Doa Syaikh Ibnu Atha’illah – 8:
ŁŲ°Ų§ Ų£ŁŲ§ Ų£ŲŖŁŲ³Ł Ų§ŁŁŁ ŲØŲŗŁŲ±Ł Ų„ŁŁŁŲ ŁŁŁŁ Ų£ŲŖŁŲ³Ł Ų„ŁŁŁ ŲØŁ
Ų§ ŁŁ Ł
Ųا٠أ٠ŁŲµŁ Ų„ŁŁŁŲ Ų£Ł
ŁŁŁ Ų£Ų“ŁŁ Ų„ŁŁŁ ŲŲ§ŁŁ ŁŁŁ ŁŲ§ ŲŖŲ®ŁŁ Ų¹ŁŁŁŲ Ų£Ł
ŁŁŁ Ų£ŲŖŲ±Ų¬Ł
ŁŁ ŲØŁ
ŁŲ§ŁŁ ŁŁŁ Ł
ŁŁ ŲØŲ±Ų² Ų„ŁŁŁŲ Ų£Ł
ŁŁŁ ŲŖŲ®ŁŲØ Ų¢Ł
Ų§ŁŁ ŁŁŁ ŁŲÆ ŁŁŲÆŲŖ Ų„ŁŁŁŲ Ų£Ł
ŁŁŁ ŁŲ§ŲŖŲŲ³Ł Ų£ŲŁŲ§ŁŁ ŁŲØŁ ŁŲ§Ł
ŲŖ ŁŲ„ŁŁŁ.
Inilah aku mendekat pada-Mu dengan perantara kefakiranku (kebutuhanku) kepada-Mu. Namun, bagaimana aku dapat berperantara kepada-Mu dengan sesuatu yg mustahil sampai kepada-Mu? Bagaimana aku akan mengadukan kepada-Mu keadaanku, padahal ia tidak tersembunyi dari-Mu? Bagaimana pula akan aku jelaskan kepada-Mu keadaanku, sedangkan kata² itu dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu? Bagaimana akan kecewa harapanku, padahal ia telah datang menghadap-Mu? Bagaimana tidak akan menjadi baik ahwal-ku, sedangkan ia berasal dari-Mu dan kembali pula kepada-Mu.
Tuhanku, inilah aku, memohon kepada-Mu dengan perantara kebutuhanku kepada-Mu. Kujadikan kefakiranku sebagai perantara untuk memohon syafa’at dari-Mu agar Kau menerima amalanku. Aku tidak ingin menjadikan amal²ku yg masih tercemari sifat riyaā dan ahwal -ku yg masih kurang sempurna sebagai perantara untuk memohon pada-Mu.
Seseorang bertanya kepada Abu Hafsh, āDengan apa seorang fakir mendekatkan diri kepada Tuhannya?ā Ia menjawab, āTak ada yg bisa diberikan seorang fakir kepada Tuhannya, kecuali kefakirannya.ā
Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, āBatinku diseru dengan sebuah suara yg berbunyi, āPerbendaharaan Kami penuh berisi khidmat dan pelayanan. Jika kau menginginkan bantuan Kami, kau harus merendah dan merasa butuh di hadapan Kami.āā
Namun kemudian, Syaikh Ibnu Athaāillah urung menjadikan kefakirannya sebagai perantara untuk memohon syafa’at Tuhannya. Ia berkata, āBagaimana aku akan dapat berperantara kepada-Mu dengan sesuatu yg mustahil akan sampai kepada-Mu.ā Sesuatu yg mustahil bisa sampai kepada Allah Ta’ala yg dimaksud Syaikh Ibnu Atha’illah ialah kefakiran, seakan ia berkata, āJika kefakiran bisa dijadikan perantara (wasilah) untuk mendekati-Mu, aku akan ber- tawassul dengan kefakiran itu.ā Sebuah perantara tentu memiliki hubungan yg erat dengan sosok yg ingin ditujunya. Namun di sini, tidak ada hubungan dan tak ada kesesuaian sama sekali antara kefakiran yg merupakan sifat seorang hamba dengan Tuhan yg memiliki kekayaan yg berlimpah.
Oleh sebab itu, ketika Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs. menemui Gurunya, Syaikh Abdussalam qs., Sang Guru bertanya, āWahai Abul Hasan, dengan apa kau mendekati Allah?ā Syaikh Abul Hasan menjawab, āDengan kefakiranku.ā Syaikh Abdussalam lantas berkata, āDemi Allah, jika kau mendekati Allah dengan kefakiranmu, pasti kau akan mendapatkan kehinaan yg besar.ā
Tuhanku, bagaimana aku akan mengadukan kepada-Mu keadaanku, padahal ia tidak tersembunyi dari-Mu?
Pengaduan keadaan tidak bisa dilakukan, kecuali kepada orang yg tidak mengetahuinya, sedangkan Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu dan tak satu pun yg tersembunyi dari-Nya.
Oleh sebab itu, Nabi Ibrahim as. berkata, āCukuplah bagiku untuk tidak bertanya ilmu-Nya tentang keadaanku.ā
Ungkapan yg berbunyi ātidak ada keluhan kecuali kepada Allahā ini adalah ungkapan orang² yg lalai dan terhijab dari-Nya.
Tuhanku, bagaimana akan aku jelaskan pada-Mu keadaanku, sedangkan kata² itu berasal dari-Mu dan kembali kepada-Mu? Bagaimana aku akan mengungkapkan apa yg ada di hati kecilku, sedangkan kata² dan penjelasan itu dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu? Kaulah yg membuat lisan berbicara dan melancarkan pembicaraannya. Penjelasan tidak terjadi, kecuali bagi orang yg tidak memahami kondisi sesuatu yg dijelaskan, sedangkan Allah Ta’ala Maha Memahami segala sesuatu.
Tuhanku, bagaimana akan kecewa harapanku, padahal harapan itu telah datang menghadap kepada-Mu? Ia datang menghadap seperti para utusan yg datang kepada seorang yg mulia. Tak ragu bahwa Allah Ta’ala Maha Mulia dan Pemurah. Dia tidak pernah mengecewakan hamba yg datang kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tetap yakin akan terwujud keinginannya walaupun ia tidak meminta dan berharap.
Ketika kalimat² tanya ini menandakan adanya kekurangan pada diri Syaikh Ibnu Atha’illah dan kekurangan itu tidak layak bagi seorang āarif dan muhaqqiq karena berpangkal dari sikap memandang diri sendiri, Syaikh Ibnu Athaāillah melanjutkan ucapannya dengan berkata, āBagaimana tidak akan menjadi baik keadaanku, sedangkan ia berasal dari-Mu dan kembali pula kepada-Mu?ā
Dengan kata lain, bagaimana tidak menjadi baik keadaan lahir dan batinku yg berupa amal shaleh, sedangkan ia berasal dari-Mu dan akan kembali pula kepada-Mu? Karena hanya Kaulah yg menjadi tujuan dari amal shaleh itu.
Siapa yg berhasil meraih maqam makrifat, ia akan melihat semua ahwal -nya baik karena ia tetap berada bersama Allah Ta’ala dan mengembalikan semua perkaranya kepada-Nya.