكَوْنِيَّةِ وَاْلاِسْتِهْلاَكِ فِى الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ الذَّاتِيَّةِ فَيَظْهَرُ فِى الْقَلْبِ أَثَرُ تَصَرُّفَاتِ تِلْكَ الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ وَهُوَ تُوَجُّهُ الْقَلْبِ إِلَى الْحَقِّ اْلأَقْدَسِ بِالْمَحَبَّةِ الذَّاتِيَّةِ . وَاْلأَثَرُ مُتَفَاوِتٌ بِحَسَبِ اْلاِسْتِعْدَادِ وَهُوَ إِعْطَاءُ اللهِ تَعَالَى أَرْوَاحَ عِبَادِهِ قَبْلَ تَعَلُّقِ اْلأَرْوَاحِ بِاْلأَبْدَانِ ثُمَّ تَشَرَّفَهُ مَا شَاءَ مِنَ الْقُرْبِ الذَّاتِيّ اْلأَزَلِيّ، فَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ الْغَيْبَةُ أَيِ الذَّهُوْلُ عَمَّا سِوَى الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَقَطْ، وَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ السَّكَرُ أَيِ الْحَيْرَةُ وَالْغَيْبَةُ مَعًا وَبَعْدَ ذَلِكَ يَحْصُلُ لَهُ وُجُوْدُ الْعَدَمِ وَهُوَ فَنَاءُ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَبَعْدَهُ يَتَشَرَّفُ بِالْفَنَاءِ أَيِ اْلاِسْتِهْلاَكِ فِي الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ لَهُ النَّتِيْجَةُ عِنْدُ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الْقُصُوْرِ فِى الشُّرُوْطِ. (تنوير القلوب، 515)

Hasil dari natijah (berzikir dengan wuquf qalbi) adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya. Bekas (hasil) zikir itu berbeda-beda tergantung pemberian Allah, yaitu sebuah pemberian Allah pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian Allah memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali. Di antara mereka (para Sâlik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah, yaitu lupa dari selain Allah. Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’), lalu mereka mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang sâlik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).

Berikut ini adalah penjelasan atsar zikir menurut pandangan beberapa ulama’;

  • al-Sukrîatsar zikir adalah suatu keadaan yang berada diantara maqâm mahabbah kepada Allah dan maqâm fana’, ketika seorang hamba sudah terbuka hatinya dengan sifat kesempurnaan maka seorang hamba akan berhasil dan sukses meraih derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah) seperti halnya kaRamahnya Imam Syibli: seandainya sirri-ku (h-ku) melihat ‘arsy-nya Allah dan kekuasaannya Allah, maka niscaya h-ku akan terbakar. Secara umum sesungguhnya bagi orang yang cinta kepada Allah setelah hangus terbakarnya semua satir (penghalang) maka dia akan masuk pada derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah).
  • Al-Syathh adalah gerakan-gerakan yang samar bagi orang yang sudah menemukan Allah ketika kuatnya penemuan kepada Allah, ibarat air yang banyak yang mengalir pada tempat yang sempit, maka air tersebut akan melober.
  • Zawal al-Hijab adalah hilang penghalang antara hamba dan tuhannya, sebagaimana komentar Abu Yazid al-Busthami: Allah mempunyai beberapa hamba ahli ibadah seandainya surga dan segala hiasannya di nampakkan kepadanya maka dia akan berteriak ketakutan dan lari dari surga seperti berteriak dan ketakutannya penduduk neraka dari neraka. Karena surga adalah penghalang baginya untuk bertemu kepada Allah.

Allah itu inti sari bagi ahli ibadah, jika mereka melihat Allah di surga terhalang satu jam olehnya maka mereka minta tolong untuk keluar dari surga seperti ahli neraka minta tolong untuk keluar dari neraka.

  • Gholabah al-Syuhûd adalah sebuah tempat yang tertinggi, yang tidak ada tempat setelahnya tempat tersebut, suatu masa setelahnya masa tersebut (yang tidak bisa di hitung dan tidak bisa direkayasa adanya), (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 246-257).

Selanjutnya adalah pembagian atau macam-macam zikir dalam pelaksanaannya. 1) Zikir dengan lisan yang memiliki pahala sepuluh kebaikan, 2) Zikir dengan hati memiliki tujuh ratus kebaikan, dan 3) Zikir yang pahalanya tidak dapat dihitung. Yakni, memenuhi hati dengan mahabah dan malu kepada Allah. Sahal bin Abdullah berkata: ”tidak semua orang orang yang mengaku itu memang berzikir”. Beliau ditanya tentang zikir lalu beliau menjawab zikir itu mewujudkan ilmu dengan menyakini bahwa Allah itu menyaksikanmu, maka kamu melihatnya dengan hatimu dan dekat darimu dan kamu malu kepadanya, kemudian berperangailah pada jiwa dan tingkah lakumu.

Sementara itu, ada dua cara untuk ber-zikir. 1) Dengan membaca tahlil, tasbih, dan membaca Alquran, 2) Menggerakkan hati sesuai dengan syarat-syarat mengesakan Allah SWT, Nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan menyebarkan kebaikan-Nya, melestarikan taqdir-Nya atas semua makhluk, maka zikirnya orang yang mengharap Rahmat itu atas janji Allah SWT dan zikirnya orang yang takut kepada Allah itu atas dasar ancaman Allah SWT. Dan zikirnya orang yang tawakkal itu atas dasar kecukupan rizki yang diberikan oleh Allah SWT, dan zikirnya orang yang mencintai Allah itu atas dasar diluaskan nikmat. Imam as-Syibli mengatakan bahwa hakikat zikir itu adalah lupanya orang yang ber-zikir yakni lupanya segala sesuatu selain Allah SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 200).

عَنْ أَبِي ذَرْ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَعِّدْنِيْ مِنَ النَّارِ، قَالَ: إِذَا عَمِلْتَ سَيِّـئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً عَلَى أَثْرِهَا فَإِنَّهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ. مِنَ الْحَسَنَاتِ لَآإِلٰهَ إِلَّاالله؟ قَالَ: مِنْ أَكْبَرِ الْـحَسَنَاتِ.

Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari dia berkata “Wahai Rasûlullah, tunjukkanlah padaku satu amal yang bisa mendekatkanku ke surga dan bisa menjauhkanku dari neraka”. Rasûlullah bersabda: “Ketika engkau melakukan amal jelek maka lakukan amal kebaikan setelah melakukan amal jelek karena amal kebaikan pahalanya 10 kali amal jelek”. Kemudian aku bertanya kepada Rasûlullah, “Wahai Rasûlullah apa kebaikan mengucap لاإله إلاالله ” Rasûlullah menjawab, “ucapan itu merupakan kebaikan yang paling besar”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ juz 2 halaman: 361).

Sumber: Alif.ID

32. Zikir (2)

Zikir sendiri terbagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat atau derajat, yaitu sebagai berikut:

وَالذِّكْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: ذِكْرُ الْعَامِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ غَافِلٌ، وَذِكْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ حَاضِرٌ، وَذِكْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ بِالْقَلْبِ حَاضِرٌ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Tiga kategori tersebut adalah:

1) Zikirnya orang awam, yaitu dengan lisan, sedangkan hatinya lupa.

2) Zikirnya orang khash (khusus), yaitu dengan lisan sedangkan hatinya hadir,

3) Zikirnya orang akhash (paling khusus), yaitu dengan hati yang hadir (tanpa lisan), (Jami’ul Ushul fil Auliy’, halaman: 78).

Selain itu, dijelaskan pula empat pembagian zikir yang diterangkan di dalam kitab Nasy’atut Tasawuf;

  1. Zikir dengan lisan
  2. Zikir dengan qalbi
  3. Zikir dengan sirrî
  4. Zikir dengan h

Apabila “zikir ruh” sudah benar, maka “zikir sirri”, qalbi, dan lisan akan diam dari zikir. Inilah yang kemudian disebut dengan zikir musyahadah. Dan apabila “zikir sirri” sudah benar, maka hati dan lisan diam tidak berzikir dan hal ini disebut dengan zikir haibah dan apabila zikir qalbi sudah benar, maka lisan akan lamban untuk berdikir dan inilah yang disebut dengan zikir allai dan zikir na‘mai. Dan apabila hati lupa ber-zikir, maka yang zikir adalah lisannya dan hal ini disebut dengan zikir ibadah, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 162).

Kemampuan hati dapat terasa dan semakin jernih tatkala secara ajeg dan rutin terus diajak untuk berzikir. Zikir tidak hanya menjadikan hati lebih jernih, zikir juga bisa menjadi obat penenang tatkala hati sedang gunda. Segala penyakit hati seperti hasud, sombong, buruk sangka, dan berbagai penyakit hati lainnya dapat sembuh dengan zikir.

قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: ذِكْرُ اللهِ شِفَآءُ الْقُلُوْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 164)

Nabi SAW bersabda: Berzikir kepada Allah SWT adalah pengobat hati, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 163).

Disamping zikir menjadikan hati tenang, zikir juga menjadikan hidup seseorang menjadi lebih mudah. Sebagaimana hal ini sering kita jumpai pada orang-orang khash, hidup mereka lebih tentram dan tenang, hidup mereka sederhana namun tercukupi.

وَقَالَ: «مَجَالِسُ الذِّكْرِ تَنْزِلُ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَتَحُفُّ بِهِمْ الْمَلآئِكَةُ وَتَغْشَاهُمْ الرَّحْمَةُ وَيَذْكُرُ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ»….وَقَالَ: «وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا»، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 165).

Rasulullah SAW bersabda: “Majelis zikir diturunkan kepada mereka ketenangan, para malaikat mengitari mereka, mereka diliputi Rahmat, dan Allah SWT pun berzikir di Arsy-Nya”….. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari zikir kepada-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit”, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 165).

وقال: لَمْ أَجِدْ السُّرُوْرَ إِلَّا فِى ثَلَاثِ خِصَالٍ: التَنَعُّمُ بِذِكْرِ اللهِ، وَاليَأْسُ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَالطُّمَأْنِيْنَةُ قَبْلَ أَنْ تَتَرَكَّهُ.

Yahya bin Muadz berkata, “aku tidak menemukan kebahagiaan kecuali tiga hal. (a) menemukan kenikmatan dalam berzikir. (b) putus asa dari manusia. (c) merasa tenang dengan zikir yang dijanjikan Allah”, (Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, juz 8, halaman: 129).

Salah satu keuntungan yang didapat dari majelis zikir adalah adanya jaminan keselamatan akhirat bagi siapapun yang turut serta dalam majelis itu. Baik yang ahli ibadah, maupun yang tidak, Allah SWT akan memenuhi permintaan dan memberikan ampunan bagi setiap orang yang turut serta dalam majelis zikir tersebut.

وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلهِ مَلاَئِكَةً سَيَّارَةً فُضْلًا يَتَّبِعُوْنَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوْا مَجْلِسًا فِيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوْا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَؤُوْا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ فَيَسْأَلُهُمْ اللهُ  عَزَّ وَجَلَّ – وَهُوَ أَعْلَمُ – : مِنْ أيْنَ جِئْتُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي اْلأَرْضِ، يُسَبِّحُوْنَكَ ويُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ وَيَسْألُوْنَكَ. قَالَ: وَمَاذَا يَسْألُوْنِيْ؟ قَالُوْا: يَسْألُونَكَ جَنَّتَكَ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: لَا، أَيْ رَبِّ. قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: ويَسْتَجِيْرُوْنَكَ. قَالَ: وَمِمَّ يَسْتَجِيْرُوْنِيْ؟ قَالُوْا: مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: لَا، قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: وَيَسْتَغفِرُوْنَكَ؟ فَيَقُوْلُ: قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ، وَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوْا، وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوْا. قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: رَبِّ فِيْهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ. فَيَقُوْلُ: وَلَهُ غَفَرْتُ، هُمُ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ. (رياض الصالحين، ص 548)

Di dalam riwayat Muslim dikatakan, dari Abu Hurairah RA., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sungguh Allah mempunyai malaikat-malaikat yang mulia yang selalu berjalan-jalan mencari majelis zikir, apabila mereka mendapatkan suatu majelis yang dipergunakan untuk berzikir, maka mereka duduk di situ dan masing-masing malaikat membentangkan sayapnya, sehingga memenuhi ruangan yang berada di antara ahli zikir dan langit dunia. Apabila ahli zikir itu telah kembali ke rumah masing-masing, maka para malaikat itu naik ke langit, dan kemudian ditanya oleh Allah ‘azza wa jalla padahal Allah telah mengetahui: “Dari mana kalian datang?” Para malaikat menjawab: “Kami baru saja mendatangi hamba-Mu di bumi yang membaca tasbih, takbir, tahlil, tahmid dan memohon kepada-Mu.” Allah bertanya: “Apakah yang mereka minta?” Malaikat menjawab: “Mereka minta surga.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana jika mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga mohon diselamatkan.” Allah bertanya: “Mereka mohon diselamatkan dari apa?” Para malaikat menjawab: “Dari neraka-Mu.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga memohon ampun kepada-Mu.” Allah berfirman: “Aku telah mengampuni mereka, maka Aku akan memenuhi permohonan mereka dan akan menjauhkan mereka dari apa yang mereka mohon untuk diselamatkan.” Para malaikat berkata: “Wahai Tuhan, di dalam majelis itu ada si Fulan, seorang hamba yang banyak berdosa, ia hanya lewat kemudian ikut duduk bersama mereka.” Allah berfirman: “Kepada Fulan pun Aku mengampuninya. Mereka semua adalah termasuk ahli zikir, yang tidak seorang pun yang duduk di situ akan mendapatkan celaka”, (Riyadhus-Shalihin, halaman: 548).

يَرْجُوْ النَّجَاةَ وَلَمْ يَسْلُكْ مَسَالِكَهَا v إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَاتَجْرِى عَلَى الْيَبِسِ

Seseorang berharap keselamatan namun tidak mau berjalan di jalan keselamatan. Sungguh, perahu tidak berjalan di atas daratan (Tanwir al-Qulub, halaman: 443).

Berikut ini adalah Hadis yang menjelaskan etika berzikir dengan menggunakan tasbih;

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِى عَمْرٌو أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ أَبِى هِلَالٍ حَدَّثَهُ عَنْ خُزَيْمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيْهَا: أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ: أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا اَوْ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلَ ذٰلِكَ، (سنن أبى داود، ج 1، ص: 348).

Ahmad bin Shalih menceritakan kepadaku, Abdullah bin Wahbin menceritakan kepadaku, Amr mengabariku bahwa Sa’id bin Abi Hilal menceritakan kepadanya dari Khuzaimah, dari ‘Aisyah binti Sa’ad bin abi Waqash dari bapaknya ‘Aisyah: Sesungguhnya dia (ayahnya) bersama Rasûlullâh telah mendatangi seorang perempuan dan kedua tanganya terdapat biji kurma dan batu kecil (kerikil) untuk membaca tasbih, Nabi bersabda: “Aku mangabarimu dengan sesuatu yang lebih mudah (daripada biji kurma atau batu kecil) dan yang lebih utama? Nabi bersabda:

سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَالْحَمْدُ لِلهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَلَآ اِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ

Sumber: Alif.ID

33. Nafsu

Nafsu adalah unsur rohani manusia yang memiliki pengaruh paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan perintah kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan. Dalam diri manusia, terdapat tujuh macam nafsu yang perlu untuk diketahui sifat dan karakternya. Karena dengan mengetahui sifat-sifat dan karakter tersebut, hal ini memungkinkan bagi kita untuk bisa sampai kepada Allah SWT

وَلَهُمَا عَقَبَاتٌ سَبْعَةٌ لاَ يَصِلُ أَحَدٌ إِلَى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ إِلاَّ بِقَطْعِهَا وَهِيَ الصِّفَاتُ السَّبْعَةُ لِلنَّفْسِ وَهِيَ اْلأَمَّارَةُ وَاللَّوَّامَةُ وَالْمُلْهِمَةُ وَالْمُطْمَئِنَّةُ وَالرَّاضِيَةُ وَالْمَرْضِيَّةُ وَالْكَامِلَةُ. وَقَطْعُ عَقَبَاتِهَا بِالْأَذْكَارِ السَّبْعَةِ: [الأول] «لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اْلأَمَّارَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَأْمُرُ صَاحِبَهَا بِالسُّوْءِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَزْرَقُ. [الثاني] «الله» مِائَةُ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَلُوْمُ صَاحِبَهَا بَعْدَ وُقُوْعِ الْمَعْصِيَّةِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَصْفَرُ. [الثالث] «هُوَ» تِسْعُوْنَ أَلْفًا، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُلْهِمَةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا تُلْهِمُ صَاحِبَهَا فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَحْمَرُ. [الرابع] «حَيٌّ» سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا اِطْمَئَنَّتْ وَسَكَنَتْ مِنْ اِضْطِرَابِهَا وَسَلِمَتْ لِلْأَقْدَارِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَبْيَضُ. [الخامس] «قَيُّوْمٌ» تِسْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الرَّاضِيَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا رَضِيَتْ مِنَ اللهِ بِكُلِّ حَالٍ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَخْضَرُ. [السادس] «رَحْمَنٌ» خَمْسَةٌ وَتِسْعُوْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمَرْضِيَّةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا صَارَتْ مَرْضِيَّةً عِنْدَ الْحَقِّ وَالْخَلْقِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَسْوَدُ. [السابع] «رَحِيْمٌ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْكَامِلَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا كَمُلَتْ أَوْصَافُهَا وَصَارَتْ رَحِيْمَةً لِجَمِيْعِ الْخَلْقِ، فَتُحِبُّ لِلْكَافِرِ اْلإِيْمَانَ وَلِلْعَاصِي التَّوْبَةَ مِنَ الْعِصْيَانِ وَلِلطَّائِعِ الثَّبَاتَ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ، وَلَيْسَ لَهَا نُوْرٌ مَخْصُوْصٌ، فَنُوْرُهَا يَتَمَوَّجُ بَيْنَ هَذِهِ اْلأَنْوَارِ السِّتِّ وَعَالَمُهَا الْخَيْرَاتُ وَمَحَلُّهَا الْخَفَاءُ، لِأَنَّهَا رَجَعَتْ بِحَسَبِهِ إِلَى حَالِ الْعَوَامِ. وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّهَا أَمَرَتْ بِالرُّجُوْعِ إِلَى الْخَلْقِ لِأَجْلِ تَكْمِيْلِهِمْ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 175).

Penjelasan tujuh macam nafsu beserta karakteristiknya adalah sebagai berikut:

  1. Nafsu Ammârah, yaitu nafsu yang cenderung mendorong kepada keburukan.
  2. Nafsu Lawwâmah, yaitu nafsu yang telah mempunyai Rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaRAn.
  3. Nafsu Mulhimah, yaitu nafsu yang memberikan dorongan untuk berbuat kebaikan.
  4. Nafsu Mutmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemelihaRAan yang baik. Ia mendatangkan ketenteRAman jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi seRAngan kekejian dan kejahatan.
  5. Nafsu Râdhiyah, yaitu nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peRAn yang penting dalam mewujudkan kesejahteRAan.
  6. Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang mencapai ridha Allah SWT Keridhaan tersebut terlihat pada anugeRAh yang diberikan Allah SWT berupa senantiasa berzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan.
  7. Nafsu Kâmilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 175).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tabiat nafsu;

وَأَمَّا أَخْلَاقُ النَّفْسِ، فَمِنْهَا: اَلْكِبْرُ، وَالْعُجْبُ، وَالْفَخْرُ، وَالْـخَيْلَاءُ، وَالْغِلُّ، وَالْغَشُّ، وَالْبُغْضُ، وَالْـحِرْصُ، وَالْأَمَلُ، وَالْـحِقْدُ، وَالْـحَسَدُ، وَالضَّجْرُ، وَالْـجَزْعُ، وَالْهَلْعُ، وَالطَّمَعُ، وَالْـجَمْعُ، وَالْمَنْعُ، وَالْـجُبْنُ، وَالْـجَهْلُ، وَالْكَسَلُ، وَالْبَذَاءُ، والجَفَا، واتِّباعُ الهَوَى والإِزْدِرَاءُ، والإِسْتِهْزَاءُ، والتَّمَنِّي، والتَّرَفُّعُ، وَالْـحِدَّةُ، والسَّفَهُ، والطَّيْشُ، وَالْمُرَاءُ، وَالتَّحَكُّمُ، وَالظُّلْمُ، وَالْعَدَاوَةُ، وَالْمُنَازَعَةُ، وَالْمُعَانِدَةُ، وَالْمُخَالَفَةُ، وَالْمُغَالَبَةُ، وَالْمُزَاحِمَةُ وَالْغِيْبَةُ، وَالْبُهْتَانُ، وَالْكَذْبُ, وَالنَّمِيْمَةُ، وَالتَّهْوِيْسُ، وَسُوْءُالظَّنُّ، وَالْمُهَاجِرَةُ، والَّلؤُمُ، والوِقَاحَةُ، والغُدْرُ، والخِيَانَةُ، والفُجُوْرُ، والشِّمَاتَةُ، إلى غير ذلِكَ مِمَّا يُكْثِرُ تِعْدَادُهُ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 255).

Di antara tabiat nafsu adalah; takabbur (sombong amal), ‘ujub (sombong fisik), angkuh, kesombongan, pendendam, licik, pembenci, serakah, berangan-angan, iri hati, hasud, keluh kesah, gelisah, tama’, menimbun harta, mencegah/melarang, penakut, bodoh, malas, keji, kerasnya hati, menuruti hawa nafsu, menghina, mencemooh, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, congkak, pemarah, boros, gegabah, berpura-pura/munafiq, sewenang-wenang, penindas, permusuhan, pertentangan, durhaka, pembangkang, pertikaian, persaingan, menggunjing, pembohong, pendusta, adu domba, pemikir, prasangka yang buruk, lari dari kenyataan, suka mencela, suka dengan kekerasan, banyak alasan, suka berkhianat, suka berbuat mesum, gembira atas bencana orang lain, dan lain sebagainya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 255).

Salah satu pengaruh terbesar nafsu adalah terhadap akal dan syahwat. Salah satu tanda adanya syahwat, yaitu berdirinya dzakar (baca: ereksi). Jika dzakar sudah berdiri, maka dua pertiga akal manusia menjadi hilang. Jika dua pertiga akal telah sirna, maka berpikir pun menjadi sulit karena dua pertiga bagian dari akal sehat telah dikuasai nafsu.

فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. قَالَ هُوَ قِيَامُ الذَّكَرِ. وَقَدْ أَسْنَدَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِيْ تَفْسِيْرِهِ: الذَّكَرُ إِذَا دَخَلَ. وَقَدْ قِيْلَ إِذَا قَامَ ذَكَرُ الرَّجُلِ ذَهَبَ ثُلُثَا عَقْلِهِ حديث ابن عباس، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 96).

Dalam firman Allah SWT: “Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”. Sebagian mufassir mengatakan yang dimaksud adalah berdirinya dzakar. Sebagian mereka menyandarkan kepada beliau dalam tafsirnya, namun dengan redaksi: “Dzakar (alat vital laki-laki) jika sudah masuk (ke dalam alat vital perempuan)” – dikatakan juga – “jika dzakar telah berdiri (ereksi), maka hilanglah dua pertiga akalnya”. Hadis riwayat Ibn Abbas, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 96).

Seringkali kita tertipu dengan halusnya bujuk rayu nafsu yang menunggangi diri dalam melaksanakan ibadah. Bersedekah dengan jumlah uang yang banyak karena rasa gengsi dan riya’ agar orang memandang kita sebagai orang yang dermawan, merupakan perbuatan ibadah yang tercampur dengan kepentingan duniawi.

Orang yang beribadah dengan tujuan untuk mencari kehormatan dan kebahagiaan dunia, maka bukan surga yang akan didapatkannya, melainkan neraka menjadi tempat kembalinya. Jangankan surga, aromanya saja tidak akan tercium olehnya.

رِيْحُ الْجَنَّةِ يُوْجَدُ مِنْ مُسِيْرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَلاَ يَجِدُهَا مَنْ طَلَبَ الدُنْيَا بِعَمَلِ اْلآخِرَةِ، (فيض القدير، ج 4، ص: 54).

Rasulullah SAW bersabda: “Aroma surga dapat tercium dari jarak perjalanan 500 tahun, namun aroma itu takkan dapat dicium oleh seseorang yang mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 54).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya;

(مِنْ عَلاَمَاتِ اِتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ) هَذِهِ مِنَ الصُّوَرِ الَّتِيْ يَتَبَيَّنُ بِهَا خِفَّةُ الْبَاطِلِ وَثِقَلُ الْحَقِّ عَلَى النَّفْسِ وَمَا ذَكَرَهُ هُوَ حَالُ أَكْثَرِ النَّاسِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنْهُمْ إِذَا عَقَدَ التَّوْبَةَ لاَ هِمَّةَ لَهُ إِلاَّ فِيْ نَوَافِلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ وَتِكْرَارِ الْمَشْيِ إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ النَّوَافِلِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرُ مُتَدَارِكٍ لِمَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَلاَ مُتَحَلِّلٍ لِمَا لَزِمَ ذِمَّتُهُ مِنَ الظُّلاَمَاتِ وَالتَّبِعَاتِ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَشْتَغِلُوْا بِرِيَاضَةِ نُفُوْسِهِمْ الَّتِيْ خَدَعَتْهُمْ وَلَمْ يَحْظُوْا بِمُجَاهَدَةِ أَهْوَائِهِمْ الَّتِيْ اِسْتَرَفَتْهُمْ وَمَلَكَتْهُمْ لَوْ أَخَذُوْا فِيْ ذَلِكَ لَكَانَ لَهُمْ فِيْهِ أَعْظَمُ شُغْلٍ وَلَمْ يَجِدُوْا فُسْحَةً لِشَيْءٍ مِنَ الطَّاعَاتِ وَالنَّفْلِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مَنْ كَانَتْ الْفَضَائِلُ أَهَمُّ إِلَيْهِ مِنْ أَدَاءِ الْفَرَائِضِ فَهُوَ مَخْدُوْعٌ . وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ الْوَرَدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَلاَكُ النَّاسِ فِيْ حِرْفَتَيْنِ اِشْتِغَالٌ بِنَافِلَةٍ وَتَضْيِيْعُ فَرِيْضَةٍ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ بِلاَ مُوَاطَأَةِ الْقَلْبِ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا حَرَمُوْا الْوُصُوْلَ بِتَضْيِيْعِهِمْ اْلأُصُوْلَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 30).

Diantara tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah bersegera untuk melaksanakan kesunnahan dan malas untuk melaksanakan yang wajib. Ini adalah sebuah gambaran yang bisa menjelaskan ringannya kebatilan dan beratnya kebenaran bagi nafsu. Apa yang telah disebutkan oleh pengarang adalah keadaan kebanyakan orang. Anda menyaksikan seseorang yang telah niat bertaubat dan dia tidak memiliki keinginan yang kuat kecuali untuk melaksanakan puasa dan sholat sunnah, berkali-kali pergi ke Baitullah, dan berbagai kesunnahan lainnya. Dengan tidak adanya niat yang kuat itulah, dia tidak dapat menggapai yang wajib karena kecerobohannya, dan dia tidak dapat melepaskan tanggungan aniaya atas dirinya sendiri dan orang lain. Semua itu ada tidak lain karena mereka masih belum mau melatih nafsu yang telah memperdayai diri mereka, tidak pula mereka mau memerangi hawa nafsu yang telah menguasai diri mereka. Seandainya mereka melatih dan memerangi hawa nafsu, maka mereka akan mengalami kesibukan yang dahsyat, dan tidak akan menemukan kelonggaRAn dalam ketaatan dan kesunnahan.  Sebagian orang ‘alim berkata: “Barangsiapa yang lebih mementingkan fadhilah-fadhilah kesunnahan daripada melaksanakan kewajiban, maka dia adalah orang yang tertipu”. Muhammad ibn Abi al-Warad RA. berkata: “Kerusakan manusia terletak dalam dua pekerjaan; (pertama) sibuk dengan kesunnahan dan menyia-nyiakan kewajiban, (kedua) beribadah dengan anggota badan namun hati tidak turut serta di dalamnya, mereka akan terhalang untuk bisa wushûl karena mereka menyia-nyiakan yang inti”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 30).

Untuk menundukkan nafsu, kita perlu memahami dan mengerti karakteristik dan sifat-sifat nafsu itu sendiri, serta bagaimana cara-cara nafsu untuk membujuk diri kita agar terjerumus dalam perbuatan yang negatif. Jadi, kata kunci untuk menundukkan nafsu adalah ilmu. Tanpa ilmu, kita tidak bisa apa-apa, tanpa ilmu kebutuhan dunia dan akhirat sulit untuk bisa dicapai. Yang terpenting adalah kita harus selalu berpegang teguh pada Alquran dan Hadis. Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’ disebutkan:

وَقَالَ: مَوْتُ النَّفْسِ بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَاْلاِقْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 43).

Abu Hasan al-Syadzili berkata: “Matinya nafsu itu dengan ilmu dan ma’rifat, serta mengikuti Alquran dan sunnah RAsûl”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 43).

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَايَدْخُلُ عَلَى اللهِ حَتَّى يَمُوْتَ اَرْبَعُ مَوْتَاتٍ: الْمَوْتُ الْأَحْمَرَ، وَهُوَ: مُخَالَفَةُ النَّفْسِ، وَالْمَوْتُ الْأَسْوَدُ، وَهُوَ: اِحْتِمَالُ الْأَذَى مِنَ الْخَلْقِ، وَالْمَوْتُ الْأَبْيَضُ وَهُوَ: الْجُوْعُ، وَالْمَوْتُ الْأَحْضَرُ، وَهُوَ: لُبْسُ الْمُرْقِعَاتِ

Sebagian ‘Ulama’ berpendapat: seseorang tidak akan dapat masuk dalam  keagungan Allah, kecuali ia mengalami empat kematian: Mati merah (Mautul Ahmar), yaitu melawan nafsu. Mati hitam (Mautul Aswâd), yaitu memaafkan atau menerima segala bentuk penindasan orang lain. Mati putih (Mautul Abyadh), yaitu lapar dan mati hijau (Mautul Akhdhar), yaitu menambal amal jelek dengan amal kebaikan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 256).

Berikut ini penjelasan mengenai sumpah iblis untuk menggoda manusia;

وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ قَالَ إِبْلِيْسُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أَغْوِيْ بَنِيْ آدَمَ مَا دَامَت ِالْأَرْوَاحُ فِيْهِمْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوْنِي، (شرح الحكم، ج 2، ص: 60).

Abu Sa’id al-Khudri RA. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Iblis berkata kepada Allah ‘Azza wa Jalla: “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, tak henti-hentinya aku kan menggoda manusia, selama nyawa masih ada dalam diri mereka”. Allah SWT berfirman kepada setan: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku pun tak henti-hentinya mengampuni mereka selama mereka masih memohon ampun kepada-Ku”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 60).

Sumber: Alif.ID

34. Sebaik-baik Ulama

قال النبى: حُكَمَاءُ عُلَمَاءُ كَادُوْا مِنْ صِدْقِهِمْ أَنْ يَكُوْنُوْا أَنْبِيَاءَ، (حلية الأولياء، جز 7، ص: 418).

Rasulullah SAW bersabda. “Hampir-hampir kesungguhan ulama ahli hikmah itu menjadi seperti para nabi”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 7 halaman: 418).

حدثنا عبد الله بن محمد بن جعفر، حدثنا زكريا الساجي فيما قرئ عليه فأقربه، حدثنا سهل بن بحر، حدثنا محمد بن إسحاق السليمي، حدثنا المبارك عن سفيان الثوري عن أبى الزناد أبى حازم عن أبى هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((خِيَارُ أُمَّتِي عُلَمَاؤُهَا، وَخِيَارُكُمْ عُلَمَاؤُهَا رُحَمَاؤُهَا، أَلَا وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لِلْعَالِمِ أَرْبَعِيْنَ ذَنْبًا قَبْلَ أَنْ يَغْفِرَ لِلْجَاهِلِ ذَنْبًا وَاحِدًا، أَلَا وَإِنَّ الْعَالِمَ الرَّحِيْمَ يَجِئُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ نُوْرَهُ قَدْ أَضَاءَ، يَمْشِيْ فِيْهِ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ كَمَا يَضِئُ الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ))، (حلية الأولياء، جز 6، ص: 425)

Sebaik-baiknya umatku adalah ulama, sebaik-baik ulama adalah yang memiliki belas kasihan terhadap umat, ketahuilah bahwa Allah mengampuni 40 dosa orang alim lebih dahulu sebelum Allah mengampuni satu dosa orang bodoh. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang alim yang penuh kasih sayang datang pada hari kiyamat dan cahayanya menerangi jalan-jalan yang dilaluinya, dia berjalan diantara arah timur dan barat seperti bintang-bintang yang bersinar, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6, halaman: 425).

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنُ أَحْمَدَ-إِمْلَاءٌ-حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنُ حَنْبَلٍ،حَدَثَنِيْ أَبِيْ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيْ يَقُوْلُ: الْأَعْمَالُ السَّيِّئَةُ دَاءٌ، وَالْعُلَمَاءُ دَوَاءٌ، فَإِذَا فَسَدَ الْعُلَمَاءُ فَمَنْ يَشْفَى الدَّاءَ، (حلية الأولياء، جز 5، ص: 288).

Amal yang jelek merupakan penyakit, ulama adalah obat, ketika para ulama’ rusak maka siapa yang bisa mengobati?

حَدَّثَنَا سليمان بن أحمد، ثنا محمد بن عبد الله الحضرمي، ثنا أحمد بن راشد البجلي، ثنا يحيى ابن يمان، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِي يَقُوْلُ: الْعَالِمُ طَبِيْبُ الدِّيْنِ، وَالدَّرَاهِمُ دَاءُ الدَّيْنِ، فَإِذَاجَذَبَ الطَّبِيْبُ الدَّاءَ إِلَى نَفْسِهِ، فَمَتَى يُدَاوِي غَيْرَهُ، (حلية الأولياء، جز 5، ص: 288).

Orang alim merupakan dokter agama, dirham adalah penyakitnya, ketika seorang dokter terkena penyakit, maka kapankah dia bisa mengobati orang lain?, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’,  juz 5, halaman: 288).

Tiga Golongan Manusia

قال المُرْسِيْ رضي الله تعالى: النَّاسُ ثَلَاثَةٌ: قَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَا مِنْهُمْ إِلَى اللهِ وَهُمُ الْعِبَادُ وَالْعَامَّةُ، وَقَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَأْمُنِ اللهِ إِلَيْهِمْ وَهُمْ الْخَاصَّةُ، وَقَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَا مِنَ اللهِ إِلَى اللهِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص: 446-447)

Imam al-Mursi menggolongkan manusia menjadi tiga golongan;

  1. Golongan yang bisa melihat Allah melalui segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah
  2. Golongan yang melihat sesuatu yang diamanahkan Allah yang disandarkan kepada makhluknya yaitu orang yang khusus
  3. Golongan yang melihat sesuatu dari Allah dan disandarkan kepada Allah, (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman: 446).

Manusia Terbagi Menjadi Empat Golongan Yang Mengikuti Nabi

وَالنَّاسُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَصْنَافٍ فِى إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، الصِّنْفُ الْأَوَّلُ: الْعُلَمَاءُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَقْوَالِهِ، الصِّنْفُ الثَّانِى: الْعُبَّادُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَفْعَالِهِ، الصِّنْفُ الثَّالِثُ: الصُّوْفِيَّةُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فىِ أَخْلَاقِهِ، الصِّنْفُ الرَّابِعُ: الْعَارِفُوْنَ الْمُحَقِّقُوْنَ اِقْتِدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَحْوَالِهِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص:447)

  1. Para ulama yang mengikuti jejak nabi dalam segi perkataan Nabi
  2. Orang-orang yang ahli ibadah yang mengikuti jejak Nabi dari segi pekerjaan Nabi
  3. Seorang sufi yang mengikuti jejak Nabi dari segi akhlak Nabi
  4. Orang-orang yang ma’rifat billah yang mengikuti jejak Nabi dari segi haliyah Nabi, (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman: 447).

Kewajiban Amar Ma‘ruf

Menyuruh pada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah dari kemunkaran (nahi munkar) adalah sebuah kewajiban bersama. Kewajiban ini tidak harus menunggu apakah kita sudah melaksanakan perbuatan ma’ruf tersebut, atau kita telah meninggalkan perbuatan munkar tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis berikut:

رَوَى أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مُرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَإِنْ لَمْ تَعْمَلُوْا بِهِ وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ لَمْ تَنْتَهُوْا عَنْهُ، (تنبيه الغافلين، ص: 32).

Abu Hurairah RA. meriwayatkan Hadis dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Memerintahlah kalian kepada kebajikan, meskipun kalian belum melaksanakannya. Dan laranglah kalian dari perbuatan munkar, meskipun kalian belum meninggalkannya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 32).

Namun, kewajiban untuk melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar tersebut memiliki batasan-batasan tersendiri, sesuai dengan kadar keimanan dan kemampuan yang dimiliki.

  1. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan kekuasaan, yaitu untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum).
  2. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan lisan, yaitu untuk para ulama (ilmuwan).
  3. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan hati, yaitu untuk orang awam.

وَرَوَى أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ يَعْنِي أَضْعَفُ فِعْلِ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ قَالَ بَعْضُهُمْ التَّغْيِيْرُ بِالْيَدِ لِلأُمَرَاءِ وَبِاللِّسَانِ لِلْعُلَمَاءِ وَبِالْقَلْبِ لِلْعَامَّةِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ عَلَى ذَلِكَ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُغَيِّرَهُ، (تنبيه الغافلين، ص: 33. تنوير القلوب، ص: 8).

Abu Sa’id al-Khudri RA. meriwayatkan Hadis dari Nabî SAW, beliau bersabda: “Jika seseorang di antara kalian ada yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Namun, jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya. Namun, jika tidak mampu, maka dengan hatinya (do’a). Dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah”. Maksudnya adalah hal tersebut adalah perbuatan yang paling lemah dari orang-orang yang memiliki keimanan. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan merubah dengan tangan adalah untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum), merubah dengan lisan adalah bagi ulama (ilmuan), dan merubah dengan hati adalah bagi orang awam. Dan sebagian ulama lainnya juga menyatakan bahwa tiap orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemunkaran tersebut, maka hal itu adalah wajib baginya untuk merubahnya. (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 33).

Dunia Menjadi Pelayan bagi Orang yang Melayani Agama Allah

Dunia ini, jika semakin kita terus membenamkan diri didalamnya, maka semakin dalam kita terjerumus dalam kepalsuannya. Sebaliknya, jika kita menggunakan dunia ini sebatas kebutuhan kita untuk mengabdikan dan menyembahkan diri kepada Allah SWT, maka dunia ini yang akan mencari dan mengabdi kepada kita. Betapa banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Allah SWT, hidup mereka tentram, serba kecukupan. Dunia menjadi pelayan mereka, bukan mereka yang menjadi pelayan dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT kepada dunia ketika menciptakannya: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku, maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdiannya”.

فَمَنْ أَرَدَ اللهُ أَنْ يَتَّخِذَهُ وَلِيًّا كَرِهَ اِلَيْهِ الدُّنْيَا وَوَفَقَهُ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَسَهَّلَهَا عَلَيْهِ كَمَا وَقَعَ لِبَعْضِهِمْ فَإِنَّهُ خَرَجَ يَتَصَيَّدُ فِى بَرِيَةٍ وَإِذَا شَابٌ رَاكِبٌ أَسَدًا وَحَوْلَهُ سِبَاعٌ فَلَمَّا رَأَتْهُ اِبتَدَرَتْ نَحْوَهُ فَزَجَرَهَا الشَّابُ ثُمَّ قَالَ: مَا هَذِهِ الْغَفْلَةُ؟ اِشْتَغَلْتَ بِهَوَاكَ عَنْ أُخْرَاكَ وَبِلَذَّتِكَ عَنْ خِدْمَةِ مَوْلَاكَ، أَعْطَاكَ الدُّنْيَا لِتَسْتَعِيْنَ بِهَا عَلَى خِدْمَتِهِ فَجَعَلْتَهَا ذَرِيْعَةً لِلْاِشْتِغَالِ عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَتْ عَجُوْزٌ بِيَدِهَا شُرْبَةُ مَاءٍ فَشَرِبَ وَنَاوَلَهُ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ: هِىَ الدُّنْيَا وُكِّلَتْ بِخِدْمَتِيْ. أَمَّا بَلَغَكَ أَنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَهَا قَالَ: مَنْ خَدَمَنِيْ فَاخْدِمِيْهِ وَمَنْ خَدَمَكَ فَاسْتَخْدِمِيْهِ. فَخَرَجَ عَنْ الدُّنْيَا وَسَلَكَ الطَّرِيْقَ وَصَارَ الْأَبْدَالَ، (تنوير القلوب، ص: 448).

Apabila Allah SWT menghendaki seorang hamba untuk dijadikan kekasihnya, maka Allah SWT akan menjauhkan dunia darinya, dan Allah SWT memberikan pertolongan serta kemudahan baginya untuk melakukan amal-amal yang baik. Sebagaimana terjadi pada seorang kekasih Allah SWT Yaitu ketika dia keluar untuk berburu, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemuda yang menunggangi harimau yang dikelilingi oleh binatang buas. Ketika hewan-hewan buas itu melihatnya dan hendak menerkamnya, maka pemuda tersebut mencegahnya. Lalu pemuda itu berkata: Apakah ini tergolong lupa? Kamu sibukkan dirimu untuk menuruti hawa nafsu, kesenangan dunia dan meninggalkan akhirat serta meninggalkan pengabdian kepada sang pencipta. Allah SWT memberimu dunia untuk membantumu dalam mengabdi kepada-Nya. Akan tetapi, engkau jadikan dunia ini sebagai perantara yang menyibukkan dirimu jauh dari-Nya. Kemudian keluarlah seorang perempuan tua yang membawa air, pemuda itupun meminumnya. Laki-laki itu bertanya kepada pemuda tentang perempuan itu, lalu pemuda itu berkata: “Dia adalah dunia yang dipasrahkan kepadaku karena pengabdianku (kepada-Nya). Tidakkah telah sampai kepadamu ketika Allah SWT menciptakan dunia, lalu Allah SWT berfirman: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdian dariny”. Setelah itu, laki-laki tersebut meninggalkan dunia dan menjalani tarekat, hingga dia menjadi seorang wali abdal, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 448).

وَفِي الْحَدِيْثِ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى يَا دُنْيَا اُخْدُمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَاتَّعَبِيْ مَنْ خَدَمَكَ) وَقَالَ أَيْضًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الدُّنْيَا طَالِبَةٌ وَمَطْلُوْبَةٌ، فَمَنْ طَلَبَ الْآخِرَةَ طَلَبَتْهُ الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقُهُ، وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا طَلَبَتْهُ الْآخِرَةَ حَتَّى يَأْخُذَ الْمَوْتُ بِعُنُقِهِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 298).

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, Allah berfirman: ”Hai dunia, layanilah orang yang telah melayani (agama) Ku, dan sengsarakanlah orang yang hanya melayanimu”. Rasulullah SAW bersabda; “Dunia itu bisa jadi mencari dan dicari, barangsiapa yang mencari akhirat, niscaya dunia akan mencarinya sampai rizqinya paripurna. Dan sebaliknya barangsiapa yang mencari dunia, maka akhirat akan menuntutnya hingga maut pun menjemput sampai di lehernya”, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 298).

Sumber: Alif.ID

35. Enam Perkara untuk Mencapai Derajat Salihin

Menurut Ibrahim bin Adham, agar seorang salik dapat mencapai derajat orang-orang salih, maka ia harus melakukan enam hal.

Enam hal tersebut meliputi:

  • Menutup pintu nikmat dan membuka pintu sengsara.
  • Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan.
  • Menutup pintu kesantaian dan membuka pintu kelelahan.
  • Menutup pintu tidur, dan membuka pintu terjaga.
  • Menutup pintu kekayaan, dan membuka pintu kemiskinan.
  • Menutup pintu angan-angan, dan membuka pintu persiapan untuk menghadapi kematian, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 468)

وَقَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَمَ : لاَيَنَالُ الرَّجُلُ دَرَجَةَ الصَّالِحِيْنَ حَتَّى يَجُوْزَ سِتَّ عَقَبَاتٍ: (اْلأُوْلَى) يَغْلِقُ بَابَ النِّعْمَةِ وَيَفْتَحُ بَابَ الشِّدَّةِ (الثَّانِيَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الْعِزِّ وَيَفْتَحُ بَابَ الذُّلِّ (الثَّالِثَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الرَّاحَةِ وَيَفْتَحُ بَابَ التَّعَبِ (الرَّابِعَةُ) يَغْلِقُ بَابَ النَّوْمِ وَيَفْتَحُ بَابَ السَّهَرِ (الْخَامِسَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الْغِنَى وَيَفْتَحُ بَابَ الْفَقْرِ (السَّادِسَةُ) يَغْلِقُ بَابَ اْلأَمَلِ وَيَفْتَحُ بَابَ اْلاِسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ، (تنوير القلوب، ص: 468).

Derajat kemuliaan apapun baik kemuliaan dunia maupun kemuliaan akhirat hanya bisa dibeli dengan keseriusan yang ajeg.

وَقِيْلَ إِنَّ الْاِسْتِقَامَةَ تُوْجِبُ دَوَامَ الْكَرَامَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 180).

Dikatakan bahwa istiqâmah menjadikan langgengnya kaRamah, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 180).

Berikut ini macam-macam istiqâmah;

وَاْلاِسْتِقَامَةُ وَهِيَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: اِسْتِقَامَةُ الْعَامِّ وَهِيَ بِالْخِدْمَةِ، وَاسْتِقَامَةُ الْخَاصِّ وَهِيَ بِصِدْقِ الْهِمَّةِ، وَاسْتِقَامَةُ اْلأَخَصِّ وَهِيَ بِتَعْظِيْمِ الْجِهَّةِ أَيِ الْحُرْمَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Istiqâmah ada tiga macam; istiqâmah-nya orang ‘awâm yaitu dengan pengabdian, istiqâmah-nya orang khâsh yaitu dengan niat yang kuat, dan istiqâmah-nya orang akhâsh yaitu dengan mengagungkan semua kebesaran Allah SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Wali

Istilah wali itu secara ilmu shorof (gramatikal Arab) ada dua bentuk;

  1. kata wali mengikuti wazan faîlun dengan menggunakan makna isim fail yang berarti seseorang yang taatnya terus menerus tanpa disela-selai dengan kemaksiatan
  2. kata wali mengikuti wazan fâlun dengan menggunakan makna isim maf’ul yang berarti seseorang yang yang selalu dijaga oleh Allah SWT dari segala macam bentuk kemaksiatan dan selalu mendapat pertolongan untuk melakukan ketaatan.
  • Dasar Kata wali diambil dari Alquran
  1. al-Baqarah: 257

اَللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiRAn) kepada cahaya (iman).

  1. al-A’raf: 196

إِنَّ وَلِيِّـيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah SWT yang telah menurunkan al-Kitab (Alquran) dan Dia melindungi orang-orang yang soleh.

  1. al-Baqarah: 286

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan Rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

  1. al-Maidah: 55

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.

Kata wali menurut bahasa bermakna dekat, sehingga apabila seorang hamba dekat dengan Allah SWT sebab banyak melakukan ketaatan, maka Allah SWT dekat dengannya melalui rahmat-Nya dan dari situlah dia menjadi wali, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 11).

Wali menurut istilah Sufi adalah orang yang selalu melanggengkan taat dan menjauhi kemaksiatan, menghindar dari segala macam bentuk kesenangan. Sedangkan kata wali menurut ahli Fiqh adalah seseorang yang mempunyai sifat ‘adalah al-Batinah sebagaimana syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama’ ulama’ dalam kitab fiqh. Pembahasan tentang wali pada bab ini adalah wali menurut ahli sufi.

Dasar dasar wali yang disebutkan oleh Alquran dalam surah Yunus ayat 62-64

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٦٤﴾

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 9).

“Maqam” para wali

Allah SWT menjadikan manusia di bumi sebagai khalifah. Dan di antaranya Allah memilih beberapa dari mereka sebagai pewaris rasul dan para nabi yang disebut dengan wali. Dan tentunya dari beberapa pilihan tersebut masih ada perbedaan lagi, seperti karakter kepemimpinan maupun kemampuan. Sehingga  seorang wali ada beberapa macam tingkatan. Seperti dijelaskan dalam Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’:

اِعْلَمْ أَنَّ اْلأَوْلِيَاءَ لَهُمْ أَرْبَعُ مَقَامَاتٍ: الأَوَّلُ مَقَامُ خِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ، وَالثَّانِى مَقَامُ خِلاَفَةِ الرِّسَالَةِ، وَالثَّالِثُ خِلاَفَةُ أُوْلِى اْلعَزْمِ، وَالرَّابِعُ خِلاَفَةُ أُوْلِى اْلإِصْطِفَاِء. فَمَقَامُ خِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ لِلْعُلَمَاءِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ الرِّسَالَةِ لِلأَبْدَالِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ أُوْلِى الْعَزْمِ لِلْأَوْتَادِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ أُوْلِى اْلإِصْطِفَاءِ لِلْأَقْطَابِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 6).

Ketahuilah bahwasanya para wali ada empat tingkatan: (pertama) maqam khilafah Annubuwwah, (kedua) maqam khilafah ar-Risalah, (ketiga) maqam khilafah Ulul ‘azmi, (keempat) maqam Ulil Isthifai. Bahwasanya maqam khilafah an-Nubuwwah untuk Ulama’, maqam khilafah ar-risalah untuk wali abdal, maqam khilafah ulul azmi untuk wali autad, dan maqam khalifah Ulil Isthifai untuk wali qutub”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 6).

Wali “Majdzub”

Seringkali kita mendengar istilah jadzab atau majdzubJadzab atau majdzub ini adalah sebuah istilah yang identik dengan para wali Allah SWT.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan wali jadzab atau majdzub itu?

وَالْمَجْذُوْبُ فِى قَبْضَتِهِ تَعَالَى بِمَنْزِلَةِ الصَّبِيِّ الرَّضِيْعِ، تَتَصَرَّفُ فِيْهِ يَدُ الْقُدْرَةِ كَتَصَرُّفِ الْوَالِدَةِ فِى وَلَدِهَا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 7)

Wali majdzub ada dalam genggaman (kekuasan) Allah SWT Layaknya bayi yang menyusu, tindakannya selalu dalam kekuasan Allah SWT, ibarat tindakan seorang ibu terhadap anaknya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 7).

Setan biasanya hadir dalam mimpi kita dengan wujud yang berbeda-beda. Adakalanya dengan wujud orang-orang yang kita kasihi, maupun orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal. Namun, apakah setan mampu untuk menyerupai wujud para wali kamil?

Sebagaimana setan tidak mampu menyerupai Nabi SAW, setan juga tidak mampu untuk menyerupai wali yang sempurna. Sebagaimana hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520.

أَنَّ الشَّيْطَانَ كَمَا لاَ يَقْدِرُ أَنْ يَتَمَثَّلَ بِصُوْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْدِرُ أَنْ يَتَمَّثَلَ بِصُوْرَةِ الْوَلِي الْكَامِلِ أَيْضًا، (تنوير القلوب، ص: 520).

Hakikat Wali Allah

Wali adalah orang yang diberi kekhususan oleh Allah untuk melaksankan perintahnya dengan menyaksikan beberapa pekerjaan Allah dan sifat-sifatNya. (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman 286)

Akibat hilangnya wali satu saja:

قَالَ فِي”لَطَائِفِ الْمِنَنِ” : “سُئِلَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ عَنْ أَوْلِيَاءِ الْعَدَدِ : أيَنْقُصُوْنَ فِي زَمَنٍ ؟ فَقَالَ: لَوْ نَقَصَ مِنْهُمْ وَاحِدُ مَا أَرْسَلَتِ السَّمَاءُ قَطْرَهَا، وَلَا أَبْرَزَتِ الْأَرْضُ نَبَاتَهَا.

Termaktub dalam kitab “Lathâiful Minan” tentang auliya’ al’ adad “ bila satu wali saja berkurang (wafat), maka langit tidak akan menurunkan air hujannya dan bumi tidak akan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhannya“

Tiga Tanda Wali

عَلَامَةُ الْأَوْلِيَاءِ ثَلَاثَةٌ : “تَوَاضُعٌ عَنْ رَفْعَةٍ، وَزُهْدٌ عَنْ قُدْرَةٍ، وَإِنْصَافٌ عَنْ قُوَّةٍ”.

  1. Bertawadlu’ dalam kemuliaan
  2. Berzuhud dalam kelapangan rezki
  3. Melayani, membantu dengan kseungguhan

Menghina/meremehkan para wali:

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ حَامِدِ :”اْلِاسْتِهَانَةُ بِاالْأَوْلِيَاءِ مِنْ قِلَّةِ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ تَعَالَى”.

Orang yang suka menghina  atau menganggap remeh para wali adalah sebagai tanda orang tersebut tidak ma’rifat atau sedikit sekali makrifatnya kepada Allah SWT.

Sumber: Alif.ID

36. Karamah atau Keramat

Pembahasan ini, karamah atau dalam bahasa Indonesia Keramat, mengundang kontroversi. Keramat dalam bahasa Indonesia diartikan seseorang yang memiliki kelebihan khusus, di luar kebiasaan. Keramat dimiliki seseorang karena punya tingkat ketakwaan yang hebat. Orang yang memiliki keramat, sering disebut wali.

Segala suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (khawariqul ‘adah) yang terjadi pada diri manusia, adakalanya disertai dengan sebuah pengakuan.

Adapun perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang disertai dengan pengakuan dibagi menjadi empat:

Pertama, pengakuan menjadi Tuhan, seperti pengakuan diri Fir’aun dan Dajjal menjadi Tuhan,

Kedua, pengakuan menjadi Nabi. Poin ini dibagi menjadi dua:

  1. Pengakuan yang benar disertai dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (Khawariq al-‘Adah) yang disebut dengan Mu’jizat, dan tidak bisa dikalahkan
  2. Pengakuan yang bohong, dia tidak bisa menampakkan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (Khawariq al-‘Adah), dan apabila dia bisa mengeluarkan Khawariq al-‘Adah, maka pasti bisa dikalahkan.

Ketiga, pengakuan menjadi Wali. Perbuatan yang luar biasa yang terjadi pada diri manusia dengan disertai dengan pengakuan menjadi wali. Dalam hal ini para ulama’ Sufi berbeda pendapat tentang apakah boleh seseorang mengaku mempunyai karamah?

Sementara pendapat yang lebih unggul adalah pendapat yang tidak disertai dengan pengakuan menjadi wali.

Keempat, pengakuan menjadi pengikut Setan. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari diri manusia disertai dengan taat kepada setan.

Sementara itu, ada keistimewaan yang tidak disertai pengakuan.

Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari diri manusia tanpa disertai dengan pengakuan, ada dua macam:

  1. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari seseorang yang Sholeh dan ini yang disebut dengan karomah Auliya’
  2. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari seseorang yang jelek, pendosa dan dijauhkan dari Allah, hal ini disebut Istidroj, ((Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 14).
  • Dasar dasar tentang keberadaan karomah berdasarkan Alquran:
  1. Surat maryam ayat 25

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً ﴿٢٥﴾

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.

  1. Surat Ali Imrân ayat 37

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقاً قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَـذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللهِ إنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٣٧﴾

. ..Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

  1. Surat al-Kahfi ayat 15-16

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحمته ويُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقاً ﴿١٦﴾

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

  • Dasar dasar tentang keberadaan karomah berdasarkan Hadis:
  1. Shahih al-Bukharinomor Hadis 3253:

3253 – حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ حَدَّثَنَا جَرِيْرُ بْنِ حَازِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ :

( لَمْ يَتَكَلَّمُ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عِيْسَى وَكَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ رَجَلٌ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ كاَنَ يُصَلِّي جَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَقَالَ أُجِيْبُهَا أَوْ أُصَلِّي فَقَالَتْ اللهم لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيْهِ وُجُوْهَ المُوْمِسَاتِ وَكَانَ جُرَيْجُ فِي صَوْمَعَتِهِ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ اِمْرَأَةٌ وَكَلَّمَتْهُ فَأَبٰى فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ مِنْ جُرَيْجِ فَأَتَوْهُ فَكَسَّرُوْا صَوْمَعَتَهُ وَأَنْزَلُوْهُ وَسَبُّوْهُ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الغُلَامَ فَقَالَ مَنْ أَبُوْكَ يَا غُلَامُ ؟ قَالَ الرَّاعِي قَالُوْا نَبْنِيْ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ ؟ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ طِيْنٍ . وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ تَرْضَعُ اِبْنًا لَهَا مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ فَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ رَاكِبٌ ذُوْ شَارَةٍ فَقَالَتْ اللهم اجْعَلْ اِبْنِيْ مِثْلَهُ فَتَرَكَ ثَدَّيْهَا وَأَقْبَلَ عَلَى الرَّاكِبِ فَقَالَ اللهم لَا تَجْعَلْنِيْ مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدَّيْهَا يَمُصُّهُ – قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَمُصُّ أُصْبُعَهُ – ثُمَّ مَرَّ بِأَمَةٍ فَقَالَتْ اللهم لَا تَجْعَلْ اِبْنِي مِثْلَ هَذِهِ فَتَرَكَ ثَدَّيْهَا فَقَالَ اللهم اجْعَلْنِيْ مِثْلَهَا فَقَالَتْ لِمَ ذَاكَ ؟ فَقَالَ الرَّاكِبُ جَبَّارٌ مِنَ الْجَبَابِرَةِ وَهِذِهِ الأَمَّةُ يَقُوْلُوْنَ سَرَقَتْ زَنَيَتْ وَلَمْ تَفْعَلْ )

Dari abu Hurairah Rasulullah bersabda : Tidak ada bayi yang bisa berbicara kecuali tiga orang, Nabi Isa As, dan pada masa bani Israil ada seorang laki-laki bernama juraij sedang beribadah di musallahnya, kemudian ibunya datang dan memanggilnya kemudian juraij berkata di dalam hatinya “apakah aku penuhi panggilan ibuku ataukah aku sholat” maka berdo’alah ibunya dalam hatinya “ya Allah jangan engkau matikan Juraij hingga engkau melihatkan wajah seorang pelacur. Pada suatu ketika Juraij berada di musallahnya datanglah seorang perempuan menawarkan dirinya kepada Juraij dan Juraij menolaknya, maka datanglah pelacur tersebut pada seorang pengembala dan menawarkan dirinya pada pengembala. Maka dia hamil dan lahirlah seseorang bayi, dan perempuan itu mengatakan bayi itu hasil dari hubungan dengan Juraij, kemudian orang-orang mendatangi Juraij dan menghancurkan musollanya serta mencemoohnya, setelah itu Juraij mengambil air wudlu dan sholat. Kemudian mendatangi bayi tersebut, seraya mengatakan “ Siapa ayahmu” Bayi tersebut menjawab “”Ayahku seorang pengembala. Akhirnya orang-orang membangun kembali musallah Juraij dari emas. Akan tetapi Juraij menolaknya, kecuali dari tanah. Dan bayi yang menyusu pada seorang ibu dari kaum bani Israil, kemudian lewat didepan perempuan tersebut seorang penunggang kuda yang gagah, maka ibunya berdo’a “ya Allah jadikanlah anakku seperti dia” maka bayi tersebut melepaskan susuan ibunya seraya mengatakan “ya Allah jangan jadikan aku seperti dia, setelah itu dia menyusu lagi. Abu Hurairah berkata seakan-akan aku melihat Nabi menghisap jari tangannya, kemudian lewat seorang amat didepan ibu tersebut maka berkatalah “ ya Allah jangan jadikan anakku seperti dia, maka bayi tersebut melepaskan susuan ibunya seraya mengatakan “ya Allah jadikan aku seperti dia, Ibunya bertanya kenapa ? bayi itu menjawab,’’ penunggang tersebut adalah seseorang yang pemimpin yang sewenang-wenang,’’ sedangkan amat tersebut adalah orang yang dituduh mencuri dan berzina akan tetapi dia tidak pernah melakukanya.

  1. Shahih al-Bukharinomor Hadis 2152, Tafsîr al-Fakhru al-Râzî Mafâtih al-Ghaib bab Surat al-Kahfi, Juz 21, halaman: 87-88

2152 – حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرُناَ شُعَيْبُ عَنِ الزَّهْرِي حَدَثَنِيْ سَالِمٌ اِبْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ ( اِنْطَلَقَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الَمبِيْتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوْهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ فَسَدَتْ عَلَيْهِمْ الغَارَ فَقَالُوْا إِنَّهُ لَا يُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَخْرَةِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوْ اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللهم كَانَ لِيْ أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ لَا أَغْبَقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا فَنَاءً بِيْ فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أَرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلِبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنَّ أَغْبُقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَاًلا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحَ عَلَى يَدِي أَنْتَظِرُ اِسْتَيْقَاظُهُمَا حَتَّى بَرِقَ الفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوْقَهُمَا اللهم إِنْ كُنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ اِبْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الخُرُوْجَ قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَقَالَ الآخَرُ اللهم كَانَتْ لِيْ بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ فَأَدَرْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلِمْتُ بِهَا سَنَةً مِنَ السِّنِيْنَ فَجَاءَتْنِيْ فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْنَاٍر عَلَى أَنْ تَخِلِّي بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلْتُ حَتَّى إِذَا قَدَّرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لَا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تُفْضِ الْخَاتِمَ إِلَّا بِحَقِّهِ فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوْعَ عَلَيْهَا فَانْصَرَفَتُ عَنْهَا وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَهَبَ اَلَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللهم إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ اِبْتَغَاءَ وَجْهِكَ فَافَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ فاَنْفَرَجَتْ الصَّخْرَةَ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَقَالَ الثَالِثُ اللهم إِنِّي اِسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ اَلَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَرَتْ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمَوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِيْنٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهَ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِيْ فَقَلَتْ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرَكَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالْرَقِيْقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهَ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِيْ فَقُلْتُ إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلُّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللهم فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ اِبْتِغَاءً وَجْهِكَ فَافَرَّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ فَانْفَرَجَتْ الصَخْرَةُ فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ )

  1. Tafsîr al-Fakh al-Râzî Mafâtih al-Ghaib bab Surat al-Kahfi, Juz 21, halaman: 88:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “بَيْنَمَا رَجُلٌ يَسْمَعُ رَعْدًا أَوْ صَوْتًا فِي السِّحَابِ: أَنْ اَسُقَّ حَدِيْقَةِ فَلَانٍ ، قَالَ فَعَدَوْتَ إِلَى تِلْكَ الْحَدِيْقَةِ فَإِذًا رَجُلٌ قَائِمٌ فِيْهَا فَقُلْتُ لَهُ مَا اِسْمُكَ ؟ قَالَ: فَلَانٌ بْنِ فُلَانٍ بْنِ فُلَانٍ قَالَتْ : فَمَا تَصْنَعُ بِحَدِيْقَتِكَ هَذِهِ إِذَا صَرَّمْتَهَا ؟ قَالَ: وَلَمْ تَسْأَلْ عَنْ ذَلِكَ ؟ قُلْتُ : لِأَنِّيْ سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السِّحَابِ أَنْ اَسُقَّ حَدِيْقَةِ فُلَانٍ ، قَالَ: أَمَّا إِذَا قُلْتَ فِإِنِّي أَجْعَلُهَا أَثْلَاثًا فَاجْعَلُ لِنَفْسِيْ وَأَهْلِي ثُلُثًا وَاجْعَلُ لِلْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ثُلُثًا وَأَنْفَقُ عَلَيْهَا ثُلُثًا”

Sumber: Alif.ID

37. Dalil Aqli Munculnya Karamah

Satu dalil “aqli” tentang terjadinya karamah  adalah hamba sebagai kekasih Allah SWT  atau “waliyullah”, seperti disebut di dalam Surat Yunus Ayat 62, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿سورة يونس ٦٢

Allah SWT sebagai kekasih hamba terdapat di dalam QS. al-Baqarah ayat 257,

اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٥٧﴾

Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Surat al-A’raf ayat 196:

إِنَّ وَلِيِّـيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ ﴿١٩٦﴾

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al Alquran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.

Surat al-Maidah ayat 55:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ ﴿٥٥﴾

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Surat al-Baqarah ayat 286

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾

Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan Rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Allah sebagai kekasih hamba dan hamba sebagai  kekasih Allah SWT:

Surat al-Maidah ayat 54,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ واللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Surat al-Baqarah ayat 165,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ ﴿١٦٥﴾

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah SWT. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah SWT semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

QS al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴿٢٢٢﴾

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Ketika hal ini terjadi maka kami berkata: ketika hamba melaksakan seluruh perintah Allah, melakukan perkara yang diridhai Allah, meninggalkan dan menjauhi larangan Allah, bagaimana menjadi jauh jika Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi sesekali memberikan apa yang diinginkan hamba tersebut, tetapi  pemberian ini malah lebih utama, karena pada saat melaksanakan apa yang diperintahkan dan diinginkan Allah, hamba tersebut merasa lemah dan mencela diri sendiri, sehingga Allah sesekali menuruti apa yang diinginkannya.

Jika penampakan karomah terhalang, adakalanya karena Allah bukan dzat yang tepat untuk menampakkan karomah atau adakalanya karena orang mu’min bukan orang yang tepat mendapatkan pemberian Allah berupa karomah. Untuk kemungkinan pertama berarti mengecilkan kekuasaan Allah dan hal ini berhukum kafir.

Sedangkan yang kemungkinan kedua adalah batil. Sesungguhnya mengetahui (ma’rifat) terhadap dzat, sifat, perbuatan, hukum, beberapa nama Allah, cinta padaNYA, taat, melanggengkan zikir pensucian, tahmid, tahlil, itu semua lebih mulia dibanding pemberian sepotong roti atau bisa menjinakkan ular atau singa. Ketika Allah memberi ma’rifat, rasa cinta, zikir, syukur tanpa diminta  hamba, maka pemberian Allah berupa sepotong roti itu lebih utama.

Nabi bersabda menceritakan firman Allah SWT

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِكَايَةً عَنْ رَبِّ الْعِزَّةِ : “مَا تَقَرُّبَ عَبْدٌ إِلَيَّ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَلَا يَزَالُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أَحَبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَلِسَانًا وَقَلْبًا وَيَدًا وَرِجْلًا بِيْ يَسْمَعُ وَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَمْشِي”

Rasulullah SAW Bersabda dengan menceritakan firman Allah “seorang hamba tidak melakukakan taqarrub (pendekatan diri) kepadaKu dengan melaksanakan perintahKu, dan terus menerus bertaqarrub kepadaKu dengan melakukan kesunnahan, sehingga Aku mencintainya, ketika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengar, penglihatan, lisan, hati, tangan dan kakinya, karena Aku, dia bisa mendengar, melihat, berbicara, dan berjalan.”

Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun selain Allah SWT dalam pendengaran para kekasihnya, bukan dalam pandangan mereka bukan pula dalam anggota tubuh mereka, jikalau masih ada bagian yang dimiliki selain Allah SWT maka pastinya Allah  SWT berfirman انا سمعه وبصره , sehingga tidak diragukan lagi bahwa maqâm ini (seperti yang termaktub dalam Hadis) lebih mulia dibanding bisa menjinakkan ular, binatang buas, membagi-bagikan roti, manancapkan ranting anggur langsung tumbuh dan berbuah.

Nabi bersabda:

قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَاكِيًا عَنْ رَبِّ الْعِزَّةِ : “مَنْ آذَى لِيْ وَلِيًا فَقَدْ بَارَزَنِيْ بِالْمَحَارِبَةِ”

Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah SWT makna ini senada dengan firman Allah ٍSWT

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ، ﴿سورة الفتح ١٠﴾

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah (Surat al-fafh 10)

Karamah merupakan bagian dari mu’jizat Nabi sebagai petunjuk atas kebenaran pengakuannya dan keabsahan agama yang dibawanya.

Sumber: Alif.ID

38. Macam-macam Karamah

Pada bagian ini, kita memasuki jenis-jenis karamah atau keramat dalam bahasa Jawa. Seperti keterangan-keterangan sesudahnya, pembahasan ini merujuk pada sumber-sumber penting, baik dalam buku atau kitan tasawuf ataupun pada buku-buku pokok berisi biografi para ulama. Semoga bermanfaat.

Menurut Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatul Kubra ada beberapa macam karamah:

  1. Menghidupkan yang sudah mati, seperti Abi Ubaid Abu Basyari. Ketika berada dalam perang hewan tunggangannya mati, lalu beliau berdoa kepada Allah untuk menghidupkannya lagi, lalu hiduplah hewan tersebut. Kisah Mufarroj al-Dawamini, syaikh Adbul Qadir al-Jailani ketika berkata kepada ayam jago yang telah di makan dagingnya. “Berdirilah dengan izin Allah yang telah menghidupkan tulang belulang yang hancur, lalu berdirilah ayam jago yang hanya tinggal tulang belulang, syaikh Abu Yusuf al-Dawamini, Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi’i, syaikh Fathuddin Yahya.
  2. Berbicara dengan orang-orang mati pembagian ini lebih banyak di miliki oleh para wali dibanding pembagian pertama seperti yang pernah di riwayatkan oleh abu Sa’id al-KhoRAzidan syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan lain-lain.
  3. Memecahkan lautan dan mengeringkannya, berjalan diatas, lain pada bagian banyak terjadi pada diri wali seperti yang pernah di alami oleh syaikh al-Islam Taqiuddindan Daqiq al-Iddi.
  4. Merubah benda yang satu keberadaan yang lain. Seperti yang pernah di ceritakan bahwa syaikh Isa al-Hattar al-Yamanisuguhkan dua wadah air minum yang keduanya diisi dengan khomer, kemudian syaikh tersebut menanyakan isi wadah yang satu ke wadah yang lain begitu juga sebaliknya. Kemudian syaikh Isa berkata ”Bismillah makanlah, lalu orang-orang yang hadir memakannya ternyata khomer tesebut telah berubah menjadi semula.
  5. Bumi dilipat untuk para wali, diceritakan ada sebagian wali ada di masjid jami’ tursus tiba-tiba ada peRasaan rindu untuk ziarah ketanah Haram (Makkah), kemudian beliau memasukan kepalanya kedalam saku baju, kemudian mengeluarkanya kembali, tiba-tiba beliau sudah ada di Makkah.
  6. Dapat berkomunikasi dengan benda mati dan hewan.
  7. Dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  8. Hewan menuruti perintah para wali seperti kisah Abi Sai’id bin Abi Khair al-Mihani, IbRAhim al-Khois, syaikh al-Islam Zainuddin bin Abdul Salâm.
  9. Melipat zaman
  10. Memperpanjang zaman dijaRAk yang sangat jauh
  11. Menjawab panggilan karamah ini banyak sekali dimiliki oleh para wali.
  12. Menjaga lisan untuk berbicara
  13. Menarik Nabi SAW manusia untuk mendatangi majlisnya
  14. Dapat menceritakan sebagaian barang ghoib dan terbukanya Nabi SAW (kasyf)
  15. Sabar tidak menemukan makanan dan minuman dalam waktu yang panjang
  16. Maqâm menggunakan alam semesta
  17. Memperbanyak makanan
  18. Menjaga diri dari makanan haram seperti yang diceritakan dari Haris al-Mahasibi, dibalik tabir ototnya bergeRAk ketika di hidangkan makanan haram.
  19. Bisa melihat suatu tempat yang sangat jauh, seperti syaikh Abu Ishaq al-SyiRAzibisa melihat ka’bah dan Baghdad
  20. Menimbulkan Rasa segar bagi yang melihatnya, walaupun wali tersebut sudah mati.
  21. Allah memberi kecukupan bagi Auliya’ ketika ada orang yang berniat jelek lalu Allah membalikannya untuk berbuat kebaikan seperti yang terjadi kepada imam Syafi’I dan Haris al-Rosyid.
  22. Bisa terbang dengan berbagai cara : Alam diantaranaya alam jasmani dan alam roh disebut alam matsal, alam ini lebih halus dibanding alam jasmani dan lebih kasar dibanding alam roh dalam alam matsal para wali dapat melihat roh dan jasad dalam berbagai macam bentuk hal ini berdasarkan firman Allah Qs Maryam ayat 27


فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئاً فَرِيّاً ﴿٢٧﴾

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.

  1. Allah memperlihatkan simpanan-simpanan bumi kepada para wali seperti kisah Abi Tullabketika menggetarkan hatinya tiba-tiba muncul air.
  2. Para ulama’ mengaRAng kitab dengan mudah mengaRAng dengan menggunakan waktu yang singkat sementara kesibukan mereka luar biasa hingga meninggal dunia. Karomah ini mereka bentuk karomah yang memper panjang waktu. Diceritakan bahwa imam Syafi’I mempunyai sepuluh kitab kaRAngan yang luar biasa, sementara beliau membaca Alquran satu kali satu khataman dengan metode tadbir (lisan membaca Alquran fikiRAn bertafakkur hati merasakan) khusus pada bulan RAmadhan dua kali khataman tiap hari, imam Syafi’i masih tetap mempelajari ilmu, memberi fatwa,Zikir, Tafakkur juga mengobati orang-orang sakit bahkan sampai tiga puluh orang per hari begitu juga dengan imam Haromain, Abu al-ma’ali al-Juwaimi, imam al-Robbani, syaikh Muhyiddin an-Nawawi, syaikh al-imam walad(ayah imam al-Subqi).
  3. Meniadakan akibat RAcun yang mematikan dan beberapa macam hal yang bias menyebabkan kematian.
  • Karamah Buah Keta’atan

Ibnu Arabi menuturkan dalam kitab Futûhât al-Makkiyah bahwa ada delapan anggota tubuh yang selalu ta’at yasng bisa mengeluarkan karomah, Yaitu :

  1. Mata: mata yang selalu di gunakan untuk keta’atan dan menjahui dari kemungkaRAn dapat mengeluarkan karomah berupa penglihatan akan datangnya tamu yang akan berkunjung walaupun dalam jaRAk yang sangat jauh, mata bisa melihat dibalik tiRAi yang tebal, melihat ka’bah pada waktu shalat hingga berhadapan langsung dengan ka’bah, mata bisa melihat alam malaikat rohani, malaikat tuRAbi baik dari bangsa malaikat, jin, golongan lain dan Nabi SAW, Khidir As.
  2. Telinga: telinga juga seperti mata, telinga yang taat dan terjaga dari kemaksiatan, dapat mendengar kabar gembiRA. Bahwasannya dia merupakan orang yang dapat hidayah, akal dari Allah inilah karomah yang paling besar “ Allah berfirman dalam Q.S. al-Zumar: 17


وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ ﴿١٧﴾

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembiRA; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, (Q.S. Al-Zumar: 17)

  1. Lisan: dapat berbicara dengan alam yang lebih tinggi, berbicara dengan alam semesta, bisa menceritakan kabar-kabar ghaib dan sesuatu yang akan terjadi.
  2. Tangan: yang taat dan terjaga dari kemaksiatan dapat mengeluarkan karomah berupa cahaya yang keluar dari tangan ketika dimasukkan kedalam saku, tangan bisa mengeluarkan air, tangan menggenggam debu lalu debu itu dilempar kearah musuh, lalu musuh lari tunggang langgang seperti yang pernah dilakukanNabi Muhammad SAW Atau ada seorang wali tangannya menggapai udara, ketika telapak tangannya di buka tiba-tiba ada emas dan peRAk.
  3. Perut: perut yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah SWT, dapat mengeluarkan karomah, diantara karomah yang keluar dari perut adalah sang wali merasa mulas perutnya ketika dipuji atau diganggu, Allah menjaga masuknya makanan dan minuman ke dalam perut sang wali, seperti yang dialami Kharis al-Muhasibiketika dihidangkan makanan yang syubhat maka jari jemarinya keluar keringat.
  4. Alat kelamin: alat kelamin yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, Allah memberika Rahasia menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang buta asal, penyakit lepRA. Firman Allah dalam Qs. Al-Anbiya’ ayat 91


وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِن رُّوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩١﴾

Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh) nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.

  1. Tapak kaki: yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, diantaranya adalah berjalan diatas air dan udara, melipat bumi
  2. Qulub (hati): yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, diantaranya adalah mengetahui Rahasia alam semesta, bisa mengeluarkan cahayanya hati, mengetahui Rahasia Rahasia ketuhanan

Sumber: Alif.ID

39. Pendapat yang Menolak Adanya Karamah

Terdapat beberapa pendapat dari mereka yang menolak atau tidak menyepakati adanya karamah. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut

  1. Adanya karamah membuat orang merasa luhur, dan bisa menyesatkan tujuan Allah SWT menampakkan perbuatan yang luar biassa pada diri hamba adalah sebagai tanda kenabian.  Jika hal itu terjadi pada selain Nabi SAW, maka pertanda itu menjadi batal.

2. Orang yang menyatakan keberadaan karamah berpedoman pada hadis Nabi SAW dengan menceritakan firman Allah SWT
أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ الُمتَقَرِّبُوْنَ إِلَيَّ بِمِثْلِ أَدَاءٍ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِمْ، (إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام، ص: 283)

Mereka yang tidak se[akat dengan karamah berpendapat bahwa hadis ini mengenai perbuatan taqarrub kepada Allah SWT. Padahal melaksanakan ibadah wajib itu lebih utama dibanding taqarrub dengan melaksanakan ibadah sunnah. Sementara itu, bertaqarrub dengan kesunnahan lebih tidak menghasilkan karamah.

3. Mereka yang menolak karamah berpedoman pada S. al-Nahl :7

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿٧﴾

Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pendapat bahwa seorang wali dapat berpindah dari satu negara ke negara lain yang jauh,  tidaklah masuk dalam kategori ayat tersebut. Nabi Muhammad SAW tidak akan sampai ke Madinah tanpa melakukan perjalanan dengan penuh kesulitan dari Makkah, dan membutuhkan beberapa hari. Bagaimana dapat diterima akal ucapan berikut: “Sesungguhnya wali mampu berpindah dari daerahnya menuju ke Makkah untuk haji dalam satu hari?”

Ulama sufi pun menanggapi pendapat-pendapat orang yang menolak keberadan karamah. Bahwasannya manusia berselisih pendapat tentang “ apakah boleh seorang wali mengaku mempunyai wilayah kewalian? Menurut ahli hakikat pengakuan tersebut tidak diperbolehkan, dengan demikian ada perbedaan antara  mukjizat dan karomah yaitu mukjizat disertai dengan pengakuan menjadi Nabi, seorang Nabi SAW diutus kepada makhluk untuk merubah kufur menjadi iman, maksiat menjadi taat, jika mujizat tidak ditampakkan, maka mereka tidak akan beriman, jika tidak beriman maka mereka tetap dalam kekafiran.

Ketika para Nabi SAW mengaku menjadi Nabi SAW dan menampakkan mujizat, maka kaum akan beriman. Sehingga para Nabi SAW mendahulukan pengakuan sebagai Nabi SAW tanpa ada tujuan  menghargai kedudukan Nubuwiyah, tapi tujuan penampakan mu’jizat justru untuk belas kasian terhadap makhluk. Sehingga mereka berubah dari kufur menjadi iman.

Sementara karamah tidak disertai pengakuan menjadi wali, tidak mengetahui kewalian seseorang, tidak menjadikan kufur, mengetahui kewalian bukan menjadi syarat keimanan, pengakuan menjadi wali itu termasuk mengikuti hawa nafsu. Menurut pengertian kami wajib bagi Nabi SAW menampakkan pengakuan menjadi Nubuwiyahsedangkan wali tidak boleh menampakkan kemuliannya sehingga ada perbedaan yang jelas antara mu’jizat dan karamah.

Adapun ulama yang memperbolehkan pengakuan menjadi wali, mereka menjelaskan bahwa ada perbedaan antara karamah wali dan mujizat Nabi SAW dalam beberapa sisi:

1. Penampakan perbuatan yang luar biasa (Khariq lil adah) menunjukkan bahara manusia tersebut adalah orang yang tidak bermaksiat, jika khariq lil adah itu disertai pengakuan menjadi Nabi SAW itu menunjukkan kesungguhanya dalam pengakuan kenubuwiyahannya, jika khariq lil adah disertai dengan pengakuan menjadi wali maka hal itu menunjukkan kesungguhannya dalam pengakuan kewaliannya. Dengan menggunakan metode ini berarti penamakan karamah bagi wali bukan termasuk bagian mujizat bagi Nabi.

2. Mujizat berfungsi untuk mengalahkan sedangkan karamah tidak wajib ditampakkan,”karamah tidak wajib”

3. Wajib meniadakan perlawanan terhadap mujizat, sedangkan karamah tidak.

4. Menurut pendapat kami tidak wajib menampakkan karamah bagi wali ketika ada pengakuan kemuliaan kecuali penampakan karamah untuk pengakuannya mengikuti agama Nabi, ketika demikian maka penampakan karomah itu menjadi mujizat bagi Nabi SAW tersebut dan sebagai penganut risalah kenabiaan

Taqarrub kepada Allah dengan kewajiban itu lebih utama di bandingkan dengan kesunnahan saja. Adapun wali itu bertaqarrub dengan melaksanakan kewajiban dan kesunnahan. melaksanakan keduanya merupakan amaliyah wali yang lebih utama dibandingkan dengan hanya melaksanakan kewajiban saja.

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿٧﴾

Ayat ini memuat perjanjian yang telah diketahui (alam roh/alastu/sudah ditentukan Allah di dalam ilmunya)

Sumber: Alif.ID

40. Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (1)

Pada dasarnya para wali atau rijalullâh memiliki banyak tingkatan dan ahwal yang berbeda-beda, diantara mereka ada wali yang menggabungkan ahwal dan tingkatan maqâm, diantara mereka ada wali yang mencapai satu tingkatan maqâm dan ahwal tanpa melalui proses iktisab.

Di antara mereka ada wali yang jumlahnya tetap pada tiap zaman, diantara mereka ada wali yang jumlahnya tidak tetap. Berikut ini kami sampaikan dua pengelompokan wali yatu:

  • Wali yang Jumlahnya Tetap Pada Tiap Zaman
  1. Wali al-Aqthâb (Wali Qutub) disebut juga Ghouts, Muqarrobin, Sayyid al-Jama’ah

Yaitu wali yang mengumpulkan semua ahwal dan maqomat secara asal dan menggantikan, setiap zaman jumlahnya hanya satu. Diantara meRAka ada yang mendapatkan kekuasaan dhohir dan batin contohnya adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA, Umar bin al-Khattab, Utsman Ibn Affan RA, Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali, Muawiyah bin Yazid, Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Dan diantara mereka ada yang khusus mendapatkan kekuasaan batin yaitu Ahmad bin Harun al-RAsyid, Abu Yazid al-Busthami.

  1. Wali al-Aimmah

Yaitu wali yang jumlahnya tidak lebih dari Dua pada setiap zaman, yang satu dijuluki Abdul Robbi dan yang lainnya dijuluki Abdul Malik, kedua duanya menggantikan wali Qutub ketika Wafat, sehingga keduanya menempati sebagai wakil dari wali Qutub

  1. Wali al-Autad

Yaitu Wali yang jumlahnya empat orang tidak kurang dan tidak lebih, MeRAka diberi tugas oleh Allah SWT menjaga 4 arah mata angin, terkadang diantara mereka ada yang wanita. Julukan mereka adalah Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qodir, Abdul Murid.

  1. Wali al-Abdal

Yaitu Wali yang jumlahnya 7 orang tidak kurang, tidak lebih. MeRAka diberi tugas oleh Allah SWT menjaga 7 wilayah, setiap wali abdal diberi kekuasaan wilayah sendiri sendiri.

  1. Wali abdal pertama dibawah pimpinan Nabi Ibrahim al-Kholil
  2. Wali abdal kedua dibawah pimpinan Nabi Musa
  3. Wali abdal ketiga dibawah pimpinan Nabi Harun
  4. Wali abdal keempat dibawah pimpinan Nabi Idris
  5. Wali abdal kelima dibawah pimpinan Nabi Yusuf
  6. Wali abdal keenam dibawah pimpinan Nabi Isa
  7. Wali abdal ketujuh dibawah pimpinan Nabi Adam

Dikatakan wali badal karena apabila beliau meninggalkan tempat kekuasaannya dan menghendaki pengganti didaerah tersebut karena mempertimbangkan  kemaslahatan, maka beliau meninggalkan pengganti yang bentuknya sesuai dengannya, bentuk itu merupakan ruhaniyah wali abdal tersebut. Amaliyah wali Abdal ada 4 yaitu; Lapar, berjaga di malam hari, diam, uzlah

  1. Wali al-Nuqabâ’

Yaitu wali yang jumlahnya dua belas pada tiap zaman, sesuai dengan bilangan gugus bintang dua belas. Setiap Wali Naqib punya tanda khusus gugus bintang tersebut. Alloh menjadikan ditangan mereka ilmu-ilmu syari’at yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Mereka bisa melepas tutup nafsu, tipu dayanya, dan rekayasanya. Adapun iblis bagi para Nuqaba’ terlihat, sehingga mereka mengetahui rencana iblis. Diantara ilmu mereka adalah mampu membaca bahagia atau celakanya seseorang hanya dengan melihat bekas tapak kakinya

  1. Wali al-Nujaba’

Yaitu : Wali yang jumlahnya ada delapan orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, mereka dikenal banyak orang dan ahwal mereka diterima masyaRAkat, sekalipun mereka tidak berusaha mengenalkan diri.

  1. Wali al-Hawariyyun

Yaitu: wali yang jumlahnya hanya satu pada setiap zaman maka apabila beliau wafat akan digantikan dengan yang lainnya, pada masa Rasulullah SAW ada sahabat mempunyai maqam ini yaitu Zubari bin Awwam.

  1. Wali Rajabiyyun

Yaitu: wali yang jumlahnya 40 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, yaitu para wali yang haliyahnya selalu mengagungkan Allah SWT, dikatakan wali Rajabiyyun karena hal pada maqam ini tidak ada kecuali pada bulan Rajab, kemudian hilang hal tersebut pada diri mereka sampai masuk pada bulan Rajab berikutnya. Sedikit sekali orang yang mengenal mereka menyendiri dalam satu daeRAh akan tetapi mereka mengenal satu sama lain sesama Rajabiyyun.

  1. Wali al-Khatmu

Yaitu: wali yang jumlahnya hanya satu pada setiap zaman bahkan hanya ada satu sepanjang masa, Allah SWT mengakhiri dengan al-Khatmu kewalian ummat nabi Muhammad bahkan Allah SWT mengakhiri semua kewalian mulai dari nabi Adam As. sampai akhirnya wali yaitu nabi Isa As. Beliau akan mengakhiri kewalian seluruh alam ketika beliau turun dan berkumpul di dalam ummat nabi Muhammad SAW

  1. Wali 300 pada hatinya nabi Adam As.

Yaitu: wali yang jumlahnya 300 pada setiap zaman, hal ini sesuai dengan makna sabda nabi SAW di dalam masalah 300 orang ini “sesungguhnya mereka ada pada hati nabi Adam As.”

  1. Wali 40 pada hati nabi Nuh

Yaitu: wali yang jumlahnya 40 pada setiap masa, hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah “sesungguhnya di dalam ummat nabi muhammad  ada 40 orang pada hatinya nabi Nuh”.

  1. Wali 7 pada hati Ibrahim

Yaitu: wali yang jumlahnya 7 pada setiap masa, hal ini berdasarkan sabda Rasul “do’a mereka adalah do’anya nabi Ibrahim” yang terdapat di dalam Alquran Qs. as-Syu’aRA’: 83


رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ ﴿٨٣﴾

(Ibrahim berdo`a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh,

  1. Wali 5 pada hati malaikat Jibril

Yaitu: wali yang jumlahnya 5 pada setiap zaman tidak kurang juga tidak lebih, hal ini berdasarkan Hadis nabi “mereka adalah pemimpin ahli tarekat ini”, bagi mereka adalah ilmu-ilmu sesuai dengan hitungan yang dimiliki oleh malaikat jibril.

  1. Wali 3 pada hati Malaikat Mikail

Yaitu Wali yang berjumlah 3 pada tiap zaman tidak kurang juga tidak lebih. Mereka memiliki kebaikan sejati, belas kasih, halus hatinya, lembut hatinya, suka menolong, wajahnya penuh senyum, hatinya penuh belas kasih, memiliki pengetahuan seperti Malaikat Mikail

  1. Wali 1 pada hati Malaikat Israfil

Yaitu: Wali yang berjumlah 1 orang pada tiap zaman tidak kurang juga tidak lebih, beliau memiliki perintah dan larangan, mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh marwi. Abu Yazid al-Busthami adalah salah satu wali yang berada pada hati Malikat isrofil dan Nabi Isa As.

  1. Wali alam anfas

Wali yang berada pada hati nabi Dawud, jumlahnya tidak berkurang dan juga tidak bertambah pada setiap zaman. Penisbatan wali ini terhadap qalbu nabi Dawud yaitu: kebersamaan, persamaan sifat, ahwal, dan pengetahuan yang dimiliki wali ini sama dengan nabi Dawud.

  1. Wali rijalul ghaib

Yaitu: wali yang berjumlah 10 orang pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih, mereka orang-orang yang khusyu’, tidak berbicara kecuali membisikkan (suara yang lirih), tajalli kepada Allah yang Rahman mengalahkan ahwal mereka dan mereka tersembunyi dan tidak dikenal.. QS. Thaha:108


يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ وَخَشَعَت الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً ﴿١٠٨﴾

  1. Wali yang berjumlah 18

Yaitu: wali yang berjumlah 18 orang tidak kurang tidak lebih, mereka melaksanakan perintah Allah secara lahir, mereka menjalankan hak-hak Allah, menjalankan beberapa sebab (kasb), memiliki perbuatan-perbuatan yang luar biasa. Mereka menampakkan reaksi yang baik kepada manusia sesuai dengan perbuatan manusia tersebut begitu juga sebaliknya, menampakkan pemberian Allah berupa kenikmatan dzahir kepada manusia (kenikmatan dzahir berupa perbuatan yang luar biasa, sedangkan kenikmatan batin berupa pengetahuan) dhuha: 11,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١﴾

sabda nabi:

التَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ شُكْرٌ

Mengungkapkan kenikmatan yang diterima merupakan bentuk syukur

  1. Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah

Yaitu: wali yang berjumlah 8 orang yang memiliki tanda-tanda dari Alquran, mereka tegas terhadap orang-orang kafir, mereka menyandang nama-nama ketuhanan (Asma’ al-Husna dzu al-Quwwah al-Matin) mereka tidak memperdulikan celaan orang yang mencela. Terkadang mereka dinamakan Rijal al-Qahri seperti Abu Abdillah ad-Daqqa’ di kota fas (maroko).

  1. 5 Wali yang menjadi bagian dari Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah

Yaitu: 5 orang wali pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih yang berada di bawah pimpinan Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah, mereka memiliki tutur bahasa yang lembut yang menjadi pembeda dari wali Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah. Thaha: 44,

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ﴿٤٤﴾

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut

Ali Imrân: 158

وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لإِلَى الله تُحْشَرُونَ ﴿١٥٨﴾

Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.

Sumber: Alif.ID

41. Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (2)

  1. Lima belas wali yang disebut Rijal al-Hannan dan al-Athfi al-Ilahi

Yaitu: wali yang berjumlah 15 yang memiliki hati yang lemah lembut, hati yang penyayang kepada seluruh hamba-hamba Allah baik mukmin maupun kafir, mereka melihat makhluk dengan pandangan belas kasih bukan dalam kaca-mata hukum, mereka tidak diberi kekuasaan oleh Allah untuk menjadi pemimpin kepemerintahan atau menjadi hakim karena peRasaan dan maqâm mereka tidak menempati kedudukan hukum yang mengikat makhluk, mereka bergaul dengan makhluk karena terdorong oleh belas kasihan. al-A’RAf: 156

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٥٦﴾

  1. Empat Wali Anfas

Yaitu: wali yang memiliki kewibawaan dan keagungan yakni wali yang berjumlah 4 pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih. Al-Mulk: 3.

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقاً مَّا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِن تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِن فُطُورٍ ﴿٣﴾

Mereka membantu wali autad, hatinya bergantung pada langit, jasadnya tidak dikenal di bumi tetapi dikenal oleh penduduk langit. 1) wali yang pertama berada di hati nabi muhamad, 2) wali yang kedua berada pada hati nabi Syu’aib, 3) wali yang berada pada hati nabi Shaleh, 4) wali yang berada pada hati nabi hud.

  1. Dua puluh empat Wali Rijal al-Fathi

Yaitu: wali yang berjumlah 24 tidak kurang tidak lebih pada setiap zaman, Allah membuka hati wali Allah dengan melalui perantaraan mereka, terbukanya hati itu berisi pengetahuan dan Rahasia ilahi, Allah menjadikan mereka berjumlah 24 menurut hitungan jam dalam hari, setiap jam ada Rijal al-Fathi yang bertugas. Setiap orang yang hatinya terbuka terhadap ilmu dan pengetahuan terhadap jam tersebut maka wasilahnya adalah seorang wali Rijal al-Fathi yang bertugas pada jam tersebut, mereka berpencar di seluruh penjuru bumi dan tidak pernah berkumpul. 2 orang wali Rijal al-Fathi berada di daeRAh  yaman, 4 orang wali Rijal al-Fathi berada di belahan bumi timur, 6 RAng wali Rijal al-Fathi berada di bumi barat, 12 orang wali tersebar di arah-arah yang lain. Fathir: 2

مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢﴾

  1. Tujuh wali Rijal al-Ma’arij al-`Ula

Yaitu: wali yang berjumlah 7 orang setipa zaman tidak kurang tidak lebih, mereka memiliki tangga pada setiap nafas mereka berada pada alam anfas, mereka auliya’ pemilik tingkatan. Muhammad: 36


إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ ﴿٣٦﴾

  1. Dua puluh satu wali yang di sebut Rijal at-Tahti al-Asfal

Yaitu: wali yang berjumlah 21 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, wali golongan ini berdasarkan fiman Alloh Qs. al-Tin : 5

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ ﴿٥﴾

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)

Yang dimaksud Allah dengan asfala safilin adalah alam tabiat yang tidak ada tempat yang lebih rendah dari padanya, pada asalnya tabiat itu mati, lalu Allah menghidupkan dengan nafsu Rahmani yang telah dikembalikan kepadanya, wali ini merupakan sesorang yang tidak pernah memperhatikan dirinya kecuali memperhatikan jiwa yang kembali kepada Allah serta hati mereka selalu hadir di depan Allah.

  1. Tiga wali yang disebut Rijal al-Imdâd al-Ilahi wa al-Qauli

Yaitu: wali yang berjumlah 3 orang setipa zaman tidak kurang tidak lebih, mereka menolong makhluk untuk menemukan kebenaran tetapi dengan cara yang halus, lembut, dan belas kasih bukan dengan cara kasar, memaksa dan keras, mereka menghadap Allah dengan mengambil faedah, mereka menghadap makhluk dengan memberi faedah, wali ini adakalanya laki-laki dan perempuan, Allah memberikan kekuasan kepada mereka untuk berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.

وَقَدْ وَرَدَ فِى الْخَبَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَقَبَّلَ لِيْ بِوَاحِدَةٍ تَقَبَّلْتُ لَهُ بِالْجَنَّةِ، أَنْ لَا يُسْأَلُ أَحَدًا شَيْأً.

Diantara sifat-sifat mereka adalah ketika dia memberi suatu faedah kepada makhluk maka wali tersebut memandang kepada makhluk dengan pandangan yang belas kasih sehingga disangka bahwa wali tersebut yang meminta faedah. Ibnu Arabi mengomentari tentang perilaku mereka: aku tidak pernah melihat akhlak bermuamalah kepada manusia yang lebih baik dari mereka.

  1. Wali Ilhayun Rahmaniyun berjumlah tiga orang.

Yaitu wali yang ahli menerima wahyu ilahi, mereka mendengarkannya secara berantai, suara wahyu ilahi seperti bunyi lonceng, mereka mempunyai keyakinan yang bagus mengenai kalam Allah, mereka menyerupai wali abdal pada sebagian ahwal tapi mereka bukan termasuk wali abdal.


Q.S al-Anfal:35

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ ﴿٣٥﴾

Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka Rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

  1. Satu wali terkadang wanita, ada pada setiap zaman.

Q.S al-An’am:18

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Sang wali memberi anugerah terhadap segala sesuatu kecuali Allah, memiliki sifat pemberani, banyak mengajak terhadap kebenaran, ucapannya benar, adil dalam penerapan hukum.

  1. Wali dari percampuran jenis

Yaitu wali yang dilahirkan antara ruh dan manusia, tidak diketahui ayah manusianya. Seperti yang diceritakan dari Ratu Bilqis yaitu seorang Ratu yang dilahirkan antara jenis jin dan manusia, tersusun dari dua jenis mahluk yang berbeda. Wali merupakan seseorang dari alam barzakh (ruhani). Allah memberikan tugas padanya untuk menjaga alam barzakh selama-lamanya, dia dilahirkan membawa sifat-sifat ini. Wali ini merupakan suatu mahluk yang berasal dari ovum (air mani) ibunya. Kejadian ini bertentangan dengan kesepakatan ahli kedokteran, bahwasanya ovum wanita tidak bisa menjadi anak, tetapi kejadian wali ini di luar kebiasaan yang sudah ditentukan dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

  1. Diantara para wali ada seorang wali terkadang berjenis kelamin wanita.

Dia melakukan pertolongan-pertolongan terhadap seluruh alam. Dia merupakan orang yang dikenal maqâmnya, jumlahnya hanya satu pada setiap zaman. Ahli tarekat mengenalnya seperti keadaan wali Quthub tapi dia bukan Quthub.

  1. Wali Rijalul Ghina Billah jumlahnya ada 2 orang

Yaitu; wali yang berjumlah 2 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, wali yang mempunyai martabat. Ayat yang menjelaskan ini adalah Qs. Ali Imrân: 97

فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ﴿٩٧﴾

Yang pertama Mereka selalu mendapat siraman rohani dari alam musyahadah, setiap orang yang kaya dalam alam musyahadah maka termasuk golongan wali ini,

dan yang lainnya adalah mereka selalu mendapat siraman rohani dari alam malakut

Rijalul Ghina Billah, yaitu orang-orang yang tidak membutuhkan kepada manusia sedikit pun, sehingga kelompok ini tidak membutuhkan kepada bantuan siapa pun, selain bantuan Allah.

  1. Diantaranya ada wali yang selalu membolak balik hatinya pada setiap nafas

wali ini sangat aneh ahwalnya karena tidak ada orang yang lebih tinggi ma’rifat dan taqwanya kepada Allah dibanding wali ini, tidak henti hentinya ruas ruas jarinya selalu bergetar karena takut kepada Allah, dasarnya

al-Syura :11,

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجاً يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴿١١﴾

al-Isro’ ; 6

ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً ﴿٦﴾

  1. Diantaranya ada Wali yang disebut Rijal ‘Ain al-Tahkim wa al-Zawaid

Yaitu; Wali yang jumlanya ada sepuluh pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, derajat mereka terkenal karena mereka mempunyai ciri khusus yaitu dengan lisan yang selalu menyebarkan do’a, ahwalnya selalu menambah keimanan dan keyaqinan terhadab yang Ghaib, sehingga bagi mereka tidak ada yang sesuatu yang ghaib karena sesuatu yang ghaib menjadi musyahadah, dan setiap Ghaib yang menjadi musyahadah dapat menambah keimanan pada ghaib yang lain, Dasarnya Qs. Thaha : 114,

فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً ﴿١١٤﴾

al-Baqarah : 168

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿١٦٨﴾

  1. Diantaranya ada wali al-Budala’ (bukan wali abdal)

Yaitu: wali yang berjumlah 12 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, maqâm mereka sangat populer, derajat mereka terkenal karena mereka mempunyai ciri khusus yaitu dengan lisan yang selalu menyebarkan do’a, ahwalnya selalu menambah keimanan dan keyaqinan  terhadab yang Ghaib, dikatakan budala’ karena jika ada salah satu tidak ada maka yang lain bisa menggantikan kedudukannya.

  1. Diantaranya ada wali Rijal Isytiyaq

Yaitu: Wali yang jumlahnya ada 5 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih,, mereka termasuk pimpinan tarekat billah, dengan mereka Allah menjaga kelestarian alam, mereka tiada henti hentinya senantiasa melaksanakan sholat pada siang dan malam.

Qs. al-Baqarah ; 238

حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلهِ قَانِتِينَ ﴿٢٣٨﴾

  1. Diantaranya ada wali 6 orang

Yaitu: Wali yang berjumlah 6 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, diantaranya adalah : Ibnu Harun al-Rasyid Ahmad al-Sibti, mereka mempunyai kekuasaan pada 6 arah mata angin, wujud ruhani mereka seperti tubuh manusia, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 13-72)

Sumber: Alif.ID

42. Golongan Wali yang Tidak Terhitung Jumlahnya

Setelah beberapa edisi kita mendapatkan keterangan ihwal wali, dalil kewalian, pro dan kontranya, sekarang kita akan membaca bersama golongan atau macam-macam wali. Buku Sabilius Salikin mengetengahkan golongan wali yang populer dan pokok-pokok saja. DI buku lain, Anda mungkin akan mendapatkan lebih banyak lagi versi yang berbeda.

  1. Wali al-Mulamatiyah, yaitu Pimpinan dan imam ahli thâriqâh, pemimpin alam dari bangsa mereka dan berkecimpung di dalamnya, beliau adalah nabi Muhammad SAW yang menjadi Rasulullah. Wali mulamatiyah adalah ahli hikmah yang meletakkan berbagai macam masalah pada tempat dan hukumnya, menetapkan sebab pada tempatnya dan meniadakan sebab pada tempatnya, yang semestinya ditiadakan.

Mereka tidak melompati sesuatu yang telah di urutkan oleh Allah Swt, menurut urutan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Mereka memandang sesuatu dengan pandangan yang diridhoi oleh Allah SWT, mereka tidak mencampur aduk diantara beberapa hakikat. Wali maulamatiyah tidak diketahui derajatnya, mereka tidak dikenal kecuali penghulunya yang selalu cinta dan mengistimewakan golongan ini pada maqomnya, golongan wali ini tidak dapat dihitung tetapi jumlahnya dapat bertambah dan berkurang.

  1. Wali al-Fuqara’: Di antaranya wali al- Fuqâra’, golongan wali ini tidak dibatasi dengan jumlah, tapi hitunganya bisa bertambah banyak dan sedikit.

Allah berfirman Qs. al-Fathir :15

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ ﴿١٥﴾

  1. Wali al-Shufi: Diantaranya ada wali shufi, golongan wali ini tidak dibatasi dengan jumlah, tapi hitunganya bisa bertambah banyak dan sedikit. Mereka pemilik akhlaq yang mulia, bahkan dikatakan: “Barang siapa yang bertambah budi pakertinya maka maqâm di tasawufnya akan bertambah, sehingga terkumpul dalam hati satu hati. Mereka tidak memiliki sesuatu apa pun kecuali kemahlukannya, dan persamaan dalam sisi sebagai makhluq sehingga mereka tidak mencari kedudukan, ini merupakan tingkatan keadaan luar biasa yang muncul tanpa sengaja, agar mereka menunjukkan kebenaran pelaksaan agama. Diantara mereka ada yang melakukan kebiasaan yang luar bisa sehingga menjadi suatu kebiasaan, maka hal itu bukan merupakan sebuah hal luar bisa bagi mereka, seperti berjalan diatas air dan terbang diudara.
  2. Wali al-‘Ubbad: adalah Wali yang mengkhususkan diri melaksanakan ibadah ibadah fardlu saja, mereka selalu berada dalam rumah, shalat jama’ah, hanya mengurus dirinya saja, diantara mereka ada pelaku sebab (shahib al-sabab)dan meninggalkan sebab (Tarik al-sabab), mereka tergolong orang orang yang baik lahir batin, mereka terjaga dari tipu daya, iri hati, cinta dunia dan tamak, mereka mengeRAhkan semua kemampuannya untuk hal hal yang baik, mereka tidak henti hentinya memperoleh pengetahuan, Rahasia Rahasia ilahi, menyaksikan alam malakut, memahami ayat ayat Allah ketika membacanya, mereka tidak memperhitungkan pahala, mereka bisa menyaksikan kiamat dan hiruk pikuknya, surga dan neraka. Selalu menangis ketika sholat, tidak pernah tidur, berdoa dengan penuh harapan, takut, rendah hati. Ketika berbicara dengan orang bodoh maka dia mendoakan keselamatan kepadanya. Mereka selalu beribadah kepada Tuhannya, selalu memikirkan tentang akhirat, selalu berpuasa, ketika bersedekah tidak berlebihan dan tidak kurang, mereka bukan ahli memelakukan kejelekan dan kebatilan, ahli melakukan berbagai macam amal kebaikan, mereka beramal dengan menggungkan Allah.
  3. Wali al-Zuhhad: yaitu Wali yang meninggalkan dunia dan tidak ada usaha untuk memiliki dunia. Ada yang mengatakan wali al-Zuhhad adalah wali yang meninggalkan dunia tapi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dunia. Dan pemimpin wali ini adalah Ibrahin bin adham.
  4. Wali Rijal al-ma’: yaitu Wali yang selelu beribadah kepada Alloh di tepi laut dan sungai, mereka tidak dikenali manusia.
  5. Wali Afrâd: yaitu Wali yang jumlahnya tidak dibatasi hitungan, mereka merupakan orang orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan memegang aturan atuaran syara’, mereka berada diluar wilayah quthub, tapi mereka hadir diantara quthub. Mereka bagaikan para malaikat yang mengelilingi keagungan Allah.
  6. Wali Umara’

Sabda Rasulullah: إن االله امناء       Sesungguhnya Allah memiliki wali UmaRA’. Rasulullah bersabda menyebutkan sifat Abu Ubaidah bin JaRAkh “Sesungguhnya Abu Ubaidah bin JaRAkh adalah orang terpercaya umat ini ”, mereka (Wali UmaRA’) adalah kelompok golongan dari wali Mulamatiyah bukan dari golongan yang lain abhakan mereka pemuka dan yang terkhusus dari golongan mulamatiyah. Ahwal ( keadaan bathin) mereka tidak diketahui walaupun mereka bergaul dengan manusia umum tetap melakaukan hal-hal yang umum dilakukan manusia, yaitu melakukan perintah Allah dan menjahui larangan yang wajib. Mereka tidak di kenal atau popular di antara manusia, tapi derajat mereka akan tampak saat hari kiamat tiba.

  1. Wali al-Qurra’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas , bisa bertambah dan berkurang. Wali yang ahli Hifzh Alquran, mengamalkan isi Alquran. Barang siapa  yang berhalaqah dengan Alquran maka dia mereka ahli Alquran. Barang siapa ahli Alquran, maka dia adalah ahli Allah (Kekasih Allah) karna Alquran adalah kalam Allah yang termasuk wali al-Qura’ adalah Abu Yazid al-Busthami dan Sahl bin Abdullah al- Tastari.

  1. Wali al-Ahbab

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas bisa bertambah bisa berkurang.

firman Allah Q.S.al-Ma’idah: 54:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Di antara wali ini ada yang disebut Muhibbin sehinga Allah senang memberi  coba’an kepada mereka ada juga yang di sebut mahbubin, sehingga Allah memilihnya. Sehingga wali al-Ahbab dibagi menjadi dua :

  1. Pada awalnya Allah mencintai mereka
  2. Allah menjalankan mereka untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah dan Rasulnya sehingga keta’atan itu berbuah mahabbah (Cinta)kepada Allah SWT

Firman Allah QS. al-Nisa’: 80 dan al-Imrân : 31

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً ﴿٨٠﴾

Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihaRA bagi mereka.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣١﴾

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Mahabbah ini merupakan buah bukan sebagai permulaan amal, sudah dapat dipastikan bahwa mereka mempunyai banyak maqâm dan tidak ada satu maqam dari beberapa maqam kecuali  dimiliki orang-orang utama (al-Fadhil) dan orang yang diutamakan (al-Mafdhul) mereka memiliki tanda-tanda bersih hatinya Mahabbah (cinta), mereka murni tidak bercampur kotoran yang membuat keruh hati, mereka memiliki prinsip lebih mendahulukan Allah, mereka tidak menjalankan suatu amal hanya berdasarkan pandangan baik dan buruk dari sisi aturan (SyaRA’) tapi berdasarkan Adab, etika dan tatakRAma.

  1. Wali al-Muhadditsûn

Wali al- Muhadditsûn di bagi dua golongan :

A) Wali yang dapat berkomunikasi dengan Allah Swt dibalik tabir ucapan. Firman Allah. QS. al-SyuRA’ :51

إِنَّا نَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَن كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٥١﴾

Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman.

Wali bagian ini banyak sekali tingkatanya.

B) Wali yang dapat berkomunikasi dengan para malaikat, terkadang terdengar di telinganya wali, kadang percakapan itu di tulis, mereka semua adalah ahli komunikasi. Metode mereka untuk sampai pada maqam ini dengan cara Riyadhoh al-Nafsu, mujahadah badan (melatih tubuh) dengan berbagai macam cara, karena jiwa yang bersih dari berbagai macam kotoran dan watak yang jelek. Maka roh mereka bisa menemukan ilmu-ilmu dari alam malakut dan Rahasia-Rahasia ketuhanan, berbagai macam ilmu dapat terukir semua dapat jiwa, sehingga ruhani dapat menerima berbagai macam kejadian ghaib. Karna sesungguhnya para malaikat itu satu kesatuan, Setiap malaikat memiliki maqâm tertentu dan para wali dalam hal ini berada pada derajat dan tingkatan tertentu. Diantaranya ada agung dan ada lebih agung malaikat Jibril merupakan malaikat yang agung, sementara malaikat mikail leih agung. Diantara wali berada dihati malaikat Jibril dan ada pula yang berada dihati malaikat Mikail.

  1. Wali al-Akhla’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Firman Allah SWT QS.an-Nisa’ :125


وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً ﴿١٢٥﴾

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama IbRAhim yang lurus? Dan Allah mengambil IbRAhim menjadi kesayanganNya.

Rasullah bersabda :

لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلًا لَأَ تَّخِذْتُ اَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الله.

  1. Wali al-Sumara’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang, mereka adalah wali khusus dari golongan wali Hadis mereka tidak lagi berkomunikasi dengan para malaikat, tapi berkomunikasinya langsung dengan Allah SWT.

  1. Wali al-Waratsah

Wali al-Waratsah dibagi menjadi tiga golongan :

  1. Dholim li Nafsihi
  2. Muqtasid
  3. Sabiq bi al-Khoirat

Firman Allah QS. Fathir :32

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Rasulallah bersabda :

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْاَنْبِيَاءِ

  • Wali Sumara’ Dholim li Nafsihi

Adalah: Wali WaRAtsah al- Musthofa (Wali yang menjadi pewaris nabi) yang tidak memberi hak-hak dirinya didunia hingga mereka bahagia di akhirat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:

اِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya dirimu memiliki hak, matamu juga memiliki hak atas mu”

Ketika manusia berpuasa terus menerus dan tidak tidur dimalam hari, maka dia telah menganiaya endiri dan matanya. Oleh karena itu Allah menyebutkan dalam Surat al-Fathir: 32 “Dhalim li Nafsihi”. Sang wali menginginkan melakukan Azimah dan yang lebih berat. Karena dia mengetahuinya dengan tujuan menghindari mensia-siakan waktu, ruhsho dan al-batholah.

Adalah ujntuk orang-orang yang lemah. Dalam ayat ini Allah tidak menghendaki menganiaya diri sendiri dengan cara yang dicela Syari’at (aturan).

  • Wali Waratsah al-Kitab yang disebut dengan al-Muqtasid adalah :

Wali yang memberikan hak-hak diri sendiri berupa kenikmatan dunia supaya bisa menjadi penopang untuk berkhidmat kepada Allah dan melakukan amal kebaikan dengan peRasan lapang, keadaan ini berada ditengah antara azimah dan ruhshoh.

  • Wali al- Sabiq bil Khairât

Wali yang lebih dahulu melakukan perintah sebelum waktunya dengan tujuan untuk persiapan. Pada saat memasuki waktu amal, maka dia bersiap-siap menjalankan kewajiban tepat waktu, sehingga tidak ada yang dapat mencegah untuk menjalankannya, seperti wudhu sebelum dating waktu shalat, menunaikan kewajiban Zakat mal sebelum datangnya setahun (Haul), (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 13-72).

Sumber: Alif.ID

43. Macam-macam Tarekat: Tarekat Uwaisiyah

Bab II Kitab Sabilus Salikin telah berakhir. Sekarang mari kita memulai Bab III

Uwaisiyah merupakan penisbatan tarekat kepada Uwais al-Qarni RA (wafat 36 H) Abu ‘Amir Uwais bin ‘Amir al-Muradi Tsumma al-Qarn. Ia  termasuk  golongan pembesar tabi’in  (Syaikh Ismâil haqqi bin Musthâfa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010, halaman: 18). Ia bahkan termasuk pembesar tabi’in dan orang yang paling utama pada masanya.

Kedudukan Uwais al-Qarni RA disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمٰنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ

“Aku mencium nafas tuhan yang Maha rahman dari arah tanah Yaman”

Yang dimaksud oleh nabi adalah mencium bau harum kekasih Allah SWT yaitu Uwais al-Qarni RA.

وَ يَكْفِيْ شَرَفاً وَ فَخْراً لِمُشَرَّفِ هَذَا الْمَكَانِ مَا وَرَدَ فِي الْخَبَرِ عَنْ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: خَلِيْلِيْ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ أُوَيْسِ الْقَرْنِيِّ.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسُ، يَأْتِيْ عَلَىْكُمْ فِيْ أَمْدَادِ الْيَمَنِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ الْأَبَّرَهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ.

Rasulullah SAW menuturkan keistimewaan Uwais dikabarkan Allah SWT kepada Umar dan Ali bahwa: ”Ada seseorang dari umatku yang bisa memberikan syafaat di hari kiamat sebanyak bulu domba dari jumlah domba yang dimiliki oleh Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak), lalu para sahabat bertanya: “Siapa dia wahai Rasulullah SAW?”. Rasul SAW Menjawab: “Ia adalah hamba Allah Swt”. Siapa namanya ya Rasul? “Rasul menjawab: “Ia bernama Uwais al-Qarni RA”.

Rasul SAW bersabda: “Yang mencegah untuk menemuiku adalah dua hal (1) karena keadaan, dan (2) karena dia menghormati aturan. Sebab dia mengasuh ibunya yang sudah tua, buta matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya. Uwais bekerja sebagai pengembala unta di siang hari dengan upah yang cukup untuk dibelanjakan untuk ibunya, dirinya dan dishadaqahkan kepada tetangganya yang miskin”.

Para sahabat bertanya apakah kita bisa melihatnya atau tidak? Rasul SAW bersabda, “Abu Bakar al-Shiddiq RA tidak bisa menemukannya, yang bisa menemukan dia adalah Umar dan Ali. Dia memiliki ciri-ciri berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya tanda putih, tanda putih itu bukan penyakit belang (barosh). Jika kalian menemukan dia sampaikan salamku padanya, lalu mintakan doanya untuk umatku”, (Muslim, Shahih Muslim Hadis, Libanon: Dar al-Fikr, nomor: 2542 jilid 4, juz 7, halaman 188 & Farid al-Din al-Attor,  Tadzkirat al-Auliyâ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010, halaman 49).

Setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA wafat, Umar diangkat menjadi Khalifah. Di sela-sela kesibukan Umar sebagai Khalifah beliau teringat tentang sabda Rasul tentang Uwais. Lalu Umar mengajak Ali bin Abi Thalib untuk mencarinya di kota Najt (Yaman).

Umar mengumpulkan penduduk Najt dan bertanya, “Apakah di antara kalian ada seseorang dari suku Qorn?” Penduduk Najt menjawab, “Ya”. Kemudian salah satu dari penduduk Qorn mendekati Umar, lalu Umar mengabarkan tentang Uwais dan para penduduk tidak mengenalnya.

Dengan nada tinggi Umar berkata, “Nabi Muhammad SAW pemilik syariat ini tidak berkata sembarangan”. Sebagian penduduk berkata, “Wahai pemimpin orang mukmin, Uwais adalah orang yang tidak pantas engkau cari karena dia adalah orang gila lagi gelandangan”.

Umar berkata, “Aku mendatangi kalian hanya untuknya, di mana dia?”  Para penduduk Najt menjawab, “Dia ada di lembah Uranah sedang mengembala unta di rerumputan, dia mengembala unta sampai waktu sore hari kemudian kami memberinya makan sore, dia tidak bergaul dalam keramaian penduduk, tidak berteman dengan siapapun, tidak memakan makanan orang pada umumnya, tidak bergembira seperti suka cita orang pada biasanya. Justru dia menangis tatkala semua orang tertawa, dan dia tertawa tatkala banyak orang-orang menangis”.

Umar berkata, “Bawalah aku menemui dia”. Lalu para penduduk mengantar Umar dan Ali menuju ke tempat Uwais, saat itu Uwais sedang shalat, ketika Uwais merasakan kedatangan Umar dan Ali, dia mempercepat shalatnya, lalu ketika Umar melihat Uwais selesai shalat, Umar langsung mengucapkan salam kepada Uwais. Lalu Uwais menjawab salam Umar dan Ali.

Umar bertanya, “Siapa namamu?” Uwais menjawab: “Abdullah (hamba Allah SWT)”. Umar berkata, kita juga hamba-hamba Allah SWT, siapa nama yang dikhususkan untukmu. Uwais menjawab: “Uwais”. Kemudian Umar berkata: “Tunjukkan tangan kananmu kepadaku”.

Pada saat itu terlihat tanda putih di telapak tangan Uwais seperti yang disebutkan oleh nabi Muhammad SAW. Umar berkata, “Nabi kirim salam kepadamu dan berwasiat kepadamu untuk mendoakan aku”. Uwais berkata, “Engkau lebih utama mendoakan seluruh orang-orang muslim karena engkau adalah orang yang paling utama di muka bumi ini”.

Umar berkata, “Aku juga mendoakan orang mukmin tetapi seyogyanya engkau mengikuti wasiat Nabi untuk berdoa”. Uwais keberatan untuk diminta mendoakan, sehingga Uwais berkata, “Wahai Umar mintalah doa kepada seseorang selain aku”. Umar membujuk Uwais untuk mau berdoa, lalu Umar berkata, “Rasul telah menunjukkan tanda-tandamu kepada kami, dan semua tanda itu ada padamu”.

Uwais berkata, “Ambillah wasiat Nabi itu dariku”, lalu sahabat Umar dan Ali kembali ke Madinah, kemudian Uwais bersujud di tanah sambil berdoa, “Wahai Tuhanku, kekasihmu Nabi Muhammad SAW telah memindahkan keadaan ini kepadaku, kekasihmu berwasiat kepadaku untuk berdoa. Wahai Tuhanku, ampunilah seluruh umat Nabi Muhammad SAW”, (Farid al-Din al-Attor,  Tadzkirat al-Auliyâ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman:  49-50).

Sumber: Alif.ID

44. Tarekat Uwaisiyah (lanjutan)

Setelah pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, tersiarlah kabar bahwa Uwais memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk kota Yaman selalu mencari dan mendatanginya. Uwais merasa terganggu untuk bermunajat kepada Allah SWT, sehingga ia meninggalkan Yaman agar tidak diketahui keberadaannya oleh penduduk. Tidak ada yang melihat Uwais di mana pun kecuali Harim Bin Hayyan.

Harim bin Hayyan berkata, “Aku mendengar bahwa Uwais bisa diterima syafa’atnya pada hari kiamat, sehingga aku melakukan perjalanan untuk mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai kerinduan untuk bertemu dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui, sehingga aku sampai di kota Kuffah. Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki yang memiliki ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali. Laki-laki itu sedang berwudhu’ di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali dan berucap salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku, kemudian aku ingin mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata semoga Allah SWT mengasihimu dan mengampunimu wahai Uwais. Bagaimana kabarmu? Setelah aku bertanya seperti itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena merasa kasihan terhadap keadaan Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis.

Usai menangis Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, siapa yang menunjukkanmu kepadaku?” Aku tidak menjawab pertanyaan itu lalu aku balik bertanya, “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku ?” Uwais menjawab, “Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku, ruhku telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling mengenal”.

Harim berkata kepada Uwais, “Ceritakanlah kepadaku tentang Hadisnya Rasul?” Uwais menjawab, “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi tetapi aku mendengar Hadis Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak menyukai membuka pintu fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain hal itu”. Lalu aku berkata, “Aku menyukai mendengar ayat Alquran darimu, kemudian Uwais memegang tanganku sambil mengucapkan ta’awudz, Uwais menangis tersedu-sedu, kemudian membaca ayat Alquran:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ (الذاريات: 56)

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ ﴿٣٨﴾ مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٩﴾ إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٤٠﴾ يَوْمَ لَا يُغْنِي مَوْلًى عَن مَّوْلًى شَيْئاً وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ ﴿٤١﴾ إِلَّا مَن رَّحِمَ اللهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ﴿٤٢﴾ (الدخان: 38-42)

Kemudian Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah akalnya masih ada atau tidak. Selang beberapa saat Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab, “Tujuanku mencarimu untuk merasa tenang dan nyaman bersamamu”.

Uwais mengomentari jawabanku, “Aku tidak mengerti, bahwasanya orang yang mengenal Allah SWT bagaimana ia bisa merasa tenang dan nyaman bersama selain-Nya?” Aku berkata, “Berilah aku wasiat”. Uwais berkata, “Jadikan kematian di bawah kepalamu (ingat pada kematian) dan di dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh kehidupan setelah kematian (tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat hanya Allah SWT semata), jangan engkau memandang dosa kecil tapi pandanglah pada besarnya maksiat kepada Allah SWT karena jika Engkau meremehkan dosa maka Engkau telah meremehkan berpaling dari Allah Swt”.

Harim berkata, “Apa yang Engkau perintahkan kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?” Uwais berkata, “Bertempatlah di Syam”. Aku berkata, “Bagaimana aku mendapatkan penghidupan di kota Syam (Syiria)?” Uwais berkata, “Jauhkan perasaan itu dari hatimu, karena keragu-raguan telah mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak bermanfaat”.

Aku berkata lagi, “Berilah aku wasiat” Uwais berkata, “Bapakmu Hayyan telah mati, Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad SAW dan seluruh Nabi dan Rasul telah meninggal semua, Abu Bakar, Umar bin al-Khattab telah mati”. Aku bertanya kepada Uwais “apakah Umar bin al-Khattab telah mati?” Uwais menjawab: “Ya. Allah SWT telah memberikan kabar kepadaku melalui ilham tentang kematian Umar bin al-Khattab”.

Kemudian Uwais berkata, “Wahai Harim, aku dan engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”. Kemudian Uwais membaca shalawat kepada Nabi, berdoa dengan doa yang pelan. Lalu Uwais berkata, “Wasiatku kepadamu bersuluklah dengan jalan sesuai syari’at dan tarekat orang-orang yang baik, jangan engkau melupakan zikir kepada Allah SWT walaupun sekejap. Jika engkau sudah sampai kepada kaummu berilah nasihat kepada mereka, jangan engkau memutus nasihat (mengharapkan kebaikan) dari hamba Allah SWT, jangan engkau menyimpang dari taat kepada pemimpin umat sehingga imanmu tidak keluar tanpa kamu sadari, engkau tidak mengetahui apakah engkau akan jatuh ke neraka atau tidak”.

Kemudian Uwais berkata lagi, “Wahai Harim, engkau dan aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini, jangan lupakan aku dalam do’a, berangkatlah ketika aku berangkat, jangan engkau tinggalkan aku sedetik pun sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais menangis, kemudian Uwais pergi sementara aku memandanginya dari belakang sampai Uwais naik ke gunung. Setelah peristiwa itu aku tidak melihat dan mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 51–52).

Nasihat-nasihat Uwais al-Qorn

لَا يَخْفَى عَلَىْهِ شَيْءٌ

Maksudnya adalah apabila seseorang sudah ma’rifat kepada Allah SWT (pokok), maka akan mudah baginya semua mahluk (cabang)

اَلسَّلَامَةُ فِي الْوَحْدَةِ

Maksudnya adalah keselamatan itu ada pada menyendiri (secara ruhani bukan secara jasadi)

اِجْعَلِ الْمَوْتَ تَحْتَ رَأْسِكَ وَ عِنْدَ رَأْسِكَ

Maksudnya adalah ingatlah kepada kematian dan janganlah ingat pada kehidupan dunia dan ingatlah hanya Allah SWT semata

وَ لَا تَتَوَقَّعْ الْحَيَاةَ بَعْدَهُ

Janganlah mengharap kehidupan setelah mati. Maksudnya adalah membekali hidup untuk menyongsong kematian.

  • Aku mencari kedudukan, maka aku temukan kedudukanku di dalam sifat tawadhu’.
  • Aku mencari kepemimpinan, maka aku temukan kepemimpinan itu dalam (memberi) nasihat kepada orang.
  • Aku mencari keagungan, maka aku temukan keagungan di dalam sifat fakir.
  • Aku mencari sunnah dan aku temukan sunnah itu di dalam sifat takwa.
  • Aku mencari kemuliaan, maka aku temukan kemuliaan itu dalam sifat qona’ah.
  • Aku mencari kenyamanan maka aku temukan kenyamanan itu dalam sifat zuhud.
  • Ingatlah kepada kematian.
  • Jika kamu mampu (untuk) tidak memisahkan hatimu dengan air mata, maka lakukanlah.
  • Bernadzarlah kepada kaummu ketika kamu kembali kepada mereka.
  • Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menghidupi) dirimu.
  • Takutlah meninggalkan (sholat) jamaah.
  • Kamu meninggalkan agamamu sedangkan kamu tidak menyadarinya. Kemudian kamu mati dan masuk neraka pada hari kiamat, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 54-55).

Penjelasan: Sebagian wali Allah SWT diberi julukan Uwais. Artinya tidak membutuhkan bimbingan dari seorang guru, karena Uwais adalah Faidhul Ilahi (anugerah Ilahi) tanpa perantara orang lain dan berkah cahaya kenabian. Derajat ini adalah maqâm yang sangat tinggi sebagaimana firman Allah Swt:

ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴿٤﴾ (الجمعة: 4)

Maka intisab Tarekatnya secara hakikat langsung kepada Allah SWT dan proses suluknya sesuai dengan suluk Nabi sebagaimana sabda Nabi SAW:

أَدَّبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ

Tuhanku telah mendidikku, maka Allah SWT lah yang memperbaiki adabku.

Sumber: Alif.ID

45. Tarekat Malamatiyah

Malamatiyah adalah nama tarekat yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke 3 H. di NaisAbûr kota Khurosan. Tarekat ini juga dikenal denga nama al-Qushâriyah (القصارية) atau al-Hamduniyah (الحمدونية) kedua nama ini dinisbatkan kepada Hamdun bin Ahmad bin Amarah al-Qashar (w. 271 H). Beliau yang menyebarkan tarekat Malamatiyah ini.

Nama lengkapnya adalah Abû Shâlih Hamdûn bin Ahmad bin Ammarah Al-Qushshâr Al-NaisAbûri, tidak diketahui tahun kelahirannya, beliau wafat tahun 271 H. di kebumikan di pemakaman al-Khairah dalam kitab Thabaqât al-Shûfiyah, hlm 109, dikebumikan pemakaman Khaidah dalam kitab al-Thabâqat al-Kubra, hlm. 121, Beliau terkenal sebagai ulama fikih Madzhab Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (77-161 H), dan Sufi.

Syaikh SyihAbûddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H.) membahas tarekat Malâmatiyah dalam kitab Awârif al-Ma’ârif, halaman: 82, dan juga diambil dari kitab al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 165 nomor: 243, Arti Malâmatiyah adalah orang-orang yang mengharapkan hinaan dan cacian terhadap diri sendiri.

Syaikh Hamdun al-Qashar melihat kenyataan manusia, bahwa nafsu itu menggunakan banyak metode untuk meluapkan kesenangan (syahwat). Sementara ikhlâs yang benar itu sangat langka dan sulit untuk sampai pada maqâm ikhlas.

Ada pendapat lain bahwa tarekat Malâmatiyah disandarkan kepada Abû Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H.), beliau yang meletakkan dasar-dasar tarekat Malâmatiyah ini sebagai berikut:

  1. Kaum yang mengisi waktu dengan beribadah kepada Allah SWT yang Haq;
  2. Selalu menjaga sirrinya;
  3. Mereka mencela diri sendiri ketika macam-macam ibadah yang dilakukan diketahui orang lain;
  4. Mereka menampakkan perbuatan-perbuatan yang jelek dan menyimpan rapat-rapat kebaikannya sehingga orang lain mencelanya karena yang mereka lihat adalah perbuatan lahir semata;
  5. Pengikut Tarekat ini akan mencela diri sendiri jika orang lain mengetahui sisi batinnya, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259. Mengutib dari kitab al-Malâmatiyah wa al-shufiyah, halaman: 89).

Syaikh Abû Hafs al-Haddad al-Malamati mengambil pelajaran dari Syaikh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H.) dari Ibrâhîm ibn Adhan bin Mansur bin Zaid bin Jabir bin Tsa’labah bin Ajali (w. 160 H.) dari Hasan Basri dari Saiyidina ‘Ali dari Nabi Muhammad.

Nama tarekat ini tidak disandarkan kepada pendiri atau pengembang tarekat ini tetapi diambil dari ciri khusus penganut Malâmatiyah yaitu suka mencela diri sendiri (لوم الملامتى نفسه). Kata Malâmatiyah berasal dari kata Laum (لوم), لام-يلوْم-لوماً-و مَلاماً-و مَلامةً yang berarti mencela, mengecam dengan keras (Warson Munawir, al-Munawir: 1392). Maksudnya adalah pengikut tarekat Malâmatiyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlaq, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek, hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu (مخالفة النفس) yaitu suka pamer (Riya’), cinta dunia, jabatan, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

  1. Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Qs. al-Maidah: 54)

Maksud (لوم الناس) adalah pengikut Malâmatiyah memandang bahwa hubungannya dengan Allah SWT adalah Rahasia (sirri) sehingga tidak patut untuk diketahui orang lain. Mereka sangat suka untuk menyembunyikan rahasia tersebut.

Jika rahasia ini terungkap maka akan membuat kekasihnya cemburu, karena orang yang terpaut dengan kekasihnya tidak menyukai orang lain datang kepada kekasihnya. Bahkan dalam kecintaan yang tinggi, seseorang akan membenci pada orang lain yang memperlihatkan perhatian pada kekasihnya.

Rasulullah SAW Adalah panutan, Imâm bagi ahli haqiqat, panutan bagi para pecinta (muhibbin). Diceritakan dalam kitab Shirah bahwa nabi Muhammad SAW. dalam awal penyampaian risalah kenabian banyak menghadapi hinaan, cacian, makian, perkataan kotor, perbuatan-perbuatan yang menyakitkan, bahkan nabi pernah dilempari batu hingga berdarah tetapi nabi menghadapi dengan sabar dan do’a yang baik.

اللهم اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Pengikut tharîqat ini merasa kuatir membuat kecemburuan di hati manusia ketika keadaan dan rahasia-rahasia itu terungkap pada manusia dengan pujian dan sanjungan yang patut diungkapkan. Maka pengikut Malâmatiyah malah sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menarik hinaan dan kebencian manusia.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika Allah SWT cinta kepada seorang hamba-Nya akan memberi potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan agar engkau tidak merasa tentram kepada mereka (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 57-58), dan Allah SWT menjadikan seluruh alam untuk mencacinya, tetapi Sâlik Malâmatiyah tidak memperdulikan hinaan dan cacian demi menyelamatkan rahasia-rahasianya bersama Allah SWT (kekasihnya).

Salik menyembunyikan segala bentuk kebaikan dari pandangan manusia untuk menyelamatkan rahasia-rahasianya sehingga manusia tidak melihat kebaikan yang melekat pada diri Sâlik dan tidak membuat mereka kagum, Sâlik merasa tenang dan senang terhadap hinaan, untuk menghilangkan sifat ujub, Sâlik menampakkan perbuatan-perbuatan jelek dan menyembunyikan perbuatan baik. Ini adalah pokok ajaran yang kuat dalam jalan menuju kepada Allah SWT, karena tidak ada hijab bahaya yang lebih sulit dibuka dibanding manusia yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

Sifat pada `ujub muncul didorong oleh 2 hal, yaitu:

  1. Mencari kedudukan dan pujian di hadapan manusia. Contoh; seseorang melakukan amal kebaikan untuk mendapatkan simpati manusia, lalu dia memuji diri sendiri dan melihatnya sebagai orang yang penuh kebaikan;
  2. Suatu perbuatan seseorang untuk memperoleh simpati manusia lain lalu mereka memujinya dan orang tersebut merasa `ujub (merasa lebih baik dari yang lain).

Sumber: Alif.ID

46. Tarekat Malamatiyah (lanjutan)

Imâm Ghazali dalam kitab Raudhah al-Thalibîn, bab ke 15 dan al-Majmû’ al-Rasâil, halaman: 132. menyatakan wajib bagi hamba menjaga amal dari 10 hal (yang bisa merusak amal) yaitu: sifat nifaq, riya’, mencampur amal, ingin mendapat imbalan, merusak amal, penyesalan terhadap amal baik, ‘ujub, malas dalam amal, meremehkan dan takut dicaci-maki manusia.

Allah SWT menutup anugerah kepada kekasih-Nya yang menempuh jalan kepada-Nya sehingga amal perbuatannya tidak disukai makhluk walaupun perbuatannya baik, karena mereka tidak bisa melihat hakikat dan kesungguhannya walaupun amal perbuatannya banyak. Karena manusia tidak melihat sekitarnya dan kekuatan jiwanya.

Para Sâlik Malâmatiyah tidak ‘ujub (menganggap baik) terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mampu menjaga dirinya dari ‘ujub. Barangsiapa senang terhadap perbuatan baik manusia tidak senang terhadapnya. Barangsiapa memilih dirinya sendiri maka kebaikan tidak akan memilihnya.

Azazil (nama asli Iblis) (Nashâih al-Îbâd, halaman: 57) sangat dicintai makhluk. Sementara Allah SWT dan para malaikat tidak menyukai Iblis. Karena Azazil atau Iblis menganggap dirinya lebih baik dari nabi Adam As., sehingga Iblis tidak disukai dan akhirnya mendapat laknat Allah SWT

…. فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴿٣٤﴾

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ ﴿٧٦﴾

Malaikat merupakan makhluk Allah SWT yang sangat menyukai kebaikan sehingga anak Adam As. tidak menyukai kebaikan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Pada ayat tersebut mirip ungkapan malaikat yang sangat mencintai amal baik, sedangkan reaksi dari anak adam adalah tidak menyukai para malaikat. Sementara para malaikat pada saat mengungkapkan hal itu tidak mempunyai sifat ‘ujub (membanggakan) terhadap diri sendiri.


قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا …. ﴿٢٣﴾

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.

Sehingga para malaikat disenangi kebaikan, sebagaimana firman Allah Swt:

فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْماً ﴿١١٥﴾ (طه: 115)

…Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.

Mulamatiyah juga dikenal dengan Mulamiyah, Mulamiyah adalah orang yang tidak menampakkan sesuatu yang ada dalam batin terhadap lahirnya akan tetapi mereka adalah bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan keikhlasan, dan mereka juga adalah pimpinan dan Imâm ahli tarekat (jalan menuju Allah) dan juga pemimpin alam semesta, di antaranya adalah Nabi Muhammad SAW dan mereka meletakkan sesuatu sesuai dengan ketetapan alam ghaib artinya mereka tidak menyalai kehendak dan pengetahuan Allah, mereka tidak menafikan sebab musabab terjadinya sesuatu kecuali pada peniadaan dan penetapan yang sesuai pada tempatnya. Barang siapa yang meniadakan sebab musabab pada tempat yang seharusnya ditetapkan maka dia termasuk orang-orang bodoh. Barangsiapa berpedoman pada tempat penetapan dengan peniadaan maka dia termasuk menyekutukan dan mengingkari. Wali mulamiyah merupakan orang yang masuk pada kategori sabda Rasulullâh SAW:

أَوْلِيَائِيْ تَحْتَ قَبَابِيْ لَايَعْرِفُهُمْ غَيْرِيْ

(al-Ta’rifât, halaman: 227, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 67).

Muamalah Tarekat Malâmatiyah

  • Malamah Istiqamah Sirri:

Sâlik selalu menyendiri dalam amal ibadahnya, selalu bersungguh-sungguh menjaga agamanya, dan hubungan muamalahnya. Sehingga para manusia mencaci-maki sementara Sâlik ini tidak memperdulikan dan mengabaikan hinaan tersebut.

Sâlik dalam tahap ini meniadakan sifat munafik dalam hati, meninggalkan riya’, tidak takut dihina makhluk, tetap berjalan pada prinsip-prinsip tiap ahwal, sanjungan dan hinaan terasa sama oleh Sâlik, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 261).

Diceritakan bahwa Syaikh Abû Thahir al-Harami pada suatu hari menunggang keledai yang berjalan menuju ke arah pasar, salah satu muridnya menghalau keledai tersebut dengan memegang tali kendalinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berteriak “ini (Abû Thahir al-Harami) adalah syaikh Zindiq, dan disahut oleh orang-orang pasar yang lain”. Ketika mendengar teriakan ini, salahsatu murid ingin membalas dengan melempari batu terhadap penghina tanpa kehendak gurunya. Lalu syaikh Abû Thahir al-Harami berkata kepada muridnya: “Jika Engkau tetap diam aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu agar engkau bisa selamat dari cobaan ini.” Maka muridpun diam. ketika keduanya kembali ke tempat pemondokannya, maka sang guru berkata kepada muridnya: ambillah kotak itu dan keluarkan isinya berupa beberapa Surat, kemudian sang guru berkata kepada muridnya: Lihatlah!, Saya telah memberikan Surat ini kepada beberapa orang, dan masing-masing dari mereka memberikan julukan yang berbeda diantaranya memberikan julukan syaikh seorang pemimpin, dan yang lain memberikan julukan syaikh seorang yang cerdas, ada yang memberikan julukan syaikh seorang yang zuhud, ada yang memberikan julukan syaikh al-Haramain dan lain-lain, semuanya adalah laqab bukan sebuah nama. Semua itu mengatakan dengan dasar keyakinan mereka masing-masing.

  • Malamah al-Qashd

Adapun seseorang yang menyengaja tarekat Malâmatiyah, meninggalkan pangkat dan kedudukan, meninggalkan bergaul dengan makhluk, maka hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Amîrul Mukminîn Utsman Ibn Affan RA., ketika beliau sedang berada di kebun kurma, beliau sedang memikul kayu sedangkan beliau mempunyai 40 pembantu, lalu seorang pembantu berkata kepadanya, ya AmîRAl Mukminîn apa yang baginda lakukan? Beliau menjawab: (saya ingin melatih hati saya). Hal ini saya lakukan sampai saya bebas melakukan apapun tanpa adanya halangan antara saya dan kedudukan saya. Hal inipun juga dilakukan oleh Imam Abû Hanifah.

Kisah yang sama juga dikisahkan oleh Abu Yazid al-Busthami ketika beliau hendak ke Madinah, semua orang keluar untuk menyambut dan memuliakannya, dan ketika semua orang memberikan pujian kepadanya, maka masuklah Abu Yazid al-Busthami ke pasar dan beliau mengeluarkan roti dari dalam sakunya dan kemudian  memakannya, dan kejadian ini berada pada bulan RAmadhan. Maka kembalilah semua orang dan meninggalkan beliau sendirian.

  • Malamah al-Tark

Adapun orang yang tarekatnya meninggalkan pangkat dan kedudukan dan memilih sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, maka dia akan mengatakan: saya adalah orang yang sedang masuk dalam tarekat malamah, pendapat ini adalah pendapat yang sesat, bahaya yang nyata dan benar-benar gila. Sebagaimana pendapat mayoritas orang-orang pada zaman sekarang, adapun yang dimaksud meninggalkan makhluk adalah menerima makhluk, karena kewajiban seorang manusia pertama adalah diterima oleh makhluk kemudian berusaha untuk menolaknya.

Adapun tarekat ini disebar-luaskan oleh Hamdûn ibnu Ahmad ibnu  ‘Ammârah al-Qashshâr. Beliau berkata: (al-Malamah adalah meninggalkan keselamatan). Ketika seseorang meninggalkan keselamatannya, maka dia akan melakukan beberapa cobaan dan meninggalkan semua hal-hal yang disenanginya, karena berangan–angan ingin menggapai keagungan Tuhan dan akhirat, sehingga dia cuek dengan makhluk dan meninggalkannya. Semakin cuek dan meninggalkan makhluk, maka semakin dekatlah dia kepada Tuhannya. Maka segala sesuatu yang diterima oleh semua makhluk, itulah keselamatan, dan ini ditujukan kepada Ahlu malamah, agar semua prasangka makhluk berbeda dengan prasangka Ahlu malamah dan prasangka Ahlu malamah berbeda dengan prasangka para makhluk. Baca juga:  Kisah-Kisah Spiritual: Pertemuan Para Burung

Hakikat mahabbah yang terindah adalah berada dalam tarekat malamah, karena caci makian seorang yang dicintai tidak memberikan dampak pada yang dicintai, dan tidak membuat lari kekasih kecuali masuk ke wilayah kekasihnya, tidak ada getaran jiwa selain kepada kekasihnya, karena tarekat Malâmatiyah merupakan taman orang-orang yang rindu pada kekasih.

Golongan ini khusus dicaci secara fisik karena keselamatan hati. Derajat ini tidak bisa diperoleh oleh malaikat muqarrabîn karubiyyin ruhaniyyin, manusia (ahli zuhud, ahli ibadah) kecuali Sâlik tarekat ini yaitu orang-orang yang menjalankan tarekat dengan memutus tali temalinya hati, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Sumber: Alif.ID

47. Ketetapan Malamatiyah

Ketetapan-ketetapan Malamatiyah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak menampakkan dan tidak menyembunyikan kejelekan. Artinya, Sâlik Malâmatiyah melakukan sesuatu dengan ikhlâs, melaksanakan sesuatu dengan kesungguhan hati tidak suka menunjukkan amal (zhahir) dan hal (amal hati atau batin) kepada seseorang;
  2. Sâlik Malâmatiyah berpegang teguh pada keikhlâsan, mereka memandang bahwa menyembunyikan ahwal (keadaan hati/batin)merasa nikmat, jika sampai amal ahwal mereka terlihat oleh seseorang sehingga Sâlik merasa gelisah sebagaimana orang yang berbuat maksiat merasa gelisah karena kemaksiatannya diketahui orang;
  3. Sâlik Malâmatiyah lebih mengedepankan keikhlâsan, sementara para shufi menghilangkan keikhlâsan.

Abû Ya’qub al-Susi berkata: “Ketika Sâlik Malâmatiyah menemukan keikhlâsannya secara ikhlâs maka mereka butuh keikhlâsannya dengan ikhlâs”. Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Ikhlâs yang benar adalah melupakan pandangan kepada makhluk dengan terus menerus memandang kepada Allah SWT yang haq, sementara Sâlik Malâmatiyah memandang makhluk sehingga dia menyamarkan amal dan halnya”.

Ja’far al-Khâlidi bertanya kepada Imâm Junaid (Baghdad, w. 297 H/910 M.) tentang perbedaan ikhlâs dan shiddiq. Imâm Junaid berkata: “Shiddiq adalah pokok dan permulaan, sementara ikhlâs adalah cabang dan yang mengikuti, keduanya juga memiliki perbedaan karena ikhlâs tidak akan muncul sebelum ada perbuatan”.

Imâm Junaid berkata : “Ikhlâs adalah kemurnian dan pemurnian, dimana kemurniannya terbentuk dalam proses pemurnian itu”. Keadaan Sâlik Malâmatiyah berupa keikhlâsan seperti ini, sedangkan proses pemurniannya merupakan keadaan para shufi dan kemurnian yang terbentuk dari proses itu merupakan hasil.

Sâlik Malâmatiyah menyembunyikan keadaan mereka untuk 2 hal:

  1. Mewujudkan kejujuran dan keikhlâsannya;
  2. Untuk menutupi keadaannya dari rasa cemburu orang lain.

Diceritakan dari Ibrâhîm bin Adham beliau berkata: “Aku sampai di suatu desa bersamaan hujan yang lebat, angin musim dingin mengenaiku, sehingga tambalan bajuku robek, kemudian aku sampai di masjid dan aku tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid itu, aku mencoba masuk kedua dan ketiga kalinya sehingga aku lelah tak berdaya. Tiupan angin dingin hampir membinasakanku kemudian aku masuk ke pemandian, aku mengeringkan pakaianku di atas api, sampai-sampai asap api mengenai pakaian dan wajahku, keadaan itu sampai tengah malam”.

Ibrâhîm bin Adham adalah salah satu `ulama’ besar pada zamannya yang dalam perjalanannya kehujanan, beliau mencari tempat berteduh di masjid, dan oleh petugas masjid sampai tiga kali. Ibrâhîm bin Adham tidak marah dan mencari tempat lain untuk berteduh, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Zikir Tarekat Malâmatiyah

Dalam tarekat Malâmatiyah zikir dibagi menjadi 4 macam:

  1. Zikir Lisan: dilaksanakan Sâlik dengan menggunakan lisan sementara hatinya lupa, Sâlik masih mengharapkan pahala atau ingin mencapai maqâm-maqâm tertentu dan ingin diterima di kalangan tertentu. Ini adalah zikir Sâlik umum;
  2. Zikir Qalb (hati): setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan dengan baik, selanjutnya Sâlik menghentikan zikir lisan dan beRAlih melaksanakan zikir qalb (hati).

Sâlik pada tahap ini menghitung kenikmatan-kenikmatan yang diterima sementara dia lupa terhadap dzat pemberi nikmat, sibuk memperhatikan karunia lupa terhadap pemberi karunia, ingin mendapat pahala, merasa sudah mencapai maqâm-maqâm tertentu. Ini adalah bentuk terendah dari kedudukan terendah dan paling jauh. Munculnya keinginan batin yang memandang pada tujuan sebagai pertimbangan perwujudan awal;

  1. Zikir Sirri: setelah Sâlik melaksanakan zikir lisan dan qalb lalu Sâlik menghentikan kedua zikir tersebut dan beRAlih melakukan zikir sirri.

Kendala yang ada pada zikir sirri adalah terpautnya pengaruh zikir qalb.

Zikir sirri adalah zikir keagungan, disebut juga Haibah atau zikir sifat, ini mulai diRasakan Sâlik sebagai pendekatan (Taqarrub). Zikir ini menimbulkan Rasa takut, tunduk dan khawatir. Timbulnya Rasa khawatir (Haibah), Rasa wujud dan ini kebalikan Fana’;

  1. Zikir Ruh: setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan, qalb dan sirri lalu Sâlik menghentikan ketiga zikir tersebut dan berganti dengan zikir ruh. Kendala awal yang dialami oleh Sâlik pada zikir ruh adalah munculnya zikir sirri terhadap ruh. Ini adalah zikir musyahadah, (Majmû’ah al-RAsâil al-Imâm al-Ghazâli fi RAudhah al-Thalibîn, halaman: 104-105).

Secara muamalah tarekat Mulamatiyah menghilangkan kedudukan di dalam hati makhluk dengan cara melakukan sesuatu yang menjadi bahan makian makhluk sehingga hilanglah kedudukan Sâlik Malâmatiyah di dalam hati manusia. Sâlik Malâmatiyah memishakan diri dari kerumunan kehidupan manusia untuk dapat diterima di hadapan Allah SWT Merasa tenang dengan menyembunyikan jati diri dan ditolak oleh manusia umum dan diterima oleh Allah SWT.

Diceritakan bahwa sebagian para Raja bermaksud menemui ahli zuhud, ketika Raja itu sudah dekat, zâhid (orang zuhud) itu meminta makanan dan minuman yang banyak. Dia (zâhid) makan dengan suapan yang besar. Raja yang melihat tingkah zâhid tersebut lalu memalingkan wajah dan pergi. Sang zâhid berkata: ”Alhamdulillah segala puji bagi dzat yang telah memalingkanmu dariku”.

Untuk menghindari kemuliaan yang diberikan oleh Raja atau pemimpin negara, sebagian dari zâhid (bahkan) ada yang meminum-minuman halal yang dimasukkan ke dalam botol khamr (minuman keras). Sehingga para pejabat menyangka bahwa zâhid itu minum khamr, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 255).

Sumber: Alif.ID

48. Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (1)

Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi memiliki julukan (laqab) Abû al-Qâsim. Julukan “al-Qawariri” disandarkan kepada profesi ayahnya, penjual kaca. Al-Junaid kemudian mendapat julukan al-Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.

Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 5). Al-Junaid adalah salah seorang shûfi terkemuka di samping seorang ahli fikih.

Dalam fikih, beliau bermazhab kepada Imâm Abû Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam mazhab tersebut saat usianya masih 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya, dan sufi terkemuka lainnya.

Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 370).

Al-Junaid salah sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu, banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islâm.

Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli makrifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang ia telah melakukan semua hal,  sehingga boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan”.

“Lalu al-Junaid berkata kepadanya: ‘Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala amal perbuatan akan gugur. Ini bagiku adalah suatu pendapat yang sangat berbahaya. Seorang pezina dan pencuri bahkan jauh lebih baik dari pada orang yang berpendapat seperti itu. Sesungguhnya orang-orang yang arif billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt., karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali.”

“Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh Swt. kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.

Meninggalkan kelezatan dunia

Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak menjalankan tasawuf dengan banyak bicara saja (al-qil wa al-qâl). Tapi kita melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allâh Swt yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 372).

Sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh Saw.: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…”.

Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh Swt. tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh Saw. dalam setiap keadaannya”.

Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.

Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal Alquran dan tidak menulis hadis-hadis Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan Alquran dan Sunnah”. Sikap wara’, zuhud, taqwâ, tawâdhu’, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid.

Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.

Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka’at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka’at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Sumber: Alif.ID

49. Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (2)

Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang kemegahan dunia. Jawabnya, “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.

Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka’at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka’at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Banyak sekali karâmah yang dianugerahkan oleh Allâh Swt. kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya; suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir seraya bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits Nabi Saw.:
اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
Takutilah pada firasat seorang mu’min, karena ia melihat dengan cahaya dari Allâh Swt”. (Artinya penglihatan seorang mu’min yang saleh itu memiliki kekuatan).

Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, perkataanmu benar, dan firasatku menyuruh untuk melepaskan simbol kekafiranmu, masuk Islâmlah engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islâm”.

Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islâm, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 374 dan Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 2, halaman:10 dan Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:15 ).

Suatu hari, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al-Baghdadi menderita sakit mata. Beliau pun memanggil seorang tabib. Tabib itu berkata: “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air”.

Namun ketika tiba waktu saalat, Syaikh Junaid malah berwudhu’, saalat, kemudian tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah suara berkata: “Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridha-an kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan kami kabulkan’.”

Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan. ”Aku berwudhu’ untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.

Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh junaid, yang sakit bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.” Sahut tabib. (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 376-377).

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk disembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak dapat melaksanakan perintah Syaikh yang begitu mudah.

Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana.

Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan cara demikian, ia pikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allâh Swt.) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allâh Swt.) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allâh Swt.) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat dimana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada di situ selalu ada Dia (Allâh Swt). Demikian jawaban dari santri muda tersebut.

Al-Junaid wafat hari Jum’at, riwayat yang lain hari Sabtu tahun 297 H. atau 910 M. Abu Bakar al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya.

Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abû Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah namun sebelumnya beliau telah mangkhatamkan al-Qur’an karim. (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:17)

Sumber: Alif.ID

50. Sejarah Perkembangan Tarekat Junaidiyah

Awal pendidikan al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari al-Saqathi, yang dikenal sebagai seorang shufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya.

Ketika usianya 20 tahun, al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqih pada Abu Thawr, seorang faqih yang kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqih, al-Junaid beralih menekuni tashawwuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tashawwuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan shufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu al-Junaid dalam shufisme telah cukup matang.

al-Junaid terkenal dengan seorang shufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak.

Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya kepada Sari al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?” Sari al-Saqati menjawab, “Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370).

Lebih jauh al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Shufi memiliki:

  1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
  2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
  3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub As.;
  4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria As.;
  5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya As.;
  6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
  7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
  8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad Saw, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 387).

Sumber: Alif.ID

51. Sanad, Silsilah, dan Amalan Tarekat Imam Junaid

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa satu disiplin ilmu (silsilah al-rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lain hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri yaitu Rasulullah SAW. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan, satu paket. Seluruh ilmu Islam memiliki sanad, yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran sesuai maksud pembuat syariat, Allah SWT dan Rasul.

Di antara sebab “kebalnya” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dari berbagai upaya untuk merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran dari  nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Adanya berbagai perubahan pada ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh para nabi itu, karena tidak memiliki sanad.

Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW, yang tidak dikaruniakan kepada umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah SAW akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imâm Ibn Sirin, ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْحِ)

“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imâm Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîh-nya).

Imâm ‘Abdullâh ibn al-Mubarak berkata;

الإسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata tentang urusan agama terhadap apapun yang ia inginkan”.

Silsilah tarekat Imam Junaid

Silsilah tarekat imâm Junaidî sampai Rasulullah SAW adalah:  Imâm Ma’rûf al-Karkhi dari Imâm ‘Alî al-Ridlâ, dari Imâm ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadzîm, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far al-Shâdiq, dari ayahnya sendiri; Imâm Muhammad al-Baqîr, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imâm al-Husain (Syahîd Karbala), dari ayahnya sendiri; Imâm ‘Alî ibn Abî Thalib, dari Rasulullah SAW.

Lihat mata rantai berikut:

Rasulullah SAW

Imâm ‘Alî ibn Abî Thalib

Imam al-Husain (Syahîd Karbala)

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin

Imîm Muhammad al-Baqîr

Imam Ja’far al-Shâdiq

Imam Musa al-Kadzîm

Imâm ‘Alî al-Ridlâ

Imâm Ma’rûf al-Karkhi

Imâm al-Sirri al-Saqthi

Imâm al-Junaid al-Baghdâdi

Amalannya: Salawat Kubra

اَلْفَاتِحَةُ إِلَى رُوْحِ وَلِيِّ اللهِ سَيِّدِنَا الْإِمَامِ جُنَيْدِ الْبَغْدَادِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ نَفَعَنَا بِهِ وَ بِعُلُوْمِهِ وَ اَسْرَارِهِ فِى الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الفاتحة)

بسم الله الرحمن الرحيم

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْمُرْسَلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ النَّبِيِّيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الصِّدِّيْقِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الرَّاكِعِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْقَاعِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ السَّاجِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الذَّاكِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْمُكَبِّرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الطَّاهِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الظَّاهِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الشَّاهِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْاَوَّلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْآخِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَارَسُوْلَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا نَبِـيَّ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَاحَبِيْبَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ اَكْرَمَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ عَظَّمَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ شَرَّفَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ اَظْهَرَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنِ اخْتَارَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ صَوَّرَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ عَبَدَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا خَيْرَ خَلْقِ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا خَاتِمَ رُسُلِ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سُلْطَانَ الْأَنْبِيَاءْ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا بُرْهَانَ الْأَصْفِيَاءْ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـصْـطَـفٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـــعْــلٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـجْـتَـبٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُــزَكَّـى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَــكِّــيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَــدَنِـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا عَـرَبِـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا قُرَشِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا هَاشِمِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا اَبْطَحِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا زَمْزَمِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا تِهَامِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا اُمِّـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ وَلَدِ آدَمَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا أَحْمَدُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـحَمَّدُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا طٰـهٰ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا يٰس

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُدَثِّرُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ الْكَوْثَرِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا شَفِيْعُ يَوْمَ الْمَحْشَرِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ التَّاجِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ الْمِعْرَاجِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْمُحْسِنِيْنُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْنِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ النَّعْلَيْنِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَا رَسُوْلَ الله، يَاخَاتِمَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَا نَبِيَّ الله، إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

52. Tarekat Ghazaliyah

Tarekat Ghazaliyah dinisbatkan kepada Abu Hamid Muhammad aL-Ghazali (lahir 450 H./ 1111 M.) Mujaddid abad ke-5 Hijriyah. Ghazaliyah merupakan tarekat yang terbesar pada masanya dari ahlu sunnah wa al-jamaah. Tarekat ini menyerap kelebihan-kelebihan dari tarekat pendahulunya serta memberikan corak yang jelas terhadap tarekat-tarekat sesudahnya, sampai sekarang (al-Adab al-Shufî fi al-Maghrab wa al-Andalus, halaman: 52).

Hamid Muhammad aL-Ghazali dilahirkan di kota Tunis, satu kota di Khurasan (450 H./ 1111 M). Orang tuanya pedagang yang bertakwa, memiliki toko yang menjual hasil tenunan sendiri di kota Khurasan. Orang tuanya sering menghadiri majlis fuqahâ’, majlis wu’azh (nasihat) untuk mengikuti pengajian, dan selesai pengajian selalu berdoa agar diberi anak yang ahli fikih dan ahli nasihat.

Kesungguhan orang tua Imam Ghazâli berbuah manis yaitu diberi rizki oleh Allah SWT dua orang anak laki-laki;

1). Ahmad Abu Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazâli, yang dijuluki sebagai mujtahid madzhab Syafii. Beliau terkenal sebagai penasihat yang tampan wajahnya, pemilik beberapa karamah dan ahli memberikan isyarat. Beliau menggantikan saudaranya (Imam Ghazâli) mengajar, ketika Imam Ghazâli meninggalkan Nidhamiyah karena  melaksanakan zuhud. Beliau meninggal tahun 520 H di Baqzawin (al-Ghazâli, Ihyâ’ Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).

2) Muhammad Imam Ghazali yang menjadi mujtahid madzhab Syafii (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383 dan al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).

Imam al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dan Alquran dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani di kota Thusi, kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr al-Isma’ili dan menulis buku al-Ta’liqât. Kemudian pulang ke Thusi, (al-Subki, Thabaqât al-Syafiiyah, juz 6, halaman: 195. dan Muhammad abu yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383.  dan al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8. dan  Insklopedi Islâm, jilid 2, Jakarta: 1993, halaman: 25)

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fiqih mazhab Syafii dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang berbeda pendapat dengannya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu al-Juwaini.

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazâli ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para `ulamâ’ dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana.

Maka pada tahun 484 H., beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah an-Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Di sinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal dan mencapai kedudukan yang sangat tinggi. Pengajian Imam Ghazâli dihadiri 300 ulama dan 100 pimpinan pemerintah Baghdad.

Penduduk kota Baghdad takjub dan mengagungkan Imam Ghazâli, sehingga Imam Ghazâli menjadi ulama dalam berbagai bidang keilmuan yang sangat berpengaruh di kota Baghdad dan Khurasan. Ia menjadi tokoh terkemuka di zamannya baik dalam bidang keilmuan, pemikiran, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 385).

Setelah kemasyhuran diperoleh, maka datanglah ujian dan cobaan dari Allah SWT berupa keragu-raguan yang mendalam. Beliau meragukan kebenaran yang ditangkap oleh panca indera dan akalnya, beliau berusaha mengobati dengan potensi keilmuan dan akalnya, tapi tidak sembuh bahkan menjadi semakian kuat keraguannya.

Hatinya terserang badai dalih yang tidak terselamatkan, kecuali dengan pertolongan al-Ilahiyyah. Penyakit ini berlangsung dua bulan, sampai Allah SWT memberi kesembuhan  dengan nur Ilahi (cahaya Tuhan) yang dipancarkan ke hatinya, dan nur ilahi itu menjadi kunci pokok beberapa pengetahuan.

Imam Ghazâli mengomentari tentang kesembuhannya, “Barang siapa yang menyangka keterbukanya hati hanya dengan  sebuah dalil, maka dia mempersempit rahmat Allah SWT, padahal rahmat Allah SWT sangat luas”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Ketika  menjawab pertanyaan sahabat tentang Firman Allah SWT:

فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَآءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿١٢٥﴾ [الأنعام: 125]

Maka Nabi SAW Menjawab: “Pembuka itu adalah nur yang ditancapkan kedalam hati”, sedangkan tanda-tandanya adalah; menjauh dari tipu daya dunia dan kembali ke kehidupan akhirat. Dan akhirnya Imam Ghazâli keluar dari gelapnya keraguan menuju ke cahaya keyakinan dan tenggelam dalam cahaya Ilahi selamanya.

Kemudian Imam Ghazâli pindah menuju negara Syam dan menetap selama dua tahun, dan beliau melakukan `uzlah, khalwat, riyadhah, mujahadah dan membersihkan hati dengan memperbanyak zikir kepada Allah SWT

Kemudian Beliau bertempat di menara masjid Damaskus, dan menutup pintunya  agar beliau bisa menyepi dengan Tuhannya, menutup pintu hatinya untuk melaksanakan zikir dan bertasbih dengan ruh di alam malakut bersama dengan Allah SWT Kejadian itu terjadi selama perjalanan ke Baitul Muqaddas, setiap hari masuk di kubah batu dan menutup pintu kubah agar bisa beribadah, munajat, tafakkur, musyahadah dan menghabiskan waktunya untuk Allah SWT pada kondisi seperti itu Imam Ghazâli mengarang kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddin.

Imam Nawawi mengomentari Kitab Ihyâ’ ‘Uumuddin bahwa Ihyâ’ Ulumuddin hampir-hampir seperti Alquran. Syaikh Abu Hasan al-Syadzili memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membaca kitab Ihyâ’ Ulumuddin, dan beliau berkata, “Kitab Ihyâ’ ‘Ulumuddin bisa memberimu keilmuan”, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 387-389).

Karya-karya Imam Ghazâli :

1). Ihyâ’ ‘Ulumuddin, 2). Tahâfat al-Falâsafah, 3. al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, 4. al-Munqidz min al-Dhalâl, 5. Jawâhir Alquran, 6. Mîzân al-‘Amal, 7. al-Muqshid al-Usna fi Mâ’anî Asma’ Allah al-Husna, 8. Faishal al-Tafarruqah baina al-Islâmi wa al-Zindiqah, 9. al-Qisthâs al-Mustaqîm, 10. al-Mustadzharâ, 11. Hujjah al-Haq, 12. Mufshil al-Khilâf fi Ushûl al-Dîn, 13. Kîmiyâ’ al-Sa’âdah, 14. al-Basîth, 15. al-Wasîth, 16. al-Wajîz, 17. Khulâshah al-Mukhtashar, 18. Yâqut al-Ta’wîl fi Tafsîr al-Tanzîl, 19. al-Mustashfa, 20. al-Mankhûl, 21. al-Muntahil fi ‘Ilmi al-Jadal, 22. Mi’yâr al-‘Ilmi, 23. al-Maqâshid, 24. al-Madhnûn bih ‘ala Ghairi Ahlih, 25. Misykât al-Anwâr, 26. Mahk al-Nadzor, 27. Asrâru ‘Ilmi al-Dîn, 28. Minhâj al-‘âbidîn, 29. al-DaRAr al-Fâkhirah fi Kasyf ‘Ulûmi al-Akhirah, 30. al-Anîs fi al-Wahdah, 31. al-Qurbah ila Allah ‘Azza Wajalla, 32. Akhlâq al-Abrâr wa al-Najâh min al-Asyrâr, 33. Bidâyah al-Hidâyah, 34. al-Arba’în fi Ushûl al-Dîn, 35. al-Dzarî’ah ila Makârim as-Syarî’ah, 36. al-Mabâdi’ wa al-Ghâyât, 37. Talbîs Iblîs, 38. Nashihah al-Mulûk, 39. Syifâ’ al-‘Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta’lîl, 40. Iljâm al-‘Awâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, 41. al-Intishâr, 42. al-‘Ulûm al-Dunniyyah, 43. al-Risâlah al-Qudsiyyah, 44. Itsbât al-Nadzor, 45. al-Ma’khat, 46. al-Qaul al-Jamîl fi al-Radd ‘ala min Ghairi al-Injîl, 47. al-Amâlî, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 23).

Sumber: Alif.ID

53. Dasar-Dasar Tarekat Ghazaliyah

Dasar-dasar Tarekat Ghazaliyah terkumpul dalam istilah Qawaidul ‘Asyrah (al-Ghazâli: Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Dâr al-Fikr: 1996, halaman: 430-432).

  1. Niat yang sungguh-sungguh
  2. Beramal karena Allah SWT tanpa menyekutukan Allah SWT dan persekutuan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.:

اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Tanda-tandanya adalah;

  1. Salik (orang yang berjalan menuju Tuhan) tidak menyukai amal yang tidak benar.
  2. Salik memutuskan segala sesuatu selain Allah SWT, sehingga salik menjauhi makhluk.
  3. Hendaklah salik meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya merasa aman dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebagai salah satu kebaikan Islâm seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berfaidah baginya”.

Jika ketiga pokok ini sudah nyata, maka cabang  yang tumbuh akan membuahkan dekat kepada Allah, maka salik hidup di dunia bermakna akhirat. Rasul bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرَ سَبِيْلٍ وَ عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُوْرِ

  1. Selaras, sesuai dengan kebenaran secara lahir batin, tidak menuruti dorongan nafsu, menjauhkan nafsu dari kesenangannya. Hal itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan meniggalkan kesenangan, sesuatu yang lezat, tempat yang indah dan perselisihan yang didorong oleh nafsu. Barangsiapa membiasakan diri dengan hal ini, maka dia dikeluarkan dari hijab nafsu lalu masuk ke terbukanya hijab. Tidurnya menjadi terjaga dari percampuran dengan mahluk menjadi uzlah bagi salik, dari kenyang menjadi lapar, dari mengaggap diri mulia menjadi hina, dari berbicara menjadi diam, dari mengambil yang banyak menjadi sedikit.
  2. Beramal dengan mengikuti nabi Muhammad SAW. Dengan tujuan salik bukan termasuk orang yang mengikuti dorongan kesenangan, tidak ada pandangan kemegahan pada diri salik, karena orang yang sengaja melakukan amal perbuatan wali itu tidak beruntung.


قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: عَلَىْكُمْ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ لَوْ كاَنَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

  1. Tidak menunda-nunda keinginan yang luhur untuk melakukan amal kebaikan karena menundanya menjadi penyebab kerusakan.

Imam Ghazâli berkata: “Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”. Jika tidak demikian maka salik masuk pada ungkapan: “Barangsiapa yang rela dengan sesuatu yang rendah maka dia terhalang mendapat sesuatu yang lebih tinggi”. Salik yang kamil adalah salik yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW, bukan orang yang membuat aturan sendiri, bukan orang yang keluar dari aturan atau ahli bid’ah.[blockquote align=”right” author=”Imam Ghazali”]“Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”[/blockquote]

قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: (يَا أَحْبَابِيْ عَلَىْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ) قالوا: يا رسول الله و ما السواد الأعظم؟ قال: (مَا أَنَا عَلَىْهِ وَ أَصْحَابِيْ)

  1. Sâlik harus merasa lemah dan hina. Bukan berarti malas melaksanakan taat dan meniggalkan bersungguh-sungguh tapi bermakna lemah melakukan sesuatu kecuali atas kekuasaan Allah SWT yang Maha Pemberi, dan salik memandang mahluk dengan pandangan penuh kewibawaan dan kemuliaan. Karena sebagian mahluk bisa menjadi lantaran (wasilah) bagi sebagian yang lain untuk dapat memandang keagungan Allah SWT Karena berdasarkan kebiasaan-kebiasaan Allah SWT (sunnatullâh) tatkala Allah SWT menghendaki sesuatu maka Allah SWT menetapkan lantaran (wasilah). Jika Allah SWT menghendaki menunjukkan keagungan-Nya maka Allah SWT menyandarkannya pada selain Allah SWT dengan tujuan menjaga kaidah ketertiban.

Ketika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu itu berada dalam kekuasaan Allah SWT dan kembali pada-Nya lalu engkau merasa sombong, maka engkau telah sombong terhadap-Nya, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan engkau sampai kepada-Nya. Maka jadikanlah kelemahanmu dalam kekuasaan Allah SWT. Jadikan tempatmu sebagai alasan untuk sampai kepada-Nya. Kekuasaanmu (pada saat ini) tidak terbentuk karena telah tercabut dalam proses pembentukan.

  1. Khauf dan raja’ secara maknawi. Tidak ada ketenangan dalam keagungan ihsan, kecuali telah ada kenyataannya. Dalam hal ini ada tuntutan khusnuzhan (perasangka baik) dengan sifat murah hati yang baik.
  2. Terus-menerus memiliki hak-hak baik hak Allah SWT atau hak hamba. Karena barangsiapa tidak berusaha memenuhi hak, maka harta bendanya bersumber dari pertolongan. Orang yang berusaha terus menerus akan merasa bosan lalu melepaskan kebosanannya itu. Berbeda dengan orang yang menghilangkan (kepemilikan) amal perbuatan dan ucapannya (ikhlas). Karena nafsu menyebar sifat bosan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Nafsu juga menjaga hak-hak hamba sebagaimana perbuatan makhluk ada yang baik dan buruk. Maka reaksi nafsu salik timbul cinta (ketika baik), timbul benci (ketika perbuatan jelek) dengan apa yang disenangi oleh nafsu akan dicintai dan apa yang dibenci oleh nafsu akan dibenci salik.
  3. Melanggengkan murâqabah kepada Allah SWT.  Hati salik tidak lupa kepada Allah SWT walaupun sekejap mata. Barangsiapa hatinya bisa bermurâqabah terus menerus kepada Allah SWT maka selainnya akan hilang, lalu salik akan menemukan Allah SWT dan kebaikannya. Dengan seperti itu ilmu al-yaqîn bisa engkau dapatkan yaitu engkau menyaksikan beberapa gerakan, diam suatu benda digerakkan dan didiamkan oleh Allah SWT.

Kemudian engkau menambah murâqabahmu hingga engkau naik pada ilmu al-yaqîn dan itu adalah hakikat yakin.

Hakikat muroqobah adalah melirik pada dzat yang mengawasi dengan mengalihkan perhatian kepada-Nya. Muroqobah merupakan keadaan hati yang bisa menjadi buah dari kemakrifatan, amal dhohir dan amal hati (batin). Sementara keadaan hati bisa timbul dengan menjaga hati terhadap dzat yang mengawasi, sibuk dengan-Nya, menoleh, melirik, memperhatikan kepada-Nya.

Adapun makrifat yang menjadikan buah pada keadaan ini (menjaga hati) adalah adanya guru karena Allah melihat terhadap perasaan/suara hati, mengetahui terhadap rahasia yang tersimpan, mengawasi terhadap perbuatan hamba, melaksanakan perbuatan yang dilakukan oleh diri manusia.

Sesungguhnya rahasia hati pada hakikatnya terbuka sebagaimana dzohirnya kulit yang ada pada makhluk juga terbuka akan tetapi terbukanya hati lebih kuat. Sehingga makrifat ini ketika menjadi yakin akan mengurangi keraguan, kemudian makrifat akan menguasai dan memaksa hati.

Terkadang salik diberi pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada keraguan-keraguan, sehingga salik tidak bisa mengontrol hatinya seperti, salik mengetahui tentang kematian. Ketika makrifat menguasai hati maka hati akan melaksanakan penjagaan pada sisi pengawasan dan makrifat memalingkan angan-angannya hanya kepada Allah SWT

Muroqobah dibagi menjadi 2 tingkatan:

  1. Muroqobah al-Muqorrobîn, yang dilakukan oleh shiddiqin (orang-orang yang memiliki kejujuran dan di akhirat di bawah bendera Abu Bakar al-Shiddiq RA) adalah muroqobah keagungan dan kemuliaan.
  2. Muroqobah al-Waro’în, yang dilakukan oleh Ashhab al-Yamîn (orang-orang yang bisa mengendalikan lahir, batin dan hati untuk bisa secara yakin memperhatikan Allah Swt). Adalah melirik pada keagungan, hatinya masih tetap pada batas i’tidal (lurus) tetap berusaha menoleh pada keadaan dan perbuatan, (Ihyâ’ ‘Ulumuddin, juz 4, halaman: 346-347).

Sâlik harus mengetahui sesuatu yang wajib bagi salik untuk menyibukkan diri baik secara lahir dan batin dengan sungguh-sungguh, karena orang yang merugi dan bodoh.

Sumber: Alif.ID

54. Syarat-syarat Menjadi Salik

Kewajiban Sâlik dan orang yang menginginkan menjalankan tarekat (murid) untuk menuju kepada Allah SWT, (Muhammad Amin: Khulashah al-Tashawif fi al-Tasawuf fi Majmû’ah RAsâil lil Imam al-Ghazâli, Dâr al-Fikr: 1996. Halaman: 170-171). adalah sebagai berikut:

  1. Harus beri’tiqad yang benar,
  2. Taubat nashuha,
  3. Meminta maaf dan kerelaan musuhnya sehingga tidak ada hak-hak makhluk yang menjadi tanggungan Sâlik,
  4. Belajar ilmu syari’at menurut kadar, dengan ilmu itu bisa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT, hukumnya tidak wajib mempelajari selain itu. Adapun mempelajari selain ilmu syari’at cukup dengan kadar keselamatannya. Seperti yang di lakukan Imam Syibli, beliau berkata: “Aku telah belajar dan berkhidmat kepada 400 orang guru, Aku mempelajari 4000 Hadis dari mereka, lalu aku memikirkan dan mendalami Hadis itu karena aku melihat keselamatanku ketika mengamalkannya, aku juga melihat bahwa orang-orang dahulu dan orang-orang akhir semuanya masuk dalam kategori Hadis itu yaitu:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ بِقَدْرِ مَقَامِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ بِقَدْرِ بَقَائِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِلهِ بِقَدَرِ حَاجِتَكَ إِلَيْهِ، وَاعْمَلْ لِلنَّارِ بِقَدَرِ صَبْرِكَ عَلَيْهَا.

  • Perjalanan Sâlik dalam Menempuh Tarekat Berputar dalam 3 Pokok:
  1. Khauf (takut kepada Allah SWT) sumber takut kepada Allah SWT berasal dari cabang ilmu, tanda tanda khauf adalah Sâlik berlari menuju Allah SWT
  2. Raja’ (berharap hanya kepada Allah Swt), yang merupakan cabang dari keyaqinan dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm Raja’ adalah mencari kepada yang diyakini (Allah Swt).
  3. Cinta, merupakan cabang dari ma’rifat, dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm cinta adalah mendahulukan terhadap yang dicinta (Allah SWT) dari pada dirinya, keluarga, harta, kedudukan dan lain-lain, jika cahaya (nûr) ma’rifat sudah terpancar dari hati Sâlik maka Sâlik akan meninggalkan kegelapan maksiat anggota tubuh. Jika Sâlik dapat keluar dari jeratan kematian maka Sâlik bersyukur kepada Allah SWT atas pertolongan dan perlindungan-Nya, Sâlik selalu berusaha mengembalikan segala sesuatu kepada Allah SWT karena tidak ada tempat yang patut untuk dijadikan tempat mengungsi dari semua keadaan selain Allah SWT, Sâlik selalu berdo’a kepada Allah SWT minta dizhahirnya dibersihkan dari semua dosa, bathinnya dibersihkan dari cela, dihilangkan kealpaan dari-Nya, dipadamkan syahwat nafsu yang digambarkan sebagai api, istiqamah dalam menjalankan tarekat. Karena cahaya siang sebagai tanda akhirat, dunia digambarkan sebagai malam yang gelap, tidur sama dengan mati, (Minhaju al-Arifin, dalam kitab Majmû’ah al-RAsâil al-Imam al-Ghazâli, halaman: 213).
  • Imam Ghazâli Memberikan Peringatan kepada Sâlik tentang Perubahan-perubahan Hati Sâlik yang Terbagi 4 Macam
  1. RAf’un: hati Sâlik terangkat dengan melakukan zikir kepada Allah SWT Tanda-tanda terangkatnya hati Sâlik dengan 3 hal: a). perilaku Sâlik sesuai dengan aturan syari’at, tarekat dan hakikat yang telah diatur oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW dan para syaikh (mursyid), b). tidak melanggar aturan, c). selalu rindu kepada Allah SWT
  2. Fath: terbukanya hati Sâlik dengan ridha kepada Allah SWT Tanda-tanda terbukanya hati Sâlik ada 3: a). tawakkal, b). jujur c). yaqin
  3. Khafdh: hancurnya hati Sâlik dengan sibuk terhadap salain Allah SWT Tanda-tanda pecahnya hati Sâlik ada 3: a). ‘ujub, b). riya’, c). cinta dunia.
  4. Waqaf: hati Sâlik berhenti (mati) dengan lupa kepada Allah SWT Tanda-tanda hati Sâlik yang mati ada 3: a). hilangnya kenikmatan taat, b). tiadanya Rasa pahit ketika melakukan maksiat, c). mencampur barang halal.

Pesan-pesan Imam Ghazâli tentang Zikir

Jadikan hatimu sebagai kiblat lisan, Rasakanlah kehidupan ibadah dan kewibawaan sifat ketuhanan ketika melakukan zikir, ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui Rahasia-Rahasia hatimu, perbuatan zhahirmu dan mendengar ucapanmu. Maka basuhlah hatimu dengan kesusahan dan hidupkanlah cahaya takut kepada Allah SWT Ketika hijab kealpaan hilang dihatinya, maka keberadaan zikirmu bersama dengan Allah SWT serta Allah SWT menyebut namamu dalam dzat-Nya. Allah SWT berfiman dalam Surat al-‘Ankabut: 45

…. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ….﴿٤٥﴾ (العنكبوت: 45)

…….Karena Allah SWT tidak membutuhkan zikirmu sememtaRA engkau membutuhkan zikir kepada Allah Swt…….

Allah SWT berfiman dalam Surat al-RA’d: 28

….أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾ (الرعد: 28)

Allah SWT berfiman dalam Surat al-Anfal: 2

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ (الأنفال: 2)

Zikir dibagi menjadi 2 : a). zikir yang murni dengan yang sesuai dengan karakter hati (selalu tertarik dengan tarikan-tarikan Ilahi) dalam hal menghilangkan pandangan hati Sâlik terhadap selain Allah SWT, b.) zikir yang bersih dengan hilangnya tujuan zikir (Sâlik berzikir tidak merasa berzikir), (Minhaju al-`Arifin dalam kitab Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 214).

Tarekat ini didirikan oleh al-Ghazâli, seorang shufi, ahli kalam dan ahli filsafat Islâm, karena itu ajaran tasawufnya sangat moderat dan jauh dari penyimpangan.

Menurutnya, tasawufnya terdiri dari dua hal: tulus kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap manusia adalah shufi, Tulus kepada Allah SWT berarti seorang hamba harus mengesampingkan kecenderungan dirinya demi perintah Allah SWT

Menurutnya, Tarekat harus menjalankan dua hal; Melanggengkan zikir kepada Allah SWT dan meninggalkan suatu perkara yang dapat melupan Allah SWT Ini merupakan perjalan kepada Allah SWT, bukan pergerakan musafir dalam perjalannya musafir dan bukan perjalanan musafir itu sendiri, tapi kedua menggambungkan keduanya, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 6).

Berbuat baik terhadap sesama berarti tidak mendahulukan kepentingan di atas kepentingan orang banyak, selama kepentingan mereka tidak bertentangan dengan syara’, karena barang siapa rela terhadap penyimpangan syara’, dia bukan seorang shufi. Andaikata mengaku sebagai shufi, itu adalah kebohongan.

Sumber: Alif.ID

55. Syarat-syarat Masuk Tarekat Ghazaliyah

Sâlik harus memenuhi beberapa syarat sebelum memasuki tarekat, menurut al-Ghazâli memerlukan beberapa syarat yang tidak mudah diantaranya:

  1. Mengedepankan ilmu dari pada ibadah

Dalam pandangan ilmu al-Ghazâli, mendahulukan ilmu dari pada ibadah menjadi wajib, karena dua hal;

Pertama, agar ibadah menjadi sah dan diterima, Kedua, ilmu yang bermanfaat menghasilkan ketakutan dan ketundukan dalam hati kepada Allah SWT.

Dan hal itu akan mendatangkan ketaatan dan mencegah ma`siat dengan pertolongan dan petunjuk Allah SWT Dibalik dua hal ini tidak menyimpan suatu maksud dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT Karena itu, ilmu yang manfaat harus dimiliki seorang shufi, karena itulah masih terdapat prasyarat lain; Pertama, untuk beribadah seorang harus mengetahui sembahannya. Bagaimana menyembah sesuatu yang tidak diketahui keberadaan-Nya dan sifat-sifat-Nya serta apa yang wajib dan yang mustahil bagi-Nya. Barangkali seseorang meyakini sesuatu dalam sifat-sifat-Nya yang menyimpang dari kebenaran, maka ibadah itu laksana debu yang tercerai-berai.

Kedua, seseorang harus mengerti apa yang menjadi kewajiban dan apa yang harus ditinggalkan menurut syara’. Dari uraian ini, al-Ghazâli melihat bahwa ilmu yang harus dikuasai seseorang pelaku tarekat ada tiga macam:

  1. Ilmu tauhid. Batasan minimal yang harus dikuasai Sâlik adalah apa yang dikenal sebagai ilmu dasar-dasar Agama dan kaidah-kaidah dalam ber-akidah.
  2. Ilmu sirr (rahasia). Yaitu ilmu yang berhubungan dengan hati.
  3. Ilmu adat yang terlihat. Yaitu ilmu yang berhubungan dengan anggota tubuh, badan dan harta.

Setelah Allah memberikan pengetahuan kepada apa yang wajib diketahui, apa yang wajib dijalani serta apa yang harus ditinggalkan, seorang murid barulah diperkenankan menghadap Imam/ Syaikh, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 14).

  1. Mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan seluruh ikatan dan tulus kepada Allah SWT

Menurut al-Ghazâli, tarekat adalah mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan semua ikatan dan tulus dengan subtansi cita-cita. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama-tama ia menyendiri dalam zawiyah berkonsentrasi dengan ibadah-ibadah, baik yang fardhu maupun rawatib, dan duduk dengan hati yang hanya dipenuhi keinginan berzikir kepada Allah SWT Kemudian mengulang-ulang sebutan “Allah” dengan lisannya secara menghadirkan segenap hati dan perasaannya sampai pada suatu kondisi tertentu. Kondisi dimana seandainya gerakan lisan telah berhenti dan beralih menuju alam pikiran, terlihat seakan-akan lafadz itu tetap terucap dari lidahnya karena seringnya pengulangan.

Kondisi ini berlangsung sampai pengaruh lisan benar-benar hilang disusul oleh gerakan batin dan hati secara terus-menerus. Setelah itu barulah yang tertinggal dalam hati hanya sebatas makanan yang dimaksud, tidak lagi mengindahkan huruf-huruf dan struktu-struktur kalimat. Seorang murid hanya berikhtiar sampai batas ini. Setelah itu hanya berkewajiban menjaga diri dari Rasa was-was yang bisa mengganggu konsentrasinya. Jika semua ini telah dilewati, ia tinggal menanti apa yang akan muncul padanya, sebagaimana terjadi pada para wali. Dan itu adalah sebagian dari yang dialami para Nabi.

Simâ’ dan Adabnya

Derajat pertama dalam simâ’ yaitu faham pada sesuatu yang didengar dan bisa menangkap ma’na sesuatu yang didengar oleh pendengar, kemudian pemahaman tersebut membuahkan al-wajdu (keadaan hati), al-wajdu bisa menggerakan anggota tubuh lahir tanpa pertimbangan, hal ini disebut al-Idlthirâb, adapun gerakan yang menggunakan pertimbangan disebut dengan al-roqsh (menari dengan gerakan teratur) dan al-Tashfîq (menari sambil tepuk tangan).

Simâ’ bagi salik bisa menghasilkan keadaan jiwa bermuamalah kepada Allah, merubah keadaan salik dari keadaan (hâl) satu ke keadaan (hâl) lainnya karena tidak ada tujuan bagi murid kecuali ma’rifat, wushûl kepada Allah dengan cara musyâhadah secara sirri dan membuka tutup hati, hal-hal yang terjadi ketika salik simâ’, adakalanya salik mencela dirinya sendiri atau menerima percakapan atau menerima sesuatu, atau menolak atau wushûl atau diam atau mendekat atau menjauh atau rindu kepada penantian atau rindu pada yang akan terjadi atau muncul harapan atau putus asa atau galau/kesediahan atau merasa tentram atau bisa menerima janji dst, (Ihya’ ‘Ulûm al-dîn, juz 2, hlm. 257).

Adab simâ’, Salik harus mengikuti aturan ilmu tentang ma’rifat kepada Allah dan sifat-Nya jika tidak maka simâ’ bisa berakibat buruk pada salik.

Sumber: Alif.ID

56. Melanggengkan Zikir, Fikir dan Wirid

Tarekat Ghazâliyah memiliki perhatian besar terhadap zikir, fikir dan wirid. Dengan zikir terus-menerus akan melahirkan Rasa cinta (mahabbah), dan dengan fikir yang tidak terpurus akan mencapai ma’rifat.

Tarekat Ghazâliyah berusaha mengantarkan murid menuju ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT selama di dunia. Seorang hamba jika telah mencintai Allah SWT selama di dunia, dia akan meninggalkan dunia ini dengan kecintaannya kepada-Nya. Demikian pula jika telah mencapai ma’rifat  kepada Allah SWT di dunia, ia akan mati dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya.

Jika seorang hamba mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT, jalan untuk menuju pertemuan dengan Allah SWT di akhirat akan terhampar di hadapannya. Jika telah bertemu Allah SWT di akhirat, maka ia telah selamat.

Al-Ghazâli berkata: “Tidak ada keberuntungan selain bertemu kepada Allah SWT Dan tidak ada jalan untuk bertemu dengan-Nya, kecuali mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Mahabbah tidak akan tercapai tanpa membiasakan zikir kepada kekasih. Dan ma’rifat kepada-Nya tidak akan tercapai tanpa berfikir tentang sifat-sifat-Nya. Tidak ada eksistensi selain Allah SWT dan perbuatan-Nya.

Tidak mudah untuk dapat berzikir dan berfikir sebelum meninggalkan hal-hal keduniaan, kecuali sebatas keperluan dharuratnya. Semua itu tidak akan tercapai secara sempurna tanpa menyita waktu siang-malam dengan kegiatan zikir dan fikir.

Dengan dasar ini al-Ghazâli menyusun wirid-wirid untuk siang dan malam yang bertujuan mensucikan hati, membersihkan dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah SWT dan perasaan dekat kepada-Nya.

Di samping kumpulan wirid yang disusunnya,  al-Ghazâli juga membuat rincian untuk wirid-wirid siang maupun malam.

Wirid siang ia rinci menjadi tujuh dalam empat waktu:

  1. Satu wirid antara waktu shubuh hingga terbit matahari.
  2. Dua wirid antara waktu terbit hingga tengah hari.
  3. Dua wirid antara tengah hari dan waktu `ashar.
  4. Dua wirid antara `ashar dan maghrib.

Wirid malam, yang terinci menjadi lima dan terbagi dalam lima waktu:

  1. Satu wirid dari terbenam matahari sampai hilang mega merah.
  2. Satu wirid dari waktu `Isyâ’ sampai menjelang waktu tidur masyarakat.
  3. Satu wirid di waktu tidur.
  4. Satu wirid selepas tengah malam hingga menjelang seperenam akhir malam.
  5. Satu wirid dalam seperenam akhir malam (waktu sahur).

Selain wirid-wirid yang terbagi secara terperinci itu, al-Ghazâli memposisikan fikir sebagai ibadah yang harus dijalankan murid sebagaimana ibadah-ibadah lain. Jadi, dalam fikir terkandung makna zikir kepada Allah SWT dengan dua kelebihan: Pertamakelebihan dalam ma’rifat, karena fikir merupakan kunci menuju ma’rifat dan pembuka al-kasyf. Keduakelebihan dalam mahabbah, di mana hati tidak akan merasa cinta sebelum meyakini kebesaran-Nya. Sementara keagungan-Nya tidak akan terbaca sebelum mengetahui sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya dan keajaiban ciptaan-Nya. Jadi, dari fikir tercapai ma’rifat, dan ma’rifat muncul rasa kagum (pengagungan) dan dari rasa kagum tumbuh rasa cinta.

Dikatakan bahwa zikir juga dapat menumbahkan rasa senang (al-‘uns)yang merupakan bagian dari mahabbah. Akan tetapi, rasa cinta yang lahir melalui ma’rifat lebih kuat dan lebih agung.

Perbandingan mahabbah orang ‘ârif (ahli ma’rifat) dengan ahli zikir yang tidak melihat dengan sempurna, bagaikan kecintaan orang yang menyaksikan keindahan seseorang dan ketinggian budi pekerti serta tingkah lakunya dengan rasa cinta orang yang sekedar mendengar sifat-sifatnya tanpa pernah melihatnya secara langsung. Maka kecintaannya terhadap orang yang didengar kebaikannya tidak seperti kecintaan orang yang menyaksikan kebaikan itu secara langsung. Karena berita bukanlah sebagaimana penglihatan.

Dan alasan ini, sesungguhnya rasa cinta seorang ‘ârif berbeda dengan rasa cinta ahli zikir. Imam al-Ghazâli berkata:

“Hamba yang membiasakan zikir kepada Allah SWT dengan hati dan lisan, dan membenarkan risalah Nabi SAW dengan keimanan yang tulus, tiada ungkapan mereka akan keindahan sifat-sifat Allah SWT pada diri mereka selain sebagai anugerah paling indah yang mereka yakini dengan membenarkan dzat yang telah menghiaskannya pada diri mereka, Orang ‘ârif adalah mereka yang menyaksikan keagungan dan kebaikan dengan mata bathin yang lebih tajam daripada mata lahir, karena tidak ada seorang pun yang sanggup menyentuh substansi keagungan dan keindahan-Nya, Hal itu tidak terjangkau oleh siapapun. Orang hanya sanggup menyaksikan sebatas apa yang terbuka baginya. Keindahan Tuhan tiada bertepi, demikianpun hijab-Nya”.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan tertinggi dan urutan zikir dalam tarekat Ghazâliyah adalah zikir lisan, hati dan terakhir secara bersama, dan terakhir adalah zikir dengan lisan saja.

Sumber: Alif.ID

57. Wirid Siang Tarekat Ghazaliyah (1)

Wirid Siang terperinci menjadi 7, masing-masjng memiliki waktu tertentu:

  1. Dari shubuh hingga matahari terbit, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 335-342)., susunannya sebagaimana keterangan al-Ghazâli berikut ini:

Ketika bangun dan tidur, hendaknya berzikir kepada Allah dengan bacaan:

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيٓ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

Bacaan ini disempurnakan hingga selesai sebagaimana telah ditulis dalam buku kumpulan do’a-do’a. Selama berdo’a memakai pakaian dengan niat menutup aurat sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT Berdo’a kepada Allah SWT dalam beribadah tanpa bermaksud riya’, kemudian menuju ke kamar mandi (jika ada perlunya), mendahulukan kaki kiri dan membaca do’a yang telah di sebutkan dalam kitab thaharah saat masuk atau keluar. Kemudian bersiwak (membersihkan mulut) dan berwudhu’ dengan tetap memperhatikan hal-hal sunnah serta membaca do’a yang telah disebutkan dalam kitab thaharah. Di sini kami hanya menyebutkan salahsatu bentuk ibadah sekedar untuk memperlihatkan sisi susunan dan urutannya saja.

Selepas wudhu’ mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, lebih utama dikerjakan di rumah sebagaimana telah dilakukan Rasulullah SAW Selesai shalat di rumah atau di masjid membaca do’a yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:

اللهم إِنِّيٓ أَسْأَلُكَ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِكَ تَهْدِى بِهَا قَلْبِي

Kemudian keluar rumah menuju masjid dengan berjalan tenang, tidak tergesa-gesa dan tetap sopan sebagaimana anjuran sunnah.

Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca do’a masuk masjid. Di dalam masjid diusahakan mencari tempat atau barisan paling awal jika memungkinkan. Tidak memaksakan diri jika tempatnya telah penuh sebagaimana dijelaskan pada bab shalat jum’at.

Melaksanakan shalat sunnah fajar dua rakaat jika belum mengerjakannya di rumah, disusul bacaan do’a-do’a. Jika sudah melaksanakan shalat sunnah fajar dua rakaat di rumah, hendaknya melaksanakan shalat tahiyyat di masjid. Kemudian duduk menanti jama’ah, lebih utama bersegera melaksanakan jama’ah, karena Rasulullah SAW selalu datang di awal waktu shubuh. Tidak baik meninggalkan shalat berjamaah, khususnya Shubuh dan `Isyâ’ karena pada keduanya terdapat banyak keutamaan.

Selesai shalat sunnah fajar dua rakaat sebaiknya membaca istighfâr dan tasbih hingga datang saat shalat Shubuh berjama’ah.

Bacaan istighfâr tersebut adalah:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ 70×

Dan bacaan tasbih adalah:

سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرْ 100×

Melaksanakan shalat fardhu dengan tetap menjaga etika lahir maupun bathin. Usai shalat, duduk di masjid berzikir hingga terbit matahari. Sebaiknya tidak berbicara, akan tetapi yang dilakukan hingga terbit matahari adalah empat hal: berdo’a, mengulan-gulang zikir, membaca Alquran dan bertafakkur (merenung).

Do’a selesai shalat dimulai dengan bacaan:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ، اللهم اَنْتَ السَّلَام وَ إِلَىْكَ يَعُوْدُ السَّلَام

Membuka do’a dengan cara Rasulullah SAW, yaitu dengan bacaan:

سُبْحَانَ رَبِّيْ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى الْوَهَّابُ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ اَهْلُ النِّعْمَةِ وَ الْفَضْلِ وَ الثَّنَآءِ الْحَسَنِ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ لَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَ لَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

Membaca semua do’a, atau menghafal sejumlah do’a yang dianggap sesuai dengan keadaannya atau yang mudah bagi lisannya. Semua amalan yang diuraikan aI-Ghazâli di atas berdasarkan pada sunnah Rasul, namun tidak menyebutkan Hadis–Hadis itu, karena khawatir akan membutuhkan pembahasan yang sangat panjang.

Tujuan kajian adalah memberi gambaran secara umum tentang tarekat-tarekat shufi. Adapun penjabarannya terdapat pada karangan-karangan para syaikh dan imam tarekat.

Selesai berdo’a dilanjutkan membaca zikir berulang-ulang, karena dalam pengulangannya ada keutamaan. Dalam mengulang bacaan zikir tidak perlu terlalu banyak, paling sedikit mengulangi setiap bacaan 3 atau 7 kali dan paling banyak 70 atau 100 kali, dan ukuran sedangnya 10 kali. Mengulangi bacaan zikir disesuaikan dengan kelonggaran waktu, yang lebih banyak lebih besar keutamaannya.

Yang sedang dan yang baik adalah mengulanginya sepuluh kali, Yang demikian lebih memungkinkan untuk dilakukan secara teratur, meski hanya sedikit. Setiap pekerjaan yang tidak mungkin pelaksanaannya secara tetap dalam skala besar, maka yang sedikit tapi terus menerus adalah lebih utama dan lebih terasa pengaruhnya dalam hati. Berikut beberapa bacaan dziklr yang mudah dijaga:

  • لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
  • سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرْ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
  • سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَآئِكَةِ وَ الرُّوْحِ
  • سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَسْأَلُهُ التَّوْبَةَ
  • اللهم لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَ لَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَ لَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدّ مِنْكَ الْجَدُّ
  • لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ
  • بِاسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَآءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
  • اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَ نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ
  • أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَ أَعُوْذُ بِكَ رَبِّيْ أَنْ يَحْضُرُوْنَ

Kesepuluh bacaan zikir ini jika masing-masing diulang sepuluh kali maka akan mencapai 100 kali. Hal ini lebih utama dari pada mengulang satu bacaan zikir l00 kali, karena setiap bacaan mempunyai keutamaan dan pengaruh yang berbeda dalam hati.

Sumber: Alif.ID

58. Wirid Siang Tarekat Ghazaliyah (2)

Bacaan-bacaan ayat Alquran yang disunnahkan adalah:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّآلِّينَ ﴿٧﴾ [الفاتحة: 1-7]

اللهُ لَآ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾ [البقرة: 255]

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾ [البقرة: 285-286]

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاء وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاء وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاء وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي الْنَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾ [آل عمران: 26-27]


لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢٨﴾ [التوبة: 128]

لَقَدْ صَدَقَ اللهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً ﴿٢٧﴾ [الفتح: 27]

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَم يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلَّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيراً ﴿١١١﴾ [الإسراء: 111]

سَبَّحَ لِلهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿١﴾ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢﴾ هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣﴾ هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيرٌ ﴿٤﴾ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللهِ تُرْجَعُ الأمُورُ ﴿٥﴾ [الحديد: 1-5]

هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٢٣﴾ هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢٤﴾ [الحشر: 22-24]

Adapun tafakkur sebagai salah satu bentuk pendekatan didasarkan pada dua hal berikut:

Pertamaberpikir akan hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mu`âmalah, seperti: bermuhasabah atau introspeksi terhadap perbuatan silam, menata serta menahan diri dari kemaksiatan, mengingat-ingat kekurangan demi perbaikan serta meluruskan niat baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun diri sendiri.

Keduaberpikir tentang hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mukâsyafah, seperti: berfikir tentang nikmat Allah SWT tampak maupun tidak tampak untuk menambah ma’rifat, memperbanyak Rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya dan hukuman-hukuman-Nya untuk menambah ma’rifat serta kepatuhan terhadap-Nya.

Tarekat yang paling baik adalah yang di dalamnya tercakup empat hal di atas: do’a, zikir, bacaan ayat Alquran dan fikir. Itulah aktifitas yang seharusnya dilakukan selesal shalat shubuh.

  1. Antara terbit matahari sampai waktu Dhuhâ, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 342-343).

Yaitu pertengahan antara terbit matahari hingga tergelincir. Kurang lebih 3 jam pertama waktu siang atau seperempat dan waktu siang jika siang hari dihitung 12 jam. Pada waktu kedua ini terdapat dua amalan:

Pertamashalat Dhuhâ. Keduaaktifitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, berupa menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, tolong-menolong antar sesama dalam kebaikan, mendatangi majelis ta’lim dan segala macam aktifitas yang membawa kemanfaatan bagi sesama.

Jika tidak ada satupun dari kegiatan sosial yang dilakukan, cukuplah kembali melakukan empat amalan sebagaimana waktu pertama, yaitu: do’a, zikir, membaca ayat Alquran dan tafakkur.

  1. Dan waktu Dhuhâ hingga tengah hari, yang meliputi dua amalan, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343):

Pertamabekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan hati tetap mengingat Allah SWT Keduaberistirahat dengan melakukan tidur sejenak menjelang shalat Dhuhur.

  1. Amalan saat selesai shalat Dhuhur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343-344).

Waktu ini dimulai dengan shalat fardhu (dhuhur) serta shalat sunnah sebelum dan sesudah dhuhur yang dilanjutkan membaca zikir sebagaimana amalan pertama. Amalan-amalan tersebut meliputi: do’a, wirid, membaca ayat-ayat Alquran dan fikir.

  1. Saat menjelang waktu shalat `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).

Melakukan I’tikaf di masjid, memperbanyak zikir dan shalat atau melakukan perkara-perkara terpuji lainnya hingga datang waktu `Ashar.

  1. Amalan di waktu `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dînjuz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).

Melaksanakan shalat sunnat empat Rakaat melaksanakan shalat `Ashar dilanjutkan dengan amalan wirid seperti pertama.

  1. Ketika matahari terlihat kekuning-kuningan seakan luruh ke bumi, karena cahayanya terhalang asap dan debu permukaan bumi, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344-345).

Wirid yang dibaca saat ini seperti halnya yang pertama: do’a, wirid, membaca Alquran dan fikir. Disunnahkan membaca istighfâr dan membaca Surat al-Syamsi serta al-Lail dengan membaca ta’awwudz lebih dahulu. Ketujuh wirid yang telah kami jelaskan di atas secara lebih terperinci merupakan amalan-amalan wirid di siang hari.

Sumber: Alif.ID

59. Wirid Malam Tarekat Ghazaliyah

Berikut penjelasan lebih detail amalan-amalan wirid di malam hari yang terbagi menjadi lima:

  1. Waktu masuk shalat Maghrib sampai hilang kemerah-merahan mega di ufuk barat, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 345-346). Usai shalat Maghrib, dilanjutkan shalat sunnah 2 Rakaat. Rakaat pertama membaca Surat al-Kâfirûn dan kedua membaca Surat aI-Ikhlâs. Dilaksanakan setelah shalat Maghrib tanpa diselingi ucapan atau tindakan apapun. Kemudian shalat lagi 4 Rakaat agak lebih lama dan mengakhirinya dengan bacaan-bacaan ringan hingga habis waktunya.
  2. Dari masuk waktu `Isyâ’ hingga waktu tidur malam, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 346-347). Urutan-urutan wiridnya sebagai berikut:

Melaksanakan shalat sunnat 10 Rakaat, 4 Rakaat sebelum shalat `Isyâ’ antara adzan dan iqamah dan enam Rakaat sesudahnya, 2 Rakaat salam dan 4 Rakaat salam. Bacaan Alquran dalam shalat ini sebaiknya dengan ayat-ayat tertentu, seperti: penutup Surat al-Baqarah, ayat kursi, permulaan Surat al-Hadîd, dan akhir Surat al-Hasyr.

Shalat Witir 13 Rakaat. Riwayat terbanyak mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. melaksanakan yang demikian.

Shalat Witir sebelum tidur jika tidak terbiasa bangun malam.

  1. Pada waktu sebelum tidur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 348-350). Jika tidur dilakukan dengan menjaga etika yang baik, tidak ada salahnya dikategorikan sebagai wirid dan merupakan ibadah. Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, al-Ghazâli menuliskan sepuluh etika saat menjelang tidur, diantaranya: suci dari hadats, bersiwak atau menyikat gigi, menghadap qiblat, menulis wasiat di kertas dan diletakkan di bawah bantal, bertaubat, tidak makan, tidak tidur sebelum mengantuk, berdo’a sebelum tidur, zikir sebelum tidur dan berdo’a saat pikiran setengah sadar.
  2. Lepas tengah malam hingga seperenam akhir malam, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 350-352). Waktu ini dipergunakan untuk shalat Tahajjud. Dikatakan tahajjud karena dilaksanakan setelah tidur malam. Selesai membaca do’a bangun tidur, segeRA mengambil air wudhu’. Mengerjakan wudhu’ lengkap dengan sunnah-sunnahnya, melaksanakan shalat menghadap qiblat dan membaca do’a iftitah, membaca tasbih, tahmid dan tahlil masing-masing 10 kali.
  3. Pada seperenam akhir dan waktu malam, yaitu waktu Sahur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 352-353). Amalan-amalan pada waktu ini adalah melaksanakan shalat-shalat sunnah dan wirid hingga tiba waktu fajar.

Wirid-wirid di atas adalah susunan al-Ghazâli untuk para murid secara ringkas. Wirid-wirid ini tidak berlaku sama untuk para mursyid.

Sumber: Alif.ID

60. Enam Kategori Murid Tarekat Ghazaliyah

Sebagaimana termaktub dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353-354, disebutkan bahwa jika dilihat darisudut kemampuannya, keadaan masing-masing murid tidak lepas dari 6 kategori. Ada kemungkinan seorang murid baru pada tahap hamba (‘âbid), atau mungkin sudah mencapai tingkat orang yang mengerti (‘âlim), atau mungkin baru sebagai pelajar (muta’allim), sebagai wali, sebagai orang mumpuni atau profesional (muhtarifatau bahkan telah mencapai taraf menyatu (muwahiddengan Yang Mahatunggal.

‘Âbid adalah kategori orang yang hanya melakukan ibadah, tidak memiliki kesibukan selain beribadah. Sekiranya ia meninggalkan ibadah untuk sekedar duduk, maka batal ibadahnya. Urut-urutan wiridnya sebagaimana diterangkan di atas, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353).

‘Âlim adalah kelompok orang yang dengan pengetahuannya dapat memberi manfaat kepada orang lain, baik dengan cara memberi fatwa, pengajaran atau melalui karya-karyanya. Urut-urutan wiridnya berbeda dari wirid ‘âbid, dia perlu menelaah kitab-kitab terlebih dahulu, menyeRAp dan menyusun pengetahuannya.

Semua itu sudah pasti membutuhkan waktu tersendiri. Jika dapat menggunakan waktunya secara maksimal untuk itu, maka yang terbaik baginya setelah menyelesaikan tulisan dan karangannya adalah menjalankan wirid. Demikian, sebagaimana telah dijelaskan pada bab keutamaan belajar dan mengajar dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.

Bagaimana tidak, bukankah dalam pengetahuan atau ilmu ada kelanggengan zikir kepada Allah SWT dan perenungan akan pesan-pesan-Nya serta sabda-sabda Rasul-Nya? Hal ini menyimpan manfaat untuk orang lain dan memberikan arahan menuju kehidupan akhirat. Semoga saja satu hal yang dipelajari seseorang akan menjadi ibadah baginya, Jika tidak ada orang mempelajarinya maka usahanya sia-sia.

Keutamaan ilmu di atas ibadah yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong manusia mencintai akhirat dan merasa cukup dengan kemewahan dunia. Atau juga ilmu yang menunjukkan mereka jalan menuju akhirat, bukan ilmu yang menambah kecintaan manusia terhadap harta, kedudukan dan pengakuan orang.

Meskipun ilmu lebih utama dalam pandangan aI-Ghazâli, namun harus ada aturan pembagiannya. Tabiat manusia tidak akan sanggup menghabiskan semua waktu dengan terus menerus menulis dan menyusun buku atau karangan. Waktu pagi digunakan untuk wirid, setelah terbit fajar sampai siang hari digunakan untuk muthola’ah dan mengajar jika dia memiliki murid dan jika tidak, maka waktunya digunakan untuk tafakkur dan memperdalam keilmuannya karena kejernihan hati ada setelah melakukan zikir, waktu siang digunakan untuk muthola’ah dan menulis sampai waktu `asyar, setelah `asyar mendengarkan hal-hal yang berfaedah untuk kejernihan hati, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354).

Muta’allim adalah orang menyibukan diri dengan belajar atau menuntut ilmu. Kesibukan seperti ini lebih utama dari melakukan zikir dan amalan-amalan sunnah Urut-urutan wiridnya sama dengan ‘âlim. Bedanya jika ‘âlim sibuk dengan pekerjaan mengajar, sementara muta’allim sibuk dengan kegiatan mencari ilmu, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354-355).

Muhtarif adalah orang yang sanggup melakukan zikir dalam kondisi apapun. Ketika membutuhkan usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia tidak boleh menghabiskan semua waktu dengan beribadah sehingga akan menelantarkan keluarga. Begitu juga sebalikmya, dia tidak lupa melakukan zikir dan wirid selama melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga. Di saat bekerja ia mengingat Allah SWT, di pasar ia berzikir dan membaca ayat-ayat Alquran.

Setelah mencukupi kebutuhan keluarga, ia dapat kembali melaksanakan zikir. Namun jika tetap melanjutkan pekerjaan dengan terus berzikir dan bersedekah dari hasil pekerjaannya, itu lebih baik daripada melakukan wirid-wirid yang telah kami susun. Karena ibadah yang memiliki faedah ganda sudah pasti lebih bermanfaat dari pada yang hanya satu faedah. Bersedekah dan berusaha dengan niat ibadah akan memberi manfaat bagi diri sendiri berupa kedekatan dengan Tuhan sekaligus memberi manfaat bagi orang lain. Berkah dan do’a-do’a orang lain akan mengalir kepadanya dan melipatgandakan pahalanya.

Wali sebagaimana imam atau hakim atau juga pemimpin, dia juga mencurahkan perhatian terhadap persoalan-persoalan kaum muslim. Dialah yang mewakili keperluan umatnya sesuai syari’at dengan niat tulus. Hal itu lebih baik dari membaca wirid-wirid yang telah disusun. Bidangnya adalah memenuhi keperluan-keperluan masyarakat di waktu siang dengan berpegang pada kaidah-kaidah, sedangkan malam harinya melanggengkan amalan-amalan wirid.

Muwahid adalah orang yang telah mencapai derajat menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal atau dia yang hanya mencintai Allah SWT, dia yang hanya takut kepada-Nya, yang tidak menerima rizki selain dari-Nya, dan dia yang hanya melihat Allah SWT pada setiap pandangannya.

Siapa telah mencapai tingkatan ini dia tidak lagi membutuhkan macam-macam jenis wirid. Wiridnya hanya satu, menghadirkan segenap hati dan perasaan bersama Allah SWT setiap saat. Tidak lagi peduli terhadap persoalan apapun dan tidak lagi mendengar sesuatu pun selain dalam wiridnya hanya berupa ungkapan hati dan renungan pikiran. Tidak ada yang menggerakkan dan mendiamkan selain Allah SWT. Seluruh pengalaman yang mereka alami akan menjadi sebab semakin tingginya keadaan mereka.

Bagi mereka, tidak ada kelebihan satu ibadah dari ibadah lainnya, Mereka itulah orang-orang yang telah menuju Allah SWT Ini adalah puncak derajat shiddiqin, derajat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengurutkan wirid dan melaksanakan kewajibannya dalam waktu yang panjang.

Inilah diantara bentuk dan gambaran tarekat al-Ghazâliyah, memperlihatkan pada kita bahwa tarekat ini tetap berpegang kepada Alquran dan Sunnah serta mencontoh etika dan ajaran-ajaran para sahabat, `ulamâ’ dan tabi’in. Itulah tarekat yang sesuai dengan kondisi umat Islâm.

Sumber: Alif.ID

61. Hizib Ghazaliyah

Imam al-Ghazâli meninggalkan suatu hizib yang terkenal dan cukup panjang:

Hizib Ghazâliyah

LINK DOWNLOAD PDF

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَ النُّوْرِ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ. فَأَرَادُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَسْفَلِيْنَ، كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ.

فَوَقَاهُ اللهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوْا. مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ. فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَ سَنَقُوْلُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَ قَدِّمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنْثُوْرًا وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ، ثُمَّ نُنْجِيْ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَىْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِيْنَ، لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ، وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ، وَ إِنَّهُ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ، وَ إِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَ حُسْنَ مَأَبٍ (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) فَصَبَّ عَلَىْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ، وَ تَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ، جُنْدٌ مَّا هُنَالِكَ مَهْزُوْمٌ مِنَ الْأَحْزَابِ.

وَ جَعَلْنَا لَهُ نُوْرًا يَمْشِيْ بِهِ فِي النَّاسِ، فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَ قُلْنَا حَاشَ لِلهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ، قَالَ تَاللهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللهُ عَلَىْنَا، إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهَ عَلَىْكُمْ وَ زَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَ الْجِسْمِ وَ اللهُ يُؤْتِيْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَ هَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ، وَ آتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ، وَ رَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا، وَ قَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا، وَ كَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ وَ كَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا وَ سَلَامٌ عَلَىْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَ يَوْمَ يَمُوْتُ وَ يَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَ إِنْ يُرِيْدُوْا أَنْ يَخْدَعُوْكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللهُ هُوَ الَّذِيْ أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ، وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ  وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

هُوَ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ، كُلَّمَا أَوْقَدُوْا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ، وَ ضُرِبَتْ عَلَىْهِمُ الذِّلَّةُ وَ الْمَسْكَنَةُ وَ بَآؤُوْا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ، سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ، خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٍ، لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ، وَ لَا تَكُنْ فِيْ ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُوْنَ، فَإِمَّا نَذْهَبَنَّ بِكَ فَإِنَّا مِنْهُمْ مُنْتَقِمُوْنَ،

إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ، فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ، أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِيْنَ، قَالَ لَاتَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الْظَّالِمِيْنَ، لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَى، لَا تَخَفْ إِنِّيْ لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلِوْنَ، لَا تَخَفْ وَ لَا تَحْزَنْ، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِيْ مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَ اَرَى، قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى، فَإِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ، إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا، وَ أَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً، لَيَذُوْقَ وَ بَالَ أَمْرِهِ،

وَ لَا يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ، وَ خَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ، وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ، لَنْ يَضُرُّوْكَ شَيْئًا، إِنَّا سَنُلْقِي عَلَىْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا، فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ، فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا، وَ لَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَىْهِمِ شَيْئًا قَلِىْلًا، فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَ تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَ كَفَى بِاللهِ وَكِيْلاً، أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ، وَ مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلًا، وَ يَنْصُرَكَ اللهُ نَصْرًا عَزِيْزًا(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) مَلْعُوْنِيْنَ أَيْنَمَا ثُقِفُوْا أَخِذُوْا وَ قُتِّلُوْا تَقْتِيْلًا،

وَ اللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيْلًا وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ، إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ، وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ، وَأَلْقَيْتُ عَلَىْكَ مَحَبَّةً مِنِّيْ، إِنِّيْ اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِساَلَاتِيْ وَبِكَلامِيْ، إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمِامًا، إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنَا(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ)خَتَمَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ، ذَهَبَ اللهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُوْنَ،

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَ، كُبِتُوْا كَمَا كُبِتَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ، وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ، إِنَّا جَعَلْنَا فِيْ أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُوْنَ، وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ، أُولَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ،وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ مُنْتَقِمُوْنَ، إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَ فِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا،

وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوِا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا، وَإِنْ تَدْعُوْهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوْا إِذًا أَبَدُا، أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً، عَلَىْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللهُ عَلَىْهِمْ، فَأَصْبَحُوْا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ، دَمَّرَ اللهُ عَلَىْهِمْ، ثُمَّ عَمُوْا وَصَمُّوْا كَثِيْرٌ مِنْهُمْ،أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا، وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ،

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ، فِإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيِطَانِ الرَّجِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا، قُلْ إِنَّنِيْ هَدَانِيْ رَبِّيْ إِلَى صَرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ، رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ، عَسَى رَبِّيْ أَنْ يَهْدِيَنْيِ سَوَاءَ السَّبِيْلِ،

إِنَّ وَلِيَ اللهِ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ، رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْأَحَادِيْثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّيْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وًأًلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ، أَوْ مَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ فَجَعَلْنَا لَهُ نُوْرًا يَمْشِيْ بِهِ فِي النَّاسِ، وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ، قَالُوْا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَىْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ،

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْجَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، فَانْقَلِبُوْا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسَهُمْ سُوْءٌ، قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، إِنَّهُ كَانَ بِي حَنِيْفًا، وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا وَجَعَلَنِيْ مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ، وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَىْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ، صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ، يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ،

وَلَوْ تَرَى إِذْ فَزَعُوْا فَلاَ فَوْتَ، وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ، وَأُخِذُوْا مِنْ مِكاَنٍ قَرِيْبٍ، إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ اَمِنُوْا، وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ، وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمِنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلِيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً، وَقَاتِلُوْاهُمْ حَتَّى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةً، وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ، يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْأَخِرَةِ، فَضُرِبَ عَلَيْهِمْ بِسُوْرٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيْهِ الرَّحْمَة وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ، وَاللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَاللّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللّهِ وَلِيّاً وَكَفَى بِاللهِ نَصِيراً،

فَلاَ تَخْشَوْهُمْ قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ، أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ، تُصِيْبُهُمْ بِمَا صَنَعُوْا قَارِعَةٌ، وَمَا يَنظُرُ هَؤُلَاءِ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً، كَأَنَّهُمَ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ، أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً،  فَسَتَذْكُرُوْنَ مَا أَقُولُ لَكُمْ وَأُفَوِّضُ أَمْرِيْ إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ، وَإِنْ تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئاً، ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً، وَاذْكُرُواْ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فِي الْأَرْضِ فَآوَاكُمْ،

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُواْ إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، لَا إِلَهَ إِلَّا، عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ، فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ، وَمَكَرُواْ وَمَكَرَ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ، وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُوْرُ، فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُوْرِ، سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ، فَأَخَذْنَاهُمْ أَخْذَ عَزِيزٍ مُّقْتَدِرٍ، مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ، ذَلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةً، الآنَ خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًا، يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ، قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى، يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَلُ لَّكُمْ نُوراً تَمْشُوْنَ بِهِ،

(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَمَا لَهُمْ مِّنْ نَّاصِرِيْنَ، وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ، عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ، دَمَّرَ اللهُ عَلَيْهِمْ، أُوْلَئِكَ فِي الأَذَلِّيْنَ، فَمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ قِيَامٍ وَمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ، وَأَنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِيْنَ، فَأَيَّدْنَا الَّذِيْنَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِيْنَ، إِنَّ اللهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، يَسْعَى نُورُهُم بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ، وَاللهُ حَفِيْظٌ عَلَيْهِمْ، إِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ وَاللهُ حَفِيظٌ عَلِيْمٌ، طُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ، وَهُمْ مِّنْ فَزَعٍ يَوْمَئِذٍ آمِنُوْنَ، أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ، فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ، إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ، وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ،

وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيّاً، وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِيْنَ، وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِيْنٍ، وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُوْنَ، فَانْقَلَبُواْ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ، إِلاَّ قَلِيْلاً سَلاَماً سَلاَماً وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوْراً، (أَعْدَاؤُنَا لَنْ يَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَا بِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَيْنَا بِحَالِ مِنَ الْحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَمَا يَنْظُرُ هَؤُلَاءِ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً مَّا لَهَا مِنْ فَوَاقٍ، وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوْحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ، فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِّمَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ، فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ، وَإِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ،

هُوَ الَّذِيَ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ، تِلْكَ آيَاتُ اللهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ فَبِأَيِّ حَدِيْثٍ بَعْدَ اللهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُوْنَ، لَّـكِنْ اللهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلآئِكَةُ يَشْهَدُوْنَ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْداً، وَكَفَى بِاللهِ وَكِيْلاً وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْراً، وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيْتاً، قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَاناً وَأَضْعَفُ جُنْداً، وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِداً، وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذاً أَبَداً، وَأَلْقِ مَا فِي يَمِيْنِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوْا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى، تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى،

إِنَّ هَـؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيْهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ، وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ،أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً، وَأُولَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ،كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى قُلُوْبِ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ، (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لَا يَنْطِقُوْنَ، وَاللهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا، هُوَ الَّذِي اَبْدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُوءُمِنِيْنَ، قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَي إِبْرَاهِيْمَ، وَأَرَدُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ، إِنَّ رَبِّي عَلَي صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمَ، وَاللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيْطٌ بَلْ هُوَ قَرْأَنٌ مُجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ، وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

62. Tarekat Sa’diyyah

Tarekat Sa'diyyah

Pendiri: syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabbawi al-Syaibani al-Idrisi al-Hasani

Penyebaran: Syam, Mesir, Turki, Maroko dan lain-lain

Tharîqah ini dinisbatkan kepada syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabbawi al-Syaibani al-Idrisi al-Hasani, lahir di makkah al-Mukarromah pada bulan Rojab tahun 460 H, wafat di Syam pada tanggal 9 Dzulhijjah 573 H.

Nasab beliau dari jalur ayah adalah Sa’d al-Dîn bin Yunus Syaibi bin Abdullâh al-Maghroby bin Yunus al-Hasani bin Abi Su’ud Muhammad Thayyib bin Ali Asyarif al-Idrisi al-Hasani al-Jannani bin Muayyadiddin al-Hasani bin Syaiban al-Idrisi al-Hasani bin Abdul Rahman al-Idrisi al-Hasani bin Ali al-Idrisi al-Hasani bin Abdullâh al-Marokisyi al-Idrisi al-Hasani Ibnu Umar al-Idrisi al-Hasani Ibni Idris al-Anwar al-Hasani bin Idris Akbar al-Hasani (Pembuka kota maroko) bin Abdullâh al-Madhzi bin Hasan al-Musyannah bin Sayyidina al-Hasan Assibti As, bin Sayyidina Ali Krw, bin Sayyidina Fatima al-Zahro binti Rasûlullâh Muhammad Saw.

Sedangkan nasab beliau dari jalur ibu adalah Sa’duddin bin Sayyidah Abidah az-zahidah Aisyah binti Ayyub bin Abdul Mukhsin bin Yahya bin Tsabit bin Khazim Ali Abi fawaris bin Mahdi bin Khusain bin Ahmad bin Musa al-Ridha bin Ibrohim al-Murtadha bin Musa al-Kadhim bin Ja’far as-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin al-Imam Zainal Abidin bin Syaidina al-Husain as-Sibthi As, bin Sayyidina Ali Krw, Bin Sayyidah Fatima al-Zahro binti Sayyidina Muhammad al-Rasûl Saw.

Pada usia 7 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an dan membacakannya di Masjid al-Haram, kemudian beliau menyempurnakan belajar beberapa ilmu agama (Tafsir, Hadits, Fiqih al-Syafi’i) dari orang tuanya yaitu syaikh Yunus dan beberapa `ulamâ’ yang mukim dan berziarah ke Makkah. Pada awalnya beliau adalah khalifah tharîqah Naqsyabandiyah khâlidiyah, namun setelah bertemu Nabi beliau berpindah ke tharîqah as-Sa’diyah.

Ketika  menginjak dewasa orang tuanya mengikutkan Syaikh Sa’duddin untuk ikut berjihad bersama pasukan berkuda menuju negara Syiria di waktu perang salib menuju Baitul Maqdis (Palestina). Di waktu ikut berperang  beliau bertemu dan berkumpul dengan teman-teman yang jahat dan mengajak beliau untuk merampok di jalan hingga akhirnya datang pertolongan Allâh Swt sebab barokah do’a orang tuanya yang senantiasa tidak henti-hentinya memohon pada Allâh Swt. agar syaikh Sa’duddin diberi hidayah oleh Allâh Swt atau di ambil nyawanya, maka ditengah perjalanan beliau di anugerahi ilmu mukasyafah sehingga beliau bisa bertemu Rasûlullâh Saw dan disampingnya ada sahabat Abu Bakar al-Shiddiq r.a dan Sayyidina Ali Krw. Ada yang mengatakan beliau bersama sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga. Rasûlullâh Saw. bersabda pada Syaikh Sa’duddin:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ

Maka beliau menjawab Ya, mulai sekarang Wahai Rasûlullâh Saw. Akhirnya beliau menangis dan pingsan, setelah beliau sadar Rasûlullâh Saw. datang lagi dan mengusap dada beliau, dan Rasûlullâh Saw. memerintahkan Sayyidina Ali untuk memberi makan tiga kurma yang telah diludahi Rasûlullâh Saw. Seraya Rasûlullâh Saw. bersabda pada Syaikh Sa’duddin:

“Wahai Sa’duddin ambillah pusaka ini untukmu dan keluargamu setelahmu sampai hari kiamat”

setelah beliau terbangun tetaplah di dalam hati Syaikh Sa’duddin rasa khauf (takut pada Allâh) setelah itu beliau langsung melepas pakaian dan membuang pedang untuk pergi berhidmad kepada orang tuanya dan memasuki dunia Tharîqah (tashawwuf) dan melakukan mujahadah dengan rasa nikmat tanpa kesulitan dan keterpaksaan, sebab barokah Rasûlullâh Saw., sampai akhirnya beliau termasuk Kibaru al-`Arifin (Wali Agung), dan mempunyai banyak Asraru al-Rabbani. Beliau menetap di syam dan mendirikan pesantren serta masjid yang digunakan untuk belajar ilmu dan ma’rifat.

Disamping itu beliau juga seorang mu’alif (pengarang kitab) di antara kitab yang beliau karang adalah kitab al-Futuh, kitab al-Hawatif, kitab al-Akhbar, kitab al-Waqai, kitab al-Aurâd, kitab al-Qashaid wal Mandhumah, kitab al-Ushul: Zâdu al-Fukhul min Ilmi Ushul, al-Risalah al-Saniah, al-Risalah al-Bahiyah, kitab al-Fiqih, Ighatsu al-Malghuf, kitab al-Tashawwuf: I’lamu al-Mu’minin, Tanwir al-Fikri, al-Minna al-Ilahiyyah, Assofakhatu al-NurâniyyahDi antara karamah beliau adalah :

  1. Apabila beliau membaiat seseorang murid atau orang yang taubat, maka dia akan terputus dari dosa-dosa besar, dan apabila dia mau melakukan dosa besar maka dia akan mendapati syaikh di depannya.
  2. Pada suatu hari di hutan beliau bertemu seorang penggembala yang sedang memberi minum kambingnya di atas sumur, kemudian Syaikh meminjam timba tersebut namun timba itu terjatuh ke dasar sumur. Setelah peristiwa itu penggembala tersebut melihat Syaikh Sa’duddin dengan wajah murung, namun Syaikh Sa’duddin tersenyum seraya beliau mengatakan sabda Nabi ”Sesungguhnya kebaikan ada padaku dan umatku sampai hari kiamat”. Maka naiklah timba tersebut dari dasar sumur.

Tharîqah ini mempunyai dua sanad yaitu; (1) Wahbi dan (2) Kasbi. Adapun sanad Wahbi itu langsung dari Nabi Muhammad Saw melalui pertemuan beliau dengan Rasûlullâh secara Kasyaf. Adapun sanad Kasbi itu dari syaikh Yunus al-Syaibani al-Makki al-Hasani dari syaikh Abu Bakar al-Nasâji dari Abi al-Qosim al-Durjani dari Abi Utsman al-Maghribi dari Abi ‘Ali al-Katib dari syaikh Ali al-Raudzabaadi dari syaikh Junaidi al-Baghdadi dari Sari al-Saqathi dari Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi dari Imam ‘Ali al-Rodhi dari Imam Musa al-Kadzîm dari bapaknya yaitu Imam Ja’far al-Shâdiq dari Muhammad al-Baqir dari ‘Ali Zain al-‘Abidin dari Imam Husain al-Sibti dari orang tuanya yaitu Sayyidina Ali ibn Abi Thâlib dari nabi Muhammad Saw.

Sumber: Alif.ID

63. Wirid Tarekat Sa’diyyah

Wirid Ashghâr:

Wadzifah yang dibaca setelah subuh dan maghrib dengan berurutan dan jumlah yang telah ditentukan:

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Surat al-Ikhlâs
  3. Mu’awidzataini
  4. Awal dan akhirnya surat al-Baqarah
  5. Ayat-ayat tauhid dan ayat kursi
  6. Shalawat
  7. Istighfâr
  8. Dzikir kepada Allâh Swt. dan do’a

Wirid Ausath:

Wadzifah yang dibaca setelah subuh dan maghrib dengan jumlah bilangan yang berbeda:

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Surat al-Ikhlâs
  3. Mu’awidzataini
  4. Awal dan akhirnya surat al-Baqarah
  5. Ayat-ayat tauhid dan ayat kursi
  6. Shalawat
  7. Istighfâr
  8. Dzikir kepada Allâh Swt. dan do’a

Wirid Akbar:

Wadzifah yang dibaca setiap hari dengan berurutan dan bilangan yang telah ditentukan yang mencakup terhadap dzikir kepada Allâh Swt. yang berjumlah tujuh asma` al-Husna:

 لا إله إلا الله، الله، هو، حي، واحد، قيوم، قهار.  

Dan setiap dari salah satu nama tersebut mempunyai tata cara yang khusus dan tidak boleh pindah ke asma` yang lain, kecuali atas perintah mursyid yang berjumlah berkisar di antara sepuluh ribu dan seratus ribu:

Adapun wirid-wirid yang lain adalah:

  1. Wirid mutsallats
  2. Wirid musabba’
  3. Wirid al-Faddhiy
  4. Wirid al-Râid (hizib futuhât)
  5. Hizib al-Shafa
  6. Hizib al-Anwar
  7. Dan hizib al-Tahshin

Dan semua hizib ini dibaca dalam sehari dan semalam.

Wirid Musabba’ dan Mutsallats

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾. آمِيْن


اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إيْمَاناً وَ قَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الوَكِيْلُ فَانْقَلَبُوْا بِنِعْمَةِ مِّنَ اللهِ وَ فَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوْءٌ وَ اتَّبِعُوْا رِضْوَانَ اللهِ وَ اللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ 3×

بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ 3×

بِسْمِ اللهِ عَلَى نَفْسِي وَ دِيْنِي بِسْمِ اللهِ عَلَى أَهْلِي وَ مَالِي بِسْمِ اللهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ رَبّي، بِسْمِ اللهِ خَيْرِ الأَسْمَاءِ، بِسْمِ اللهِ رَبِّ الأَرْضِ وَ السَّمَاءِ، بِسْمِ اللهِ الّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاءٌ بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَاء 3×

بِسْمِ اللهِ اِفْتَتَحْتُ وَ عَلَى اللهِ تَوَكَلْتُ وَهُوَ حَسْبُنَا وَ نِعْمَ الْوَكِيْلِ، حَسْبِيَ اللهُ لِدِيْنِي، حَسْبِيَ اللهُ لِدُنْيَايَ، حَسْبِيَ اللهُ لِمَنْ بَغَى عَلَيَّ، حَسْبِيَ اللهَ لِمَنْ حَسَدَنِيْ، حَسْبِيَ اللهُ لِمَنْ كَادَنِي بِسُوْءٍ، حَسْبِيَ اللهُ عَدَدَ كُلِّ شَيْءٍ، حَسْبِيَ الله مِنْ كُلِّ شَيْءٍ حَسْبِيَ اللهُ لَا إِلَهُ إِلَّا هُوَ عَلَىْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ العَرْشُ العَظِيْم 7×

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ 3×

أَعُوْذُ بِوَجْهِ اللهِ الكَرِيْمِ، وَ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ المُبَارَكَاتِ اَلَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَ لَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَ مَا يَعْرُجُ فِىْهَا وَ مِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الأَرْضِ وَ مِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَ مِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَ النَّهارِ وَ مِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ إِلَّا طَارِقاً يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَن 3×


تَحَصَّنْتُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الحَيِّ القَيُّوْمِ العَلِيِّ العَظِيْمِ اَلَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ 3×

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم، اَللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ لَاتَأْخُذُهُ سِنَةُ وَ لَا نَوْم لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيٍْء مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ لَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْم 3×

يَا اَللهُ يَا حَفِيْظُ 7×

كٰهٰيٰعٓصٓ كِفَايَتُنَا وَصِيَانَتُنًا مِنَ الأَعْدَاءِ وَ الحَسَادِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ 3×

حٰمٓ عٓسٓقٓ حِمَايَتِنَا وَ سَلَامَتِنَا مِمَّا نَخْذَرُ وَ نَخَافُ، سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ 3×

اللهم احْفِظْنِيْ مِنْ بَيْنَ يَدَي وَ ِمنْ خَلْفِي وَ مِنْ يَمِيْنِيْ وَ مِنْ شِمَالِي وَ مِنْ فَوْقِي وَ مِنْ تَحْتِي وَ مِنْ ظَاهِرِيْ وَ مِنْ بَاطِنِي 3×

اللهم أَسْأَلُكَ الكِفَايَةِ وَ الصَّيَانَةِ وَ الحِمَايَةِ وَ السَّلاَمَةِ مِنْ آَفَاتِ الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ 3×

ألٓمّٓ، ألٓمّٓرٰ، ألٓرٰ، كٰهٰيٰعٓصٓ، طٰهٰ، طٰسٓمٓ، يٰسٓ، صٓ، حٰمٓ، حٰمٓ عٓسٓقٓ، قٓ، نٓ، إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْن

Membaca al-Fatihah kepada:

  1. Ruh nabi Muhammad Saw.;
  2. Sahabat nabi;
  3. al-Quthb al-‘Arif billâh al-Sayyid al-Syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabawi al-Syîbânî al-Idrisî al-Hasanî;
  4. Para sahabat al-Quthb al-‘Arif billâh al-Sayyid al-Syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabawi al-Syîbânî al-Idrisî al-Hasanî;
  5. Para wali Allâh Swt.;
  6. Dan orang-orang ‘Arif.

Sumber: Alif.ID

64. Wirid Harian Tarekat Sa’diyyah

Wirid Selama Satu Minggu

  • Wirid hari Sabtu:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الَّرحِيْمِ

اللهم أَنْتَ الْأَبْدِي الْقَدِيمِ القَيُّوْمِ الْقَائِمِ الْقُدُّوْسِ الْقَدِيْرِ الْقَهَّارُ الْقَابِضُ، رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ حِكْمَةً يَا مَنْ بِهِ الحَوْلُ وَ العِزَّةُ وَ بِهِ العِزُّ وَالنَّصْرُ، إِلٰهِي بِكَ المُسْتَعَانُ فَلاَ تَكْلِنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

  • Wirid hari Ahad:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا ذَاالجَلَالِ وَ الإِكْرَامِ يَا ذَاالطُّوْلِ وَالْإِنْعَامِ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ عَلَىْكَ تَوَكَلْتُ يَا رَحِيْمُ يَا رَحْمٰنُ يَا مَنْ لَهُ العِزَّةُ وَ الجَبَرُوْتُ يَا مَنْ يَعْلَمُ السِّرُّ وَ أَخْفَى يَا مَنْ قَالَ وَ قَوْلُهُ الحَقُّ شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالمَلآئِكَةُ وَ أُوْلُوْ العِلْمِ قَائِماً بِالقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ العَزِيْزُ الحَكِيْمُ يَا مَنْ هُوَ بِعِزَّتِهِ عَزِيْزٌ يَا هُوَ يَا هُوَ يَاهُوَ يَا هُوَ يَا هُوَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Senin:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِلٰهِيْ بِقُدْرَتِكَ وَ عِلْمِكَ وَ حِلْمِكَ وَ عِزَّتِكَ وَ جَبَرُوْتِكَ وَ لَا هَوْتِ وَ نَاسَوْتِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُكَ مَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يَكُوْنَ، يَا اَللهُ ، يَا رَحْمٰنُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، سَلِّمْنِيْ مِنْ آفَاتِ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ بِحَقِّ سَلاَمٍ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Selasa:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِلٰهِي عَافِنِي مِنْ سَقَامِي وَ اكْفِنِي الشَّرَّ يَا مَنْ أَجَابَ دَعْوَةَ زَكَرِيَا وَقَبْلَ تَسْبِيْحِ يُوْنُسَ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ إِسْتَجِبْ لِيْ وَ نَجِّنِي مِنَ الْهَمِّ وَ اجْعَلْ لِيْ مِنْهُ فَرْجاً وَمِنْ كُلِّ بَلاَءٍ مَخْرَجًا، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، أُلْطُفْ بِنَا لُطْفًا خَفِيًّا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Rabu:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم يَا مَنْ تَعَالَى عَنْ خَلْقِهِ يَا عَلِيْ يَا أَبْدِيْ يَا دَهْرِي يَا دَيْمُوْمِيْ يَا مُهَيْمِنُ يَا جَبَّارُ أَسْأَلُكَ بِرَسُوْلِكَ المُصْطَفٰى النَّبِيِّ القُرَشِيِّ الَّذِيْ أَعْطَيْتُهُ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِيْ وَ اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ يَا عَظِيْمُ أَحْجِبْنِيِّ عَنْ مُضِرَّةِ أَعْدَائِي فَأَنْتَ النَّافِعُ وَ أَنْتَ الضَّارُ وَ أَنْتَ اَلَّذِيْ قَامَتْ بِقُدْرَتِكَ السَّمَوَاتِ يَا مَالِكُ عَلَىْكَ اعْتِمَادِيْ وَ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ بِكَ أَسْتَعِيْنُ عَلَى أَعْدَائِي وَ بِكَ أَثِقُ وَ بِكَ أَلْتَجِيْءُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ لَا حَوْلاَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ أَسْأَلُكَ يَا مَنْ هُوَ الْوَهَّابُ يَا وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

  • Wirid hari Kamis:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اللهم يَا مَنْ لَهُ الأَسْمَاءُ الحُسْنٰى أَسْأَلُكَ بِالْبَيْتِ الْحَرَامِ وَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي يَا غَفُوْرُ يَا مَنْ أَجَابَ نُوْحاً فيِ قَوْمِهِ وَ إِبْرَاهِيْمَ عَلَى أَعْدَائِهِ يَا مَنْ شَهِدَتْ بِوَحْدَانِيَّتِهِ جَمِيْعُ الكَائِنَاتِ، يَا فَتَّاحُ يَا عَلِيْمُ رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَ أَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ اللهم يَا مُفْتِحَ الأَبْوَابِ اِفْتَحْ لَنَا رَحْمَتَكَ وَ اقْضِ لَنَا الْحَوَائِجَ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Jum’at dibaca setelah shalat Jum’at:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اللهم صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ، إِلٰهِي لَكَ مُقَالِيْدُ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ تُعْطِي مَنْ تَشَاءُ وَ تُحْرِمُ مَنْ تَشَاءُ فَاجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ شَرَحَتْ صُدُوْرُهُمْ بِالْعَطَاءِ مِنَ الْمَعَارِفِ وَ اجْعَلْنَا مِنْ عَبِيْدِكَ الْمُشَاهِدِيْنَ لِحَضْرَةِ قُدْسِكَ وَ قَدِّسْنَا وَ قَرِّبْنَا وَ عَلِّمْنَا مِنْ لَدُنْكَ عِلْماً رَبَّانِيًّا وَ حِكْمَةً وَ رَأْفَةً وَ رَحْمَةً يَا مَنْ لَهُ الْفَضْلُ الْعَظِيْمُ يَا مَنْ وَ سِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ لَا يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

Syaikh berkata wirid syaikhina Ra. dibaca setelah menunaikan shalat shubuh :

يَا قَادِرُ يَا قَاهِرُ يَا ظَاهِرُ يَا بَاطِنُ يَا لَطِيْفُ يَا عَلِيْمُ يَا خَبِيْرُ قَوْلُهُ الْحَقُّ وَ لَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يَنْفَخُ فِي الصُّوْرِ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ 41×

Wirid syaikhina Ra. yang dibaca setiap hari setelah menunaikan sholat fardhu sebelum berdo’a:

  1. لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ 161x
  2. Ayat kursi 2x
  3. سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ وَ لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 5x
  4. Kemudian berdo’a kepada Allâh S

Wirid Mingguan Syaikh al-‘Izham

  1. Wirid hari Jum’at يَا اَللهُ 1000x
  2. Wirid hari Sabtu لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 1000x
  3. Wirid hari Ahad يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ 1000x
  4. Wirid hari Senin لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 1000x
  5. Wirid hari Selasa اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ 1000x
  6. Wirid hari Rabu أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ 1000x
  7. Wirid hari Kamis سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ 1000x
  8. Wirid malam Jum’at بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 786x
  9. Wirid malam Sabtu يَا جَبَّارُ 500x
  10. Wirid malam Minggu يَا فَتَّاحُ 500x
  11. Wirid malam Senin يَا جَلِيْلُ يَا قَيُّوْمُ 500x
  12. Wirid malam Selasa يَا لَطِيْفُ 500x
  13. Wirid malam Rabu يَا غَنِيُّ يَا نَافِعُ 500x
  14. Wirid malam Kamis بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 500x
  15. Setelah selesai semua diakhiri dengan membaca: لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Wirid yang Dilakukan untuk Suluk dan Tabarruk

Wirid Fadhi (dilakukan setelah tawajjuh dan membaca surat al-Fatihah):

  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ 100×
  2. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 100×
  3. سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ 100×
  4. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ 100×
  5. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ 100×
  6. Kemudia diam sejenak dan berdo’a

Wirid yang dilakukan setelah shalat shubuh (dilakukan setelah tawajjuh dan membaca surat al-Fatihah):

  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ 100
  2. أَنْتَ الْهَادِي أَنْتَ الْحَقُّ، لَيْسَ الْهَادِي إِلاَّ هُوَ، حَسْبِيْ رَبِّي جَلَّ اللهُ، مَافِي بِقَلْبِي غَيْرُ اللهِ، وَنُوْرُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ، لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 10×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 100×
  4. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 200×
  5. اَللهُ اَللهُ 100×
  6. يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 100×
  7. سُبْحَانَ اللهِ 100×
  8. يَا لَطِيْفُ 133×
  9. Kemudian membaca surat al-Fatihah dan berdo’a

Wirid yang dilakukan siang hari pada hari Jum’at:

  1. اَللهُ اَّلذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ وَ الْآفَاتِ 300×
  2. Istighfâr dan shalawat kepada nabi Muhammad Saw.

Sumber: Alif.ID

65. Wadzifah al-‘Ammah Tarekat Sa’diyyah

Wazhifah Thariqah Sa’diyah

Di dalam thariqah Sa’diyah ada beberapa wazhifah yang dilakukan secara berjama’ah diantaranya:

A. Al-Wazhifah al-‘Ammah

Al-Wazhifah al-‘Ammah adalah wazhifah yang dibaca dimajlis-majlis umum yang dihadiri para murid dan pecinta dzikir para Allah. Caranya adalah:

  • Tawajuh kepada Sayyidina Muhammad Saw.
  • Membaca al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw. keluarga dan shahabatnya, kepada Sayyidina Sa’duddin dan semua para wali dengan niat agar mendapatkan futuh (dibuka hati) dari Allâh Swt.
  • Membaca ayat suci al-Qur’an:

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ، وَمَا تُقَدِّمُوْا لِأَنفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْراً وَأَعْظَمَ أَجْراً وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

  • Membaca istighfar 100 kali dan diakhiri dengan ucapan:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا وَلَا قُوَّةً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا.

  • Membaca shalawat Nabi yang di dahului dengan ayat shalawat

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

  • Setelah itu membaca shalawat syarîfah

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ، النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ، صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْاَهْوَالِ وَالآفَاتِ، وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ، وَتَرْفَعُنَا بِهَا أَعْلَى الدَّرَجَاتِ، وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ، مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ

  • Membaca surat al-Ikhlâs 3 kali
  • Membaca surat Mu’awwidzataini 1 kali
  • Membaca surat al-Fatihah 1 kali
  • Membaca surat al-Baqarah (ayat 1-5) 1 kali
  • Ayat tauhid 1 kali:

وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

  • Membaca ayat kursi 1 kali
  • Membaca akhir surat al-Baqarah (ayat 285-286) 1 kali
  • Membaca kalimah وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا 3 kali
  • Membaca asmaul husna 1 kali
  • Bermunajat kepada Allâh Swt. dengan membaca:

سُبْحَانَ الَّذِيْ تَقَدَّسَتْ عَنِ الْأَشْبَاهِ ذَاتُهُ، وَتَنَزَّهَتْ عَنْ مُشَابَهَةِ الْأَمْثَالِ صِفَاتُهُ، وَشَهِدَتْ بِرُبُوْبِيَّتِهِ آيَتُهُ، وَدَلَّتْ عَلَى وَحْدَنِيَّتِهِ مَصْنُوْعَتُهُ. وَاحِدٌ لَا مِنْ قِلَّةٍ، وَمَوْجُوْدٌ لَا مِنْ عِلَّةٍ. بِالْبِرِّ مَعْرُوْفٌ، وَبِالْإِحْسَانِ مَوْصُوْفٌ. مَعْرُوْفٌ بِلَا غَايَةٍ، وَمَوْصُوْفٌ بِلَا نِهَايَةٍ، أَوَّلٌ قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ، وَآخَرٌ كَرِيْمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ، لَا يُنْسَبُ إِلَيْهِ الْبَنُوْنَ، وَلَا يُفْنِيْهِ تَدَاوُلُ الْأَوْقَاتِ، وَلَا تُوْهِنُهُ السِّنُوْنَ، كُلُّ مَخْلُوْقَتِهِ تَحْتَ قَهْرِ عَظْمَتِهِ، وَأَمْرُهُ بَيْنَ الْكَافِ وَالنُّوْنِ. وَبِذِكْرِهِ أَنِسَ الْمُخْلِصُوْنَ، وَبِرُؤْيَتِهِ تَقَرَّ الْعُيُوْنَ، وَبِتَوْحِدِهِ اِبْتَهَجَ الْمُسَبِّحُوْنَ. هَدَى أَهْلَ طَاعَتِهِ إِلَى صِرَاطِ الْمُسْتَقِيْمَ، وَأَبَاحَ أَهْلَ مَحَبَّتِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ، وَعَلِمَ عَدَدَ أَنْفَاسِ مَخْلُوْقَاتِهِ بِعِلْمِهِ الْقَدِيْمِ، وَيَرَى حَرَكَاتِ أَرْجُلِ النَّمْلِ فِى جَنَحِ الْلَيْلِ الْبَهِيْمِ، يُسَبِّحُهُ الطَّيْرُ فِيْ وَكْرِهِ، وَيُمَجِّدُهُ الْوَحْشُ فِيْ قَفْرِهِ، مُحِيْطٌ بِعَمَلِ الْعَبْدِ سِرَّهُ وَجَهْرَهُ، وَكَفِيْلٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ بِتَأْيِيْدِهِ وَنَصْرِهِ، وَتَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ الْوَجِلَةُ بِذِكْرِهِ وَكَشْفِ ضُرِّهِ. وَمِنْ آيَاتِهِ وَمِنْ آيَاتَهِ أَنْ تَقُوْمَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ بِأَمْرِهِ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَغَفَرَ ذُنُوْبَ الْمُذَنِّبِيْنَ كَرَمًا وَحِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ………………………………………1×

اللهم اكْفِنَا السُّوْءَ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ………3×

يَا نِعْمَ الْمَوْلَى وَيَا نِعْمَ النَّصِيْرُ، غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، سُبْحَانَكَ لَا نُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، جَلَّ وَجْهُكَ، وَعَزَّ جَارُكَ، وَيَفْعَلُ اللهُ مَا يَشَاءُ اللهُ بِقُدْرَتِهِ، وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ بِعِزَّتِهِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا مَالِكَ الْمُلْكِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ارْحَمْنَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَفِّقْنَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ أَصْلِحْنَا.

رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً، (إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)، اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، عَدَدَ خَلْقِكَ، وَرِضَاءَ نَفْسِكَ، وَزِنَّةَ عَرْشِكَ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

اللهم صَلِّ أَفْضَلَ الصَّلَوَاتِكَ عَلَى أَشْرَافِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَعْلُوْمَتِكَ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنْهُمَا، وَأَجْرَ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ فِي أُمُوْرِنَا وَأُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَا كَانَ وَعَدَدَ مَا يَكُوْنَ، وَعَدَدَ مَا هُوَ كَائِنٌ فِيْ عِلْمِ اللهِ.

اللهم صَلِّ عَلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَرْوَاحِ، وَصَلِّ عَلَى جَسَدِهِ فِي الْأَجْسَادِ، وَصَلِّ عَلَى قَبْرِهِ فِي اْلقُبُوْرِ، وَصَلِّ عَلَى قَلْبِهِ فِي النُّوْرِ، وَصَلِّ عَلَى اسْمِهِ فِي الْأَسمَاءِ.

اللهم صَلِّ عَلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْحَبِيْبِ، وَعَلَى أَبِيْهِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ، وَعَلَى أَخِيْهِ سَيِّدِنَا مُوْسٰى الْكَلِيْمِ، وَعَلَى رُوْحِ اللهِ عِيْسٰى الْأَمِيْنَ، وَعَلَى عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ سَيِّدِنَا سُلَيْمَانَ، وَعَلَى أَبِيْهِ سَيِّدِنَا دَاوُدَ، وَعَلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى أَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِيْنَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

  • Membaca ayat al-Qur’an yang mudah
  • Membaca shalawat:

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى النُّوْرِ الْمُبِيْنِ أَحْمَدَ الْمُصْطَفٰى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ اِرْحَمِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ وَفِّقِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ انْصُرِ الْمُسْلِمِيْنَ، أَلْفَ صَلَاةٍ، أَلْفَ سَلَامٍ عَلَى سَرِّ الْعَظِيْمِ أَحْمَدَ الْمُصْطَفٰى أَشْرَفَ الْعَالَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ تَوَفَّنَا عَلَى الْإِيْمَانِ، صَلَاتِيْ وَسَلَامِيْ عَلَى بَدْرِ التَّمَامِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَفِيْ طُوْلِ الزَّمَانِ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى مَنْ لَهُ الشَّامَّةُ وَالْعَلَامَةُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ الْمُظَلَّلُ بِالْغَمَامَةِ.

  • Tawasul kepada Nabi Muhammad Saw.
  • Bermunajat dengan cara seorang Syaikh membaca kalimat

يَا مُتَجَلِّى اِرْحَمْ ذُلِّي، يَا مُتَعَالِي اِرْحَمْ حَالِي

setelah itu para jama’ah mengikutinya 3 kali.

  • Kemudian Syaikh membaca:

يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ

setelah itu diikuti para jama’ah:

يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ، يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ، يَا حَسْبِى أَنْتَ اللهِ

  • Syaikh membaca:

يَسِّرْ لَنَا عِلْمَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ

kemudian para jama’ah mengikutinya 3 kali

  • Kemudian Syaikh membaca do’a setelah selasai dzikir:

اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَعَشِيْرَتِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. اللهم أَمِتْنَا ذَاكِرِيْنَ وَأَحْيِنَا ذَاكِرِيْنَ وَاحْشُرْنَا ذَاكِرِيْنَ تَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَلَا تَحِلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

  • Membaca tahlil dengan cara Syaikh membaca:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ

kemudian diikuti para jama’ah sesuai dengan tuntunan dari Syaikh (100 kali)

  • Membaca dzikir ismu jalalah (اللهُ) 100 kali
  • Kemudian para jama’ah membaca dzikir الحَيُّ, القَيُّوْمُ, اللهُ 100 kali
  • Syaikh membaca:

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، حَقًّا وَصِدْقًا. وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللهم تَقَبَّلْ مِنَّا بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ.

  • Setelah itu para jama’ah membaca al-Fatihah sesuai dengan niat ini
  • Membaca ayat al-Qur’an yang mudah
  • Syaikh membaca hadiah al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., para Nabi dan Rasûl, Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq r.a, Sayyidina Umar, Sayyidina ‘Usman, Sayyidina ‘Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh ahli bait. Dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut.
  • Kemudian Syaikh membaca:

وَاِلَى مَنْ فِيْ عِلْمِ اللهِ الْقَدِيْمِ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَإِلَى سَادَاتِنَا سَادَاتِ هَذَا الْحِمَى فِيْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا، وَإِلَى مَنْ لَهُ فِيْ حُبِّهِمْ قَدَمٌ، أَوْ سَرِّهِمْ قَدَمٌ، أَوْ فِيْ سَلَكِهِمْ قَدَمٌ، جَمِيْعًا لَهُ مِنَّا (بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ)

dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut

  • Syaikh membaca:

وَإِلَى سَيِّدِيْ وَقُوَّتِيْ وَمَلَاذِيْ الْغَوْثِ أَبِي الْفُتُوْحِ سَعْدُ الدِّيْنِ الْجَبَاوِي الْحَسَنِي، وَإِلَى أَوْلَادِهِ وَأَحْفَادِهِ، وَإِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الطَّرِيْقِ مِنْ شَيْخٍ وَمُرِيْدٍ وَمُحِبٍّ وَمُلْتَمِسٍ، وَإِلَى كُلِّ طَرِيْقَةٍ مَرْضِيَّةٍ لِلهِ، وَإِلَى كُلِّ وَلِيٍّ وَوَلِيَّةٍ مِنْ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلِ الْأَرْضِيْنَ جَمِيْعًا لَهُمْ مِنَّا (بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ)

dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut

  • Syaikh membaca do’a

Sumber: Alif.ID

66. Wadzifah Nûrâniyah Tarekat Sa’diyyah

Wadzifah Nûrâniyah adalah wadzifah yang biasa dibaca oleh Sayyiduna Maulânâ Syamsu al-Zaman yaitu Syaikh Thâriq al-Sa’dî untuk memjadikan Khudhu’ (menundukan perilaku para jama’ah).

Cara malakukan Wadzifah Nûrâniyah:

  • Tawajuh kepada Nabi Muhammad Saw.
  • Membaca surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan Shahabatnya, kepada Syaikh Sa’duddin dan para ‘Auliya’ dengan niat Futuh.
  • Membaca shalawat 100 kali dan diakhiri dengan membaca:

اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ، وَاجْزِهِ مَا هُوَ أَهْلُهُ، اللهم اجْزِ عَنَّا نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا مَا هُوَ أَهْلُهُ، وَآتِهِ الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَالدَّرَجَةَ الْعَالِيَّةَ الرَّفِيْعَةَ، وَابْعَثْهُ اللهم مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ.

  • Membaca istighfar 100 kali dan diakhiri dengan membaca:

نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا وَلَا قُوَّةً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، تَوْبَةَ عَبْدٍ فَقِيْرٍ حَقِيْرٍ ضَعِيْفٍ عَاجِزٍ مُحْتَاجٍ.

  • Membaca dzikir:

” لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهَ “، ” اللهُ “، ” هُوَ “، ” اللهُ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ “.

  • Bermunajat:

” يَا وَاحِدُ “، ” يَا قَهّارُ “، ” يَا وَاحِدُ يَا قَهَّارَ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا جَرَتْ بِهِ الْأَقْدَارُ

  • Membaca asmaul husna 1 kali
  • Membaca do’a
  • Membaca surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., para auliya’,dan shâlihîn dengan niat agar diterima do’a tersebut.

Sumber: Alif.ID

67. Tarekat Qadiriyah – Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Nama Qâdiriyah diambil dari nama pendirinya yaitu Syaikh  Abdul Qâdir al-Jilani yang memiliki nama lengkap al-Imam Muhyiddin Abu Muhammad Abu Shâlih Abdul Qâdir bin Abi Shâlih Musa Jangki Dausat al-Jilani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112).

Beliau dilahirkan di desa Busytiru kota Jilan pada bulan Ramadhan tahun 470 H./1077 M. Dan beliau wafat pada malam sabtu 8 Rabi’ul akhir tahun 561 H/1166 M. di kota Baghdad, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 184 dan Adhwa’, halaman 24).

Silsilah Beliau

Silsilah beliau baik dari bapak maupun dari ibu sambung sampai Rasûlullâh Saw. Nasab dari ayah adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Abu Shâlih Jangki Dausat bin Abdillah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullâh al-Tsani bin Musa al-Juni bin Abdullâh al-Mahdi bin Hasan al-Mustanna bin Hasan al-Sibthi bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw.

Nasab dari ibu adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Syarifah Ummul Khair Fatimah binti Abdullâh Sauma’i al-Zahid bin Abu Jamaluddin Muhammad bin Mahmud bin Thâhir bin Abu al-Atha’ Abdullâh bin Kamaluddin Isa bin Abi Alauddin Muhammad al-Jawad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin Zaenal Abidin bin Husain al-Syahid bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw., (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112 dan Adhwa’, halaman: 23).

Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sudah masyhur keutamaan dan kelimuannya. Ayah beliau adalah seorang `ulamâ’ yang masyhur keilmuan, wira’i dan ketakwaannya. Beliau wafat ketika Syaikh Abdul Qâdir masih kecil.

Beliau juga memiliki saudara laki-laki bernama Abdullâh seorang pemuda yang ahli ilmu dan ibadah tetapi wafat pada usia muda. Tepatnya ketika Syaikh Abdul Qâdir meninggalkan Jilan dan memasuki kota Baghdad.

Sedangkan ibu beliau adalah seorang perempuan yang masyhur dengan kebaikan dan kemuliaannya. Beliau wafat ketika syaikh Abdul Qâdir sudah berada di Baghdad, (Adhwa’, halaman: 25).

Perjalanan Beliau

Sejak usia 10 tahun syaikh  Abdul Qâdir sudah dikawal malaikat sebagaimana diceritakan oleh al-Tadafi bahwa syaikh  Abdul Qâdir berkata: “Sejak kecil malaikat datang kepadaku setiap hari, aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat, karena berwujud manusia. Ia mengantarkanku dari rumah ke tempatku belajar dan menyuruh teman-temanku agar memberikan tempat kepadaku dan dia  bersamaku sampai aku pulang, maka pada suatu hari aku bertanya: siapakah engkau? Dia menjawab: aku adalah malaikat yang Allâh Swt. kirimkan kepadamu untuk menemanimu selama di tempat belajar, padahal setiap hari aku mempelajari sesuatu yang orang lain tidak mungkin mempelajarinya dalam satu minggu”, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 186).

Beliau meninggalkan Jilan pada usia 16 tahun dan menetap di Irak hingga mendapat perintah dari Nabi Khidir As. agar memasuki kota Baghdad pada usia 18 tahun, pada saat al-Taimi wafat yakni pada tahun 488 H. Di kota inilah beliau menimba ilmu, melakukan pengembaraan dan bermujahadah hingga tampak keberhasilannya, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 164).

Guru-guru Beliau

Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadafi al-Hambali di dalam kitab Qalaid al-Jawahir mengatakan ketika syaikh Abdul Qâdir tahu bahwa mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat dan juga menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang sakit, beliau bersemangat untuk menghasilkan berbagai macam disiplin ilmu. Setelah menyelesaikan al-Qur’an beliau belajar ilmu fiqih dari: (1) Syaikh  Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali, (2) Syaikh  Abu al-Khattab Mahfudz al-Kalwadzani al-Hambali, (3) Syaikh Abu al-Hasan Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin al-Farra’ al-Hambali, (4) Syaikh  al-Qadhi Abu Sa’id al-Mubarrok bin Ali al-Mukharimi al-Hambali.

Sedangkan ilmu adab beliau belajar dari syaikh  Abi Zakariya Yahya bin Ali al-Tibrizi. Beliau mendengarkan Hadits dari (1) Syaikh  Abu Ghalib Muhammad bin al-Hasan al-Baqilani, (2) Syaikh  Abu Sa’id Muhammad bin Abdul Karim bin Khasyisya, (3) Syaikh  Abu al-Ghanaim Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Maimun al-Farsi, (4) Syaikh  Abu Bakar Ahmad bin al-Muzhaffar, (5) Syaikh  Abu Ja’far bin Ahmad bin al-Husain al-Qari al-Siraj, (6) Syaikh  Abu al-Qasim Ali bin Ahmad bin Bannan al-Karkhi, (7) Syaikh  Abu Thâlib Abdul Qâdir bin Muhammad bin Yusuf, (8) Syaikh Abdur Rahman bin Ahmad, (9) Syaikh  Abu al-Barakat Hibatullâh bin al-Mubarrak, (10) Syaikh Abu al-‘Izzi Muhammad bin al-Mukhtar, (11) Syaikh  Abu Nashar Muhammad, (12) Syaikh Abu Ghalib Ahmad, (13) Syaikh  Abu Abdillah Yahya, (14) Syaikh Abu al-Hasan bin al-Mubarrak bin al-Thuyur, (15) Syaikh Abu Manshur Abdur Rahman al-Qazaz, (16) Syaikh  Abu al-Barakat Thalhah al-‘Aquli.

Beliau juga mempelajari fiqih al-Syafi’i dan fan-fan (cabang-cabang) ilmu lainnya. Sedangkan beliau belajar tashawwuf dari (1) Syaikh  Abi al-Khair Hammad al-Dabbas bin Muslim bin Dawud al-Dabbas sekaligus belajar ilmu adab dan suluk kepada beliau, (2) Syaikh  Abi Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Mukharimi, (3) Syaikh  Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub bin Yusuf al-Hamdani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 165).

Murid-murid Beliau

Dalam setiap tahunnya santri madrasah dan pesantren di Baghdad yang telah menyelesaikan pendidikannya kurang lebih tiga ribu santri, sehingga dalam jangka waktu tiga puluh tiga tahun santri yang telah menyelesaikan pendidikannya mencapai seratus ribu santri. Mereka menyebar keseluruh penjuru dunia, diantaranya Abu al-Fath Nashar bin al-Mina beliau menjadi masyâyikh Hanabilah setelah wafatnya syaikh Abdul Qâdir, Ahmad bin Abu Bakar bin al-Mubarak Abu al-Sa’ud al-Harim, al-Hasan bin Muslim mendirikan pesantren di al-Qadisiyah, Mahmud bin Utsman bin Makarim al-Nu’al, Umar bin Mas’ud al-Bazzaz yang banyak sekali khâlifah yang bertaubat atas bimbingan beliau, Abdullâh al-Jaba`i yang berasal dari desa Jabah Libanon sebelumnya beliau adalah orang nasrani yang diboyong ke Damaskus kemudian masuk Islâm yang mana oleh Zainuddin ‘Ali bin Ibrahim bin Najah salahsatu sahabat Syaikh  Abdul Qâdir dibeli kemudian dimerdekakan dan mengirimnya ke syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad pada tahun 540 H. untuk belajar ilmu agama dan menetap di sana hingga syaikh Abdul Qâdir wafat, yang kemudian disusul oleh al-Muwafiq bin Qudamah penyusun kitab al-Mughni kemudian beliau berangkat ke Asbihan dan mengajar di sana hingga beliau wafat pada tahun 605 H, Hamid bin Mahmud al-Haroni yang kemudian bertemu dengan Nuruddin Zanki, Zainuddin bin Ibrahim bin Najah al-Anshari al-Dimiski beliau mengajar di madrasah syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad yang kemudian berangkat ke Damaskus dan Mesir, (Adhwa’, halaman: 175).

Termasuk santri beliau adalah Ahmad bin al-Mubarak al-Marqo’ati, Muhammad bin al-Fath al-Harami, kedua-duanya menjadi pembimbing madrasah syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad. Syaikh  Abu al-Fathi al-Harowi menjadi pembimbing karena khidmat kepada syaikh Abdul Qâdir, beliau mengatakan “Aku berkhidmat kepada syaikh  Abdul Qâdir selama empat puluh tahun dan selama itu aku menyaksikan syaikh Abdul Qâdir mengejarkan shalat subuh dengan wudhu’nya shalat isyâ’, dan ketika beliau hadats seketika itu juga beliau wudhu’ dan shalat dua rakaat, setiap mengerjakan shalat isyâ’ beliau masuk ke ruang khalwat dan tidak seorang pun boleh masuk, sedangkan beliau tidak keluar kecuali ketika fajar sudah terbit”.

Dan termasuk murid beliau adalah Syu’aib Abu Madyan, Abu Amr Utsman bin Marzuk bin Humaid bin Tsalamah al-Qurasyi beliau menetap di Mesir dan menjadi guru di sana. Dan pernah melaksanakan ibadah haji bersama dengan syaikh Abdul Qâdir.

Imam al-Syathnufi menyebutkan dalam kitab Bahjah al-Asrar `ulamâ’-`ulamâ’ besar dan para wali yang telah belajar ilmu dan tharîqah dari syaikh Abdul Qâdir. Kebanyakan dari mereka adalah ahli fatwa, ahli hukum (pengadilan) atau orang yang mumpuni di bidang ilmu syari’at khususnya hadits, fiqih, al-Qur’an.

Murid-murid beliau yang ahli di bidang hukum (pengadilan), (1) Abu Ya’la Muhammad al-Fara`, (2) Qadhi al-Qudhah Abu Hasan ‘Ali, (3) al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan, (4) Qadhi al-Qudhah Abu al-Qasim Abdul Malik bin ‘Isa bin Darbas al-Maridini, (5) al-Imam Abu Amr Utsman, (6) al-Qadhi Abu Thâlib Abdur Rahman Mufti Irak, (7) syaikh  al-Qudhah Abu al-Fath Muhammad bin al-Qadhi Ahmad bin Bakhtiyar al-Wasithi yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Munadi, (Adhwa’, halaman:: 177).

Murid-murid beliau di bidang fatwa: (1) Abu Abdillah Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (2) Ahmad bin Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (3) Abu Bakar Abdullâh bin Nashar bin Hamzah al-Tamimi al-Bakri al-Baghdadi penyusun kitab Anwar al-Nazhir fi Ma’rifati Akhbari al-Syaikh Abdul Qâdir, (4) al-Imam Abu Amr Utsman bin Ismail bin Ibrahim al-Sa’di, (5) al-Hasan bin Abdullâh al-Dimyati, (6) Syaikh al-Fuqaha’ Abu Abdillah bin Sanan, (7) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Muhammad al-Azhari al-Sharbini, (8) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Shâlih Bahauddin, (9) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Abdullâh bin al-Husain bin al-‘Akbari al-Bashri al-Dharir, (10) Abu Muhammad al-Hasan al-Farisi, (11) Abdul Karim al-Farisi, (12) Abu al-Fadhl, (13) Ahmad bin Shâlih bin Syafi’ al-Hambali, (14) Abu Ahmad Yahya bin Barokah bin Mahfuzh al-Daibaqi al-Babishri al-‘Iraqi, (15) Abu al-Qasim Khalaf bin ‘Iyasy bin Abdul ‘Aziz al-Mishri, (16) Najm al-Din Abu al-Faraj Abdul Mun’im bin ‘Ali bin Nashir bin Shuqail al-Harani.

Murid-murid beliau yang terkenal ahli fiqh: (1) Muhammad bin Abi al-Makarim al-Fadhl bin Bakhtiyar bin abi Nashr al-Ya’qubi, (2) Abu Abdul Malik Dziyan bin Abu al-Ma’ali Rasyid bin Nabhan al-‘Iraqi, (3) al-Imam Abu Ahmad yang terkenal memiliki banyak kelebihan, karya tulis dan karamah, (4) Abu al-Farj Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Hambali, (5) al-Mufti Abu ‘ali bin Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji, (6) Abu Muhammad Yusuf bin al-Muzhaffar bin Syuja’ al-‘Aquli al-Aziji al-Shahari, (7) Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Thabal, (8) Abu al-Ridha Hamzah bin Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji, (9) Muhammad bin Ismail al-Aziji, (10) Abu al-Fath Nashar bin Fatayan bin Muthahar al-Mutsni, (11) Ali bin Abi Thâhir bin Ibrahîm bin Naja al-Mufashir al-Wa’izh al-Anshari. Dan masih banyak lagi yang lain, (Adhwa’, halaman: 178).

Murid-murid beliau yang hafal al-Qur’an dan ahli hadits fiqhiyah: (1) Abu Hafs Amr bin Abi Nashr bin ‘Ali al-Ghazal, (2) al-Imam Muhammad Mahmud bin Utsman al-Ni’al, (3) al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Dan masih banyak yang lain.

Sedangkan murid-murid beliau yang menjadi guru tharîqah: (1) Abu al-Sa’ud Ahmad bin Abu Bakar al-Harami yang dijuluki Sirajul Auliyâ’, (2) al-Syahid abu Abdillah Muhammad bin Abu Ma’ali, (3) Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Wahab al-Aziji, (4) Syaikh Abdul Aziz bin Dalaf al-Bagdadi yang mana dari beliaulah silsilah tharîqah Qâdiriyah menyebar ke Indonesia. Dan masih banyak yang lain, (Adhwa’, halaman: 179).

Karya-karya Beliau

Karya-karya beliau di antaranya: (1) al-Ghunyah Lithâlib al-Thariq al-Haq, (2) Futûhât al-Ghaib, (3) al-Fathur al-Rabbani wal Faidh ar-Rahmani, (4) al-Fathur al-Rabbani fi Halli al-Fadhi al-Zanjani, (5) al-Fathur al-Rabbani Lima Dzala fihi al-Zarqani, (6) Jala’ al-Khathir fi al-Zhahir wal Bathin, (7) Aurâd al-Ayyam as-Sabah, (8) Aurâd al-Auqat al-Khamsah, (9) Wirid Shalat Kubrâ, (10) Hizib al-Raja’, (11) Hizib al-Washilah, (12) al-Shalawat wa al-Ad’iyah, (13) Asrar al-Isra`, (14) Sirr al-Asrar, (15) al-Fuyûdhah al-Rabaniyah, (16) Tafsir al-Qur’an al-Karim, (17) Maratib al-Wujud. Dan masih banyak lagi karya-karya yang lain, (Adhwa’, halaman: 193).

Tharîqah Qâdiriyah tidak hanya tersebar di wilayah Baghdad akan tetapi Tharîqah Qâdiriyah tersebar ke berbagai penjuru dunia diantaranya (1) Makkah, (2) Madinah, (3) Yaman, (4) Tunisia, (5) Al-Jazair, (6) Libia, (7) Mesir, (8) Syiria, (9) Libanon, (10) Palestina, (11) Senegal, (12) Sudan, (13) Somalia, (14) Turki, (15) Asia Tengah, (16) Cina, (17) Malaysia, (18) Indonesia, (19) Yugoslafia.

Sumber: Alif.ID

68. Silsilah Tarekat Qadiriyah

Silsilah Tharîqah Qâdiriyah adalah sebagai berikut:

(1) Allâh Swt,
(2) Jibril As,
(3) Sayyidina Muhammad Saw.,
(4) Sayyidina Ali ibn Abi Thâlib,
(5) Sayyidina Hasan ibn Ali,
(6) Sayyidina Husain ibn Ali,
(7) Syaikh Ali Zainal Abidin,
(8) Syaikh Muhammad al-Baqir,
(9) Syaikh Imam Ja’far al-Shâdiq,
(10) Syaikh Musa al-Kazhim,
(11) Syaikh Ali ibn Musa al-Ridha,
(12) Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi,
(13) Syaikh Sari al-Saqathi,
(14) Syaikh Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi,
(15) Syaikh Abu Bakar al-Syibli,
(16) Syaikh Abdul Wahid al-Tamimi,
(17) Syaikh Abu al-Farraj al-Tursusi,
(18) Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Hakari,
(19) Syaikh Abu Sa’id Mubarak al-Makhrumi,
(20) Syaikh Abdul Qodir al-Jailani,
(21) Syaikh Abdul Aziz,
(22) Syaikh Muhammad al-Hattaq,
(23) Syaikh Syamsuddin,
(24) Syaikh Syarofuddin,
(25) Syaikh Zainuddin,
(26) Syaikh Nuruddin,
(27) Syaikh Waliyuddin,
(28) Syaikh Hisyamuddin,
(29) Syaikh Yahya,
(30) Syaikh Abu Bakar,
(31) Syaikh Abdul Rahim,
(32) Syaikh Utsman,
(33) Syaikh Kamaluddin,
(34) Syaikh Abdul Fatah,
(35) Syaikh Murad,
(36) Syaikh Syamsuddin (Makkah),
(37) Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1307/1878 di Makkah),

Sumber: Tsamrah al-Fikriyah, halaman: 25.

Al-Kurdy (Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy: 1994), Said (2003,37-38), dan Aqib (2004, 125-126) menyebutkan nama-nama tharîqah dari silsilah Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib RA. Intinya sebagai berikut:

  1. Pengamal tharîqah setelah Sayyidina Ali Ibnu Thâlib Ra. wafat disebut golongan “Alawiyah”, yaitu silsilah nomor 4, sampai pada periode Abu Qâshim Junaidi al-Baghdadi.
  2. Setelah Abu Qashim wafat sampai periode Syaikh Abdul Qâdir Jailani yaitu nomor 19, disebut golongan pengamal “Junaidiyah” atau “Baghdadiyah”.
  3. Setelah Syaikh Abdul Qâdir Jailani sampai dengan masa Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yaitu silsilah nomor 34, disebut dengan tharîqah “Qâdiriyah”.
  4. Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat, tharîqah yang dipegangi disebut tharîqah “Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah”.

Sumber: Alif.ID

69. Ajaran-ajaran Dasar Tarekat Qadiriyah

Syaikh Abdul Qâdir Jailani Ra. menetapkan tujuh ajaran dasar tharîqah Qâdiriyah:

  1. Mujahadah: melawan kehendak hawa nafsu dan membelenggu-nya dengan takwa dan takut kepada Allâh Swt. dengan jalan muraqabah (beribadah kepada Allâh Swt. seakan-akan melihat-Nya jika tidak mampu maka yakinlah bahwa Allâh Swt. Maha Melihat).
  2. Tawakkal: pada hakikatnya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allâh Swt.
  3. Akhlak yang mulia baik kepada Allâh Swt. maupun kepada sesama hamba Allâh Swt.
  4. Syukur: menurut ahli tahqiq adalah pengakuan nikmat Allâh Swt. dengan cara tunduk kepada-Nya.
  5. Sabar ada tiga macam:
  • Sabar karena Allâh Swt.;
  • Sabar bersama Allâh Swt.;
  • Sabar atas Allâh Swt..
  1. Ridha: ridha atas segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh Swt.
  2. Jujur: sama antara yang tersembunyi dan yang terbuka, (Adhwa’, halaman: 132).

Sumber: Alif.ID

70. Tata Cara Baiat Tarekat Qadiriyah

Tata Cara Baiat Tharîqah Qâdiriyah

  1. Mursyid memberikan pengetahuan tentang akidah tata cara ibadah mengetahui halal haram;
  2. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk melakukan taubat terhadap seluruh maksiat;
  3. Mursyid memerintahkan Sâlik melaksanakan shalat sunnah taubat 2 rakaat;
  4. Sâlik duduk iftirasy menghadap kiblat di depan mursyid;
  5. Mursyid membaca fatihah sambil menjabat tangan Sâlik;
  6. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ.

  1. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk selalu taat kepada Allâh Swt., menjauhi seluruh kemaksiatan, baik maksiat anggota tubuh zhahir dan maksiat hati seperti iri, dendam, riya’ dan sebagainya.
  2. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:

شَيْخُنَا وَأُسْتَادُنَا (الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِي) رَضِيْتُهُ شَيْخًا لِيْ وَطَرِيْقَةً لِيْ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ.

  1. Mursyid berkata secara sirri:

يَا وَاحِدُ يَا مَاجِدُ اِنْفَحْنَا مِنْكَ بِنَفْحَةِ خَيْرٍ 3×

  1. Mursyid membaca ayat-ayat yang menjelaskan tentang baiat (al-Fath: 10)
  2. Mursyid berkata kepada Sâlik “Dengarkanlah kalimat tauhid dariku” tiga kali. “Ucapkanlah لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ sambil Sâlik memejamkan kedua mata. Kemudian murid menirukan ucapan mursyid sebanyak tiga kali;
  3. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk memperbanyak membaca tahlil tanpa dibatasi hitungan di malam dan siang hari menurut batas kemampuan Sâlik;
  4. Mursyid berkata “Apakah engkau menerima baiat ini?”, Sâlik menjawab “saya terima”;
  5. Mursyid membaca fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., seluruh Nabi dan Rasul, keluarga dan seluruh sahabatnya, seluruh orang-orang mukmin dikhususkan kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jilanidan mursyid-mursyid tharîqah Qâdiriyah.

Jika seorang mursyid memandang Sâlik pantas untuk ditambah aurâd (wirid)nya maka mursyid memerintahkan Sâlik dengan macam-macam dzikir tharîqah Qâdiriyah dan harus dilakukan oleh Sâlik.

Wiridan pagi dan sore yang wajib dilakukan oleh Sâlik tharîqah Qâdiriyah adalah:

  1. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 100×
  2. اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ 100×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمْ 100×
  4. حَسْبِيَ اللهِ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ 100×

Ketika mursyid memandang Sâlik mampu, maka mursyid menambah beberapa macam wirid yang lain. Setelah selesai melakukan wirid Sâlik dianjurkan untuk membaca al-Fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada mursyid tharîqah dan seluruh silsilah tharîqahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 276-277).

Sumber: Alif.ID

71. Adab Murid Tarekat Qadiriyah

Adab Sâlik terhadap Diri Sendiri

  1. Ber-i’tiqat dengan benar yakni i’tiqat ahlu sunnah wal jama’ah;
  2. Berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Hadits serta mengamalkannya, yaitu melakukan perintah dan menjauhi larangan baik hukum asal atau furû`;
  3. Jujur;
  4. Bersungguh-sungguh sampai Sâlik menemukan hidayah petunjuk dan tanda-tanda (wushul kepada Allâh Swt). Bersungguh-sungguh memadamkan jilatan syahwatnya dan hawa nafsunya. Karena i’tiqat yang benar bisa menaghasilkan ilmu hakikat. Bersungguh-sungguh bisa menetapkan Sâlik menempuh jalan hakikat;
  5. Wajib bagi Sâlik melakukan amal secara ikhlâs karena Allâh Swt., supaya Sâlik tidak sia-sia menjalankan tharîqahnya;
  6. Sâlik harus menyembunyikan karamah-karamahnya, karena syaikh Abdul Qâdir al-Jilaniberkata: “Wali tidak akan menampakkan karamahnya kecuali diizinkan oleh Allâh Swt”. Karena salah satu dari sarat kewalian adalah menyembunyikan karamah;
  7. Sâlik tidak berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang sempit, orang-orang yang beramal dengan sia-sia yaitu orang yang mencari qâla dan qîla (orang yang menambah keilmuan tanpa melakukan amal), tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak menyukai amal ibadah, tidak bergaul terhadap orang yang suka memerintahkan beramal terhadap Islâm dan iman, tapi dia tidak melakukan dengan dasar.
  8. Hendaknya Sâlik tidak kikir dengan shadaqah;
  9. Seyogyanya Sâlik ridha dengan keadaan yang hina (di hadapan mahluk), lapar, menyembunyikan amal yang baik, senang dengan hinaan manusia, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 281-282).

Adab Sâlik terhadap Mursyid

  1. Tidak melawan mursyid lahir batin;
  2. Tidak durhaka kepada mursyid, karena orang yang durhaka adalah orang yang meniggalkan adab;
  3. Sâlik harus memiliki husnuzhan (berprasangka baik) kepada mursyid walaupan mursyidnya melakukan perbuatan yang tidak disukai menurut kaca mata syara’, karena mursyid berusaha memberikan kalam matsal dan isyarah kepada Sâlik;
  4. Jika Sâlik melihat aib mursyid maka Sâlik harus menutupinya;
  5. Sâlik harus menta’wil ucapan mursyid sesuai dengan syara’, jika Sâlik tidak menemukan alasan secara syari’at maka Sâlik memintakan ampun kepada mursyid, mendoakannya, mendapatkan taufik, ilmu, sadar dan terjaga dari kesalahan;
  6. Sâlik tidak beri’tikat bahwa mursyidnya adalah ma’shûm (terjaga dari maksiat), tapi mahfuzh (melakukan kesalahan dan meminta maaf);
  7. Melanggengkan bersahabat dengan mursyid, karena persahabatan itu bisa menjadi wasilah antara Sâlik dan tuhannya;
  8. Hendaknya Sâlik tidak meniggalkan mursyid sampai Sâlik sudah wusul kepada Allâh Swt;
  9. Sâlik tidak boleh berbicara di depan mursyid kecuali dalam keadaan dharurat;
  10. Sâlik tidak boleh menampakkan kelebihannya di depan mursyid;
  11. Sâlik tidak menggelar sajadah di hadapan mursyid kecuali waktu shalat (menampakkan taat ibadah di hadapan mursyid dengan tujuan mendapatkan simpati dari mursyid);
  12. Sâlik selalu siap sedia melayani (khidmat)kepada mursyid.
  13. Seyogyanya bagi Sâlik diam ketika mursyid memiliki masalah, walaupun jawaban mursyid kurang luas, bahkan Sâlik harus bersyukur kepada Allâh Swt. atas pemberian ilmu, keutamaan dan cahaya dalam hatinya.
  14. Hendaknya bagi Sâlik tidak bergerak ketika mendengarkan ucapan mursyid kecuali atas peritah mursyid.
  15. Sâlik tidak bersuara dengan keras dihadapan mursyid.
  16. Sâlik tidak duduk di tempat duduk yang dikhususkan untuk mursyid.
  17. Sâlik tidak beranjak dari tempat duduk atau keluar dari hadapan mursyid, kecuali atas isyarah atau perintahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 282-286).

Adab antar Sâlik

  1. Persahabatan harus saling mengalah (al-Itsar: lebih mementingkan sahabat daripada kepentingan dirinya), menerima apa adanya keadaan sahabat, melaksanakan persahabatan degan syarat saling berkhidmat (saling melayani).
  2. Sâlik tidak memperdulikan haknya atas seseorang, tapi Sâlik memperdulikan hak orang lain atas dirinya.
  3. Menampakkan kekompakan kepada sahabat baik secara ucapan ataupun perbuatan mereka.
  4. Meninggalkan perselisihan, perdebatan terhadap sahabat.
  5. Tidak boleh menyimpan dendam dalam hati kepada sahabat, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 287).

Sumber: Alif.ID

72. Tata Cara Khalwat 40 Hari Tarekat Qadiriyah

Tata Cara Kholwat 40 Hari Tharîqah  Qâdiriyah

  1. Tidak berbicara kecuali dengan pembicaraan yang diridhai oleh Allâh Swt.
  2. Sedikit makan dan berpuasa lebih baik.
  3. Sedikit tidur.
  4. Berdzikir setiap tarikan nafas.
  5. Berkhalwat di dalam masjid jika memungkinkan, jika tidak memungkikan maka berkhalwat di dekat masjid, untuk menghadiri shalat berjama’ah.
  6. Lebih baik tidak membawa uang.
  7. Seyogyanya menghilangkan seluruh keinginan kecuali ridhanya Allâh Swt.
  8. Selalu bermuraqabah kepada Allâh Swt. serta melanggengkan dzikir.
  9. Menghilangkan kesibukan yang bisa menggagalkan khalwatnya Sâlik.
  10. Sâlik menjalankan amalan dari mursyid baik berupa dzikir dan membaca al-Qur’an.

Dalam hadits  Nabi disebutkan:

مَنْ دَاوَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا عَلَى صَلَاةِ الْغَذَاةِ وَالْعِشَاءِ فِيْ جَمَاعَةٍ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ. رواه الإمام أبو حنيفة في مسنده.

Barang siapa yang melanggengkan sholat subuh dan isya’ dengan berjama’ah selama 40 hari, maka ditulis bebas dari sifat munafiq dan syirik.

مَنْ أَخْلَصَ لِلهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا تَفَجَّرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. 

Barang siapa yang melakukan ‘ibadah dengan ikhlas selama 40 hari, maka muncul hikmah dari dalam hati melalui lisan Sâlik, (Ittihâf  al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 275).

Sumber: Alif.ID

73. Hizib Tarekat Qadiriyah

Hizb Shoghir

حِزْبُ الصَّغِيْرِ

اَللهم حُلْ هَذَا الْعُقْدَةَ وَأَزِلْ هَذِهِ الْعُسْرَةَ، وَلَقِّنِيْ حُسْنَ الْمَيْسُوْرِ وَقِنِيْ سُوْءَ الْمَقْدُوْرِ وَارْزُقْنِيْ حُسْنَ الطَّلَبِ وَاكْفِنِيْ سُوْءَ الْمُنْقَلَبِ اَللهم حُجَّتِيْ وَعُدَّتِيْ فَاقْتِيْ، وَوَسِيْلَتِيْ اِنْقِطَاعَ حِيْلَتِيْ، وَ رَاسِ مَالِي عَدَمُ اِحْتِيَالِيْ، وَشَفِيْعِيْ دُمُوْعِيْ، وَكُنُزِيْ عَجْزِيْ، إِلَهِيْ قَطْرَةٌ مِنْ بَحَارِ جُوْدِكَ تَغْنِيْنِيْ وَذُرَّةٌ مِنْ تِيَارِ عَفْوِكَ تَكْفِيْنِيْ فَارْزُقْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ وَاغْفِرْ لِيْ وَاقْضِ حَاجَتِيْ وَنَفِّسْ كُرْبَتِي وَفَرِّجْ هَمِّيْ وَاكْشِفْ غَمِّي بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن.

Hizib Nashr

حِزْبُ النَّصْرِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم اِقْطَعْ أَجْلَ أَمَلِ أَعْدَائِي وَشَتِّتْ اَللهم شَمِّلْهُمْ وَأَمِّرْهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَاقْلِبْ تَدْبِيْرَهُمْ وَبَدِّلْ أَحْوَالَهُمْ وَنَكِّسْ أَعْلَامَهُمْ وَكُلَّ سِلَاحَهُمْ وَقَرِّبْ آجَالَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَغَيِّرْ أَفْكَارَهُمْ وَخَيِّبْ آمَالَهُمْ وَخَرِّبْ بُنْيَانَهُمْ وَاقْلِعْ آثَارَهُمْ حَتَّى لَا تَبْقَى لَهُمْ بَاقِيَةٌ وَلَا يَجِدُوْا لَهُمْ وَاقِيَةً وَاشْغِلْهُمْ بِأَبْدَانِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَرَامِهِمْ بِصَوَاعِقَ اِنْتِقَامِكَ وَابْطِشْ بِهِمْ بَطْشاً شَدِيْدًا وَخُذْهُمْ أَخْذاً عَزِيْزًا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

اَللهم لَاأَمْنَعُهُمْ وَلَاأَدْفَعُهُمْ إِلَّابِكَ اَللهم إِنَّانَجْعَلُكَ فِي نُحُوْرِهِمْ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِمْ، يَامَلِكَ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ عَلَىْهِمْ فَدَمِّرْهُمْ تَدْمِيْرًا وَتَبِّرْهُمْ تَتْبِيْرًا فَاجْعَلْهُمْ هَبَاءً مَنْثُوْرًا، آمِيْنَ آمِيْنَ آمِيْنَ يَااللهُ يَااللهُ يَااللهُ بِسْمِ اللهِ بِحَرَمَةِ مُحَمَّدٍ عِنْدَكَ أَنْ تَسْتَرَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ  وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

Hizib Fath

حِزْبُ الْفَتْحِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ:

” إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِيناً لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْماً وَيَنْصُرَكَ اللهُ نَصْراً عَزِيزاً”.

اَللهم يَاوَاجِبَ الْوُجُوْدِ وَيَاوَاهِبَ الْخَيْرِ وَالْجُوْدِ، إِفْضِ عَلَىْنَا أَنْوَارَ رَحْمَتِكَ وَيَسِّرْلَنَا الْوُصُوْلَ إِلَى كَمَالِ مَعْرِفَتِكَ، سُبْحَانَكَ لَاعِلْمَ لَنَا إِلَّا مَاعَلَّمْتَنَا وَلَامَعْرِفَةَ لَنَا إِلَّامَا أَلْهَمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ، اَللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْعِصْمَةِ دَوَامِهَا، وَمِنَ النِّعْمَةِ تَمَامِهَا، وَ مِنَ الرَّحْمَةِ شُمُوْلِهَا وَمِنَ الْعَافِيَةِ حُصُوْلِهَا، وَمِنَ الْعَيْشِ أَرْغَدَهُ، وَمِنَ الْعُمُرِ أَسْعَدَهَ، وَمِنَ الْوَقْتِ أَطْيَبَهُ، وَمِنَ الرِّزْقِ أَوْسَعَهُ، وَمِنَ الْفَضْلِ أَعْذَبَهُ، وَمِنَ اللُّطْفِ أَنْفَعَهَ، وَمِنَ الْإِنْعَامِ أَعَمَّهُ، وَمِنَ الْإِحْسَانِ أَتَمَّهُ، اَللهم كُنْ لَنَا يَاجَبَّارُ وَلَاتَكُنْ عَلَىْنَا، اَللهم حَصِّنْ بِالسَّعَادَةِ آجَالَنَا، وَحَقِّقْ بِالزِّيَادَةِ آمَالَنَا، وَاقْرِِنْ باِلْعَافِيَةِ غَدْوَنَا وَ آصَالَنَا وَاجْعَلْ إِلَى مَغْفِرَتِكَ وَرَحْمَتِكَ مَصِيْرَنَا وَ مَآلَنَا، وَ صُبَّ سَحَائِبُ عَفْوِكَ عَلَى ذُنُوْبِنَا، وَمُنَّ عَلَىْنَا بِإِصْلَاحِ عُيُوْبِنَا، وَاجْعَلْ التَّقْوَى زَادَنَا، وَفِي دِيْنِكَ اِجْتِهَادَنَا، فَإِنَّهُ عَلَىْكَ تَوَكَّلْنَا وَ اعْتِمَادَنَا وَثَبِّتْنَا عَلَى نَهْجِ الْاِسْتِقَامَةِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، رَبَّنَا خَفِّفْ عَنَّا ثِقَلَ الْأَوْزَارَ، وَارْزُقْنَا مَعِيْشَةَ الْأَبْرَارِ وَاكْفِنَا شَرَّ الْأَشْرَارِ، وَ اعْتِقْ رِقَابَنَا وَرِقَابَ آبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَمَشَايِخِنَا مِنَ الدَّيْنِ وَالْمَظَالِمِ وَالنَّارِ، بِرَحْمَتِكَ يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ يَاكَرِيْمُ يَاسَتَّارُ يَاحَلِيْمُ يَاجَبَّارُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَا، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Hizib Mubarok

حِزْبُ الْمُبَارَكِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

رَبِّ عَبْدُكَ ضَاقَتْ بِهِ الْأَسْبَابُ وَغَلَّقَتْ دُوْنَهُ الْأَبْوَابُ، وَتَعَسَّرَ عَلَىْهِ سُلُوْكُ طَرِيْقِ أَهْلِ الصَّوَابِ، وَزَادَ بِهِ الهَمُّ وَالغَمُّ وَ الْاِكْتِئَابُ، وَانْقَضَى عُمْرُهُ، وَلَمْ يَفْتَحْ لَهُ إِلَى فَسِيْحِ تِلْكَ الْحَضْرَاتِ وَمَنَاهِلِ الصِّفْوَةِ وَالرَّاحَاتِ بَابٌ، وَانْصَرَمَتْ أَيَّامُهُ وَالنَّفْسُ رَاتِعَةٌ فِي مَيَادِيْنِ الْغَفْلَةِ وَدَنَاءَاتِ الْاِكْتِسَابِ، وَأَنْتَ الْمَرْجُوْ لِكَشْفِ هَذَا النِّصَابِ، يَا مَنْ إِذَا دُعِيَ أَجَابَ يَا سَرِيْعَ الْحِسَابِ يَا عَظِيْمَ الْجِنَابِ، رَبِّ لَا تَرُدَّ مَسْأَلَتِيْ وَلَاتَدَعْنِيْ بِحَسْرَتِيْ، وَلَاتَكِلْنِي إِلَى حَوْلِي وَ قُوَّتِي وَارْحَمْ عَجْزِيْ وَفَقْرِي وَفَاقَتِيْ، وَذَلِّلْ صُعُوْبَةَ أَمْرِيْ وَسَهِّلْ طَرِيْقَ يُسْرِي، فَقَدْ ضَاقَ صَدْرِي وَ تَاهَ فِكْرِيْ وَتَحَيَّرْتُ فِي أَمْرِيْ أَنْتَ الْعَالِمُ بِسِرِّيْ وَجَهْرِيْ المَالِكُ لِنَفْعِيْ وَضَرِّيْ الْقَادِرُ عَلَى تَيْسِيْرِ عُسْرِيْ.

رَبِّ ارْحَمْ مَنْ عَظُمَ مَرَضُهُ وَعَزَّ شِفَاؤُهُ وَكَثُرَ دَاؤُهُ وَقَلَّ دَوَاؤُهُ، وَأَنْتَ مَلْجَأَ هُوَ رَجَاؤُهُ وَمُغِيْثُهُ، إِلٰهِيْ وَ سَيِّدِيْ وَ مَوْلَايَ، ضَاقَتْ الْمَذَاهِبُ إِلَّا إِلَىْكَ، وَخَابَتْ الْآمَالُ إِلَّا لَدَيْكَ، وَانْقَطَعَ الرَّجَاءُ إِلَّا مِنْكَ، وَبَطَلَ التَّوَكُّلُ إِلَّاعَلَىْكَ، لَامَلْجَأَ وَلَامَنْجَى مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، تَحَصَّنْتُ بِذِي الْمَلِكِ وَالْمَلَكُوْتِ، وَاعْتَصَمْتُ بِذِي الْعِزَّةِ وَالْجَبْرُوْتِ وَتَوَكَّلْتُ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَايَمُوْتُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا.

Sholawat Syarifah

الصَّلَاةُ الشَّرِيْفَةُ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، بَحْرَ أَنْوَارِكَ وَمَعْدَنَ أَسْرَارِكَ وَلِسَانَ حُجَّتِكَ وَعَرُوْسَ مَمْلَكَتِكَ وَطِرَازَ مُلْكِكَ المُتَلَذِّذَ بِمُشَاهَدَتِكَ، صَلَاةً تَحُلُّ بِهَا عُقْدَتُنَا وَ تَفْرَجُ بِهَا كُرْبَتُنَا، وَتَقْضِى بِهَا حَوَائِجُنَا، صَلَاةً تُرْضِيْكَ وَتُرْضِيْهِ وَتَرْضَى بِهَا عَنَّا يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ، عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ عِلْمَكَ وَأَحْصَاهُ كِتَابَكَ وَشَهَدَتْ بِهِ مَلاَئِكَتُكَ وَ جَرَى بِهِ قَلَمُكَ، عَدَدَ الْأَمْصَارِ وَالْأَحْجَارِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَشْجَارِ وَمَلَائِكَةِ الْجَبَّارِ، وَعَدَدَ مَا خَلَقَ مَوْلَانَا مِنْ أَوَّلِ الزَّمَانِ إِلَى آخِرِ الزَّمَانِ، وَسَلِّمَ عَلَىْهِ وَعَلَىْهِمْ مِثْلُ ذٰلِكَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

74. Khataman dalam Tarekat Qadiriyah

Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitab Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyûb menyebutkan 8 adab khataman, yaitu:

  1. Suci dari hadats dan najis.
  2. Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia.
  3. Khusyu’ dan hadir hati kepada Allâh Swt., seolah-olah dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka Dia melihat anda.
  4. Peserta yang hadir harus seizin Syaikh .
  5. Pintu ditutup, Karena menurut hadits yang diriwayatkan al-Hakim dari Ya’la bin Syidad:

بَيْنَمَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلْ فِىْكُمْ غَرِىْبٌ، ىَعْنِى الْكِتَابُ، فَقُلْنَا: لَا ىَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ، وَ قَالَ: اِرْفَعُوْا اَيْدِيَكُمْ

Tatkala aku berada di sisi Rasullullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya: ”adakah orang asing diantara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasûlullâh Saw., Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَاُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ, وَ بِلَالٌ وَ عُثْمَانَ بْنُ طَلْحَةَ فَاَغْلَقُوْا عَلَيْهِمْ فَلَمَّا فَتَحَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ اَوَّلَ مَنْ وَلِجَ فَلَقَيْتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ صَلَّى بَيْنَ الْعَمُوْدَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Rasûlullâh Saw., telah memasuki ka’bah bersama dengan Usamah bin Zaid, bilal, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, ku jumpai bilal dan kutanyakan: apakah Rasûlullâh Saw, shalatnya di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, dianara dua tiang arah Yaman”.

  1. Memejamkan pelupuk mata dari permulaan sampai akhir.
  2. Berusaha sungguh-sungguh melenyapkan lintasan dan getaran dalam hati, sehingga tidak sampai lalai dari mengingat Allâh Swt.
  3. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat.

Prosesi Khataman

Prosesi khataman biasanya dilaksanakan oleh mursyid atau murid senior, dalam posisi duduk berjama’ah shalat, maka mulailah membaca berbagai bacaan. Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrat al-Fikriyyah, bahwa proses khataman dimulai sebagai berikut:

  1. al-Fatihah, ke hadirat Nabi Saw, beserta keluarga dan sahabatnya.
  2. al-Fatihah, untuk para Nabi dan Rasul, para Malaikat al-Muqarrabin, para Syuhadâ’. Para Shalihin, setiap keluarga, setiap sahabat, dan kepada arwah bapak kita Adam As., dan ibu kita Hawâ’. Dan semua keturunan dan keduanya sampai hari kiamat.
  3. al-Fatihah, kepada arwahnya Khulafâ’ al-Râsyidîn (Abu Bakar al-Shiddiq r.a, Umar, Ustman, Ali), semua sahabat awal dan ahkir, para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in dan semua yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari kiamat.
  4. al-Fatihah, untuk arwah para imam Mujtahid dan para pengikutnya, para `ulamâ’ dan pembimbing, para Qari’, para Mukhlisin, para imam hadits, mufassir, semua tokoh-tokoh sufi yang ahli tharîqah, para wali baik laki-laki maupun perempuan, Kaum muslimin dan muslimat dari seluruh penjuru dunia.
  5. al-Fatihah, untuk semua arwah Syaikh tharîqah Qâdiriyah wa al-Naqsyabandiyah, khususnya Shulthân al-Auliyâ’ Syaikh  Abdul Qâdir al-Jilani, Abul Qâsim al-Junaidi, Sirri Saqathi, Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, Habib al-Ajami, Hasan al-Bashri, Ja’far Shâdiq, Abu Yazid al-Basthami, Yusuf al-Hamadani, Burhanuddin an-Naqsyabandi, as-Sirhindi. Berikut nenek moyang dan keturunan mereka, ahli silsilah mereka dan orang yang mengambil ilmu dari mereka.
  6. al-Fatihah, kepada arwah orang tua kita dan Syaikh-Syaikh kita, keluarga kita yang yang telah mati, orang yang berbuat baik kepada kita, dan orang yang mempunyai hak dari kita, orang yang mewasiati kita, dan orang yang kita wasiati, serta orang yang mendo’akan baik kepada kita.
  7. al-Fatihah, kepada arwah semua mu’minin-mu’minat, muslimin-muslimat yang masih hidup maupun yang sudah mati di sebelah barat maupun di sebelah timur, di belahan kanan dan kiri dunia, dan dari seluruh penjuru dunia, semua keturunan Adam As., sampai kiamat.

Sumber: Alif.ID

75. Tarekat Rifaiyah – Biografi Sayyid Ahmad al-Rifa’i

Tharîqah yang pendiriannya dinisbatkan kepada seorang wali quthub yang menjadi tonggak tharîqah dan tokoh para wali besar yaitu Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin (1)Sayyid `Ali, bin (2)Sayyid Yahya, bin (3)Sayyid Tsabit, bin (4)Sayyid Hazim, bin (5)Sayyid Ahmad, bin (6)Sayyid Ali, bin (7)Sayyid Hasan al-Rifa`ah, bin (8)Sayyid al-Mahdi, bin (9)Sayyid Abu Qasim Muhammad, bin (10)Sayyid Hasan, bin (11)Sayyid Husain, bin (12)Sayyid Musa al-Tsani, bin (13)Sayyid Ibrahim al-Murtadha, bin (14) Imam Musa al-Kadzîm, (15)bin Imam Ja`far Shadiq, bin (16)Imam Muhammad al-Baqir, bin (17)Imam Zainal Abidin Ali, bin (18)Sayyid Imam Abi Abdillah al-Husain, bin (19)Sayyidina Ali wa Sayyidatina Fatimatuz Zahra’, binti (20)Sayyidil Khalqi Sayyidina Muhammad Saw. Beliau dilahirkan di Ummi Abidah daerah pertengahan antara Bashrah dan Bagdad yaitu daerah yang masyhur di Irak tepatnya hari Kamis pada pertengahan pertama bulan Rajab, yakni pada tahun 512 H., (A’lâm al-Shûfiyah, halaman: 412-413).

Pengembaraannya dalam menuntut ilmu dimulai dengan belajar Fiqih madzhab Syafi’i dari pamannya yang bernama Syekh Abi Bakrin al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab al-Tanbih, lalu masuk Tharîqah kemudian menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia tinggalkan gemerlap dunia dan memusatkan perhatian pada tharîqah sehingga menjadi seorang wali besar dan sangat ahli dalam ilmu tharîqah. Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik yang sangat menghormatinya. Menurut Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah atau Ahmadiyah atau Bathaihiyah, Para santrinya memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan, (Nûr al-Abshâr, halaman: 252).

Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Imam Rifa`i yang memiliki berbagai karamah dan maqâm, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka kadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma kemudian menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 402).

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti, Imam Rifa`i ini menyandang mandat (ijazah) tharîqah dari (1)Syaikh Ahmad al-Wasithi al-Qârî, dari (2)Syaikh Abil Fadhal bin Kamikh al-Kâmakhâni, dari (3)Syaikh Ghulam bin Tarakkân, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Rauzabati, dari (5)Syaikh `Ali al-‘Ajami, dari (6)Syaikh Abi Bakar al-Syibli, dari (7)Imam Abul Qasim al-Junaidi aI-Baghdadi, dari (8)Imam as-Sari as-Saqathi, dari (9)Imam Abi Mahfud al-Karkhi, dari (10)Syaikh Imam Dawud al-Thâ’i, dari (11)Syaikh Habib al-Ajami, dari (12)Syaikh Imam Hasan al-Bishri, dari (13)Suami al-Batûl, dan anak dari paman Rasûlullâh, Maulana Amiril Mu’minin al-Imam Ali bin Abi Thalib Krw., dari (14)Sayyidil Makhluqin wa Imamin Nabiyyin wal Mursalin Sayyidina Muhammadin Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107).

Beliau juga menyandang mandat Tharîqah dari pamannya (1)Sayyid Syaikh Manshur al-Batha’i al-Robbani, dari pamannya (2)Syaikh Abil Manshur al-Thayyib, dari (3)Syaikh Abi Sa`id Yahya al-Bukhari al-Wasithi, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Qurmuzi, dari (5)Syaikh Abil Qasim al-Sundusi al-Kabir, dari (6)Syaikh Abi Muhammad Ruwaim al-Baghdadi, dari (7)Syaikh Abil Qasim al-Junaidi, dari (8)Syaikh Sari al-Saqathi, dari (8)Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, dari (9)Imam Ali bin Musa al-Ridha, dari ayahnya (10) Imam Musa al-Kadzîm dari ayahnya (11) Imam Ja’far al-Shâdiq, dari ayahnya (12)Imam Muhammad al-Baqir dari ayahnya (13)Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari (14)al-Imam Amiril Mu’minin Asadullah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw., dari (15)Rasûlullâh Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107 dan Thabâqat al-Kubra, halaman: 200).

Syekh Ahmad Rifa’i & Syekh Abdul Qadir Jailany

Imam Rifa`i sering melihat Nur kebesaran Allâh Swt. Ketika hal itu terjadi, maka dirinya meleleh seperti genangan air. Maka berkat Rahmat Allâh Swt., kemudian mengeras sedikit demi sedikit hingga kembali ke wujud semula. Ia berkata pada santri-santrinya, “Sekiranya bukan karena kemurahan Allâh Swt., niscaya aku tidak akan kembali pada kalian“. Di dalam kitab Thabâqat karya Abdul Wahab Ibnu as-Subki terdapat kisah, bahwa ada seekor kucing yang tidur di lengan baju Imam Rifa`i, Ketika waktu shalat tiba, ia menggunting lengan bajunya dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan si kucing. Seusai shalat dan si kucing telah bangun dari tidurnya, ia jahit lengan bajunya sehingga tersambung kembali, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 204).

Imam Rifa`i pernah mengambil air wudhu’ pada musim dingin, ketika terlihat ia sedang meluruskan lengan tangannya dalam waktu yang cukup lama dan tidak menggerakkan sama sekali, lalu ada seorang mu`adzin bernama Ya`qub mendatanginya dan langsung mencium tangannya. “Ya’qub, engkau telah mengganggu si lemah ini“, kata Imam Rifa`i seraya menunjuk sesuatu yang berada di lengannya. “Apakah itu?” Tanya Ya’qub. “Ada seekor nyamuk yang sedang menikmati rezekinya dari lenganku. Karena engkau mencium tanganku, nyamuk itu pergi”, jawab Imam Rifa`i. Di antara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal, “Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allâh Swt. Namun aku tak menemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan susah“, (Nûr al-Abshâr, halaman: 253).

Dalam kitab Thabâqat karya Imam al-Sya`rani diterangkan bahwa Imam Rifa`i selalu memulai salam kepada setiap orang yang dijumpai sampai kepada seekor hewan atau anjing sekalipun. Bila mendengar kabar adanya orang sakit, ia akan menjenguknya meski orang yang sakit tersebut tinggal di tempat yang jauh. Ia akan kembali dari menjenguk orang yang sakit tersebut setelah satu hari atau dua hari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Imam Rifa`i keluar ke jalan untuk menunggu orang buta lewat. Bila ada orang buta lewat, ia ambil tangannya dan menuntunnya. Bila melihat orang tua renta, maka ia mendatangi penduduk desa dan berpesan dengan mengutip sabda Rasûlullâh Saw., “Barangsiapa yang memuliakan orang sudah tua renta (Muslim), maka Allâh Swt. akan menunjuk orang yang akan memuliakannya di hari tuanya nanti”. Bila datang dari perjalanan dan hampir sampai di Ummi Abidah desanya, Imam Rifa`i mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar tersebut diikat, lalu dipanggul di pundaknya. Yang demikian juga diikuti oleh sâliksâliknya. Setelah sampai di desanya, kayu bakar tersebut ia bagikan kepada para janda, orang miskin, orang lumpuh, orang sakit, orang buta dan orang tua renta, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Diantara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal; “Di antara tanda tenang bersama Allâh Swt. adalah merasa resah bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama mereka (para wali) berarti tenang bersama Allâh Swt”. Selain itu ia pernah berkata, “Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allâh Swt. adalah melihat (dengan perasaan bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amalnya. Yang lebih parah dari itu adalah meminta imbalan atas amal (ibadah)”. Diantara karamah Imam Rifa`i adalah ketika sedang mengajar di atas kursinya, maka orang yang jauh sekalipun akan mendengar seperti berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa sekitar pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya sekalipun orang tuli juga bisa mendengar pengajiannya, meski hanya ucapannya saja.

Sebelum meninggal dunia Imam Rifa`i menderita sakit perut. Dalam keadaan demikian, ia mengeluarkan kotoran (berak) setiap hari seperti biasanya selama sebulan lamanya. Ia ditanya akan hal itu, “Dari mana asal semua (kotoran) ini, sedangkan Engkau tidak pernah makan atau minum selama 20 hari?” Ia menjawab, “Ini semua berasal dari dagingku, tapi sekarang dagingku telah habis dan hanya tinggal otakku. Sekarang dari otak yang akan keluar, besok aku akan berangkat menuju Allâh Swt”. Setelah itu keluar kotoran putih dua atau tiga kali, lalu ia wafat pada waktu dhuhur yakni pada hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah;

أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Pada hari meninggalnya banyak sekali orang yang melayat. Ia dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 206).

Sumber: Alif.ID

76. Cabang-cabang Tarekat Rifa’iyah

Tarekat Rifaiyah
Tarekat Rifaiyah

Abu Shayyad penulis biografi tokoh-tokoh al-Rifa`iyah dan cabang-cabangnya dalam kitabnya Tanwirul Absar fi Thabâqati Sadat al-Rifa`iyah, sebagaimana dikutip oleh Trimingham, bahwa cabang tharîqah al-Rifa`iyah merupakan yang tersebar di dunia Islâm, antara lain:

  1. Ajlaniyah;
  2. A’zabiyah (didirikan oleh Muhyiddin Ibrahim Abu Ishaq al-A’zab, cucu Ahmad al-Rifa`i)
  3. Aziziyah
  4. Haririyah (didirikan Abu Ali al-Haririyang wafat tahun 645 H/1248 M, dari Hawran, Bashrah)
  5. ‘Ilmiyah atau Alamiyah
  6. Jabartiyah (didirikan di Yaman oleh Ahmad Abu Isma’il al-Jabarti)
  7. Jandaliyah (didirikan oleh Jandal ibn Ali al-Jandalidi Hums)
  8. Kiyaliyah
  9. Nuriyah
  10. Qathaniyah (didirikan oleh Hasan al-Rifa`idi Damaskus)
  11. Sabsabiyah
  12. Sa’adiyah atau Jibawiyah (didirikan di Jiba dekat Damaskus pada 736 H/1335 M, oleh Sa’aduddin al-Jiwabi ibn Yusuf as-Syaibani)
  13. Shayyadiyah (didirikan oleh Izzuddin Ahmad as-Shayyadyang dinamai juga Hafidz al-Rifa`i)
  14. Syamsiyah
  15. Thalibiyah (didirikan oleh Thalib al-Rifa`iwafat 638 H/1284 M)
  16. Wasitiyah
  17. Zainiyah
  18. Baziyah di Mesir
  19. Haidhariyah (didirikan oleh seorang Turki, Quthbuddin Haidar az-Zawujiwafat 617 H/1220 M)
  20. Ilwaniyah (didirikan oleh Safi’udin Ahmad al-Ilwan)
  21. Habibiyah (didirikan oleh Muhammad al-Habibi, zawiyah didirikan di Kairo pada 1247 H/1831 M)
  22. Malakiyah
  23. Syunbukiyah-Wafa’iyah, dua tharîqah yang tergabung (didirikan oleh Abu Muhammad Abdullah Talhah as-Syunbukipada abad X, dengan Abul Wafa Tajul Arifin 417-501 H/1026-1107 M)
  24. Uqailiyah, tharîqah yang bergabung (didirikan oleh Uqail Hakkari dai Umariyah, Syiria).

Menurut Tirmingham nomor 1-17 kemungkinan besar ada pada abad XIX, sedangkan nomor 20-24 berada di Mesir, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 220-221).

Sumber: Alif.ID

77. Sejarah Tarekat Rifa’iyah di Indonesia

Tharîqah al-Rifâ’iyah masuk ke Indonesia melalui Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi as-Syafi’i al-Idrusy al-Raniry pada tahun 1658 M/1055 H. Beliau lahir di Randir, yaitu sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat India. Pada tahun 1637-1644 M, beliau diangkat menjadi syaikh Islâm pada kerajaan Aceh, yaitu satu jabatan di bawah Sultan yang bertanggung jawab di dalam masalah-masalah agama.

al-Raniry menerima tharîqah tersebut dari seorang guru yang paling terkenal di Gujarat di Ibu kota India yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban al-Tarimi al-Handrami yang dikenal dengan sebutan Sayyid Umar Alaidrus, beliau mengangkat al-Raniry sebagai khalifahnya. sehingga al-Raniri bertanggungjawab menyebarkan Tharîqah ini di wilayah Melayu-Indonesia. Di Indonesia tharîqah al-Rifa`iyah terkenal dengan permainan Dabus dan tabuhan Rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa’i.

Salah satu ciri tharîqah al-Rifa`iyah ialah dzikir yang nyaring dan lantang. Jika para Darwis al-Rifa`iyah berdzikir, maka mereka berdzikir dengan suara yang sangat keras dan meruang-ruang. Karena itu, mereka dikenal dengan sebutan “Darwis yang meraung”. Kadang-kadang mereka disebut juga “Darwis yang menangis” kerena suara-suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berdzikir.

Menurut Annemarie Schimmel (ahli barat tentang tashawwuf) dalam bukunya Mistical Dimension of Islâm, para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah ini terkenal karena mampu mewujudkan kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti memakan ular yang hidup, menusuk-nusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam tanpa terluka, bahkan sampai mencukil mata mereka keluar tanpa merasakan kesakitan dan tidak cacat. Namun semua itu, menurut Maulana Abdur Rahman Jami merupakan sesuatu yang tidak diketahui Syaikh dan rekan-rekanya yang shaleh. Menurut para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah, mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan iblis, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 221-223).

Sumber: Alif.ID

78. Ajaran Tarekat Rifa’iyah

Ajaran Tharîqah al-Rifa`iyah

Pada dasarnya Tharîqah al-Rifa`iyah dilandasi pada 2 dasar yang tidak mungkin terpisah dari ke duanya, yakni: al-Qur’an yang mulia dan sunnah nabi Muhammad Saw. yang luhur. Di samping itu tharîqah ini tidak menyampingkan hukum aqli yang tidak keluar dari kedua dalil nash, dan apabila ditemukan di dalam sebagian amal tharîqah sesuatu yang mubah itu hanya semata-mata untuk menenangkan hati, yang pada dasarnya telah di-nash oleh Nabi dan juga sesuai dengan hukum akal agar seseorang tidak bosan dengan amaliyahnya yang bisa berakibat amal shaleh menjadi amal jelek, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12).

Dasar-dasar Tharîqah al-Rifa`iyah

  1. Mengokohkan tauhid sekaligus menyatakan dengan maknanya.
  2. Mengagungkan kitab Allâh Swt. dengan mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya serta mengikuti perintah-perintah-Nya.

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ …. (آل عمران: 31 )

  1. Mengimani kepada apa saja yang datang dari Rasûlullâh Saw. dengan cara mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan perbuatan serta bersikap ihsan (menyembah kepada Allâh Swt. seakan-akan kamu melihat kepada-Nya dan apabila kamu tidak melihatnya maka Allâh Swt. melihatnya).
  2. Melanggengkan hadirnya hati dan berdzikir dengan lisan dengan tanpa hitungan bersamaan dengan keluar masuknya nafas.

فَاذْكُرُوْنِى أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِى وَلاَ تَكْفُرُوْنِ  (البقرة : 152)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah cinta kepada nabi Muhammad Saw. dan keluarganya melebihi segala-galanya dengan membaca shalawat dan salam dengan penuh tatakrama dan hadirnya hati serta khusyu’ kepada keagungan nabi Muhammad Saw.

إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىِّ يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِمًا (الأحزاب : 56)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengikuti akidah Ulama’ Salaf dan menghargai pendapat Ulama’ Khalaf.
  2. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mencintai keluarga nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya yang suci.

…. قُلْ لَّآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّاالْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبَى …. (الشورى : 23)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengagungkan kedudukan para shahabat nabi Muhammad Saw. dan menjaga kemuliannya, memuji kebaikannya serta menjauhi dari segala sesuatu yang timbul di dalam perselisihan di antara para shahabat.

أَصْحَابِي كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ (الحديث)

  1. Seorang sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah senantiasa mengetahui keagungan Mursyidnya dengan sebenar-benarnya mengalahkan Mursyid yang lain.
  2. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah menolak semua bentuk ajaran yang tidak sesuai dengan syar’i dan akal.

إِنَّا مَعَاشِرَ الْأَنْبِيآءِ أَمَرَنَا أَنْ نُكَلِّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ إِنْ أَرَدْتَ أَنْ لَا يُكَذِّبَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَكَلِّمِ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (الحديث)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah sesuai dengan madzhab empat yang di anut di dalam Islâm, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12-22).

Kewajiban Sâlik

Diwajibkan bagi sâlik untuk memenuhi 4 perkara; ilmu, amal, ikhlas dan khauf (rasa takut), karena sesungguhnya ilmu tanpa amal atau amal tanpa ilmu adalah mahjub (terhalang/tidak sampai). Dan sesungguhnya berilmu dan beramal yang tidak ikhlas akan rugi. Apabila tidak dilandasi rasa takut kepada Allâh Swt., dan khawatir dari akibat yang akan muncul sampai dia merasa aman di hari pertemuan dengan Allâh Swt. maka sâlik akan maghrur (tertipu).

Guru dari Syaikh Imam Rifa`i berkata: Dasar dari tharîqah al-Rifa`iyah adalah menetapi al-Qur’an dan al-Sunnah serta meninggalkan hawa nafsu, bid`ah dan juga sabar di dalam melaksanakan perintah dan amal. Barangsiapa sikap, ucapan dan perbuatannya di setiap waktu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah maka tidak bisa dijadikan di dalam tharîqahku, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 58).

Sumber: Alif.ID

79. Tata Cara Baiat Tarekat Rifa`iyah

Seseorang yang akan bergabung dalam Tarekat al-Rifa`iyah terlebih dulu harus dibaiat.

Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut;

  1. Berwudhu’
  2. Shalat taubat dua rakaat
  3. Mursyid duduk di atas lututnya dan di atas sajadah dengan menghadap kiblat, sedangkan salik duduk di atas lututnya menghadap mursyid sambil menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut mursyidnya dengan adab dan khusyu’
  4. Kemudian mursyid membaca Surat al-Fatihah 3x kemudian membaca al-Isti’adzah dan ayat bai’at:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهَ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿الفتح: ١٠﴾

وَأَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عٰهَدْتُمْ وَلَاتَنْقُضُوْا اَلْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً …. (النحل : 91)

Kemudian sâlik membaca kalimat tersebut dengan menjabat tangan mursyidnya (jika sâlik laki-laki).

  1. Kemudian mursyid menyuruh membaca istigfar;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لآإِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ تُبْتُ لِلهِ وَرَجَعْتُ إِلَى اللهِ وَنَهَيْتُ نَفْسِى عَمَّا نَهَى اللهُ وَرَضِيْتُكَ شَيْخًا لِى وَمُرْشِدًا بِطَرِيْقِ إِمَامِ الْأَصْفِيَاءِ وَسُلْطَانِ الْأَوْلِيَاءِ الْغَوْثِ الْأَكْبَرِ وَالْكُبْرَتِ الْاَحْمَرِ لَاثِمِ يَدِ النَّبِيِّ الْأَطْهَرِ الْخَاشِعِ الْخَاضِعِ الدَّاعِيْ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ مُحْيِ الدِّيْنِ أَبِى الْعَبَّاسِ الْكَبِيْرِ الْحُسَيْنِي الرِّفَاعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَبِطَرِيْقَةِ وَلَدِهِ الْقُطْبِ الْفَرْدِ الْجَمِيْعِ الْـجَوَّادِ سَيِّدِنَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ عِزِّ الدِّيْنِ الشَّهِيْرِ بِالصَّيَّادِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهٰذَا الطَّرِيْقُ طَرِيْقِيْ وَالْمَنْهَجُ مَنْهَجِيْ اَلْإِخْوَانِ إِخْوَانِيْ وَالطَّاعَةُ طَاعَتِيْ وَالمَعْصِيَّةُ تَحُوْلُ بَيْنَنَا وَالْعَهْدُعَهْدُ اللهِ وَالْيَدُ يَدُ سَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ وَالْبَيْعَةُ بَيْعَةُ شَيْخِنَا وَسَيِّدِنَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ أَبِي الْعَالَمِيْنَ الْكَبِيْرِ الْحُسَيْنِي الرِّفَاعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلُ.

Setelah itu mursyid berkata pada sâlik: “Saya menetapkanmu menjadi sâlik tarekat ini dan dengan janji ini aku membaiat kepada Allah SWT”, kemudian mursyid berkata: “Berdirilah dan duduklah untuk menepati janji menjadi sâlik pada tarekat ini, setelah itu sâlik berdiri sesuai isyarahnya mursyid, setelah itu duduk”, ketika sâlik duduk mursyid berkata kepada sâlik:

أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ

  1. Kemudian mursyid mentalqin sâlik dengan kalimat tauhid;

لَآإله إلا الله ×3

seraya memanjangkan suaranya yang kemudian ditirukan oleh sâlik sambil mursyid meletakkan keningnya pada kening sâlik dan meletakkan tangannya mursyid pada dada sâlik dengan sambil mendo’akan agar sâlik mendapatkan taufiq, ikhlas dan barakah. Setelah itu, diakhiri do’a dengan bacaan al-Fatihah. (jika sâlik laki-laki)

  1. Setelah itu mursyid dan sâlik menghadap kiblat sambil membaca shalawat;

الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَاوَسِيْلَتَنَا إِلىَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلَ خَلْقِ اللهِ وَخَاتِمَ رُسُلِ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَنْبِيَاءَ اللهَ أَجْمَعِيَنَ.

Diakhiri dengan membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada nabi Muhammad SAW., para Nabi dan Rasul, keluarga Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan Imam al-Rifa`i, berserta keluarganya dan muslimin muslimat. Setelah itu membaca do’a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 81-83).

Tata Krama Tarekat al-Rifa’iyah

  • Khidmat kepada mursyid dengan tujuan sebagai berikut:
    1. Supaya watak sâlik terbentuk oleh watak mursyid sehingga akhlak sâlik dari akhlak yang buruk berubah menjadi akhlak yang baik
    2. Supaya sâlik terlepas dari pengakuan tipu daya, merasa mulia dengan tarekat ini, berbicara dengan ucapan yang bisa merusak akidah
    3. Supaya sâlik bisa keluar dari kemalasan yang dapat merubah sâlik menjadi semangat beramal shalih
    4. Supaya sâlik mengamalkan Alquran dan Hadis;
    5. Sâlik bisa menjalakan tarekat Salafus Shalih yang selalu menjalankan kebenaran yang bisa menghapus sesuatu yang tidak bermanfaat. Sehingga sâlik menjadi dekat dengan ahli al-haq dan jauh dari ahli al-bathil, terlepas dari pengaruh hujatan orang yang menghujat.

Ketika sâlik sudah memiliki tanda-tanda yang seperti di atas, maka mursyid memerintahkan sâlik untuk mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:

  1. Membaca Shalawat nabi minimal 20x
  2. Membaca Istighfar minimal 20x
  3. Membaca zikir diantaranya membaca لَآ إله إلا الله minimal 20x, dibaca setiap selesai shalat fardhu.

Jika sâlik menemukan kenyamanan dalam berzikir, maka mursyid akan menambah bilangan zikir menurut ukuran yang sesuai dengan keadaan sâlik. Jika dipandang perlu, mursyid memerintahkan sâlik untuk mengobati suatu penyakit bathin dengan riyadhah tertentu, perjalanan wisata, menyendiri, khalwat, tidak tidur di malam hari, tahajjud, melakukan khidmah yang memberatkan tubuh dan bershadaqah. (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 83-85)

Sumber: Alif.ID

80. Cara Wirid Tarekat Rifa’iyah

Bacaan wirid dalam Tarekat al-Rifa`iyah dijelaskan di dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman 85-89.

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Membaca Istighfar 3x
  3. Membaca Tahlil 100x
  4. Membaca Shalawat 10x
  5. Membaca Surat al-Dhuha 3x
  6. Membaca Surat al-Insyiraah 3x
  7. Membaca Surat al-Ikhlas 3x
  8. Membaca Surat al-Falaq 3x
  9. Membaca Surat al-Naas 3x
  10. Membaca Surat al-Fatihah 3x
  11. Membaca basmalah 19x
  12. Membaca doa di bawah ini sebanyak 3x

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَللهم فَارِجَ الْهَمِّ كَاشِفَ الْغَمِّ مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ رَحْمٰنَ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا اَنْتَ تَرْحَمُنِى فَارْحَمْنِى رَحْمَةً تُغْنِنِيْ بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

  1. Membaca doa dibawah ini 3x

اَللهم إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَالْهَرَمِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ وَفِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ

  1. Kemudian membaca doa di bawah ini

رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُـخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَاناً نَصِيْرًا. اَللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الْكَرِيْمَةِ وَصِفَاتِكَ الْعَظِيْمَةِ وَبِكَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ كُلِّهَا وَبِآلاَئِكَ وَأَسْرَارِكَ وَأَنْبِيَائِكَ وَأَنْصَارِكَ وَبِنَبِيِّكَ وَعَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِ أَهْلِ حَضْرَاتِكَ وَعَيْنِ أَرْبَابِ مَعْرِفَتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَبِيْبِكَ الَّذِيْ فَتَقْتَ بِهِ رَتْقَ الْمَوَادِّ السَّابِقَةِ الْأَصْلِيَّةِ وَأَقَمْتَ بِهِ دَعَائِمَ الْمَوَادِّ اللَّاحِقَةِ الْفَرْعِيَّةِ عِلَّةَ الْأَجْزَاءِ الْـحَادِثَاتِ سَبَبًا وَدَائِرَةِ النَّكَاتِ الْمُنْبَجَسَةِ مِنْ عَالَمِ الْإِبْدَاعِ اِحَاطَةً وَعَدَدًا وَمُنْتَهَى الْمَوَارِدِ الْمُنْشَعَبَةِ مِنْ سَاحِلِ بَحْرِ الْإِيْجَادِ مَدَدًا طَرِيْقَ سَبِيْلِ التَّجَالِّيَاتِ السَّارِيْ فِى الْمَظَاهِرِ وَالْمَبَاطِنِ وَنُقْطَةِ الْـجَمْعِ الْمَحِيْطَةِ بِكُلِّ فَرْقٍ ظَاهِرٍ وَبَاطِنٍ حَامِلِ لِوَاءِ ((وَ إِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ)) [القلم: 4]

صَاحِبِ مَنْشُوْرٍ ((قُلْ إِنَّنِيْ هَدٰى نِيْ رَبِّي إِلىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)) [الأنعام: 161] اُرْزُقْنَا. اَللهم مِنْكَ طُوْلُ الصَّحَبَةِ وَكَرَامَةُ الْـخِدْمَةِ وَلَذَةُ شُكْرِ النِّعْمَةِ وَحِفْظُ الْحُرْمَةِ وَدَوَامُ الْمُرَاقَبَةِ وَنُوْرُالطَّاعَةِ وَاجْتِنَابُ الْمَعْصِيَّةِ وَحَلَاوَةُ الْمُنَاجَةِ وَبَرَكَةُ الْمَغْفِرَةِ وَصِدْقُ الْجِنَانِ وَحَقِيْقَةُ التَّوَكَّلِ وَصِفَاءُ الْوَدِ وَوَفَاءُ الْعَهْدِ وَاعْتِقَادُ الْفَضْلِ وَبُلُوْغُ الْأَمَلِ وَحُسْنُ الْخَاتِمَةِ بِصَالِحِ الْعَمَلِ وَشَرَفِ السَّتَرِ وَعِزَّةِ الصَّبْرِ وَفَخْرِالْوِقَايَةِ وَسَعَادَةِ الرِّعَايَةِ وَجَمَالِ الْوُصْلَةِ وَالْأَمْنِ مِنَ الْقَطِيْعَةِ وَالرَّحْمَةِ الشَّامِلَةِ وَعِنَايَةِ الْكَافِلَةِ إِنَّكَ عَلىٰ كُلِّ شَىْئٍ قَدِيْرٍ. اَللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبُّ الْمَسَاكِيْنِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةَ فَاقْبِضْنِيْ إِلَيْكَ غَيْرِ مَفْتُوْن (( رَبَّنآ ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ هَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا)) [الكهف: 10] 3x  ((اَللهُ لَطِيْفٌ  بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَآءُ وَهُوَ الْقَوِىُّ الْعَزِيْزُ))

[الشورى: 19] يَاكَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا رَبِّ الْأَرْضِ وَالسَّمٰوَاتِ أَسْأَلُكَ بِالْـحَقِيْقَةِ الْـجَامِعَةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَبِمَا انْطَوِى فِيْ مَضْمُوْنِهَا مِنْ عَظَائِمِ الْأَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ بَالِيْمِ الْمُمْتَدِ إِلىٰ بِحُبُوْحَةِ ((مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ  بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ)) [الرحمن: 19-20] مَادَةُ الْمَظَاهِرِ الطَّالِعَةِ الْمَشَارِقِ اللَّآمَعَةِ مُحْيَا الْحِكْمَةِ الْمَقْبُوْلَةِ مَدَارِ الشَّرِيْعَةِ الْمَنْقُوْلَةِ مِيْزَابُ الْفُيُوْضَاتِ الْهَاطِلَةِ مَنْبَعِ الْعَوَارِفِ الْمُتَوَاصِلَةِ مَاهِيَةِ الْمَعْرِفَةِ الْمَطْلُوْبَةِ مِيْزَانِ الطَّرِيْقَةِ الْمَرْغُوْبَةِ مُنْتَهىَ الْـحَقِيْقَةِ الْمَحْبُوْبَةِ مِحْرَابِ جَامِعِ الْبِدَايَةِ الْإِبْدَاعِيَةِ مُنْبِرَ بَيْتِ النِّهَايَةِ الْأَمْكَانِيَّةِ وَأَسْأَلُكَ اللهم بِحَاءِ الْحَسَنِ الْأَعَمَّ وَالْحَمْدِ الْأَتَمَّ حَدُّ النِّهَايَاتِ الصَّاعِدَةِ فِيْ أَدْرَاجِ السَّمُّو الْمَلَكُوْتِيْ حَبْطَةِ الْغَايَاتِ الْمُنْقَلِبَةِ عَلىٰ بِسَاطِ الْإِحْسَانِ الرَّحْمَوَتِيْ حَبْلِ إِحَاطَةِ مَعَانِيْ (حــمعسق) حَمْلَةِ دَوْلَةِ التَّصْرِيْفِ الَّذِيْ أَفْرَغَ عَلىَ النُّوْنِ مِنْ طَرِيْقِ الْكَافِ حَرْفِ الْعَبْدِيَّةِ الْخَاصَّةِ الْمُضْمَرَةِ فِيْ عَالِمِ (حم) حَالَةِ الْمَحْبُوْبِيَّةِ الْمَطْرَزَةِ بِعَلَمِ (الم) وَأَسْأَلُكَ: اَللهم بِمِيْمِ الْمَدَدِ الْمَعْقُوْدِ عَلىٰ مُجَمَّلِ أَسْرَارِ الْوُجُوْدِ مَدَةِ الْأَزَلِ السَّالِمَةِ مِنْ شَوَائِبِ النُّقْصَانِ مَدَةِ الْأَبَدِ الثَّابِتَةِ بِالْوَهْبِ الْقَدِيْمِ إِلىٰ آخِرِ الدَّوْرَانِ مَعْنَى وَصْفِ الْقَدَمِ فِى ثَوْبِ الْعَدَمِ مَرْجَعُ مَظَاهِرِ الْعَدَمِ فِيْ عَالَمِ الْقَدَمِ مِفْتَاحِ كَنْزِ الْفَرْقِ بَيْنَ الْعُبُوْدِيَّةِ وَالرُّبُوْبِيَّةِ مِصْبَاحِ التَّجَرُّدِ عَنْ مَلاَبِسَاتِ الْأَغْمَاضِ بِالْكُلِّيَّةِ مَنَارِ الْإِخْلاَصِ الْمُتَحَقَّقِ بِأَكْرَمِ آدَابِ الْمَخْلُوْقِيَّةِ مَوْلىٰ كُلِّ ذُرَّةٍ كَوْنِيَّةٍ فِيْ كُلِّ دَائِرَةٍ رَبَانِيَّةٍ مِنْصَةِ التَّجَلِّيَّاتِ الصَّمَدَانِيَّةِ فِيْ حَظَائِرِ التَّعْيِيْنِ الْأَوَّلِ مَجْمُوْعِ التَّدَلِّيَّاتِ الْإِحْسَانِيَّةِ فِيْ سَاحَةِ رَفْرَفِ الْإِفَاضَةِ الْأَطُوْلِ وَأَسْأَلُكَ اللهم بِدَالِ الدَّنُوِّ الْأَقْرَبِ الَّذِيْ لاَ يَنْفَصِلُ عَنْ حَضْرَةِ الْإِحْسَانِ دَوْلَةِ الْإِعَانَةِ الْمُشْتَمَلِ مَقَامِ سُلْطَانِهَا عَلىٰ جَمِيْعِ نَفَائِسِ الْعِرْفَانِ دَائِرَةِ الْبُرْهَانِ الْكُلِّي الْمُتَرَجِّمِ فِيْ صَحْفِ الْإِيْنَاسِ دُرَّةِ الْكُلِّيَّانِ النَّوْعِيَ الْمُتَوَّجِ بِتَاجِ ((وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ)) [المائدة: 67]

اَغْمِسْنَا فِيْ أَحْوَاضِ سِوَاقِيْ مَسَاقِيْ بِرِّكَ وَرَحْمَتِكَ وَقَيَّدْنَا بِقُيُوْدِ السَّلاَمَةِ وَالْحِمَايَةِ عَنِ الْوُقُوْعِ فِيْ مَعْصِيَتِكَ طَهَّرَ اللهم قُلُوْبِنَا مِنَ الْمَعَارَضَاتِ وَزَكَ أَعْمَالِنَا مِنَ الْقُبُوْضَاتِ وَالشُّبْهَاتِ وَأَلْهَمَنَاخِدْمَتِكَ فِيْ جَمِيْعِ الْأَوْقَاتِ وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِأَنْوَارِ الْمُكَاشَفَاتِ وَزَيِّنْ ظَوَاهِرَنَا بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ وَسَيِّرْ أَفْكَرَنَا وَأَفْهَامَنَا وَعَقْوَلِنَا فِيْ مَلَكُوْتِ الْأَرْضِ وَالسَّمٰوَاتِ وَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَرْضَى بِالْمَقْدُوْرِ وَلَا يَمِيْلِ اِلىٰ دَارِ الْغُرُوْرِ وَيَتَوَكُّلِ عَلَيْكَ فِيْ جَمِيْعِ الْأُمُوْرِ وَيَسْتَعِيْنُ بِكَ فِيْ نُكْبَاتِ الدُّهُوْرِ اُرْزُقْنَا اللهم لَذَّةَ النَّظَرَ اِلىٰ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ ىَاعَلِيُّ ىَاعَظِىْمُ ىَاعَزِىْزُ ىَاكَرِىْمُ ىَارَحْمَانُ ىَارَحِىْمُ ىَامُنْعِمُ ىَامُتَفَضِّلُ ىَامَنْ لَآإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ ىَاحَيُّ ىَاقَىُّوْمُ أَفْضَلُ عَلَيْنَا سِرًّا مِنْ اَسْرَارِكَ ىَزِىْدُنَا تَوَلُّـهًا اِلَيْكَ وَاسْتِغْرَاقًا فِى مَحَبَّتِكَ وَلُطْفًا شَمَلاً جَلِىًّا وَخَفِىًّا وَرِزْقًا طَىِّبًا هَنِىًّا وَمَرِىًّا وَقُوَّةً فِى الْإِىْمَانِ وَالْىَقِىْنِ وَصَلاَبَةً فِى الْحَقِّ وَالدِّىْنِ وَعِزًّا بِكَ ىَدُوْمُ وَىَتَخَلَّدُ وَشَرَفًا ىَبْقٰى وَيَتَأَبَّدُ لاَيُخَالِطُ تَكَبُّرًا وَلاَعُتُوًّا وَلاَ اِرَادَةَ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ وَلاَ عُلُوًّا اَطْمِسِ اللهم جُمْرَةَ الْأَنَانِيَّةِ مِنْ أَنْفُسِنَا بِسَيْلِ سَحَابِ التَّقْوَى وَخَلِّصْ أَوْهَامَنَا مِنْ خِيَالِ الْحَوْلِ وَالْقُوَّةِ وَالْغُرُوْرِ وَالدَّعْوَى، أَلْزِمْنَا كَلِمَةَ التَّقْوَى وَاجْعَلْنَا أَهْلَهَا وَأَعِذْنَا مِنَ الْمُخَالَفَاتِ بِوَاقِيَةِ شِرْعَتِكَ وَاجْعَلْنَا مَحَلَّهَا عَرِّفْنَا حَدَّ الْبَشَرِيَّةِ بِلَطِيْفِ اِحْسَانِكَ وَنَزِّهْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْغَفْلَةِ عَنْكَ بِمَحْضِ كَرَمِكَ وَامْتِنَانِكَ اُسْتُرْنَا بَىْنَ عَبْدِكَ بِخَصَّةِ رَحْمَتِكَ وَانْشُرْعَلَيْنَا رِدَاءَ مَنَّتِكَ بِخَالِصِ عِنَايَتِكَ وَنِعْمَتِكَ قِنَا اللهم عَذَابَ النَّارِ وَفَضِيْحَةَ الْعَارِ وَاكْتُبْنَا مَعَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ أَيِّدْنَا بِقُدْرَتِكَ الَّتِيْ لاَ تُغْلَبُ وَسِرْبِلَّنَا بِوَهْبِ أَحْسَانِكَ الَّذِيْ لاَ يُسْلَبُ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ) ]الفاتحة: 5[ (رَبَّنَا اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا) ]الكهف: 10[

لاَقُدْرَةَ لِمَخْلُوْقٍ مَعَ قُدْرَتِكَ وَلاَ فِعْلَ لِمَصْنُوْعٍ دُوْنَ مَشِيْئَتِكَ تَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ وَأَنْتَ عَلىٰ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ آمَنَّا بِكَ إِيْمَانَ عَبْدٍ أَنْزَلَ بِكَ الْحَاجَاتِ وَتَوَكَّلَ عَلَيْكَ مُلْتَجِئًا لِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ فِى الْحَرَكَاتِ وَالسَّكَنَاتِ اِذْعَاناً وَتَيَقُّنًا وَعِلْمًا وَتَحْقِيْقًا بِأَنَّ غَيْرَكَ لاَوَقْوَى سُلْطَانِكَ لاَيَضُرُّ وَلاَيَنْفَعُ وَلاَيَصَلُ وَلاَ يَقْطَعُ وَأَنْتَ الضَّارُّ النَّافِعُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اَللهم أَرِنَا الْـحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا إِتِّبَاعُهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اِجْتِنَابُهُ وَلاَتَجْعَلْ عَلَيْنَا مُتَشَابِهًا فَنَتَّبِعُ الْهَوَى اللهم إِنَّا نَعُوْذُبِكَ أَنْ نَمُوْتَ فِى طَلَبِ الدُّنْيَا أَسْأَلُكَ اللهم بِالنُّوْرِ اللاَّمِعِ وَالْقَمَرِ السَّاطِعِ وَالْبَدْرِ الطَّالِعِ وَالْفَيْضِ الْهَامِعِ وَالْمَدَدِ الْوَاسِعِ نُقْطَةِ مَرْكَزِ الْبَاءِ الدَّائِرَةِ الْأَوْلِيَةِ وَسِرِّ أَسْرَارِ الْأَلِفِ الْقُطْبَانِيَّةِ وَاسِطَةِ الْكُلِّ فِيْ مَقَامِ الْجَمْعِ وَوَسِيْلَةِ الْجَمِيْعِ فِيْ تَجَلِّى الْفَرْقِ جَوْهَرَةِ خِزَانَةِ فُجْرَتِكَ وَعَرُوْسِ مَمْلَكِ حَضْرَاتِكَ مَسْجِدِ مِحْرَابِ الْوُصُوْلِ سَيْفُ الْحَقِّ الْمَسْلُوْلِ دَائِرَةِ كَوَاكِبِ التَّجَلِّيَاتِ وَقُطْبِ أَفْلاَكِ التَّدَلِّيَتِ جَوْلَةِ تِيَارِ أَمْوَاجِ بَحْرِ الْقُدَرَةِ الْقُهْرَةِ لَمْعَةِ بَارَقَةِ أَنْوَارِ الذَّاتِ الْمُقَدَّسَةِ الْبَاهِرَةِ فَسَحَةِ مِيْدَانِ بَازَخِ مَقْرِ كُرْسِ النَّهِيْ وَالْأَمْرِ رَابِطَةِ طُوْلِ حَوْلِ عَرْشِ التَّصَرُّفِ فِى السِّرِّ وَالْجَهْرِ مَقَامِ تَلَقِّيْ (إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِينًا ﴿١﴾ لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيمًا ﴿٢﴾) ]الفتح:  1-2[  سُلْطَانِ سَرِيْرٍ (إِنَّآ أَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ﴿٣﴾) ]الكوثر:  1-3 [

اِشْرَحَ اللهم صُدُوْرَنَا بِالْهِدَايَةِ كَمَا شَرَحْتَ صَدْرَهُ وَيَسِّرْ بِمَزِيْدِ عَوَارِفِ جُوْدِكَ أُمُوْرَنَا كَمَا يَسِرْتُ أُمُوْرَنَا اِجْعَلْنَا مِمَّنْ يَعْرِفُ قَدْرِ الْعَافِيَةِ وَيُشْكِرُكَ عَلَيْهَا وَيُرْضَى بِكَ كَفِيْلاً لِتَكُوْنَ لَهُ وَكِيْلاً تُوْلِ اللهم أُمُوْرَنَا بِذَاتِكَ وَلاَ تَكِلْنَا إِلىٰ أَنْفُسِنَا وَلاَ لِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَلاَ أَقَلُّ مِنْ ذٰلِكَ وَكُنْ لَنَا فِيْ كُلِّ مَقَامٍ عَوْنَا وَوَاقِيًا وَنَاصِرًا وَحَامِيًا. أَرْضَنَا اللهم فِيْمَا تَرْضَى وَالْطُفْ بِنَا فِيْمَا يَنْزِلُ مِنَ الْقَضَاءِ أَغْنِنَا بِالْإِفْتِقَارِ إِلَيْكَ وَلاَ تَفَقَّرْنَا بِالْإِسْتِغْنَاءِ عَنْكَ زَيْنِ سَمَاءَ قُلُوْبِنَا بِنُجُوْمِ مَحَبَّتِكَ اسْتَهْلَكَ أَفْعَالَنَا فِيْ فِعْلِكَ وَاسْتِغْرَقِ تَقْصِيْرَنَا فِيْ طُوْلِكَ صَحَّحَ اللهم فِيْكَ مُرَامَنَا وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ غَيْرِكَ اهْتِمَامَنَا جِئْنَاكَ بِذُنُوْبِنَا وَتَجَرُّدِنَا مِنْ أَعْذَارِنَا فَسَامَحَنَا وَاغْفِرْلَنَا جَمِّلَ اللهم أَفْئِدَتَنَا بِسَائِغِ شِرَابِ عِنَايَتِكَ وَحَسِّنْ اَجْسَامَنَا بِبَرْدِ عَافِيَتِكَ وَأَرْدِيَةِ هَيْبَتِكَ وَكَرَامَتِكَ اَكْفِنَا اللهم شَرَّ الْحَاسِدِيْنَ وَالْمَعَادِيْنَ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ بِنَصْرِكَ وَتَأَيِّيْدِكَ يَاقَوِيُّ يَامُعِيْنُ اللهم مَنْ أَرَادَنَا بِسُوْءِ فَاجْعَلْ دَائِرَةِ السُّوْءِ عَلَيْهِ ارم اللهم نَحْرَهُ فِيْ كَيْدِهِ وَكَيْدِهِ فِيْ نَحْرِهِ حَتَّى يَذْبَحُ نَفْسَهُ بِيَدِيْهِ اِضْرَبْ عَلَيْنَاسَرَادِقِ الْوِقَايَةِ وَالرِّعَايَةِ وَاحْطِنَا بِعَسَاكِرِالْأَمَنِ وَالصُّوْنِ وَالْكِفَايَةِ دَبَسِّهِمْ قَهْرِكَ مِنْ آذَانَا وَأَيِّدْ بِمَكِيْنٍ جَبْرُوْتِكَ مَقَامَنَا وَحْمَانَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتُوَفِّنَا مُسْلِمِيْنَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِيْنَ بَارَكَ اللهم لَنَا فِيْ أَرْزَاقِنَا وَأَوْقَاتِنَا وَاجْعَلْ عَلىٰ طَرِيْقِ مَرْضَاتِكَ اِنْقِلاَبِ حَيَاتِنَا وَمَمَاتِنَا لاَحَظَّنَا بِعَيْنِ الْمَحَبَّةِ الَّتِيْ لاَتَبْقِيَ لِمَنْظُوْرِهَا ذَنْبًا إِلاَّ وَتَشْمِلَهُ بِالْغُفْرَانِ وَلاَ تَشْهَدُ عَيْبًا إِلاَّ وَتُحْفَهُ بِالسَّتَرِ وَإِصْلاَحِ الشَّأْنِ عَطْفَ اللهم عَلَيْنَا قُلُوْبَ أَوْلِيَائِكَ وَأَحْبَابِكَ وَاكْتُبْنَا اللهم فِيْ دَفْتَرِ مَحْبُوْبِيْكَ وَأَهْلِ اقْتِرَابِكَ تَجَاوَزَ اللهم عَنْ سَيِّئَاتِنَا كَرَمًا وَحَلِمًا وَآتِنَا مِنْ لَدُنْكَ بِسَابِقَةِ فَضْلِكَ عِلْمًا هَيِّءْ اللهم لَنَا آمَالِنَا عَلىٰ مَا يَرْضِيْكَ بِغَيْرِ تَعَبٍ وَلاَنَصَبٍ وَاكْفِنَاهُمْ زَمَانِنَا وَصُرُوْفِ بِدْعِهِ وَنَوَائِبِهِ بِلاَسَعْيِ وَلاَسَبَبِ أَقِمْ لَنَا بِكَ عِزًّا تِهَابِهِ النَّوَائِبِ وَمَجْدًا تَتَبَاعَدُ عَنْ أَرِيْكَتَهُ الْمَصَائِبِ وَشَرَفًا رَفِيْعًا تَنْقَطِعُ عَنْهُ اِطْنِبَةُ الْمَتَاعِبِ وَكَرَامَةِ لاَيَمَسُّهَا الزِّيْغَ وَالْبُهْتَانِ وَقُدْرَةِ لاَيَشُوْبِهَا الظَّلَمُ وَالْعُدْوَانَ وَنُوْرًا لَمْ تَمْسَسْهُ نَارَالدَّعْوَى وَالْغُرُوْرَ وَسِرًّا لَمْ تُحِطْ بِهِ غَوَائِلِ الْوَسَاوِسِ وَالشُّرُوْرِ أَثْبَتِنَا اللهم فِيْ دِيْوَانِ الصِّدِّيْقِيْنِ وَأَيَّدَنَا بِمَا أَيَّدْتَ بِهِ عِبَادِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ وَأَكْرَمْنَا بِالثَّبَاتِ عَلىٰ قَدَمِ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَصَلَّ اللهم عَلَىْهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمِّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلىَ الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

  1. Kemudian membaca al-Fatihah 3x
  2. Kemudian membaca لا إله إلا الله 10x
  3. Kemudian membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW. 3x
  4. Kemudian membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada seluruh umat nabi Muhammad SAW.
  5. Dan ditutup dengan doa yang dimudahkan oleh Allah SWT

Rangkaian wirid-wirid di atas disebut Tuhfah al-Syarifah/Hizbi Tuhfah al-Tsaniyah. Dibaca setelah rawatib yang wajib dibaca setiap hari dengan penuh tata krama dan bagus serta menghayati maknanya. Para Imam Tarekat al-Rifa`iyah berkata: sesungguhnya al-Tuhfah al-Tsaniyah termasuk menjadi penyebab terbesar terbukanya hati sâlik dan menjadi pintu dikabulkannya do’a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 85-89)

Sumber: Alif.ID

81. Jalan yang Ditempuh Salik Tarekat Rifa`iyah

Berikut beberapa asas (dasar) dan adab (etika) sâlik dalam tarekat Rifa`iyah yang dijelaskan dalam Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah;

  1. Cinta kepada mursyid
  2. Hati dan lisan tenggelam dalam cinta kepada nabi Muhammad Saw, berpegang teguh kepada aturan hukum dan mengikuti sunnah-sunnah Rasul

(Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 83)

  1. Langgeng zikir, pikirannya benar, ini adalah ungkapan khudhur seperti pada firman Allah Swt. Surat ali-‘Imran ayat 191.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿أل عمران: ١٩١﴾

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (QS. ali-Iman; 191).

Ketika sâlik dalam keadaan (halmaqâm) tertentu dan mursyid telah melakukan istikharah dan mendapat isyarat, maka sang mursyid menambahkan zikir kepada sâlik dengan bacaan zikir Ismu Dzat, dengan hitungan yang sesuai dengan keadaan sâlik. Sang mursyid mengangkat sang sâlik menjadi Syausiyah (orang yang diberi tugas untuk mengurus saudara-saudaranya dalam majelis), jika sâlik sudah bagus dalam melaksanakan tugas menjadi Syausiyah (khidmah kepada majelis zikir dan teman-teman di pondok sufi) maka mursyid menambahkan zikir Ismu Dzat menurut kemampuan dan keadaan sâlik.

Jika sâlik mampu memperbaiki khidmat (pengabdiannya) tanpa memandang kelebihannya atas makhluk lain, serta tetap melaksanakan ratîb (urutan wirid) yang diterima, menjaga adab, maka mursyid mengangkat sâlik ke martabat al-Niqâbah (pemimpin majelis), lalu mursyid memerintahkan sâlik untuk berzikir Asmaul Husna.

وَ لِلهِ الْاَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا ﴿الأعراف: 180﴾

Artinya; “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…. ”(al-A’raf; 180).

Ini menunjukkan bersihnya hati sâlik dan dapat dipersiapkan menjadi pemimpin dengan syt:

  1. Dapat melakukan khidmat dengan ikhlas;
  2. Tidak menganggap diri memiliki keagungan;
  3. Bisa mengendalikan jiwa;
  4. Tambah tawadhu’ kepada Allah dan makhluk;
  5. Tetap berpegang teguh pada syari’at dalam semua keadaan.

Pada tahap ini setelah istikharah dan mendapat isyarat, mursyid mengangkat sâlik tersebut menjadi khalifah (sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. dalam memberikan ajaran Tarekat ini). Dalam proses ini terjadi pertautan hati antara hati sâlikmursyid sampai seterusnya ke semua silsilah Syaikh Ahmad al-Rifa`i hingga ke Rasulullah SAW, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 89).

Khalwat Mingguan Setiap Bulan Muharam

Khalwat pada bulan Muharam diisyaratkan terhadap para pengikut Tarekat al-Rifa`iyah. Khalwat ini dilaksanakan pada tanggal 11 Muharram sampai sore tanggal 27 Muharram.

Tata cara khalwat Muharram sebagai berikut:

  1. Menyendiri di pondok yang telah disediakan, tanpa bercampur dengan wanita
  2. Melanggengkan wudhu’ (jika batal langsung berwudhu’)
  3. Tidak berbicara yang tidak ada faedahnya
  4. Tidak banyak berbicara kecuali darurat
  5. Tidak keluar rumah atau pondok kecuali darurat
  6. Tidak memakan makanan yang bernyawa
  7. Setelah shalat fardhu membaca;

اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُـحَمَّدِنِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الطَّاهِرِ الزَّكِيْ وَعَلىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمِ 100×

  1. Membaca Ratib yang wajib
  2. Membaca يَاوَهَّابُ tanpa hitungan berbarengan dengan keluar masuknya nafas, menutup kedua mata, menghilangkan getaran hati
  3. Menghadirkan wajah Mursyid yang memberikan pencerahan
  4. Ketika sâlik merasakan getaran hati, maka sâlik membuka kedua mata dan mengakhiri khatam dengan al-Fatihah ditujukan kepada silsilah Tarekat al-Rifa`iyah
  5. Anjuran zikir pada minggu pertama khalwat
  1. Hari pertama membaca لَآإِلٰهَ إِلاَّ الله sebanyak-banyaknya
  2. Hari ke dua membaca يَا اَللهُ sebanyak-banyaknya
  3. Hari ke tiga membaca يَاوَهَّابُ sebanyak-banyaknya
  4. Hari ke empat membaca يَاحَيُّ sebanyak-banyaknya
  5. Hari ke lima membaca يَامَجِيْدُ sebanyak-banyaknya
  6. Hari ke enam membaca يَامُعْطِى sebanyak-banyaknya
  7. Hari ke tujuh membaca يَا قُدُّوْسُ sebanyak-banyaknya, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 90-91).

Sumber: Alif.ID

82. Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (1)

Halaqah zikir secara umum dilaksanakan tiap malam setelah shalat Isya’, para sâlik tarekat Rifa`iyah melakukan zikir khusus tiap malam. Tiap malam Jum’at dan malam Senin, zikir dilaksanakan secara berjamaah.

Adapun tata cara halaqah zikir dijelaskan dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 91-100 sebagai berikut:

  1. Para sâlik membentuk halaqah (barisan melingkar) zikir tiap ba’da shalat Isya’, mereka duduk dengan kedua lututnya dengan tenang
  2. Membaca al-Fatihah, dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., keluarganya, para sahabat-sahabatnya, kepada Shahibu al-Tarekat (Syaikh Ahmad al-Rifa`i), anak turun pengikut tarekat al-Rifa`iyah dan kepada seluruh muslim dengan harapan mendapatkan limpahan sirri dari Hadhrah Nabawiyah dengan perantara Hadhrah pada Syaikh Rifa`iyah;
  3. Tetap mempertahankan kosentrasi sampai akhir zikir
  4. Lalu Syaikh (pemimpin halaqah) dengan penuh khusyu’, kesempurnaan adab dan berkata;

دُسْتُوْرٍ يَارَسُوْلَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَنْبِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَهْلَ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَوْلِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاسَيِّدِ الْأَوْلِيَاءِ يَا سَيِّدِيْ يَا رِفَاعِيْ يَاأَبَا الْعَلَمِيْنَ اَلْمَدَدَ

  1. Secara bersama-sama membaca wirid dengan hati yang tenang, tata krama, memejamkan mata tanpa melihat keadaan apapun, khusyu’, takut kepada Allah , mendapatkan limpahan rohani dari nabi Muhammad SAW.. yang turun bersama tiupan hati Shahib al-Tarekat (Syaikh Ahmad al-Rifa`i). Berikut wirid syarifnya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيهِمْ غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ [الفاتحة: 1-7] مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ الله وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً سِيْمَاهُمْ فِي وُجُوْهِهِمْ مِّنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْاَهُ فَاَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِـحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا ﴿٢٩﴾ [الفتح: 29]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ﴿١﴾ الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى ﴿٢﴾ وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى ﴿٣﴾ وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى ﴿٤﴾ فَجَعَلَهُ غُثَآءً أَحْوَى ﴿٥﴾ سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى ﴿٦﴾ إِلَّا مَا شَآءَ اللهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى ﴿٧﴾ وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى ﴿٨﴾ فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى ﴿٩﴾ سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى ﴿١٠﴾ وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى ﴿١١﴾ الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى ﴿١٢﴾ ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى ﴿١٣﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى ﴿١٤﴾ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى ﴿١٥﴾ بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى ﴿١٧﴾ إِنَّ هٰذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولىٰ ﴿١٨﴾ صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى ﴿١٩﴾ [الأعلى: 1-19]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾ تَنَزَّلُ الْمَلَآئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: 1-5]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجاً ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً ﴿٣﴾ [النصر: 1-3]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اَللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾ [الإخلاص: 1-4]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

[الفلق: 1-5]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إلهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْـخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾ [الناس: 1-6]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰـنِ الرَّحِيْمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ آمين [الفاتحة: 1-7]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَشَرِّفْ وَعَظِّمْ بِكُلِّ وَقْتٍ مِّنَ الْأَوْقَاتِ وَسَاعَةٍ مِّنَ السَّاعَاتِ مِلْءَ الْأَرَضِيْنَ وَالسَّمٰوَاتِ عَلىٰ سَيِّدِ السَّادَاتِ وَإِمَامِ الْقَادَاتِ وَرَئِيْسِ الْكُلِّ فِي الْحَضَرَاتِ وَعَلىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَصْحَابِ الْكَمَالاَتِ وَعَلىَ الْمَشَايِخِ الْعَارِفِيْنَ أَرْبَابِ الْحَالاَتِ وَالسَّلاَمِ عَلىَ الْفَرْدِالْأَمْجَدِ الْقَطْبِ الْغَوْثِ الْأَوْحَدِ النَّائِبِ عَنْ حَضْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ مُلْكِ اللهِ وَالْأَمْرِ بِأَمْرِاللهِ فِيْ سَمٰوَاتِ اللهِ وَأَرْضِ اللهِ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالىٰ عَنِ الْإِمَامِيْنَ وَالسَّبْعَةِ الْأَقْطَابِ وَعَنِ الْأَبْدَالِ وَالْأَنْجَابِ وَالْأَطْرَازِ وَالْأَحْبَابِ وَالْأَوْتَادِ وَالْأَفْرَادِ وَالرِّجَالِ أَهْلِ الْإِرْشَادِ وَالْقَائِمِيْنَ بِمَصَالِحِ الْعِبَادِ وَعَلىٰ صُلَحَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَبَرَكَاتِهِ إِنَّهُ الْبِرُّ الْمُعِيْنُ وَنَسْأَلُ اللهَ أَجْمَعِيْنَ أَنْ يُمَدَّنَا بِمَدَدِ رَسُوْلِهِ الْأَعْظَمِ وَحَبِيْبِهِ الْأَكْرَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَدَدِ حَضْرَاتِ الْأَنْبِيَاءِ الْكِرَامِ عَلَىْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَنَسْأَلُهُ أَنْ يَعْطِفَ عَلَىْنَا قَلْبُ صَاحِبِ الزَّمَانِ وَأَهْلِ حَاشِيَتِهِ الْكِرَامِ الْأَعْيَانِ جَعَلْنَاهُمْ وَوَسِيْلَتَنَا إِلَى اللهِ فِيْ كُلِّ أَمْرٍحَسَنٍ يَدُلُّ عَلىَ اللهِ دَفَعْنَا بِهِمْ شَرَّ الزَّمَانِ وَالسُّلْطَانِ وَالْإِخْوَانِ الْـخُوَّانِ وَالْأَعْدَاءِ مِنَ الْإِنْسِ وَالْـجَانِ أَخَذْنَاهُمْ دِرْعًا لِرَدِّ كُلِّ بَلاَءٍ وَدَفْعِ كُلِّ قَضَاءٍ قِبَلْنَاهُمْ بَابًا لِنَيْلِ كُلِّ خَيْرٍ دُنْيٰوِيْ وَأُخْرٰوِيْ خَفِيٍّ وَجَلِيٍّ كُلِّيٍّ وَجُزْئِيٍ وَالسَّلاَمُ عَلَىْنَا وَعَلىٰ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ وَسَلاَمُ عَلىَ الْمُرْسَلِيْنَ وَالْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ آمين [الفاتحة: 1-7]

Sumber: Alif.ID

83. Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (2)

Sebagian sâlik membaca Asmaul Husna berikut ini:

عَلىٰ مَـنْ لَـهُ وَجـْـهٌ يَـفَـوْقُ عَـلَى الْبَــدَرِصَــلاَتِيْ وَ تَسْـلِـيْمِيْ وَأَزْكَى تَـحِـيَّتِيْ
وَصَلَـىْتُ تَعْـظِيْمًا عَلىَ الْـكَامِـلِ الْـقَـدَرِبـَدَأْتُ بِـبِـسْـمِ اللهِ فِيْ مَــبْدَإٍ الْأَمْرِ
أُؤْمِــلَ بِالْأَسْــمَــاءِ مِنْ بـَابِـهِ جـَــبَرِيْدَخـَـلْـتُ بِـأَسْـمـَاءِ الْإِلٰـهِ لِـبـَابِــهِ
وَبِالْفَـضْـلِ يَارَحْـمٰنُ كُنْ جَابِرًا كَسَرِيأُنَـادِيْـهِ يَـا اَللهُ جُـدْلِـيْ تَكَــرُّمـًا
وَيَا مَـالِـكَ مُـلْــكِ فُــؤَادِيْ بِالـذِّكْــرِرَحِيْمُ فَكَنْ عَوْنِيْ وَغَوْثِـيْ وَرَاحِمِـيْ
سَـلاَمٌ فَسَلَّـمَنِي مِنَ الْـكَـرَبِ وَالنَّــصَرِوَهـَـبْ لِيْ يَا قُـدُّوْسُ فَـهُمَـا مُـقَدَّسًا
مُـهَىْـمِـنً أَيْـدِنـِيْ بِـذِكْـرِكَ فِيْ قَــبْـرِيْوَيَا مُؤْمِنُ اِقْبِضْنِيْ بِفَـضْلِكَ مُـؤْمِنـًا
وَبِالْـجَـبَـرِ يَـاجَـبَّارِ قُــدْنِيْ إِلَى الْـخَيْـرِعَـزِيْـزُ فَــعَــزِّزْنِيْ إِذَا ذَلَّنـِي الْوَرَى
وَيَا خَـالِـقٌ مِـلْ بِيْ بِلُـطْفِ عَـنِ الْكِـبْرِوَفِى النَّــاسِ كَبِّـرْ قَدِّرْ يَا مُـتَكَبِّــرٌ
مُـصَـوِّرْ فَاحْـفَـظْـنِيْ وَغَـفَّـارٌ زِلْ وَزْرِيْوَ يَا بَرِئُ بَرْئِ مِنَ الْعَـيْبِ مَـسْلَـكِيْ
وَيَـارَبِّ يَـاوَهَّـابُ زِدْنـِيْ مِـنَ الْفَــخَـرِوَقَـهَّـارٌ قَـهَّـرْ لِيْ عَـدُوِّيْ مَدَّا الْمُدَّا
وَبِالْفَـتْـحِ يَافَـتَّـاحُ تَـمِّمْ عَــلاَ قَــدَرِيْوَرَزَّاقٌ فَارْزُقْــنِيْ الْهِــدَايَةِ وَالتُّــقٰى
وَيَاقَابِضٌ اِقْبِضْ شِدَّةَ الْقَبْضِ مِنْ صَدْرِيْعَلِـىْمٌ فَعَلِّمْـنِيْ إِلَى الْقُـرْبِ مَنْهَـجًا
وَيَاحَافِضْ اِحْفَـضْ قَدَرِ مِنْ قَصْدِهِ ضَرِّيْوَيَا بَاسِـطَ اِبْسَـطْ لِيْ بِسَـاطَ عِـنَايَةً
مُـعِــزُّ فَـزِدْ عِــزِّيْ إِلَى آخِــرِ الـدَّهْــرِوَيَا رَافِعَ اِرْفَعْـنِيْ عَلَى النَّاسِ بِالْهُدٰى
سَـمِـيْعٌ فَأَسْمِـعْـنِـيْ خِــطَابِـكَ بِـالسِّـرِمُـذِلُّ فَــزَلْ ذَلِّـيْ وَشَـرِّفْ مَـرَاتَـبِـيْ
وَيَا حَاكِمٌ اِحْكَمْ لِيْ بِـغَـيْـبِكَ فِى السِّرِّبَـصِيْرٌ فَبَـصِّـرْنِيْ بِنَـفْسِـيْ وَعَـىْـبِـهَا
لَـطِيْفٌ بِلُـطْفٍ مِنْكَ جُدْلِيْ مَدَى عُمْرِيْوَيَا عَدْلُ خُذْ بِالْعَـدْلِ وَالْقَهْرِ ظَالِـمِيْ
حَـلِيْـمٌ تَـوَلَّنِـيْ بِـحُكْمِــكَ فِيْ أَمْـــرِيْخَـبِيْرٌ فَشَـرِّفْ فِـىْكَ اِخْـبَارَ هِـمَّتِـيْ
شَـكُـوْرٌ فَــقَـيِّدْنِيْ مَدَا الدَّهْـرِ لِلشُّــكْرِعَظِيْمٌ غَفُوْرٌ فَاغْـفِرَ الذَّنْبَ وَالْـخَـطَا
مُــقِيْـتٌ حَــسِيْـبٌ جُـدْ لِعِبَـادِكَ بِالْبِرِّعَلَى كَـبِيْـرٍ بَـلْ حَــفِيْـظٍ لِـمَـنْ دَعَا
حَـكِيْـمٌ وَدُوْدٌ فَابْـدَلَ الْـعُـسْـرِ بِالْيُسْـرَكَـرِيْمٌ رَقِيْـبٌ بَـلْ مُـجِيْـبٌ وَوَاسِـعٌ
فَفـِيْ جُوْدِكَ اِبْـعَثْـنِـيْ أَمِيْـنًا مِنَ الْمَـكَرِمَـجِـيْدٌ فَـمَـجِّدْ لِيْ مَقَامِـيْ وَبَاعِـثْ
وَكِــيْلٌ قَــوِيُّ قُـوَّنـِيْ وَاكْـفِـنِـيْ شَـرِّيْشَـهِيْـدٌ وَحَقٌّ خُذْ إِلَى الْـحَقِّ مَـشَرَّبِيْ
حَـمِيْـدٌ فَـنَـوِّرْنـِيْ بِـحَمْـدِكَ فِيْ قَـبْـرِيْمَــتِــيْنٌ وَلِيِّ كُنْ وَلِيِّيْ وَنَـاصِــرِي
وَمَـبْـدَى فَـكَـرِّمْ لِى الْبِـدَايَةِ فِى سَـيْـرِيْوَمَـحْصٰى فَلاَ تَـخْفٰى عَلَىْكَ خَطِيْئَتِيْ
مُـمِـيْتُ أَمْـتِـنِيْ نَاطِـقَ الْقَـلْبِ بِالذِّكْـرِمُعِيْدٌ مُـحْيِيْ فَاحْيِيْ بِالْكُفْرِ مَهْجَتِيْ
وَ يَا وَاجِدٌ بِالْوَجْدِ فِىْكَ اَكْـفِـنِيْ هَـجَرِيْوَ يَـا حَيُّ يَـا قَـــيُّـوْمُ زِدْنِيْ مُـعَـارِفًـا
وَ يَا وَاحِـدُ وَحِّــدْ غَـرَامَـكَ فِي فِـكْـرِيْوَيَا مَاجِدٌ شَـرِّفْ بِمَجْدِكَ مُـسْنَـدِيْ
بِمِعْـرَاجِ حَبْلِ الْوَصْـلِ فِي السِّرْ وَالْـجَـهْرِوَيَـا أَحَـدُ يَـا فَــرِدُ فَـرِّدْ رِقَـايَــتِـيْ
وَ يَا قَادِرُ اَكْشِفْ لِيْ اَلْـحِجَابِ عَنِ الْأَمْرِوَيَا صَـمَـدُ صَـمِّـدُ لِسَـانِيْ عَلَى الثَّـنَا
مَــقْــدَمَ قَــدَمَـنِـيْ بِـشَأْنِ عَلَى غَـيْرِيْوَمُقْتَدِرُ كُنْ لِيْ وَبِالْـقُـدْرَةِ اِكْـفِـنِيْ
وَ يَا أَوَّلُ اِخْـتَمْ لِيْ بِـحُسْنِ انْـتَهَا عُـمْرِيْمُـؤَخِّـرُ أَخِّـرْ رُكْبِ ضَـدِّيْ عَنِ الْمَنَا
وَ يَا وَالٍ يَا مُـتَـعَـالٍ زِدْ بِالْـعُـلاَ فَـخْرِيْوَيَـا آخِــرُ يَـا ظَاهِــرُ أَنْـتَ بَـاطِــنُ
وَ مُـنْـتَـقَـمُ مِـمَّـنْ تَـعَامَـلَ بِالْـمَــكَـرِوَيَـا بِـرُّ يَـا تَـوَّابُ اِقْـبَـلْ لِـتَـوْبَـتِـيْ
وَالْإِكْرَامِ بِالْإِفْـضَالِ تَـتَحَـفْ مَنْ يُسْرِيعَفْوُ رَؤُوْفُ مَالِكُ الْمُلْكِ ذُو الْـجَلاَلِ
غَنِيٍّ وَمُـغْنِيٍّ فَاغْـنِـنِيْ فِـىْكَ مِنْ فَـقْرِيْوَيَا مُـقْـصَــدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَجَامِـــعٍ
وَيَا مَانِعُ اِمْـنَـعْـنِيْ وَيَا نُوْرُكُنْ فَـخْرِيوَمُعْطِيْ فَجُدْ لِيْ بِالْكَـرَامَـةِ وَالْـعَـطَا
بَــدِيْــعٌ فَـأَطَّلِـعْـنِيْ عَلَى أَبْـدَعِ السِّــرِّوَهَـادِيْ فَـزِدْنـِيْ بِالْـهِـدَايَـةِ رِفْـعَـةً
وَوَارِثُ وَرِّثْـنِـي الْوُصُـوْلَ كَـمَـا تَــدْرِيْوَبَاقِيْ فَـأَبْـقِـنِـيْ بِــوَصْـلِـكَ بَـاقِـيًا
وَجِـئْتُ بِـذَنْـبِـيْ وَالتَّـجَـرُّدِ مِـنْ عُذْرِيرَشـِـيْـدُ فَأَرْشِـدْنِـيْ بِـرُشْـدِكَ دَائِـمًا
وَكَــمِّـلْ مَـقَـامَـاتِيْ بِسِرِّيْ وَفِيْ جَـهْـرِيْفَـسَامِـحْ وَجُدْ وَاغْـفِـرْ ذُنُوْبِيْ وَعَافِنِيْ
لِـذَاتِـكَ بِالتَّــوْحِـيْـدِ يَاعَـالِــمًا سِـرِّىوَخُـذْنِيْ عَلَى الْإِيْـمَانِ بِالْـمَوْتِ شَاهِدًا
وَشَـيْخِـيْ بِآدَابِ الطَّـرِيْـقَـةِ وَالْـمُـقْرِيْوَأَهْـلِـيْ وَإِخْـوَانِـيْ وَأُمِّـيْ وَوَالِــدِيْ
بِـفَـضْلِكَ أَعْـدَائِـيْ وَمَـنْ قَامَ فِي ضَـرِيوَجَـمِّـلْ فُؤَادِيْ بِالْعِـنَايَـةِ وَاكْـفِـنِـيْ
وَزِدْفِيْ غَنِى الدَّارَيْنِ بَـيْـنَ الْـمَـلاَ قَـدْرِىوَخُـذْ حَاسِـدِيْ وَارْفَـعْ بِـعِزِّكَ تَبْـتِـيْ
عَلِّـيْ وَقَـيِّـدْنِـيْ لِـخِـدْمَـةِ ذِى السِّــرِّوَتَـمِّـمْ عَلَى الْفَـخْرِ وَارْضَى مَـشَايِـخِيْ
مُـحَـمَّدُ­نِ الْـمَـبْـعُـوْثُ لِلْـعَبْـدِ وَالْـحُـرِّوَصَلِّ عَلَى الْمُخْـتَارِ مِنْ جَوْهَرِالْـوَرْدِى
لِـصِـدِّقَـــيْـهِ فِـيْ كُلِّ حَــالٍ أَبِيْ بَكْـرٍوَجُـدْ بِالرِّضَـا لِلصُّـحْبِ وَالْآلِ سِـيْمًا
وَحَـيْدَرَةُ الْمَـطْلُـوْبُ فِيْ مَـعْـضَـلِ الْأَمْرِكَذَا عُمَرُ الْفَـارُوْقُ عُـثْـمَـانَ بَـعْـدَهُ
وَحَـيْدَرَةِ الْمَـطْلُـوْبِ فَـيَمْـعَـضِـلُ الْأَمْرُكَذَا السِّـتَّـةُ السَّـادَاتُ مِنْ نُوْرِ سِرِّهِمْ
حَـقِـيْـقَـتُـهُ تَـعْـلُوْ عَلَى الْأَنْـجَمِ الزُّهْـدِكَذَا السِّـتَّـةُ السَّـادَاتُ مِــنْ سِـرِّهِـمْ
كَذَا الْـحَسَنُ الْمَوْصُوْفُ بِالْـعِلْمِ وَالشُّكْرِوَسَـبَـطَا رَّسُـوْلُ اللهِ أَعْنِيْ حُـسَيْنَـهُمْ
إِلَى مُــنْــتَــهَى الْأَيَّامِ فِي الْبَـرِّ وَالْبَـحْـرِوَأُمُّــهُـمَـا وَالـتَّـابِـعِـيْنَ لِـحِزْبِـهِـمْ
أُوْلِي الْـعِـلْـمِ أَهْـلِ الطَّـلاَعِ عَـلَى السِّـرِّخُـصُـوْصًا لِأَصْحَابِ الطَّرِيْقِ شُيُوْخِنَا
جَـنَـابُ الرِّفَاعِيْ تَـاجٍ مِنْ هَـامٍّ بِـالذِّكْـرِكَـسَـيِّـدِنَا بَلْ شَــيْخُ أَهْـلِ طَرِيْـقِـنَا
إِمَــامٌ رِّجَــالِ اللهِ فِـيْ جَــمْـعَـةِ السِّـرِّمَـلاَذُ الْـوَرَى شَــيْخَ الطَّـرَائِـقِ كُلِّـهَا
وَمُـنْـقَـذُهُـمْ مِـنْ صُرْعَةِ الشَّكِّ وَالْـغُدْرِسِـرَاجُ قُـلُـوْبِ السَّالِـكِـيْنَ بِـلاَ مُـرَّا
عَلَى الْأَرْضِ مِـنْ أَهْـلِ الطَّـرِيْقَـةِ وَالْفِكْرِ(أَبُو الْعَلَمِيْنَ) الْغَوْثُ أَشْجَعُ مِنْ مَشِى
وَشَـيْخُ سِرَاجُ الدِّيْنَ مِـنْ حُـبِّـهِ فَـخْـرِيْوَسَــيِّــدُنَا (الصَّيَّادُ) أُسْـتَاذُ عُـصْـرُهُ
وَمَـوْلاَيَ (خَـيْرُ اللهِ) مِـنْ قَـامَ بِالْـخَـيْرِوَطَائِـفَـةُ الرَّاوِيْ وَأَبْــنَاءُ عَــمِّــهِـمْ
بِـمُـنْـقَـلَـبِ الْأَفْــلاَكِ دُوْرًا عَــلَى دُوْرِوَأَهْـلُ طَـرِيْقِ ابْنِ الرِّفَاعِيْ جَـمِـيعْهِمْ
كَــذَاكَ الدَّسُـوْقِيْ وَالْأَمَـاجِـدِ ذِيْ الصَّبْرِوَلِلْـقَادِرِيْ وَالْأَحْـمَدِيْ حَـمَى الْـوَرَى
بِـسُـلْـكِـهِـمَـا فِيْ مِـنْهَـجِ الشَّرْعِ بِالسَّيْرِوَلِلشَّاذِلِيْ وَالنَّقْـشَبَنْـدِيْ وَمَنْ مَـشَى
تَكْــرِمْ عَلَـيْـهِـمْ مِـنْـكَ فِيْ رَحْمَةٍ تَجْرِيْوَلِلْـقَـوْمِ مِـنْ هَامُوْا بِـحُبِّكَ سَـيِّـدِيْ
عَلَى حِــفْــظِ هٰذَا الدِّيْنِ بِالْـعُـزِّ وَالنَّصْرِوَسُـلْـطَانَـنَا غَــوْثِ الْبِــلاَدِ فَــجَازُهُ
عَلَى فِـرْقَـةِ الشَّـيْطَانِ وَاحْـفَـظْـهُ بِالسِّـرِّوَأَيَّــدَهُ بِالْأَمْــلاَكِ وَانْـصُرْ جُــنُـوْدَهُ
يَـــذُلُّ بِــهَا كُلُّ الْمَـمَـالِـكَ بِالْـقَــهْــرِوَتَـوَّجَـهْ بِالْـقُـرْآنِ وَارْزُقْــهُ هَـيْـبَـةً
وَسَـلِّـكْـهُ فِيْ سُـبُـلِ الشَّـرِيْـعَـةِ بِالْأَمْـرِوَوَفِّــقْ لَـهُ التَّـوْفِـيْـقِ فِيْ كُلِّ حَــالَـةِ
بِــحُـسْـنِ مَـعَـاشِ بِالصِّـيَانَةِ وَالْـخَـيْرِوَأَمِـنْ بَنِـي الْإِسْــلاَمِ رَبِـّيْ بِـظِـلِّـهِ
وَأَبْـدِلْهُ فِي الْـعَـقْبٰى بِـعِـزِّ إِلَى الْـ