Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah jilid 1 halaman 229, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, “Aku jatuh sakit, parah sekali, sampai² aku disangka telah mati. Aku melihat sekelompok orang dengan penampilan buruk sekali, mereka hendak menyakitiku. Aku juga melihat ada seorang laki² tampan dengan aroma wangi semerbak, ia bergegas menolongku dengan cara mengalahkan mereka semua. Aku bertanya, ‘Siapa Anda?’ Dia jawab, ‘Aku surat Yasin. Aku mau menolongmu.’ Aku pun kemudian tersadar dari kondisi pingsanku itu. Sedangkan ayahku tampak sedang menangis, duduk di dekat kepalaku, Beliau membaca surat Yasin.”
Demikianlah, sejak awal, kehidupan spiritual Syaikh Ibnu Arabi memang telah dikehendaki menjadi tempat penampakan ilham², orang yg mukasyafah baik ketika terjaga maupun tatkala tertidur. Singkat kata, kami akan memperkenalkan Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengalami dunia sadar (‘alam al-waqi’) ini, baik melalui simbol ataupun isyarat.
Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah jilid 1 halaman 289, Syaikh Ibnu Arabi berkisah tentang ayahnya. Katanya, “Lima belas hari sebelum meninggal dunia, ayah memberitahuku tentang hari kematiannya, Beliau akan meninggal pada hari Rabu, dan ternyata kata²nya itu terbukti. Ketika hari kematian itu telah tiba, ayah dalam kondisi sakit yg sangat parah, Beliau duduk tegak tanpa bersandar. Ayah berkata kepadaku, “Wahai anakku, hari ini adalah hari perjalanan sekaligus perjumpaan.” Aku jawab, “Semoga Allah memberikan keselamatan dalam perjalananmu, dan memberkahi perjumpaanmu.””
Tahun demi tahun berlalu. Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi menjalani hidup dengan melakukan amalan² agar dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dia berharap kelak mati dengan hati yg tulus dan rela hati untuk menempuh perjalanan menjumpai Tuhan, dengan perasaan tenang untuk menyambut keselamatan, dia betul² rindu akan sebuah perjumpaan dengan Tuhan.
1. Perjalanan Intelektual
Ayahanda Muhyiddin Ibnu Arabi, yg bernama Ali Ibnu Muhammad, berkebangsaan Arab dari garis keturunan Hatim al-Tha’i, lahir dan tumbuh dewasa di Andalusia. Ali Ibnu Muhammad adalah seorang Imam di bidang Hadits, Fiqih, ahli ibadah dan zuhud. Dia juga teman dekat Ibnu Rusyd, sang filsuf dari Cordoba.
Ayah Syaikh Ibnu Arabi tidak banyak tahu tentang tahapan² sufistik, ahwal dan maqam² kaum Sufi. Dia tidak terlalu mementingkan dunia batin sufisme melainkan lebih fokus mengerjakan ibadah dan menjalani kehidupan zuhud. Ali Ibnu Muhammad juga bergabung ke dalam halaqah2 orang² ahli ibadah dan zuhud, terus belajar untuk menguasai ilmu hadits dan ilmu fiqih. Jadi, dia adalah orang yg sangat alim, zahid, dan abid.
Ali Ibnu Muhammad menginginkan putranya kelak dapat mengikuti jejak langkahnya sendiri. Syaikh Ibnu Arabi diharapkan bergabung ke dalam halaqah orang² ahli ibadah dan zuhud. Dia pun sangat antusias dan serius dalam mempersiapkan semua pengajaran dan merancang ruang keilmuan bagi putranya, menjamin pendidikan keagamaannya dengan sempurna. Syaikh Ibnu Arabi, akhirnya, mulai menapaki jalan intelektualisme di bidang ilmu fiqih, hadits, dan sastra.
Pada suatu hari, Syaikh Ibnu Arabi ikut bersama ayahnya pergi meninggalkan tempat kelahirannya, Murcia, menuju Sevilla. Usianya pada waktu itu masih 8 tahun. Di Sevilla inilah, Syaikh Ibnu Arabi tumbuh dewasa dan belajar dengan tekun. Dia belajar membaca Al-Qur’an dengan tujuh macam qira’at, seperti dalam kitab al-Kafi, kepada Abu Bakar bin Khalaf, salah seorang ulama fiqih terkemuka di Sevilla. Dia pun menjadi mahir di bidang ini. Ketika telah menyelesaikan masa belajar Al-Qur’an, Ali bin Muhammad langsung menyerahkan putranya kepada guru² yg pakar di bidang hadits dan fiqih. Di usia yg masih sangat belia, Syaikh Ibnu Arabi sudah belajar kepada Ihnu Zarqun, al-Hafid Ibnu al-Jad, Abul Walid al-Hadhrami, dan Syaikh Abul Hasan Ibnu Nashr.
Semua jenis ilmu keislaman diperoleh Syaikh Ibnu Arabi pada usianya yg belum mencapai 20 tahun. Di usia inilah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi mulai melirik dunia khalwat, tasawuf, dan coba menjalani ahwal kaum Sufi. Khalwat adalah hal sufistik pertama yg dia coba. Seusai menjalani khalwat, dia turun gunung, menyampaikan seluruh ilmu yg dikuasainya, sesuai kapasitasnya. Masa pengajaran ini terjadi pada tahun 580 H/1184 M.
Tasawuf yg dijalani Syaikh Ibnu Arabi tidak menghancurkan ilmu² lain yg telah dipelajarinya. Sebaliknya, tasawuf menjadi tahapan pembuka yg mempermudah orientasi fiqih dan rasionalitasnya. Di sini, Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan Imam al-Ghazali. Bagi Imam al-Ghazali, tasawuf adalah penyelamat dari kesesatan. Sedang bagi Syaikh Ibnu Arabi, tasawuf adalah pelengkap.
Kita mungkin membagi periode kehidupan Syaikh Ibnu Arabi ke dalam empat periode: pertama, pembentukan cakrawala keilmuan selama tinggal di Andalusia, kedua, pengembaraan ke dunia Islam di Barat, ketiga, pengembaraan ke dunia Timur dan menetap di Mekkah, dan keempat, saat menetap di Damaskus.
A. Pertama, Pembentukan Cakrawala Keilmuan dan Amal
Dalam menapaki jalan intelektualitas, Syaikh Ibnu Arabi menempuh rute yg sama dengan ulama² hadits dan fiqih. Selain itu, kita juga tahu bahwa Syaikh Ibnu Arabi belajar dan menerima ahwal sufistik hanya dari ahlinya. Karena itulah, guru² Syaikh Ibnu Arabi sangat banyak, baik laki² maupun perempuan. Kita bisa mengetahui nama² mereka dalam karya² Syaikh Ibnu Arabi sendiri seperti al-Futuhat dan Risalah al-Quds.
Syaikh Ibnu Arabi belajar arti ‘ubudiyah kepada Abul Abbas al-‘Uryani, belajar menerima ilham² ilahiah dari Musa bin Imran al-Mirtali. Dia juga berguru kepada Abul Hujaj Yusuf al-Syubrabuli, salah seorang sufi yg bisa berjalan di atas air dan dikelilingi arwah² ghaib. Syaikh Ibnu Arabi belajar cara mengevaluasi diri kepada dua wali qutub: Abu Abdullah bin Mujahid dan Abu Abdullah bin Qaisum, belajar kesabaran menghadapi tekanan dari Abu Yahya al-Shanhaji al-Dharir.
Sedangkan Abu Abdullah mengajari Syaikh Ibnu Arabi tentang kemuliaan melakukan khalwat di dalam gelap, dengan menjauhi segala gangguan yg menyebabkan pikiran hilang fokus. Kebiasaan mengembara dan menempuh perjalanan jauh dipelajarinya dari Shaleh al-Barbari. Syaikh Ibnu Arabi juga mengabdi dan berkhidmat kepada seorang sufi perempuan bernama Fatimah bin Abul Mutsni selama dua tahun berturut-turut. Menurut ungkapan Syaikh Ibnu Arabi, Fatimah selalu bersama Allah, dan Allah Ta’ala menganugerahinya Surat al-Fatihah untuk menjadi khadamnya. Terakhir, Syaikh Ibnu Arabi belajar ilmu tawakkal kepada Abdullah al-Mauruni.
Begitulah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi di Andalusia selama pernode pembentukan pengetahuan dan amal. Pembentukan cakrawala pengetahuan berarti mengabdi kepada orang² yg menjalani tarekat tersebut dalam rangka mempelajarinya. Sebab, pengabdian merupakan metode paling efisien untuk mencontoh karakter dan sifat guru yg dijadikan panutan dan teladan. Sedangkan amal berarti menjalankan khalwat, menjauhi keramaian, dan menempuh ahwal² sufistik yg dapat mendekatkan diri kepada Allah.
B. Kedua, Pengembaraan ke Dunia Islam di Barat
Syaikh Ibnu Arabi memulai pengembaraannya dari Afrika, suatu wilayah luas di luar batas negara Andalusia. Usianya pada waktu itu berkisar 30 tahun. Sekalipun ketenaran namanya di dunia tasawuf sudah tersebar luas, namun tujuan pengembaraan ini sebatas untuk berjumpa dengan orang² terkemuka di jamannya. Syaikh Ibnu Arabi ingin menyempurnakan sisi² Iain keilmuannya. Tidak ada batas akhir dalam menajamkan keilmuan, sebab di atas orang berilmu masih ada orang yg lebih berilmu.
Periode ini merupakan momen² istimewa. Syaikh Ibnu Arabi menempuh pengembaraan dan menemukan banyak pengalaman. Dimulai dari Fez, Bijaya, Tunis, kemudian kembali ke Sevilla dan Murcia. Perjalanannya yg kedua juga demikian. Selama masa pengembaraan ini, jiwa Syaikh Ibnu Arabi banyak mengalami visi² spiritual dan mendapat kabar² gembira. Sedangkan tangannya disibukkan dengan mencatat dan mengarang kitab.
C. Ketiga, Pengembaraan ke Timur (597-620 H)
Pada 597 H di usianya yg ke 37, Syaikh Ibnu Arabi memulai suatu tahapan penting dalam hidupnya. Dia akan kembali memulai pengembaraan, pengembaraan terakhir, yg pergi ke negara² Islam di Timur. Pengembaraannya ini adalah sebuah tafsiran atas suatu visi yg telah dilihatnya. Setelah melakukan perjalanan di Tunis, Kairo, dan Iskandariyah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi menempati kota² lain yg terpisah-pisah seperti Baghdad dan Konya, kemudian tinggal di Mekkah lebih lama. Dia sedang merampungkan eksiklopedi sufistiknya yg berjudul al-Futuhat al-Makkiyah.
Periode ini juga merupakan tahapan penting dalam kehidupan Syaikh Ibnu Arabi. Dia sempat berjumpa dengan tokoh² sufi terkemuka, termasuk Syaikh Syihabuddin al-Suhrawardi pada 608 H di Baghdad. Kehormatan dan penghargaan didapatnya dari para raja dan sultan. Bahkan, Raja Kaikawus I turun dari kursinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Ibnu Arabi. Kata² Syaikh Ibnu Arabi didengar (dipatuhi) oleh al-Malik al-Dhahir, penguasa Kota Halb, putra Shalahuddin al-Ayyubi.
D. Keempat, Menetap di Damaskus (620-638 H)
Ketika usia Syaikh Ibnu Arabi mencapai 60 tahun, ketenarannya sudah tersebar luas di seluruh penjuru dunia Islam. Para raja berlomba-lomba untuk menemuinya. Orang² berdesak-desakan agar bisa duduk di depan pintunya untuk menimba ilmu dan belajar. Akan tetapi, kondisi kesehatan yg memburuk memaksa Syaikh Ibnu Arabi lebih banyak beristirahat. Tidak ada satu pun tempat yg lebih baik dan banyak memberi penghargaan kepada Syaikh Ibnu Arabi dibandingkan kota Damaskus.
Syaikh Ibnu Arabi berwasiat, “Jika kalian memiliki kemampuan untuk tinggal di Syam maka lakukanlah. Sebab Rasulullah Saw. bersabda agar kalian tinggal menetap di Syam. Karena di tanah Syam inilah Allah menurunkan kebaikan²Nya, dan di sana pula Allah menentukan hamba²Nya yg terpilih.”
Di Damaskus ini Syaikh Ibnu Arabi menikmati beragam penghargaan dan kehormatan. Ia disambut sebagai tamu al-Qadhi Muhyiddin Ibnu al-Zaki, yg dikenal memiliki hubungan akrab dengan Shalahuddin al-Ayyubi. Syamsuddin Ahmad al-Khuli, Qadhil Qudhat Mazhab Maliki juga mengabdikan diri kepada Syaikh Ibnu Arabi. Al-Malik al-Asyraf ibnu al-Malik al-Adil selalu mengikuti jam² pelajaran Syaikh Ibnu Arabi, dan pada 632 H dia mendapat ijazah langsung dari Syaikh Ibnu Arabi untuk meriwayatkan seluruh karya²nya.
Demikianlah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi yg diliputi oleh beragam kehormatan dan kemuliaan. Dia pergi meninggalkan kehidupan dunia ini pada 638 H dengan membawa bermacam-macam keagungan.
2. Syaikh Ibnu Arabi: Intelektual dan Penulis Intuitif
Sejak menyelesaikan masa khalwatnya yg pertama pada 580 H di usia ke 20, Syaikh Ibnu Arabi sudah banyak memperoleh bermacam-macam ilham, kasyaf, pencerahan, dan visi dalam mimpi. Semua peristiwa ini terjadi semasa hidup ayahnya, yg sama sekali tidak mengingkari ahwal sufistik semacam itu. Akan tetapi sang ayah tidak mampu menafsiri pengalaman spiritual putranya tersebut. Salahsatu sahabat ayah Syaikh Ibnu Arabi, seorang filsuf terkenal, Ibnu Rusyd, meminta ayah Syaikh Ibnu Arabi untuk menunjukkan putranya. Syaikh Ibnu Arabi pun diutus untuk menjumpai, sowan kepada Ibnu Rusyd, demi sebuah kepentingan yg telah disepakati.
Syaikh Ibnu Arabi menuturkan kisahnya: “Ketika aku menemuinya (Ibnu Rusyd), dia bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke arahku dengan perasaan cinta dan penuh penghormatan. Dia memelukku sambil bertanya, ‘Betul?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Kebahagiaan yg dirasakannya semakin membuncah karena paham akan makna dari ucapanku. Selanjutnya, aku meminta penjelasan apa yg membuatnya bahagia, dan aku katakan lagi kepadanya, ‘Tidak.’ Dia pun tampak lesu dan warna kulitnya berubah. Dia ragu terhadap apa yg telah diyakininya sendiri selama ini. Dia bertanya padaku, ‘Bagaimana kalian memperoleh pengetahuan melalui kasyaf dan intuisi ilahiah, apakah hal seperti itu merupakan pengetahuan yg dapat dicapai melalui penalaran diskursif?’ Aku jawab, ‘Ya dan tidak. Di antara ya dan tidak, arwah² meninggalkan materi, dan leher² tanggal dari badan²nya.’”
Berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi, ini adalah momen dimana Ibnu Rusyd melihat dengan mata kepala ahwal ilmu kasyaf yg terdapat di dalam diri Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd berkata, “Ini adalah perkara yg kami yakini. Namun, kami belum sekali pun melihat langsung orang yg betul² menguasainya. Segala puji bagi Allah yg telah menghidupkan saya di suatu masa, dimana saya bisa berjumpa langsung dengan seseorang yg betul² menguasainya. Orang itu menjadi kunci pembuka bagi pintu² yg selama ini terkunci rapat. Segala puji bagi Allah yg telah memberiku kesempatan untuk berjumpa langsung dengan orang itu.”
Peristiwa tersebut adalah bukti kedudukan Syaikh Ibnu Arabi, yg sejak dini telah mampu melumpuhkan pikiran seorang filsuf besar dari Cordoba dan memaksa sang filsuf mengakui kehebatan dan skill khusus yg dimiliki Syaikh Ibnu Arabi. Peristiwa tersabut merupakan representasi kebangkitan era baru dalam pemikiran sufisme, yaitu era ilmu mukasyafah. Jenis pengetahuan ini akan menyaingi pengetahuan yg diperoleh melalui penalaran diskursif filosofis dalam dunia Islam. Syaikh Ibnu Arabi menghadirkan metode sufistik tersendiri dan melihat hal² metafisika dengan mata kepala, suatu realitas yg saling melengkapi tentang pemahaman mengenai konsep Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Pada mulanya berupa kabar² gembira, yaitu mimpi² yg secara simbolik membimbing Syaikh Ibnu Arabi meraih kedudukan tinggi, yg telah menunggunya di alam ‘irfani dan tasthir, alam Lauh dan Qalam. Berita² dan mimpi² ini membuat batinnya lebih berhati-hati, terlebih ketika mengalami mimpi penuh ilham. Tanpa keraguan sedikit pun Syaikh Ibnu Arabi menafsiri mimpi yg dialaminya di Bijaya, yg terjadi pada bulan Ramadhan 957 H. Dia bermimpi dirinya bersatu dengan seluruh bintang² di langit tanpa terkecuali. Sedang bintang² itu bertuliskan seluruh huruf² hija’iyah, lalu Syaikh Ibnu Arabi merasa menikahinya.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Aku menceritakan mimpiku itu kepada seseorang yg ‘arif dan pandai menafsiri mimpi. Setelah mimpi itu disampaikan kepadanya, dia kagum dan takjub. Dia berkata, “Orang yg mengalami mimpi seperti ini akan mendapatkan pengetahuan² tertinggi, rahasia² ghaib, dan pengetahuan tentang keistimewaan bintang². Yaitu, pengetahuan yg tak akan dimiliki oleh seorang pun pada masanya.
Menurut saya, mimpi tersebut menegaskan tentang dua hal: ilham dan pengalaman yg juga dialami oleh Syaikh Ibnu Arabi, tokoh terkemuka dan bijaksana dari Murcia. Orang arif, yg tahu banyak tentang mimpi dan menafsiri mimpi Syaikh Ibnu Arabi, bahwa si pemimpi akan memperoleh pengetahuan² tertinggi dan rahasia² ghaib, hanya memberikan penafsiran sepotong, yaitu pada bagian pertamanya. Si penafsir mengabaikan isyarat lain, yaitu adanya huruf² hija’iyah.
Isyarat tersebut, menurut saya, sangat penting. Isyarat tersebut menegaskan keistimewaan khusus ilham Syaikh Ibnu Arabi. Secara simbolik, isyarat tersebut mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi memiliki instrumen bahasa untuk mengungkapkan ide²nya. Syaikh Ibnu Arabi tidak sekadar memperoleh ilham berupa gagasan dan ide semata, melainkan juga memiliki alat dan media berupa kata dan kalimat. Arti mimpi ini akan lebih jelas lagi dalam dua poin berikut:
A. Intelektual Intuitif
Sebelum Syaikh Ibnu Arabi muncul, ahwal kaum sufi sangat beragam. Karenanya kitab, ilmu, dan ucapan² mereka juga bermacam-macam. Seorang pemula yg ingin mempelajari tasawuf dan berkepentingan untuk sampai pada puncak pengetahuan tentangnya, harus membaca seluruh karya tersebut dan mengumpulkan petuah² yg berserakan ke dalam satu buku. Imam Junayd al-Baghdadi misalnya, seorang syaikh thaifah, mengarahkan konsentrasi sufistiknya kepada ajaran tauhid. Al-Junayd adalah sufi yg pakar di bidang tauhid, mengalami fana’ dalam tauhid, dan hanya tahu tentang tauhid.
Berikutnya adalah al-Hallaj. Dia adalah tokoh sufi yg hatinya diselimuti kerinduan, syair²nya menegaskan tentang desah kerinduan yg mendalam. Kerinduan hati yg terbakar oleh cinta, wujud, dan fana’. Ada juga al-Naffari. Dia hanya berdiam saja, tidak mau beranjak pergi, matanya menatap benda², namun tidak melihatnya, karena dia takut berpalingan dari Allah, takut benda² itu menjadi penghalang bagi telinganya untuk mendengar bisikan suara² ilahiah. Dalam pandangan al-Naffari, jagad semesta tampak tiada. Yg ada hanyalah yg bicara (mukhathib), lawan bicara (mukhathab), dan isi pembicaraan (khithab).
Andaikan kami menghadirkan seluruh jenis ahwal kaum sufi yg mendahului Syaikh Ibnu Arabi maka niscaya tidak cukup ruang untuk itu. Di sinilah Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan seluruh kaum sufi. Dia tidak hanya memiliki satu jenis ahwal. Dia menempatkan seluruh aktivitas dan konsentrasi sufismenya ke dalam satu jalan, sehingga petuah² sufisme Syaikh Ibnu Arabi yg sangat subjektif dapat memasuki ruang² yg lebih luas di dalam ragam ilmu pengetahuan.
Betul, Syaikh Ibnu Arabi meninggalkan ahwal sufistik yg subjektif menuju tema² ilmu pengetahuan. Akan tetapi usaha itu sendiri adalah murni sufisme. Sebab jika kita meneliti lebih detail sumber² dan rujukan keilmuan Syaikh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf maka kita akan menemukannya dalam al-Futuhat al-Makkiyah, al-Musyahadat, al-Ilhamat, dan al-Ru’ya al-Manamiyah.
Ringkasnya, disiplin keilmuan Syaikh Ibnu Arabi merupakan disiplin keilmuan intuitif (ilhami) dan ladunni. Hal semacam ini tidak asing lagi bagi seseorang yg telah mendapatkan jubah kesufian dari Nabi Khidir as. sebanyak tiga kali. Menerima “jubah” adalah tindakan simbolik yg menjelaskan bahwa dirinya telah belajar dan ikut serta dalam ahwal dan jalan sufi. Sebagaimana Nabi Khidir as. sendiri mendapat ilmu langsung dari Allah Ta’ala secara ladunni, begitu pula Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi. Dia adalah salah satu orang terpilih, yg akan menerima ilmu ladunni dari Allah Ta’ala, yaitu, pengetahuan intuisi dalam beragam bentuknya.
Bagi Syaikh Ibnu Arabi, visi dalam mimpi menjadi pintu masuk ke dalam dunia rahasia, alam ghaib dan pengetahuan ladunni. Yg demikian ini bukan hal mustahil, baik secara rasional maupun agama, terlebih bagi orang² yg istiqamah dalam kesadaran dan membersihkan kotoran dari kedalaman jiwanya. Karena itulah, Allah memuliakan mereka dengan cara membiarkan ruh² mereka melepaskan diri dari kungkungan dunia materi, melepaskan ruh dari tubuh, selama dalam mimpi.
Ruh² itu, kemudian, terbang tinggi ke ufuk² langit, meninggalkan bumi, menyaksikan alam malaikat dan malakut. Dengan perasaan damai, ruh² itu kembali lagi, merasuk ke dalam tubuh² suci mereka. Ketika relung jiwa yg paling dalam telah bersih maka visi misterius akan terjadi.
Kitab yg kami sebar luaskan ini bersumber dari mimpi² Syaikh Ibnu Arabi. Dia melihat langsung tempat tertinggi, mimpi seorang muslim beriman, yg badannya suci, dan jiwanya bersih. Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Arabi mencapai tempat tersebut. Dialah orang yg ditunjuk untuk menerima makrifat dan ‘irfani.
Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi. Dia tidak sekadar memiliki satu jenis hal sufistik. Dia mengembara dalam beragam dunia intuisi ilahiah. Di sepanjang pengembaraan ini Syaikh Ibnu Arabi tidak pemah mengabaikan patokan rasionalitas religius. Dia selalu mengikuti jalan para sufi sesuai konteks keilmuan mereka. Ringkas kata, seperti yg diungkapkannya sendiri, “Setiap kali terbersit dalam hatiku bisikan yg pernah terlintas dalam hati mereka maka aku baru bisa menerimanya apabila didukung oleh dua saksi yg adil: Al-Qur’an dan Hadits.”
Inilah Syaikh Ibnu Arabi. Di samping tumbuh dewasa dalam lingkar orang² yg menguasai disiplin keilmuan fiqih dan hadits, ilmu pengetahuannya yg intuitif juga didasarkan pada dua saksi: Al-Qur’an dan Hadits. Kami tidak menemukan karya² Syaikh Ibnu Arabi yg tidak berisikan isyarat² Al-Qur’an dan Hadits.
B. Penulis Intuitif
Kita terbiasa melihat para penyair bermain dengan keindahan kata² dan para cendekiawan mengedepankan kedalaman makna serta suka meramal struktur alam semesta. Akan tetapi kaum sufi memperlihatkan kepada kita kemampuan mereka dalam menggabungkan ketinggian dan kedalaman makna sekaligus keindahan dan estetika bahasa bercita rasa tinggi. Karena itulah sepanjang perjalanan sejarah karya² sufistik terkenal dengan keagungan gagasan plus cita rasa estetikanya yg tinggi. Berpuluh-puluh buku ditulis untuk mengkajinya.
Seorang sufi dengan mata hati yg tercerahkan dan jiwa yg lembut tidak pernah mengungkapkan kata² kecuali ia merupakan buah makrifat, yg menyenangkan di mata dan telinga. Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang di antara mereka yg mampu menggabungkan keindahan kata dan kedalaman makna, yg berjuang untuk sampai pada puncak ketinggian tema dan kata².
Sejak semula Syaikh Ibnu Arabi sudah mendalami dunia kesusastraan, merangkai kata dalam bentuk prosa dan puisi. Dia suka membaca buku² sastra dan yg berisi kata² indah. Bahkan dia bertugas mengurusi penulisan kesusastraan Sevilla, dimana jabatan tersebut tidak diserahkan kepada sembarang orang, kecuali dia yg menguasai skill istimewa.
Syaikh Ibnu Arabi memulai kariernya dengan mengarang, sebab dia termasuk orang yg selalu mendapat ilham berupa ide dan gagasan, sehingga dia mencurahkan segala tenaga untuk menuangkan gagasan²nya itu. Demikianlah yg kami temukan dalam karya² awalnya, seperti kitab Mawaqi’ al-Nujum, Risalat al-Asfar, termasuk pula kitab yg Anda pegang ini. Kitab ini ditulis pada selang waktu dimana Syaikh Ibnu Arabi sedang mengarang tentang huruf² yg inspirasinya didapat dari berbagai tempat.
Akan tetapi setelah tahun 597 H, setelah mengalami mimpi menikahi huruf² hija’iyah, karya² Syaikh Ibnu Arabi secara berkelanjutan menampilkan struktur kepenulisan yg baru, dan simbol² yg disuguhkan dalam setiap pengantar karya²nya, seperti pada al-Futuhat al-Makkiyah misalnya, yg mulai ditulis sejak tahun 598 H di Mekkah, juga menghadirkan ilham baru, yaitu, ilham dalam struktur bangunan kitab, bukan sekedar pada tema² yg dibahasnya.
Dalam mukaddimah karya terakhirnya Fushush al-Hikam, kita memiliki bukti kuat berupa teks yg secara tegas menjelaskan tentang puncak ilham yg dicapai Syaikh Ibnu Arabi.
Kita punya landasan kokoh untuk menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi tiduk sekedar penulis yg mendapat ilham atau intuisi dalam hal gagasan dan ide melainkan juga seorang penulis yg kata² dan kalimatnya adalah ilham. Dalam mukaddimah kitab itu, halaman 4, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah Saw. membawa kabar gembira pada tanggal 10 terakhir bulan Muharam tahun 627 H di wilayah Damaskus. Di tangan Beliau terdapat sebuah kitab. Beliau bersabda kepadaku, “Ini kitab Fushush al-Hikam, ambillah. Sampaikan kepada orang². Mereka akan banyak memetik manfaat dari kitab ini.” Aku jawab, “Kepatuhan dan ketundukan sepenuhnya untuk Allah, Rasul-Nya, dan ulul amri, sebagaimana kami diperintahkan berbuat demikian.’
Aku pun meluruskan niat, dan memfokuskan keinginan dan cita² untuk menghadirkan kitab ini untuk khalayak ramai seperti yg diperintahkan Rasulullah Saw. kepadaku, tanpa sedikitpun ada penambahan atau pengurangan. Aku memohon kepada Allah supaya mengistimewakanku dalam segala apa yg ditulis oleh jari jemari dan diucapkan oleh lidah, yaitu, keistimewaan berupa pancaran subuh (ilqa’ subuhi) dan tiupan jiwa, sehingga aku ini hanya sekadar penerjemah dan bukannya pengambil keputusan. Semua yg kuterima memang seperti apa adanya, dan semua yg kutulis dalam kalimat² ini memang demikianlah yg sampai kepadaku. Aku bukan seorang nabi apalagi rasul. Aku hanya seorang pewaris, dan penjaga kehidupan akhiratku.”
Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang penulis yg kata²nya adalah ilham, semua ide dan makna yg ditangkapnya dituangkan dalam kata² tanpa penambahan maupun pengurangan. Ilham pengetahuan tidak berarti pengingkaran terhadap wahyu kenabian. Sebab wahyu kenabian itu adalah wahyu untuk memberlakukan syariat. Sementara ilhamnya para wali dan kaum sufi tidaklah demikian. Ia hanya sejenis pencerahan (futuh) untuk lebih memahami wahyu kenabian, semacam pembacaan kritis dan hudhuri atas syariat nubuat.