Syarah Al-Hikam

Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari
[ss_social_share]

Daftar Isi

01. Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf

Hikmah 1 dalam Al-Hikam:

“Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf”

من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود ازلل.

“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Amal yg dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yg mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah Ta’ala secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yg tekun beribadah) dan para murid (orang yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu²nya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah Ta’ala. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu²nya cara yg bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.

Kedua golongan ini sama² tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yg mereka inginkan.

Berbeda halnya dengan orang² yg mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yg mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Ta’ala semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Ta’ala.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang² yg menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yg mereka lakukan, bukan pada Allah Ta’ala secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Ta’ala Yang Maha Rahmat yg akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yg termasuk golongan ‘arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah Ta’ala atas dirinya.

Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yg melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.

Maka dari itu, siapa yg tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.

Melalui hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah Ta’ala; termasuk bergantung pada amal ibadah. (Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi). Wallaahu a’lam

02. Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal

Hikmah 2 dalam Al-Hikam:

“Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal”

إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية، وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العالية.

“Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yg tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tajrid adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi di mana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yg dimaksud dengan kesibukan duniawi adalah kesibukan² yg tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang. Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah Ta’ala telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yg tersamar.

Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, namun keinginan batinmu yg sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang² mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yg telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.

Orang² ‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yg belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban² ibadah dan dzikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yg akan diberikan oleh manusia.

Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah Ta’ala telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khaliq.

Sebenarnya, berbaur dengan orang² yg sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yg wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) ialah tetap diam di tempat yg telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah Ta’ala untuknya, sampai Allah Ta’ala sendiri yg akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah Ta’ala, na’udzubillaah. Wallaahu a’lam

03. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (1)

Hikmah 3 dalam Al-Hikam:

“Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah”

سوابق الهمم لاتخرق أسوار الأقدار.

“Tekad yg kuat takkan mampu menembus dinding takdir.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tekad adalah kekuatan jiwa yg bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang² sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa², kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah Ta’ala.

Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yg kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa², kecuali dengan takdir dan izin Allah Ta’ala, apalagi tekad yg lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yg menyala-nyala di dalam hatimu yg selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil. Wallaahu a’lam

04. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (2)

Hikmah 4 dalam Al-Hikam:

ارح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك.

“Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yg telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yg telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yg menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yg telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.

Dengan menggunakan lafadz “istirahat”, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yg menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan.”

Urusan² yg telah diatur Allah Ta’ala hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yg telah ditangani Allah Ta’ala karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yg tak layak dilakukan oleh orang yg berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah Ta’ala, selain juga bisa melalaikan ibadah.

Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir² dan ibadah²nya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yg sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yg membuatnya letih. Wallaahu a’lam

05. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (3)

Hikmah 5 dalam Al-Hikam:

اجتهادك فيما ضمن لك، وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك.

“Kegigihanmu dalam mencari apa yg telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yg diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksud dari “apa yg telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ دَاۤبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَاۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dan berapa banyak binatang yg tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yg memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 60)

Sementara itu, maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yg diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan² yg bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)

Yg dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir² kepada Allah Ta’ala dan melakukan amalan² yg mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yg lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.

Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara² indrawi.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafadz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yg dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya. Wallaahu a’lam

06. Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (1)

Hikmah 6 dalam Al-Hikam:

“Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta”

لايكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء موجبا ليأسك؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك و في الوقت الذي يريد، لا في الوقت الذي تريد.

“Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yg di inginkan-Nya, bukan pada waktu yg kau inginkan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang² yg sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir [40]: 60)

Doa yg pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murid daripada doa yg pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah Ta’ala. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya, “Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat² kemanusiaanmu yg buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu.” Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.

Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yg terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yg lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yg dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa²nya.

Orang² ‘arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yg dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar² dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil², sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat² jiwa, ada yg sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yg lama dan perjuangan yg panjang. Terkadang sifat² itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu yg lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu. Wallaahu a’lam

07. Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (2)

Hikmah 7 dalam Al-Hikam:

لايشككنك في الوعد عدم وقوع الموعود وإن تعين زمنه لئلا يكون ذلك قدحا في بصيرتك، وإخمادا لنور سريرتك.

“Janji yg tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya qalbumu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika Allah Ta’ala menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah Ta’ala yg tahu hikmah di balik itu.

Contohnya, yg terjadi pada beberapa wali Allah, yg dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yg dijanjikan itu, orang² justru banyak yg menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yg terjadi pada Rasulullah Saw. di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah Saw. dijanjikan Allah Ta’ala mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya.

Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya (‘arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yg rusak, dan berhati gelap. Wallaahu a’lam

08. Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya Dengan Amalmu

Hikmah 8 dalam Al-Hikam:

“Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya Dengan Amalmu”

إذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال معها إن قل عملك، فإنه ما فتحها لك إلا وهو يريد أن يتعرف إليك، ألم تعلم أن التعرف هو مورده عليك، والأعمال أنت مهديها إليه! وأين ما أنت مهديه إليه مما هو مورده عليك؟

“Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yg sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Dalam perjalanan menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan² nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah Ta’ala. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber- mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela² itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yg diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yg sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.

Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah menasehatinya bahwa jika Allah Ta’ala membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat —seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah Ta’ala atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah Ta’ala dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya— maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yg dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah Ta’ala mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Ta’ala Maha Melakukan apa yg Dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.

Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat² dan asma-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yg lebih besar dan agung untukmu dibandingkan dengan amalan² lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan dengan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.

Kesimpulannya, amal ibadah yg sedikit namun di iringi makrifat, lebih baik daripada amal ibadah yg banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih mempedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan² lahir yg dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para ‘arif yg dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa² dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yg mereka lakukan. Wallaahu a’lam

09. Ruh Amal adalah Ikhlas (1)

Hikmah 9 dalam Al-Hikam:

“Ruh Amal adalah Ikhlas”

تنو عت أجناس الأعمال، لتنوع واردات الأحوال.

“Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Yg dimaksud asupan hati di sini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yg masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat² dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yg membuahkan karisma. Ada yg mendorong kelembutan. Ada pula yg memupuk kedermawanan.

Kerapkali kau dapati sebagian murid yg rajin shalat, ada pula yg rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yg mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai dengan kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari Gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan Guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin Sang Guru.

Kesimpulannya, beragamnya wirid dan dzikir yg dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yg masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai dengan asupan hatinya atau sesuai bimbingan Guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yg dilakukannya. Wallaahu a’lam

10. Ruh Amal adalah Ikhlas (2)

Hikmah 10 dalam Al-Hikam:

الأعمال: صور قائمة، وأرواحما: وجود سرالإخلاص فيها.

“Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Amal itu ibarat jasad yg tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yg menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya’ yg nyata maupun yg tersamar dan dari niat yg didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah Ta’ala, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yg mereka inginkan.

Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yg ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah Ta’ala; yg memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.

Oleh sebab itu, Rabi’ah Al-Adawiyah berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu.”

Sementara itu, keikhlasan para ‘arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah Ta’ala semata yg menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah Ta’ala, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para ‘arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.

Kemudian, dalam hikmah berikut, Syaikh Ibnu Atha’illah memberi tips bagaimana cara meraih dan menumbuhkan keikhlasan. Wallaahu a’lam

11. Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid

Hikmah 11 dalam Al-Hikam:

“Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid”

ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه.

“Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yg tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksud “tanah kerendahan” adalah tanah yg di sana popularitas tak tumbuh subur. Maksud “kuburlah dirimu di sana” adalah kau tidak usah menempuh sebab² popularitas, seperti dengan cara menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yg membuatmu terkenal. Seandainya kau terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yg sedang kau sandang sebagai hal yg besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kau tinggalkan semua itu, kecuali atas bimbingan Gurumu atau atas izin Tuhanmu.

Syaikh Ibnu Atha’illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, “Sesuatu yg tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna.” Maksudnya, benih yg tidak ditanam dalam² hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tak bisa dimanfaatkan. Bahkan, mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.

Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yg berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.

Abu Al-Abbas rahimahullah berkata, “Siapa yg menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yg mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yg menyembah Allah Ta’ala, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak.” Wallaahu a’lam

12. Manfaat ‘Uzlah

Hikmah 12 dalam Al-Hikam:

“Manfaat ‘Uzlah”

ما نفع القلب شيء مثل عزلة، يدخل بها ميدان فكرة.

“Tiada yg lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah, hati memasuki lapangan tafakkur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

‘Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tafakkur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yg berpacu di sebuah arena pacuan. Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yg kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal² yg bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber’uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal² ghaib.

Dalam sebuah khabar disebutkan, “Bertafakkur sesaat lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun.”

Ada seseorang yg bertanya kepada Ummu Ad-Darda’, “Amalan apa yg paling diutamakan Abu Darda’?”

Ummu Ad-Darda’ menjawab, “Tafakkur.” Dengan bertafakkur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah Ta’ala, dan mengutamakan segala hal yg diridhai-Nya. Dengan bertafakkur, ia bisa menganggap hina semua hal yg dibenci Allah Ta’ala sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mengetahui keburukan² jiwa yg terselubung, kejahatan musuh, dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya² yg ditimbulkannya.

Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murid yg menempuh jalan tarekat sendirian.

Adapun bagi murid yg berada di bawah bimbingan Guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan Gurunya, juga dengan saudara² yg turut membantunya dalam menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi ‘arif, tak masalah baginya untuk bergaul dengan manusia mana pun karena saat itu di matanya hanya Allah Ta’ala yg terlihat. Perlu dicamkan bahwa yg menjadi tujuan utama adalah tafakkur, sedangkan ‘uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung. Wallaahu a’lam

13. Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya

Hikmah 13 dalam Al-Hikam:

“Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya”

كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته؟ أم كيف يرحل إلى الله، وهو مكبل بشهواته؟ أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله، وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته؟ أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار، وهو لم يتب من هفواته؟

“Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar, sedangkan bayang² dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertaubat dari kekeliruannya?”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat dan bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu di andalkannya!

Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah Ta’ala? Orang yg dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah Ta’ala, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?

Di sini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yg sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yg dikuasai kelalaian, ia tidak akan di izinkan menemui Allah Ta’ala.

Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ‘arif, sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahan atau maksiat yg tidak disengaja dilakukannya?

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah mengungkapkan kejanggalan yg dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yg di inginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal² yg justru merintangi pencapaiannya. Hati yg bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal² lain yg bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.

Perjalanan menuju Allah Ta’ala hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah Ta’ala hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yg masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah Ta’ala. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail² rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yg besar untuk selalu melakukan maksiat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)

Dalam sebuah khabar disebutkan, “Siapa yg beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yg tidak diketahuinya.”

Keempat hal di atas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati. Wallaahu a’lam

14. Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (1)

Hikmah 14 dalam Al-Hikam:

“Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu”

الكون كله ظلمة، وإنما أناره ظهور الحق فيه، فمن رأى الكون ولم يشهده فيه، أوعنده، أوقبله، أوبعده فقد أعوزه وجود الأنوار، وحجبت عنه شموس المعارف بسحب الآثار.

“Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yg melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya² lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di mata para ahli syuhud (orang yg menyaksikan kehadiran Allah Ta’ala dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yg membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah Ta’ala semata, persis seperti pancaran sinar matahari yg masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah Ta’ala pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai dengan tabiatnya masing². Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.

Jika demikian, barang siapa yg melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah Ta’ala di sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah Ta’ala) yg membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.

Di sini Syaikh Ibnu Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah Ta’ala. Di antara mereka ada yg menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yg menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.

Ada juga yg menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yg disaksikannya itu adalah binatang. Ada yg menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yg menyaksikan Tuhan pada benda itu.

Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yg mengalami syuhud akan kehilangan kata² untuk menjelaskannya. Wallaahu a’lam

15. Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (2)

Hikmah 15 dalam Al-Hikam:

مما يدلك على وجود قهره — سبحانه — أن حجبك عنه بما ليس بموجود معه.

“Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yg tidak ada.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Para ‘arif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah Ta’ala adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah Ta’ala dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya.

Seorang ‘arif berkata, “Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang selain Allah Ta’ala karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah Ta’ala dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu.”

Semua hal selain Allah Ta’ala dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah Ta’ala? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yg mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yg mewujudkannya hanyalah Allah Ta’ala. Inilah yg amat mengherankan.

Kemudian, pada hikmah berikutnya, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan dalil² yg menegaskan bahwa seorang ‘arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang² awam. Wallaahu a’lam

16-24. Hikmah ke 16-24

Hikmah 16-24 dlm al-Hikam:

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَ نْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَ هُوَالَّذِي أَظْهَرَكُلَّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Allah yg mendhahirkan segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَالَّذِي ظَهَرَبِكُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg tampak-dhahir pada segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَالَّذِي ظَهَرَ فِي كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg terlihat dalam tiap sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَلِكُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg tampak pada segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَا لظَّاهِرُقَبْلَ وُجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana akan dapat dibayangkan, bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia ada dhahir sebelum adanya sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَ أَظْهَرُمِنْ كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih tampak jelas dari segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الْوَا حِدُ الَّذِ ي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia Yang Esa nan tidak ada di sampingnya sesuatu apa pun.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَلَوْ لَا هُ مَا كَا نَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal seandainya tidak ada Dia, niscaya tidak akan ada segala sesuatu.

Syarah Ustadz Salim Bahreisy sebagai berikut:

Demikian tampak jelas sifat² Allah di dalam (pada) tiap² sesuatu di alam ini, yg semua isi alam ini sebagai bukti kebesaran, kekuasaan, keindahan, kebijaksanaan dan kesempurnaan Dzat Allah yg tidak menyerupai sesuatu apa pun dari makhluk-Nya.

Sehingga bila masih ada manusia yg tidak mengenal Allah, maka benar² ia telah silau oleh cahaya yg sangat terang, dan telah terhijab dari sinar ma’rifat oleh awan tebal yg berupa alam sekitarnya.

Syaikh Fadhlala Haeri mensyarah:

Betapa menakjubkan, keberadaan tampak dalam ketiadaan, dan betapa segala sesuatu yg mempunyai sifat ketergantungan bisa berdiri di sisi Allah yg mempunyai sifat² kekekalan.

Al-Haqq tidak datang dari sesuatu atau di dalam sesuatu, atau di atasnya, atau di bawahnya.

Jika Dia datang dari sesuatu berarti Dia diciptakan dan dibatasi sesuai dengan jangka waktu hidupnya. Kalau Dia berada di atas sesuatu maka Dia bersemayam di atasnya, dan jika Dia dalam sesuatu maka Dia berarti terkurung di dalamnya. Dan jika Dia di bawah sesuatu maka Dia ada di bawah kekuasaannya.

Apa pun yg tampak di dunia kesaksian ini, merupakan pancaran Dzat Tuhan yg kekal dan dapat dirasakan sesuai dengan keadaan dan sensitivitas sang penerima. Jadi tidak ada makhluk yg mempunyai realitas yg kekal dan bebas, dan sesungguhnya tak ada sesuatu pun yg kekal selain Sang Maha Pencipta. Seandainya kita membandingkan yg relatif dengan yg absolut, niscaya yg relatif pasti akan hancur dan tinggallah yg absolut, selamanya!

Versi Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Hikmah 16 dalam Al-Hikam:

كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي أظهر كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر بكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر في كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر لكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الظاهر قبل وجود كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الواحد الذي ليس معه شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أقرب إليك من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، ولولاه ما كان وجود كل شيء يا عجبا! كيف يظهر الوجود في العدم!؟ أم كيف يثبت الحادث مع من له وصف القدم!؟

“Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yg menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yg bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (‘adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yg baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan Dzat yg melakukannya. Allah Ta’ala lah yg menampakkan segala sesuatu agar orang² yg berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur‘an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)

Menurut ahli syuhud, Allah Ta’ala tampak pada segala sesuatu dengan penampakan Dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna² asma‘ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yg mulia, tampaklah sifat Maha Mulia (‘Aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yg hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (Mudzill) milik-Nya.

Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (Muhyi) milik-Nya. Saat Allah Ta’ala mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (Mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (Mu‘thi). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (Mani). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (Karim). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (Mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (Dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (Nafi’), dan sebagainya.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik itu yg bernyawa maupun yg tidak, mengenali Allah Ta’ala, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah Ta’ala yg dilihatnya. Jika ada makhluk yg tidak mengagungkan Allah Ta’ala sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.

Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Dzahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asma-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah Ta’ala sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (Dzahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat Dzahir -Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada ‘adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yg bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yg di akibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yg abadi lebih kuat daripada kemunculan yg fana.

Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang² lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yg hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa². Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yg menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.

Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yg sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yg menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah Ta’ala, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yg bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah Ta’ala tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yg dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, bukan milik selain-Nya.

Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yg dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)

Menurut ahli syuhud, Dzat Allah Ta’ala amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat²Nya yg lain.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai² para musyahidun (yg merasa menyaksikan Allah Ta’ala) menjadikan Allah Ta’ala sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)

***

Catatan Editor: Karena ada perbedaan penomeran pada suntingan sebelumnya, maka syarah versi Syaikh Abdullah asy-Syarqawi di bawah ini akan diulang pada Hikmah berikutnya (nomor 25).

***

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yg baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yg baru muncul bersamaan dengan yg memiliki sifat qidam. Yg baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yg bathil telah lenyap.” Sungguh, yg batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)

Sosok yg lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yg berwujud, kecuali Allah Ta’ala karena Dia yg tampak dan menampakkan, yg mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.

Pertanyaan² yg bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yg pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yg dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Wallaahu a’lam

25. Wujud & Adam (Tiada)

Hikmah 25 dlm Al-Hikam:

يَا عَجَبًا كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُ جُوْدُ فِي الْعَدَمِ أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الْحَا دِ ثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَ صْفَ الْقِدَمِ ؟

“Sungguh sangat ajaib, bagaimana tampak wujud di dalam adam (tiada). Atau bagaimana dapat bertahan sesuatu yg hancur itu, di samping Dzat yg bersifat Qidam.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yg baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yg baru muncul bersamaan dengan yg memiliki sifat qidam. Yg baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yg bathil telah lenyap.” Sungguh, yg batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)

Sosok yg lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yg berwujud, kecuali Allah Ta’ala karena Dia yg tampak dan menampakkan, yg mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.

Pertanyaan² yg bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yg pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yg dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Wallaahu a’lam

26. Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (1)

Hikmah 26 dalam Al-Hikam:

“Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah”

ماترك من الجحل شيئا من أراد أن يحدث في الوقت غير ما أظهره الله فيه.

“Alangkah bodohnya orang yg menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yg tidak dikehendaki-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah Ta’ala dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yg memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at.

Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yg memindahkannya ke keadaan yg lain. Jika terbersit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yg dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.

Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, “Bila Allah Ta’ala menempatkanku pada satu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah Ta’ala dan ketuhanan-Nya.

Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yg berbeda dengan apa yg ditampakkan Allah Ta’ala kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang “hukum waktu” yg di isyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang “hukum waktu” merupakan dosa paling besar. Wallaahu a’lam

27. Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (2)

Hikmah 27 dalam Al-Hikam:

لا تطلب منه أن يحرجك من حالة ليستعملك فيما سواها، فلو أرادك لا ستعملك من غير إخراج.

“Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah Ta’ala mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yg dikehendaki Allah Ta’ala), Allah Ta’ala akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu untuk melakukan amal² shaleh, dan menyibukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.

Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yg tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syari’at, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang “hukum waktu” —sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya untuk segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah Ta’ala dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini.

Yg patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.

Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yg tidak sesuai dengan syara’. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yg lebih diridhai-Nya. Wallaahu a’lam

28. Menunda Amal Shaleh Termasuk Sikap Bodoh

Hikmah 28 dalam Al-Hikam:

“Menunda Amal Shaleh Termasuk Sikap Bodoh”

إحالتك الأعمال على وجود الفراغ — من رعونات النفس.

“Menunda amal karena menunggu waktu yg luang termasuk tanda kebodohan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika seorang murid menunda-nunda amal yg bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela² kesibukan dunianya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih² mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yg menjemputnya tiba². Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan.

Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal² yg mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, “Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.” Wallaahu a’lam

29. Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif

Hikmah 29 dalam Al-Hikam:

“Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif”

ماأرادت همة سالك أن تقف عند ما كشف لها إلا ونادته هوا تف الحقيقة: الذي تطلب أمامك، ولاتبرجت له ظواهر المكونات إلا ونادته حقائقها: ((إنما نحن فتنة فلا تكفر)) (البقرة: ١٠٢)

“Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yg tersingkap baginya, suara² hakikat pun memperingatkannya, “Yg kau cari ada di depanmu!” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat²nya pun berujar, “Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!” “

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tekad seorang salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya² Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal, dan maqam yg telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan² hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai disitu, “Karena apa yg kau cari ada di depanmu!” Apa yg dicari dan di inginkan seorang salik adalah “sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.

Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yg tak kau dengar, “Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah Ta’ala karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat.”

Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yg sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan. Wallaahu a’lam

30. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (1)

Hikmah 30 dalam Al-Hikam:

“Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya”

طلبك منه اتهام له، وطلبك له غيبة منك عنه، وطلبك لغيره لقلت حيائك منه، وطلبك من غيره لوجود بعدك عنه.

“Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti mengghibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala, seorang murid harus sibuk melakukan amal² shaleh yg diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yg lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah Ta’ala.

Bila kau meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberimu rezeki dan makanan yg dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.

Bila kau mencari-cari Allah Ta’ala agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.

Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yg lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.

Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan²mu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk²Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.

Bagi kalangan murid, meminta kepada sang Khaliq adalah hal yg lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yg wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang² ‘arif hanya memandang kepada Allah Ta’ala. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada sang Khaliq. Wallaahu a’lam

31. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (2)

Hikmah 31 dalam Al-Hikam:

ما من نفس تبديه إلا وله قدر فيك يمضيه.

“Pada setiap desahan napas yg kau hembuskan terdapat takdir Allah yg telah ditetapkan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap nafas yg keluar darimu telah ditakdirkan Allah Ta’ala, baik yg terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap nafas yg keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah Ta’ala untukmu, siapa pun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan nafasmu. Dengan begitu, di setiap nafas, kau menjadi seorang salik yg ingin meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah makna ungkapan “jalan menuju Allah Ta’ala sebanyak desahan napas seluruh makhluk.” Wallaahu a’lam

32. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (3)

Hikmah 32 dalam Al-Hikam:

لاتترقب فراغ الأغيار، فإن ذلك يقطعك عن وجود المراقبة له فيما هو مقيمك فيه.

“Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan² kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yg telah ditetapkan-Nya untukmu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kecenderungan² kepada dunia memang merupakan kegelapan yg dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan² itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yg telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal² yg bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam Pengawasan-Nya.

Yg dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah Ta’ala. Jangan kau sibuk dengan segala hal yg masuk ke dalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.

Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, “Kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan² kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yg sudah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yg menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal shaleh.

Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan² kepada dunia ini adalah kotoran² keduniaan yg menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yg mau tidak mau harus kau hadapi. Wallaahu a’lam

33. Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia

Hikmah 33 dalam Al-Hikam:

“Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia”

لا تستغرب وقوع الأكدار ما دمت في هذا الدار فإذا ما أبرزت إلا ماهو مستحق وصفها، وواجب نعتها.

“Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan² selama kau masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yg mesti ditampakkannya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara hal yg lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.

Imam Jafar ash-Shadiq ra. berkata, “Siapa yg mencari apa yg belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yg tak akan pernah didapatkannya.”

Ia lalu ditanya, “Apa gerangan yg tak akan pernah didapatkannya itu?” Ia menjawab, “Kenyamanan di dunia.”

Oleh karena itu, seorang murid yg tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda² duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun. Wallaahu a’lam

34. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (1)

Hikmah 34 dalam Al-Hikam:

“Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul”

ما توقف مطلب أنت طالبه بربك، ولا تيسر مطلب أنت طالبه بنفسك.

“Apa yg kau minta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yg kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Permintaan yg dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yg berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yg kau minta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memperhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang² sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri.

Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah Ta’ala, berlindung dan bertawakkal kepada-Nya, Allah Ta’ala akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yg jauh darinya, dan memudahkan segala yg sulit baginya. Barang siapa yg mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah Ta’ala akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yg di inginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit diwujudkan. Wallaahu a’lam

35. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (2)

Hikmah 35 dalam Al-Hikam:

من علامات النجح في النهايات الرجوع إلى الله في البدايات.

“Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Langkah awal seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yg memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yg kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yg tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatannya semula.

Seorang ‘arif berkata, “Siapa yg mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah Ta’ala tanpa bantuan-Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yg memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah Ta’ala maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.” Wallaahu a’lam

36. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (3)

Hikmah 36 dalam Al-Hikam:

من أشرقت بدايته أشرقت نهايته.

“Siapa yg bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu²nya dengan bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yg menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.

Demikian pula sebaliknya, siapa yg usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yg lain. Bisa jadi, pengertian “bersinar di awal” di sini ialah kembali kepada Allah Ta’ala dan bertawakkal kepada-Nya. Adapun makna “bersinar di akhir” ialah berhasil sampai kepada-Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Wallaahu a’lam

37. Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya Di Wajah

Hikmah 37 dalam Al-Hikam:

“Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya Di Wajah”

ما استودع في غيب السرائر ظهر في شهادة الظواهر.

“Apa yg tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Makrifat dan cahaya Ilahi yg ditetapkan Allah Ta’ala di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah Ta’ala, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang² yg ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda. Wallaahu a’lam

38. Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah

Hikmah 38 dalam Al-Hikam:

“Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah”

شتان بين من يستدل به، أو يستدل عليه: المستدل به عرف الحق لأهله؛ فأثبت الأمر من وجود أصله، والاستدلال عليه من عدم الوصول إليه، وإلا فمتى غاب حتى يستدل عليه، ومتى بعد؛ حتى تكون الآثار هي التي توصل إليه؟

“Betapa jauh bedanya antara orang yg berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yg berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yg menyatakan bahwa “adanya Allah menunjukkan adanya alam” adalah orang yg telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yg membuatnya ada. Sementara itu, yg berdalil bahwa “adanya alam menunjukkan adanya Allah” adalah orang yg belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang² yg dekat kepada Allah Ta’ala ada dua golongan, yaitu murad (yg dikehendaki Allah Ta’ala) atau majdzub (yg ditarik Allah Ta’ala untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yg menghendaki Allah Ta’ala) atau salik (yg meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.

Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah Ta’ala itu ghaib. Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah Ta’ala.

Sementara itu, para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah Ta’ala dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah Ta’ala adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum ‘arif. Mereka termasuk orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya.

Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah Ta’ala (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yg mengatakan, “Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub.”

Manusia yg paling kuat jadzab -nya adalah para Nabi dan Rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut.

Orang yg menggunakan Allah Ta’ala sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah Ta’ala sebagai wujud yg wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah Ta’ala semata. Adapun benda² yg hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yg hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah Ta’ala. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khaliq yg tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.

Berbeda halnya dengan orang yg menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah Ta’ala. Ia menggunakan sesuatu yg tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yg sudah diketahui (ma‘lum), menggunakan ketiadaan (‘adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yg tersembunyi (khafiyy) untuk membuktikan hal yg lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab² daripada mencari Sang Pembuat Sebab.

Sejak kapan Allah Ta’ala ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yg hadir? Sejak kapan Allah Ta’ala jauh sehingga alam semesta inilah yg akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yg diajukan para ahli syuhud.

Sementara itu, orang² mahjub (yg terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah Ta’ala. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yg belum mencapai maqam ahli syuhud. Wallaahu a’lam

39. Memberi Sesuai Kemampuan

Hikmah 39 dlm al-Hikam:

لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِنْ سَعَيِهِ ) الْوَاصِلُو نَ إِلَيْهِ , (وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ) السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ . )

Hendaklah orang yg diberi keluasan rezeki (yaitu orang yg telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yg disempitkan rezekinya (yaitu orang yg tengah menuju kepada Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Hendaklah orang yg diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya.”

Ini adalah gambaran tentang kondisi orang² yg telah sampai kepada Allah. Yakni orang² yg telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan alam batin. Karena itulah, mereka di anugerahi rezeki berupa ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yg luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.

Sementara itu, orang yg disempitkan rezekinya adalah orang² yg sedang menuju kepada Allah. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yg sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yg Allah ajarkan kepada mereka. Wallaahu a’lam

40. Nur Pemberian Allah

Hikmah 40 dlm al-Hikam:

اِهْتَدَ ى الرَّاحِلُونَ إِلَيْهِ بِأَ نْوَارِ التَّوَجُّهِ , وَالْوَاصِلُو نَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ , فَالْأَ وَّلُو نَ لِلْأَ نْوَارِ وَهَؤُلَاءِ الْأَ نْوَارُلَهُمْ , لِأَ نَّهُمْ لِهََِْ لَالِشَيْءٍدُوْنَهُ , (قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْ ضِهِمْ يَلْعَبُونَ)

Orang² shalih (yg menuju kepada Allah) telah mendapatkan hidayat dengan nur (pelita) ibadah yg merupakan amalan untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah, sedang orang² yg telah sampai, mereka tertarik oleh nur yg langsung dari Tuhan bukan sebagai hasil ibadah, tetapi semata² karunia rahmat Allah. Maka orang² shalih menuju ke alam nur, sedangkan yg telah sampai itu telah bersih dari segala sesuatu selain Allah.

Firman Allah Ta’ala:

قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِى خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakanlah: “Allah-lah (yg menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al-An’am (6): 91)

Hakikat tauhid itu bila telah melihat pengaruh² sesuatu selain Allah, dan inilah yg bernama haqqul yaqin, dan melihat, merasa adanya pengaruh dari sesuatu selain Allah itu hanya permainan belaka, dan itu bersifat penipuan atau munafik.

Jangan menganggap/melihat ada sesuatu selain Allah yg dapat kau harap, kau takuti, atau berkuasa, sebab semua harapan kepada sesuatu selain Allah berarti syirik, terang atau samar, besar atau kecil dalam pengertian syirik hampir tiada berbeda.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg didapat golongan pertama ialah cahaya yg didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yg dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah. 

Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allah lah yg mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah. 

Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya. 

Adapun maksud firman ”Katakan ‘Allah’” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya² atau hal² selain-Nya. Kemudian, maksud ”biarkan mereka bermain² dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yg didasari haqqul yaqin (keyakinan yg kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha². Tentu itu adalah sifat orang² mahjub (terhalang). Wallaahu a’lam

41. Hijab Menutupi Diri dan Alam Ghaib

Hikmah 41 dlm al-Hikam:

تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّ فِكَ إِلَى مَاحُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ.

“Upayamu untuk mengetahui aib² (al-uyuub) yg masih ada di dalam dirimu (jiwa), itu lebih baik daripada upayamu untuk membuka hijab ghaib bagimu.”

Ustadz Salim Bahreisy mensyarah:

Kata orang arif bijaksana, ”Jadilah hamba Allah yg selalu ingin mencapai istiqamah, dan jangan menjadi hamba yg menuntut karomah. Istiqamah berarti menunaikan kewajiban, sedang menuntut karomah berarti menuntut maqam (kedudukan di hadapan Allah), padahal karomah yg Allah anugrahkan kepada seorang suci itu sebagai buah daripada istiqamah yg bersangkutan.

Istiqamah berarti tetap dalam Ubudiyah, tidak melemah nur iman keyakinannya kepada Allah, ke-Tuhan-an Allah, Kekuasaan-Nya, Al-Hakim-Nya, baik ketika dalam keadaan sehat atau sakit, senang atau susah, kaya maupun miskin.

Syaikh Fadhlala Haeri mensyarah:

Salik yg berakal cerdas adalah dia yg mengamati dan memperbaiki kesalahan², kekurangan², tabir², kekotoran, dan kesamaran  (al-uyuub) yg dimilikinya. Kesalahan² jiwa yg nyata disebabkan oleh keinginan, cinta, harapan, dan seluruh ketidak-seimbangan dalam lahir dan batin. Sakitnya qalbu (hati) dikarenakan keinginan² batin terhadap penghargaan, kebencian, keserakahan, ketidak-ikhlasan, dan tabir² lainnya, yg mencabut kebebasan qalbu dari ketergantungan kepada makhluk. Alam ghaib terhijab dari kita justru karena kesalahan², hijab² dan kesalahan akal budi dan hati kita.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Contoh kekurangan diri ialah sifat riya’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang Guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yg terselubung, pelajaran yg tersembunyi, rahasia² Ilahi, ilmu laduni atau karomah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu. 

Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan²mu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karomah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu. 

Oleh sebab itu, orang² berkata, ”Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karomah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karomah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri. Wallaahu a’lam

42. Tidak Ada Sesuatu pun yg Menghijabi Allah, Manusialah yg Terhijab dari Allah

Hikmah 42 dlm al-Hikam:

“Tidak Ada Sesuatu pun yg Menghijabi Allah, Manusialah yg Terhijab dari Allah”

اَلْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِ نَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ , إِذْلَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَاحَجَبَهُ , وَلَوْ كَا نَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَا نَ لِوُجُو دِهِ حَا صِرٌ , وَكُلُّ حَا صِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَا هِرٌ وَ هُوَ الْقَاهِرُ فَوْ قَ عِبَا دِهِ .

Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yg terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yg terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Maha Kuasa (qâhir) atas segala sesuatu.” (QS. Al-An’am (6): 18)

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Terhijab bukanlah sifat Allah Ta’ala. Yg memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu. 

Hikmah di atas menepis anggapan yg menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah Ta’ala, berdasarkan firman-Nya:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ

“Dan Dialah yg berkuasa atas sekalian hamba²Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am (6): 18)

43. Perintah Agama Tentang Sifat² Manusia

Hikmah 43 dlm al-Hikam:

“Perintah Agama Tentang Sifat² Manusia”

اُخْرُجْ مِنْ أَوْ صَافِ بَشَرِ يَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَا قِضٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيْبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا.

Keluarkanlah sifat² kemanusiaanmu yg berlawanan dengan kehambaanmu agar engkau mudah menyambut panggilan Yang Maha Benar (Allah) dan menjadi  dekat kehadirat-Nya.

Sifat² manusia yg berhubungan dengan faham agama terbagi dua: Lahir yaitu yg dilakukan dengan anggota jasmani, dan Batin yaitu yg berlaku dalam hati (ruhani). Yg berhubungan dengan anggota lahir juga terbagi dua: Yg  sesuai dengan perintah bernama taat dan yg menyalahi perintah bernama maksiat. Demikian pula yg berhubungan dengan hati terbagi dua: Yg sesuai dengan hakikat (kebenaran) bernama iman dan ilmu, dan yg berlawanan dengan hakikat kebenaran bernama nifaq dan kebodohan.

Sifat² yg jelek (rendah) yaitu: Hasud, iri hati, dengki, sombong, mengadu domba, merampok dan gila pangkat, sangat cinta pada dunia, tamak, rakus, dan lain² sebagainya.

Dan dari sifat² jelek ini akan timbul cabang²nya yg berupa permusuhan kebencian, merendah terhadap orang kaya, menghina orang miskin, bermuka dua, sempit dada, hilang kepercayaan terhadap jaminan Allah, kejam, tidak punya malu dan lain² sebagainya.

Apabila seseorang telah dapat mengusir dan membersihkan diri dari sifat² yg rendah, yg bertentangan dengan kehambaan itu, maka pasti ia akan sanggup menerima dan menyambut tuntunan Allah Ta’ala baik yg langsung dalam ayat² Al-Qur’an atau yg berupa tuntunan dan contoh yg diberikan oleh Rasulullah Saw. Dan dengan demikian berarti ia telah mendekat kehadirat Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Keluarkanlah dari dirimu sifat² kemanusiaan yg tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat² tercela yg lahir (seperti suka melakukan ghibah, mengadu domba, membunuh, dan merampas), maupun yg batin (seperti sombong, ujub, riya,‘ sum’ah [ingin terkenal], dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya). 

Jauhkan dirimu dari sifat² yg bertentangan dengan predikat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat² tercelamu dan menyisakan sifat² baikmu (seperti tawadhu’ [rendah hati] karena Allah, khusyuk di hadapan-Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum²-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, ”Wahai hamba-Ku!” kau pun akan dengan mudahnya menjawab, ”Labbaik, Tuhanku!” Kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat² yg bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuz) dan memudahkan segala amalmu yg kelak akan kau nikmati hasilnya. 

Ada perbedaan makna antara mahfuz (terjaga dari dosa) dengan lafadz ma’shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah, ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuz terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yg mahfuz akan langsung bertaubat. 

Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yg diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat² buruknya. Karena siapa yg sudah mengenali dirinya dan sifat² buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat² buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal² yg dibenci Tuhannya. Wallaahu a’lam

44. Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri (1)

Hikmah 44 dlm al-Hikam:

“Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri”

أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ وَغَفْلَةٍ وَشَهْوَةٍالرِّضَاعَنِ النَّفْسِ , وَأَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَيَقَظَةٍ وَعِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَامِنْكَ عَنْهَا.

Pokok dari semua maksiat dan kelalaian serta syahwat itu, karena ingin memuaskan nafsu. Sedangkan pokok dari segala ketaatan, kesadaran dan kesopanan akhlak budi, ialah karena ada pengekangan (penahanan) terhadap hawa nafsu.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِالسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yg diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf (12): 53)

Abu Hafsh berkata:

Siapa yg tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang masa, dan tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menariknya ke jalan kebaikannya, maka ia telah tertipu. Dan siapa yg memandang padanya dengan merasa sudah baik, berarti telah membinasakannya.

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata:

Jangan mempercayai hawa nafsumu, meskipun telah lama taat kepadamu, untuk berbuat ibadah kepada Tuhanmu.

Al-Bushiry dalam Burdahnya berkata:

Tentang selalu hawa nafsu dan setan dan jangan menurutkan keduanya itu memberi nasehat kepadamu untuk berbuat kebaikan, tetap engkau harus curiga dan berhati-hati.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yg menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah Ta’ala.

Menurut orang² ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yg buruk akan dijadikannya baik. Siapa yg puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yg menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan² syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yg dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat. 

Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal² yg diridhai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat. 

Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yg datang dan menyerang. 

Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan² hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan mentaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah. 

Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang² yg mempelajari ilmu lahir yg tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang kita untuk berteman dengan orang² semacam itu. Wallaahu a’lam

45. Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri (2)

Hikmah 45 dlm al-Hikam:

وَلأَنْ تَصْحَبَ جَا هِلًا لَا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَصْحَبَ عَا لِمًا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ , فَأَ يُّ عِلْمٍ لِعَا لِمٍ  يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ وَأَ يُّ جَهْلٍ لِجَا هِلٍ لَا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ ؟

Berteman dengan orang bodoh yg tidak puas dengan keadaan dirinya, lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang berilmu yg puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yg puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yg tidak puas terhadap dirinya itu?

Orang yg tidak ridho dengan nafsunya akan selalu menganggap dirinya belum baik dan akhlaknya masih jelek. Orang seperti ini baik untuk dijadikan sahabat, karena sangat banyak manfaatnya bagimu, kebodohannya tidak akan membahayakan dirimu.

Bagaimana akan dinamakan bodoh, seseorang yg telah dapat menahan dan mengekang hawa nafsunya, sehingga membuktikan bahwa semua amal perbuatannya hanya semata² untuk keridhaan Allah dan bersih dari dorongan hawa nafsu. Sebaliknya, apalah arti suatu ilmu yg tidak dapat menahan atau memimpin hawa nafsu dari kebinatangan dan kejahatannya.

Dalam sebuah hadits ada keterangan: “Seorang akan mengikuti pendirian sahabat karibnya, karena itu hendaknya seseorang itu memperhatikan, siapakah yg harus diambil sebagai sahabat.”

Seorang penyair berkata: “Barang siapa bergaul dengan orang² yg baik, akan hidup mulia. Dan yg bergaul dengan orang² yg rendah akhlaqnya pasti tidak mulia.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Orang bodoh ialah orang yg tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya. 

Tidaklah baik berteman dengan seseorang yg puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yg besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yg sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yg membuat orang alim puas diri itulah yg berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yg berilmu karena rela dengan aib yg dimiliki dirinya. 

Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yg tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang di dapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yg di anggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yg membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yg tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yg memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu. Wallaahu a’lam

46. Mata Hati & Penyaksian kepada-Nya

Hikmah 46 dlm al-Hikam:

شُعَا عُ الْبَصِيْرَ ةِ يُشْهِدُ كَ قُرْبَهُ مِنْكَ , وَعَيْنُ الْبَصِيرَ ةِ يُشْهِدُ كَ  عَدَ مَكَ لِوُجُوْدِهِ , وَحَقُّ الْبَصِيرَ ةِ يُشْهِدُ كَ وُجُوْدَهُ لَا عَدَمَكَ وَلَا وُجُوْدَكَ.

Sinar mata hati membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. Penglihatan mata hati membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. Hakikat mata hati membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.

Salik dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala akan ada Nur dari Allah tiga macam:

1. Syu’aa ‘ul-bashirah yaitu cahaya akal.

2. Ainul-bashirah yaitu cahaya ilmu.

3. Haqqul-bashirah yaitu cahaya Ilahi.

Dan semua nur tersebut akan menimbulkan macam² buah dan faedah yg penting.

Maka orang² yg menggunakan akal mereka, masih merasa adanya dirinya dan dekatnya kepada Tuhan [yakni, Allah selalu meliputi dan mengurung mereka]. Sedang orang² yg menggunakan nurul ilmi merasa dirinya tidak ada jika dibanding dengan adanya Allah. Sedang ahli hakikat hanya melihat kepada Allah dan tidak melihat apapun di samping-Nya. Bukannya mereka tidak melihat adanya alam sekitarnya, tetapi karena alam sekitarnya itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhajat kepada Allah, maka adanya alam ini tidak menarik perhatian mereka, karena itu mereka menganggap bagaikan tidak ada.

Sebagian ulama ahli tarekat berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikatnya tawadhu’ kecuali sudah bersinarnya hati dengan nur musyahadah. Dan ketika hati sudah bersinar maka nafsunya akan lebur dan bisa menetapi kebenaran dan akhlak yg baik.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan ’ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan ‘ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin

Cahaya² Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri². 

Seseorang berkata, ”Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya.” Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada sang Khaliq dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk. 

Melalui hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah as-Sakandari qs. menjelaskan bahwa orang yg terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya. 

Orang yg terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yg wujud karena“ wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak memperdulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Mawjud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah Ta’ala. Dalam pandangannya, tak ada lagi yg dijadikan sandaran atau ternpat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada-Nya, ridha, dan memasrahkan diri kepada-Nya. 

Sementara itu, orang yg terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yg suci. Ia akan merasa kefana’an secara total. Kefana’an yg abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya. Rahasia² Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefana’an total itu, ia akan menempati maqam keabadian. 

Penulis Al-‘Awarif berkata, ”Orang yg abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yg fana’ akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk.” Wallaahu a’lam

47. Allah Maha Esa, Selalu

Hikmah 47 dlm al-Hikam:

كَانَ اللهُ وَلَا شَيْ ءَ مَعَهُ , وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ.

telah ada Allah, dan (sebelum adanya makhluk) telah ada Allah, dan tiada sesuatu di samping-Nya, dan DIA kini sebagaimana ada-Nya semula.

Keadaan seperti ini adalah keadaan orang yg sudah berada di maqam fana’, dia tiada melihat sesuatu kecuali Allah Ta’ala. Bagaikan seseorang di dalam gedungnya, kemudian ia mengisi rumah dengan perabot dan boneka atau patung, lalu ditanya: ‘Siapakah yg ada di dalam gedung itu?’ Jawabnya: ‘Hanya dia seorang’, yakni semua boneka dan patung itu tidak dapat disebut sebagai temannya. Demikian pun orang ahli hakikat tidak melihat adanya sesuatu yg dapat disebut selain Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ini adalah kondisi orang yg menduduki maqam kefana’an. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula. 

Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yg melekat pada Allah Ta’ala sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab. Wallaahu a’lam

48. Al-Karim Tumpuan Segala Hajat

Hikmah 48 dlm al-Hikam:

لَاتَتَعَدَّبِيَّةُ هِمَّتِكَ إِلَى غَيْرِهِ فَالْكَرِيْمُ لَا تَتَخَطَّاهُ الْآمَالُ.

“Al-Karim Tumpuan Segala Hajat”

“Jangan melampaui/melanggar niat dan tujuanmu [hasrat dan harapanmu] kepada lain-Nya. Maka Tuhan yg Maha Pemurah itu tidak dapat di lampaui oleh sesuatu harapan (angan²) hamba.”

Sebaiknya bagi orang yg mengharapkan berhasil hajatnya, jangan meminta kapada selain Allah Ta’ala (makhluk), karena itu bertentangan dengan sifat ubudiyah. Itu kalau permintaan itu disandarkan/bergantung pada makhluk, dan lupa pada Allah ketika berdoa. Apabila permintaan pada makhluk (manusia) menjadi perantara untuk meminta kepada Allah, dan selalu memandang Allah-lah Dzat yg memberi. Permintaan seperti ini masih diperbolehkan.

Perasaan yg luhur enggan membuka kebutuhan [hajat]-nya kepada orang yg tidak dermawan, dan tidak ada yg dermawan pada hakikat yg sebenarnya kecuali Allah Ta’ala.

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata: ”Dermawan [Al-Karim] itu ialah yg memberi kebutuhan seseorang sebelum diminta.”

Ada pula pendapat: ”Dermawan [Al-Karim] ialah yg tidak pernah mengecewakan harapan orang yg berharap.”

Dermawan [Al-Karim] yaitu apabila berkuasa memaafkan, dan bila berjanji menepati, dan bila memberi lebih memuaskan dari harapan, dan tidak memperdulikan tentang berapa banyak pemberiaannya, dan kepada siapa ia memberikannya.

Al-Karim adalah salahsatu dari Asma’ul Husna. Asma’ ini memberi pengertian yg istimewa tentang Allah.

Al-Karim berarti:

1. Allah Maha pemurah.

2. Allah memberi tanpa diminta.

3. Allah memberi sebelum diminta.

4. Allah memberi apabila diminta.

5. Allah memberi bukan karena permintaan tetapi cukup sekedar harapan, cita² dan angan² hamba²Nya. Allah tidak mengecewakan harapan hambanya.

6. Allah memberi lebih baik daripada apa yg diminta dan diharapkan oleh para hamba-Nya.

7. Allah Yang Maha Pemurah tidak dikira berapa banyak yg diberikan-Nya dan kepada siapa Dia memberi.

8. Paling penting, demi kebaikan hamba-Nya sendiri, Allah memberi dengan bijaksana, dengan cara yg paling baik, masa yg paling sesuai dan paling bermanfaat kepada si hamba yg menerimanya.

Sekiranya para hamba mengenali Al-Karim niscaya permintaan, harapan dan angan²nya tidak tertuju kepada yg lain melainkan kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yg tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yg mulia; dan tak ada yg benar² mulia, kecuali Allah Ta’ala. Setiap orang yg mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapa pun yg berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat² ini tidak dimiliki selain oleh Allah Ta’ala. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya. 

Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan ubudiyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut di iringi dengan keyakinan bahwa makhluk yg dimintainya itu hanyalah wasilah (perantara), tetapi yg sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu²nya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan ubudiyah. Wallaahu a’lam

49. Jangan Mengadu Kepada Selain Allah

Hikmah 49 dlm Al-Hikam:

“Jangan Mengadu Kepada Selain Allah”

لاَ تـَرْفَعَنَّ اِلىَ غيرِهِ حاَجَةً هُوَ مُورِدُهاَ عَليْكَ فكَيْفَ يَرْفَعُ غيرَهُ ماكانَ هُوَ لهُ واضِعاً مَنْ لاَيَسْتَطِيعُ ان يَرْفَعَ حاَجةً عن نَفْسِهِ فَكيْفَ يَسْتَطِيعُ اَنْ يَكونَ لهاَ عَن غيرِهِ راَفِعاً

“Jangan mengadu dan meminta sesuatu kebutuhan/hajat selain kepada Allah, sebab DIA sendiri yg memberi dan menurunkan kebutuhan itu kepadamu. Maka bagaimanakah sesuatu selain Allah akan dapat menyingkirkan sesuatu yg diletakkan oleh Allah. Barangsiapa yg tidak dapat menyingkirkan bencana yg menimpa dirinya sendiri, maka bagaimanakah ia akan dapat menyingkirkan bencana yg ada pada orang lain.”

Adanya sesuatu bencana [musibah] itu menyebabkan engkau berhajat [butuh] kepada bantuan [pertolongan], maka dalam tiap kebutuhan [hajat] jangan mengharap selain kepada Allah, sebab segala sesuatu selain Allah itu juga berhajat seperti engkau. Sebab barangsiapa yg menyandarkan [menggantungkan nasib] pada sesuatu selain Allah, berarti ia tertipu oleh sesuatu bayangan fatamorgana, sebab tidak ada yg tetap selain Allah yg selalu tetap karunia dan nikmat serta rahmat-Nya kepadamu.

Syaikh Atho’ al-Khurasani berkata: “Saya bertemu dengan Wahab bin Munabbih di suatu jalan, maka saya berkata, ‘Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yg dapat saya ingat, tetapi persingkatlah.’

Maka berkata Wahab, “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud as.: Wahai Dawud, demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidak ada seorang hamba-Ku yg minta tolong kepada-Ku, tidak pada selainnya, dan Aku ketahui yg demikian dari niatnya, kemudian orang itu akan ditipu oleh penduduk langit yg tujuh dan bumi yg tujuh, melainkan pasti Aku akan menghindarkannya dari semua itu, sebaliknya demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidak ada seorang yg berlindung kepada seorang makhluk-Ku, tidak kepada-Ku dan Aku ketahui yg demikian dari niatnya, melainkan Aku putuskan rahmat yg dari langit, dan Aku longsorkan bumi di bawahnya, dan tidak Aku pedulikan dalam lembah dan jurang yg mana ia binasa.”

Syakih Muhammad bin Husain bin Hamdan berkata: “Ketika saya di majlis Yazid bin Harun, saya bertanya kepada seseorang yg duduk disampingku, ‘Siapakah namamu?’ Jawabnya. ‘Said’. Saya bertanya, ‘Siapakah gelarmu?’ Jawabnya, ‘Abu Usman’. Lalu saya bertanya tentang keadaannya. Jawabnya, ‘Kini telah habis belanjaku. Lalu saya tanya, ‘Dan siapakah yg engkau harapkan untuk kebutuhanmu itu?’ Jawabnya. ‘Yazid bin Harun. Maka saya berkata kepadanya, ‘Jika demikian, maka ia tidak menyampaikan hajatmu, dan tidak akan membantu meringankan kebutuhanmu.’

Dia bertanya, ‘Dari mana engkau mengetahui hal itu?’ Jawabku, ‘Saya telah membaca dalam sebuah kitab: Bahwasanya Allah telah berfirman: Demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, dan kemurahan-Ku dan ketinggian kedudukan-Ku, di atas Arsy. Aku akan mematahkan harapan orang yg mengharap kepada selain-Ku dengan kekecewaan, dan akan Aku singkirkan ia dari dekat-Ku, dan Aku putuskan dari hubungan-Ku. Mengapa ia berharap selain Aku dalam kesukaran, padahal kesukaran itu di tangan-Ku, dan Aku dapat menyingkirkannya, dan mengharap kepada selain Aku serta mengetuk pintu lain padahal kunci pintu² itu tertutup, hanya pintu-Ku yg terbuka bagi siapa yg berdoa kepada-Ku. Siapakah yg pernah mengharapkan Aku untuk menghalaukan kesukarannya lalu Aku kecewakan? Siapakah yg pernah mengharapkan Aku karena besar dosanya, lalu Aku putuskan harapannya? Atau siapakah yg pernah mengetuk pintu-Ku, lalu tidak Aku bukakan? Aku telah mengadakan hubungan yg langsung antara-Ku dengan angan² dan harapan semua makhluk-Ku, maka mengapakah engkau bersandar kepada selain-Ku. Dan Aku telah menyediakan semua harapan hamba-Ku, tetapi tidak puas dengan perlindungan-Ku, dan Aku telah memenuhi langit-Ku dengan makhluk yg tidak jemu bertasbih kepada-Ku dari para Malaikat, dan Aku perintahkan mereka supaya tidak menutup pintu antara-Ku dengan para hamba-Ku, tetapi mereka tidak percaya kepada firman-Ku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa barangsiapa yg ditimpa oleh bencana yg Aku turunkan, tidak ada yg dapat menyingkirkan selain Aku, maka mengapakah Aku melihat ia dengan segala angan² dan harapannya selalu berpaling dari pada-Ku, mengapakah ia tertipu oleh selain-Ku. Aku telah memberi kepadanya dengan kemurahan-Ku apa² yg tidak ia minta, kemudian Aku yg mencabut dari padanya lalu ia tidak minta kepada-Ku untuk mengembalikannya, dan ia minta kepada selain-Ku. Apakah Aku yg memberi sebelum di minta, kemudian jika dimintai lalu tidak memberi kepada peminta?

Apakah Aku bakhil [kikir], sehingga dianggap bakhil oleh hamba-Ku. Tidakkah dunia dan akhirat itu semua milik-Ku? Tidakkah semua rahmat dan karunia itu di tangan-Ku? Tidakkah dermawan dan kemurahan itu sifat-Ku? Tidakkah hanya Aku tempat semua harapan? Maka siapakah yg dapat memutuskan dari pada-Ku. Dan apa pula yg diharapkan oleh orang² yg mengharap, andaikata Aku berkata kepada semua penduduk langit dan bumi: Mintalah kepada-Ku, kemudian Aku memberi kepada masing² orang pikiran apa yg terpikir pada semuanya, lalu Aku beri semua itu tidak akan mengurangi kekayaan-Ku walau pun sekecil debu? Maka bagaimana akan berkurang kekayaan yg lengkap, sedang Aku yg mengawasinya?

Alangkah sial [celaka] orang yg putus dari rahmat-Ku, alangkah kecewa orang yg maksiat kepada-Ku dan tidak memperhatikan Aku, dan tetap melakukan yg haram dan tiada malu kepada-Ku’. Maka orang itu berkata: ‘Ulangilah keteranganmu itu, lalu ia menulisnya.’

Kemudian ia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak usah menulis suatu keterangan yg lain’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jika ada musibah yg menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk menghilangkannya karena yg menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allahlah Yang Unggul dan tak ada yg bisa mengalahkan-Nya. 

Orang yg tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yg menimpa orang lain. 

Kesimpulannya, siapa pun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu di ingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri.

Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yg juga butuh pertolongan seperti dirimu. Wallaahu a’lam

50. Husnudzan Terhadap Allah

Hikmah 50 dlm al-Hikam:

“Husnudzan Terhadap Allah”

اِن لَمْ تُحْسِنْ ظَنـَّكَ بِهِ لاَجْلِ حُسنِ وَصْفِهِ فَحَسِّنْ ظَنـَّكَ بهِ لِوُجوُدِ مُعَامَلتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ الاَّ حَسَناً اَسدىَ اِليكَ الاَّ مَنَناً

“Jika engkau tidak bisa berbaik sangka [husnudzan] terhadap Allah Ta’ala karena Sifat² Allah yg baik itu, berbaik sangkalah kepada Allah karena karunia pemberian-Nya kepadamu. Tidakkah selalu ia memberi nikmat dan karunia-Nya kepadamu?”

Manusia dalam hal husnudzan kepada Allah itu ada dua golongan:

1. Golongan khas-shah, yaitu orang yg berhusnudzan kepada Allah karena melihat Sifat² Allah yg bagus dan tinggi.

2. ‘Ammah, yaitu orang yg berhusnudzan kepada Allah karena macam²nya nikmat Allah dan anugrah dari Allah yg tidak bisa terhitung.

Apabila engkau tidak dapat berbaik sangka terhadap Allah, karena Allah itu bersifat: Rabbul ‘Alamiin [Tuhan yg mencipta, melengkapi, memelihara dan menjamin seisi alam, Ar-Rahman, Ar-Rahim: Pemurah, Penyayang]. Maka sudah selayaknya engkau harus berbaik sangka kepada Allah, karena tiada henti²nya nikmat dan karunia Allah atas dirimu dan anak keluargamu. Yakni sejak engkau berupa sperma hingga matimu. Dan sebaik-baik khusnudzan [baik sangka] terhadap Allah di waktu menerima nikmat Allah yg berupa ujian [musibah], bagaikan ayah yg menyambut anak yg disayang, demi untuk kebaikan anak itu sendiri.

Allah berfirman:

وَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسٰىٓ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 216)

فَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Maka mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, sedang Allah telah menjadikan padanya kebaikan yg banyak.” (QS. An-Nisa’ (4): 19)

Jabir ra. berkata: “Rasulullah Saw.  bersabda:

‘Barangsiapa yg dapat melakukan khusnudzan [baik sangka] kepada Allah, sehingga ia tidak akan mati kecuali tetap dalam khusnudzan terhadap Allah, maka hendaklah ia melakukannya’.” Kemudian ia membaca ayat:

وَذٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِى ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدٰىكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِّنَ الْخٰسِرِينَ

“Dan yg demikian itu adalah prasangkamu yg telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang² yg merugi.” (QS. Fussilat (41): 23)

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya berbaik sangka kepada Allah itu, sebaik-sebaik melakukan ibadah kepada Allah.”

Ibnu Mas’ud ra. bersumpah: “Demi Allah tidak ada orang yg berbaik sangka terhadap Allah, melainkan pasti Allah akan memberikan kepadanya apa yg ia sangka, sebab kebaikan itu semuanya di tangan Allah, maka apabila Allah telah memberi khusnudzan, berarti Allah akan memberi apa yg disangkanya itu. Maka Allah yg memberinya khusnudzan [baik sangka] berarti akan melaksanakannya.”

Abu Said al-Khudry ra. berkata: “Rasulullah Saw. menjenguk orang sakit, maka Rasulullah Saw. bertanya kepada orang yg sakit itu, ‘Bagaimanakah persangkaanmu terhadap Tuhanmu?’ Jawabnya, ‘Wahai Rasulullah, aku khusnudzan [baik sangka]’. Maka bersabda Rasulullah Saw., ‘Sangkalah sesukamu kepada Allah, maka Allah selalu akan memberi apa yg disangkakan oleh orang mukmin’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam. 

Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas Sifat²Nya yg baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yg baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yg telah diberikan-Nya kepada mereka. 

Ada perbedaan yg mencolok antara dua maqam tersebut. Syaikh Ibnu Atha‘illah seakan berkata, ”Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yg telah diberikan-Nya maupun bahaya yg telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam.

Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan Sifat²Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakkal yg benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yg baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya. Wallaahu a’lam

51. Aneh Dan Ajaib

Hikmah 51 dlm al-Hikam:

“Aneh Dan Ajaib”

الْعَجَبُ كُلُّ العًَجَبِ مِمّاَ لاَ انْفِكاَكَ لهُ عَنْهُ وَيَطلُبُ ما لاَ بَقاَءَ لهُ مَعَهُ فاِنـّهَاَ لاَ تَعْمَى الاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعمىَ الْقُلوْبُ الَّتىِ فِى الصُّدُورِ

Keanehan yg sangat mengherankan [ajaib] terhadap orang yg lari dari Allah yg sangat dibutuhkan, dan tidak dapat lepas daripadanya, dan berusaha mencari apa yg tidak akan kekal padanya. Sesungguhnya bukan mata kepala yg buta, tetapi yg buta ialah mata hati yg di dalam dada.

Hikmah 46, menceritakan tentang tingkatan makrifat yg dicapai melalui penyaksian mata hati. Makrifat melalui mata hati diperoleh dengan cara bertauhid. Hikmah 47, menggambarkan tentang tauhid yg tertinggi. Tingkatan yg tertinggi itu tidak mudah dicapai. Jalan untuk mencapainya adalah dengan menghapuskan semua jenis syirik, yg lahir dan yg batin/samar. Hikmah 48 hingga 50 menceritakan tentang syirik yg samar, yaitu hati bukan bergantung kepada Allah saja tetapi pada makhluk yg sama, ia juga berharap kepada makhluk, lantaran kurang keyakinannya kepada Allah, atau karena menyangka makhluk bisa melakukan sesuatu yg memberi bekas kepada perjalanan takdir Ilahi.

Syirik yg demikian dirumuskan oleh Hikmah 51 ini dengan mengatakan bahwa itu semua terjadi akibat buta mata hati. Sekiranya mata hati dapat melihat tentu dilihatnya bahwa dalam keadaan apa saja dia tidak terlepas dari qudrat dan Iradat Allah Ta’ala Dia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari Allah. Allah mempunyai segala sifat² iftiqar yg menyebabkan semua makhluk-Nya tidak ada jalan melainkan bergantung kepada-Nya.

Seseorang yg melarikan diri dari panggilan Tuhan untuk beribadah semata-mata karena ingin memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya, suatu fakta butanya mata hatinya, sebab ia telah mengutamakan bayangan dari pada hakikat, mengutamakan yg sementara dan meninggalkan keabadian, mengutamakan yg dapat binasa dari pada yg tetap kekal untuk selama-lamanya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sungguh mengherankan! Orang yg ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yg sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara² selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu. 

Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yg teramat baik dengan sesuatu yg hina. Ia juga lebih mengutamakan yg fana daripada yg kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yg tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu. Wallaahu a’lam

52. Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam (1)

Hikmah 52 dlm al-Hikam:

“Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam”

لاَتـَرْحَلْ منْ كوْنٍ الىَ كَونٍ فَتَكُونَ كَحِماَر سلرَّحىٰ يَسِيْرُ وَالمكانُ الَّذِىْ ارْتَحَلَ اليهِ هُوَالَّذي ارْتـَحلَ مِنهُ ولٰكِنْ ارْحَلْ من الاَكوَانِ الى المُكَوِّنِ. وَاِنَّ الىٰ رَبِّكَ المُنْتَهٰى

Jangan berpindah dari satu alam (makhluk) ke alam (makhluk) yg lain, berarti sama dengan himar [keledai] yg berputar di sekitar penggilingan, ia berjalan menuju ke tempat tujuan, tiba² itu pula tempat yg ia mula² berjalan dari padanya, tetapi hendaklah engkau pergi dari semua alam menuju kepada Pencipta alam; Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.

Keadaan orang yg tidak dapat melepaskan dirinya dari syirik adalah umpama seekor keledai yg terikat dan berputar menggerakkan batu penggiling. Walaupun jauh jarak yg dijalaninya, namun dia senantiasa kembali ke tempat yg sama. Jika ia mau bebas perlulah ia melepaskan ikatannya dan keluar dari bulatan yg sempit.

Orang yg mau membebaskan dirinya dari syirik secara keseluruhan, hendaklah membebaskan perhatian hatinya dari semua perkara kecuali Allah.

Keluar dari bulatan alam dan masuk kepada Wujud Mutlak.

Jangan berpindah dari syirik yg terang ke alam syirik yg samar. Amal kebaikan yg di nodai oleh riya’, sum’ah [mengharap pujian orang], tidak dianggap oleh syari’ah [tidak di terima oleh Allah]. Dan apabila telah bersih dari semua itu, kemudian beramal karena terdorong oleh menginginkan kedudukan atau kekayaan atau karamah dunia atau akhirat, semua itu masih termasuk alam hawa nafsu, dan belum mencapai tujuan ikhlas yg bersih dari segala tujuan selain hanya kepada Allah, yakni tanpa pamrih. Karena itu selama berpindah dari alam ke alam tidak berbeda, bagaikan keledai yg berputar di sekitar penggilingan, tetapi seharusnya sekali berangkat dari alam ini, langsung menuju kepada Pencipta alam.

Karena itu Nabi Isa as. pernah berkata kepada sahabat hawariyyin: “Semua yg ada padamu dari berbagai nikmat kesenangan itu langsung dari karunia Allah kepadamu, maka manakah kiranya yg lebih besar harganya [nilainya]? Apakah pemberian-Nya ataukah yg memberi?”

”Wa Inna ila Rabbikal-muntaha”. Sesungguhnya kepada Tuhanmu itulah puncak segala tujuan. Sebab barangsiapa yg telah mendapatkan Allah, berarti telah mencapai segala sesuatu, baik urusan dunia mau pun urusan akhirat. Wallaahu a’lam

53. Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam (2)

Hikmah 53 dlm al-Hikam:

وَانْظـُرْ الٰى قَولهِ صلَي اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ : فمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ الىَ اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتهُ الى اللهِ وَرَسُولهِ. ومن كاَنَتْ هِجْرَتُهُ الىَ دُنْياَ يُصِيبُهاَ اَوِامْرَأَةٍ يَتزَوَّجُهاَ فَهِجرَتهُ الٰي ما هاَجَرَ اِليهِ. فاَفْهَم قولَهُ عَلَيهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ وَتأمَّلْ هٰذاَ الاَمرَاِنْ كُنْتَ ذاَفهْمٍ

Dan perhatikan sabda Nabi Saw.: ‘Maka barangsiapa yg berhijrah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya [menurut perintah Allah dan Rasul-Nya], maka hijrahnya akan diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yg berhijrah karena kekayaan dunia, dia akan mendapatkannya, atau karena perempuan yg akan dinikahi, maka hijrahnya terhenti pada apa yg ia hijrah kepadanya. Camkanlah sabda Nabi Saw.  ini dan perhatikanlah persoalan ini jika engkau mempunyai kecerdasan faham.

Hikmah ini adalah lanjutan dari Kalam Hikmah yg lalu. Keluar dari satu hal kepada hal yg lain adalah hijrah juga namanya.

Dan yg utama dalam hadits ini ialah sabda Nabi Saw., bahwa hijrah yg tidak dengan niat ikhlas kepada Allah akan terhenti pada tujuan yg sangat rendah dan tidak berarti, dan tidak akan mencapai keridhaan Allah. Seseorang minta nasehat kepada Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs., maka berkata Syaikh Abu Yazid, “Jika Allah menawarkan kepadamu akan diberi kekayaan dari Arsy sampai ke bumi, maka katakanlah, Bukan itu ya Allah, tetapi hanya Engkau ya Allah tujuanku.”

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Andaikan aku di suruh memilih antara masuk surga Jannatul-Firdaus dengan shalat dua rakaat, niscaya saya pilih shalat dua rakaat. Sebab di dalam surga, saya dengan bagianku, dan dalam shalat aku dengan Tuhanku.”

Asy-Syibli ra. berkata: “Berhati-hatilah  dari ujian Allah, walaupun dalam perintah, “Kulu wasyarabu” [makan dan minumlah]. Sebab dalam pemberian nikmat itu ada ujian untuk diketahui, siapakah yg silau dan lupa kepada-Nya setelah menerima nikmat, dan siapa yg tetap pada-Nya sebelum dan sesudah menerima nikmat.”
Seorang penyair berkata: “Dia shalat dan puasa karena sesuatu yg diharapkan, sehingga setelah tercapai urusannya, dia tidak shalat dan puasa.”

54. Memilih Sahabat (1)

Hikmah 54 dlm al-Hikam:

“Memilih Sahabat”

لاَتصْحَبْ من لاَيُنْهِضُكَ حالهُ ولاَ يَدُلُّكَ علَى اللهِ مقاَلهُ

Jangan bersahabat dengan seseorang yg tidak membangkitkan semangat taat kepada Allah, amal kelakuannya dan kata²nya tidak membimbing engkau ke jalan Allah.

Dalam hadits:

“Seseorang akan mengikuti pendirian (kelakuan) temannya, maka lihatlah saudaramu dengan siapakah harus didekati sebagai teman.”

Sufyan ats-Tsaury berkata: “Barangsiapa yg bergaul dengan orang banyak harus mengikuti mereka, dan barangsiapa mengikuti mereka, harus menjilat pada mereka, dan barangsiapa yg menjilat kepada mereka, maka ia binasa seperti mereka.”

Sahl bin Abdullah berkata: Berhati-hatilah [jangan] bersahabat dengan tiga macam manusia:

1. Pejabat pemerintah yg dzalim [kejam]. 2. Ahli quraa’ yg pejilat.

3. Sufi gadungan [yg bodoh tentang hakikat tasawuf].

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw berkata: “Sejahat-jahat teman yg memaksa engkau bermuka-muka [menjilat] dan memaksa engkau minta maaf, atau selalu mencari alasan.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang murid dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yg membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah. 

Misalnya, orang yg tekadnya tinggi yg senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap perkara tidak bertawakal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa², tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara’, tanpa melebih-lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang² ‘arif yg mengenal Allah. 

Menemani orang² seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunnahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.

Adapun orang² yg tidak memiliki sifat² di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa² bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Syaikh Ibnu Atha‘illah memberikan nasihatnya melalui hikmah berikut. Wallaahu a’lam

55. Memilih Sahabat (2)

Hikmah 55 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا كُنْتَ مُسِيـْءـاً فأراكَ الاِحْساَنَ مِنْكَ صُحْبَتَكَ كمن هُوَ اَسْوَءُ حالاًمِنْكَ

Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang yg lebih buruk daripada dirimu.

Bersahabat dengan yg lebih rendah budi pekerti [iman]-nya itu, sangat berbahaya, sebab persahabatan itu pengaruh mempengaruhi, percaya mempercayai, sehingga dengan demikian sulit sekali untuk dapat melihat atau mengoreksi kesalahan sahabat yg kita sayangi bahkan kesetiaan sahabat akan membela kita dalam kekeliruan, kesalahan dan dosa, yg dengan itu kamu pasti akan binasa karenanya. Sedang seseorang tidak dapat mengoreksi diri sendiri, kecuali dengan kacamata orang lain, tetapi jika justru kacamata orang lain itu pula mengelabui kita, maka bahayalah yg pasti menimpa kepada kita.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Artinya, berteman dengan orang yg kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan²mu. Itu adalah pangkal segala keburukan. 

Boleh saja kau berteman dengan orang yg keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu. 

Di sini Syaikh lbnu Atha’illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang² ‘arif terbagi menjadi dua: pertemanan yg didasari keinginan dan pertemanan yg mengharap berkah. 

Pertemanan yg didasari keinginan ialah pertemanan yg harus memenuhi syarat²nya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan Syaikh atau Gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat. 

Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yg tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat² pertemanan. Yg paling penting adalah bagaimana ia berpegang pada batasan² syara’. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yg telah mereka raih. Wallaahu a’lam

56. Zahid Dan Roghib

Hikmah 56 dlm Al-Hikam:

“Zahid Dan Roghib”

ماَقـَلَّ عَملٌ بَرَزَ من قلْبٍ زاَهِدٍ ولاكَثـُرَ عملٌ بَرَزَ من قلبٍ رَاغِبٍ

“Tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yg dilakukan dengan hati yg zuhud, dan tidak dapat dianggap banyak amal yg dilakukan oleh seseorang yg cinta dunia.”

Kita telah diajarkan keluar dari alam kepada Pencipta alam, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita diajar supaya memilih sahabat yg dapat membangkitkan semangat untuk berjuang pada jalan Allah dan berbuat taat kepada-Nya. Hikmah ini memberi gambaran apakah hijrah ruhani itu akan berhasil atau gagal. Alat untuk menilainya ialah dunia. Bagaimana kedudukan dunia di dalam hati akan mempengaruhi perjalanan keruhanian.

Ukuran amal itu menurut hati orang yg beramal, apabila amal itu dilakukan orang yg zuhud (hatinya tidak tergantung pada dunia), walaupun kelihatan sedikit akan tetapi hakikatnya banyak. Karena zahid itu amalnya bisa selamat dari penyakit yg menjadikan amalnya tertolak, seperti riya’ mencari kepentingan dunia, tidak karena Allah, dll. Sebaliknya amal orang yg roghib (cinta/rakus dunia) amalnya tidak selamat dari penyakit² tersebut.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: “Tumpahkan semua hasrat keinginanmu itu kepada usaha untuk diterimanya amal perbuatanmu, sebab tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yg diterima oleh Allah.”

Allah berfirman: “Innamaa yataqobbalullaahu minal muttaqiina” [Sesungguhnya Allah hanya menerima amal perbuatan dari orang yg bertakwa], ikhlas baginya, dan tepat menurut ajaran-Nya.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Dua raka’at yg dilakukan oleh seorang ‘alim yg mengerti dan ikhlas [tidak tamak/rakus kepada dunia], lebih baik dari ibadah orang² ahli ibadah sepanjang masa tapi masih cinta dunia.”

Abu Sulaiman ad-Darani ra. bertanya kepada Ma’ruf al-Karkhi ra.: “Mengapakah orang² itu kuat taat sampai sedemikian rupa banyaknya? Jawabnya, ‘Karena mereka telah membersihkan hati mereka dari pada cinta dunia, andaikata masih ada sedikit cinta dunia, tidak akan diterima dari mereka amal perbuatan itu’.”

Seorang sholeh mengeluh kepada Abu Abdillah al-Qurasyi ra., bahwa ia telah berbuat berbagai amal kebaikan, tetapi belum bisa merasakan kelezatan amal kebaikan itu dalam hatinya. Jawab Abu Abdullah al-Qurasyi ra., ”Karena engkau masih memelihara putri iblis, yaitu kesenangan dunia, dan lazimnya seorang ayah itu selalu berziarah kepada putrinya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang zahid adalah orang yg tidak bergantung pada dunia. Amalnya, walaupun secara kasat mata tampak sedikit, secara maknawi amatlah banyak karena terbebas dari cacat dan kekurangan yg membuat amal itu tidak diterima, seperti berniat riya’, pura² di hadapan manusia, mengharap keuntungan duniawi, atau tanpa kehadiran hati di hadapan Tuhan. 

Sementara itu, amal yg bersumber dari hati yg tamak terhadap dunia, walaupun secara kasat mata amal itu terlihat banyak, secara maknawi amal itu dianggap sedikit karena tidak terbebas dari hal² yg mengotori dan mengurangi nilainya. 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., ”Dua raka’at (shalat sunnah) dari seorang zahid yg ‘alim lebih baik daripada ibadah para ‘abid dan mujtahid sepanjang hidup mereka.”

57. Kedudukan Amal, Ahwal Dan Maqam Inzal

Hikmah 57 dlm Al-Hikam:

“Kedudukan Amal, Ahwal Dan Maqam Inzal”

حُسْنُ الاَعماَلِ نَتَاءِجُ حُسْنِ الاَحوالِ وَحُسنُ الاَحوَالِ منَ التـَّحَققِ فىِ مقاَماَتِ الاِنْزالِ

Baiknya amal perbuatan itu, sebagai hasil dari baiknya Ahwal, dan baiknya Ahwal itu sebagai hasil dari kesungguhan istiqamah pada maqam inzal (apa yg diperintah oleh Allah).

Hikmah yg lalu mengaitkan nilai amal dengan zuhud hati terhadap dunia. Hati yg menerima cahaya Nur Ilahi akan mendapat pengalaman keruhanian yg dinamakan ahwal (hal²). Ahwal yg menetap pada hati dinamakan maqam.

Maqam Inzal yaitu: pengetahuan/ilmu yg berhubungan dengan Ketuhanan Allah Ta’ala, yg oleh Allah diberikan kepada hati hambanya, supaya hamba tidak mengaku-aku, tidak karena surga atau takut neraka.

Jadi baiknya Amal itu muncul dari baiknya Ahwal, baiknya Ahwal itu muncul dari maqom inzal/ilmu yg diberikan oleh Allah.

Amal yg baik itu hanya yg diterima oleh Tuhan, dan itu pasti karena baik dalam segi keikhlasan kepada Allah, dan tidak mungkin ikhlas kecuali jika ia mengerti benar² kedudukan dirinya terhadap Tuhannya.

Imam Al-Ghazali berkata: “Tiap tingkat dalam kepercayaan/keyakinan itu mempunyai ilmu, dan Hal [perasaan] dan amal perbuatan;

Ilmu-yaqin [keyakinan yg didapat dari pengertian teori pelajaran]. Ainul-yaqin [keyakinan yg didapat dari fakta² lahir setelah terungkap/terbuka]. Haqqul-yaqin [keyakinan yg benar² langsung dari Allah, dan tidak dapat diragukan sedikitpun, yaitu keyakinan yg hakiki.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Amal terbaik adalah amal yg terbebas dari faktor² yg membuat sebuah amal tidak diterima, seperti riya’ dan mengharap keuntungan duniawi. Amal yg lebih baik lagi adalah amal yg dikerjakan dengan hati yg senantiasa hadir di hadapan Allah dan tidak peduli dengan bisikan² setan. 

Ahwal (keadaan batin) terbaik adalah ahwal yg tergambar dalam bentuk sikap zuhud terhadap dunia dan ikhlas kepada Allah. Misalnya, dengan meniatkan amal untuk ‘ubudiyah kepada-Nya semata, bukan untuk mencari pahala. Ahwal ini didapat dari kemapanan maqam² yg diturunkan ke dalam hati yg bentuknya berupa makrifat ilahiah yg menyebabkan seseorang mengabaikan segala keinginan, baik itu keinginan masuk surga maupun keinginan selamat dari neraka. 

Jika seorang murid berhasil meraih itu, ia akan merasa melihat Tuhannya dengan hatinya. Dengan begitu, dalam amalnya, ia tidak berharap selain Allah. Buahnya, amalnya akan terbebas dari segala faktor yg membuat amal tidak diterima. Hikmah ini merupakan dalil dan penegas hikmah sebelumnya. 

Karena sifat² terpuji, biasanya, tidak tumbuh kecuali dari banyaknya dzikir, Syaikh Ibnu Atha’illah menyampaikan demikian. Wallaahu a’lam

58. Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah

Hikmah 58 dlm al-Hikam:

“Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah”

لاَتتـْرُكِ الذِكْرَ لِعَدَمِ حُضوُرِكَ مَعَ اللهِ فيهِ لاَنَّ غفلَتَكَ عن وُجُودِ ذِكرِهِ أَشَدُّ من غَفلَتِكَ فى وُجوُدِ ذِكرِهِ فعَساَهُ أَنْ يَرْفَعَكَ من ذِكرٍ مع وجودِغَفلَةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ غـَيْبَةٍ عمَّا سِوىَ المَذكـُورِ وَماَ ذٰلكَ على اللهِ بِعَزِيزِ

“Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum bisa selalu ingat kepada Allah di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berdzikir itu lebih berbahaya dari pada kelalaianmu terhadap Allah ketika kamu berdzikir.” Semoga Allah menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian, kepada dzikir yg disertai ingat terhadap Allah, kemudian naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat, kepada dzikir yg disertai rasa hadir, dan dari dzikir yg disertai rasa hadir kepada dzikir hingga lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Dan yg demikian itu bagi Allah tidak berat [tidak sulit].”

Empat keadaan yg berkaitan dengan dzikir:

1. Berdzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Allah.

2. Berdzikir dalam keadaan hati yg ingat kepada Allah.

3. Berdzikir dengan disertai rasa kehadiran Allah di dalam hati.

4. Berdzikir dalam keadaan fana’ dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Allah saja yg ada.

Seorang salik tidak boleh meninggalkan dzikir, disebabkan karena hatinya belum bisa ingat/menghadap kepada Allah, akan tetapi ia harus tetap selalu berdzikir walaupun hatinya masih belum bisa khudhur (hadir di hadirat Allah).

Karena orang yg meninggalkan dzikir itu jauh dengan Allah, hati dan lisannya. Berbeda dengan orang yg mau berdzikir, meskipun hatinya masih jauh dengan Allah karena belum bisa mengingat Allah waktu berdzikir, tapi lisannya dekat dengan Allah.

Karena tidaklah sulit bagi Allah untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yg berdzikir dari suasana yg kurang baik kepada yg lebih baik hingga mencapai yg terbaik. Menaikkan satu tingkat [derajat] kelain tingkat [derajat], dzikir adalah satu²nya jalan yg terdekat menuju kepada Allah, bahkan sangat mudah dan ringan.

Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi qs. berkata: “Dzikir itu simbol wilayah (kewalian), dan pelita penerangan untuk sampai ke Hadirat Allah, dan tanda sehatnya permulaannya, dan menunjukkan jernihnya akhir puncaknya, dan tiada suatu amal yg menyamai dzikir, sebab segala amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak dapat dibatasi.”

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku berdzikir (ingat pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah (2): 152)

Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

“Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir (mengingat) dalam dirinya. Aku pun berdzikir padanya dalam dzat-Ku dan jika ia berdzikir pada-Ku di keramaian, maka Aku pun berdzikir padanya dalam keramaian yg lebih baik dari pada kelompoknya, dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berjalan cepat.”

Abdullah bin Abbas ra. berkata: “Tidak ada suatu kewajiban yg diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya melainkan ada batas²nya, kemudian bagi orang² yg berudzur dimaafkan jika ia tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka tidak ada batas dan tidak ada udzur yg dapat diterima untuk tidak berdzikir, kecuali jika berubah akal [gila].

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيٰمًا وَقُعُودًا وَعَلٰى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بٰطِلًا سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang² yg berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia², Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-‘Imran (3): 191)

Firman Allah: “Wahai orang² yg beriman, berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”

Yakni pagi, siang, sore, malam, di darat, di laut, di udara, dalam perjalanan [musafir], berdiam diri pada semua tempat dan waktu, bagi yg kaya, miskin, sehat, sakit, terang²an atau sembunyi dengan lisan atau hati dan pada tiap keadaan.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Biasakan selalu berdzikir karena dzikir adalah jalan terdekat menuju Allah dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa yg diberi kesempatan berdzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, jangan tinggalkan dzikir. Jangan kau tinggalkan dzikir lantaran merasa tidak bisa berkonsentrasi saat dzikir akibat terlalu di sibukkan dengan bisikan² setan dan hal² duniawi. Kelalaianmu untuk berdzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berdzikir. Karena meninggalkan dzikir sama saja menjauhkan diri dari Allah, baik secara hati maupun lisan. Berbeda halnya dengan lalai saat berdzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berdzikir kepada Allah walaupun hatimu lalai saat dzikir. 

Semoga Allah menuntunmu dari dzikir yg disertai kelalaian menuju dzikir yg disertai kesadaran dan konsentrasi; dari dzikir yg disertai kesadaran hati menuju dzikir yg mengantarkan hati masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berdzikir dan tidak lalai dari-Nya; dari dzikir yg disertai kehadiran hati, menuju dzikir yg meniadakan segala hal selain Allah, termasuk dzikir itu sendiri sehingga tanpa disadarinya, ia keluar dari dzikirnya. Pada saat itulah, Tuhannya akan menjadi lisan yg digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannyalah yg bergerak. Saat mendengar, Tuhannyalah yg menjadi pendengarannya. 

Mungkin, kondisi seperti itu tampak tidak masuk di akal, tetapi itu benar² terjadi. Kondisi seperti itu hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh para salik. Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama orang² yg binasa. 

Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah juga melarang seorang murid untuk putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqam semacam itu. Maka dari itu, ia pun menyitir firman Allah, ”Dan yg demikian itu bagi Allah tidaklah sukar, ” (QS. Ibrahim (14): 20) karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab², sedangkan hasilnya menjadi urusan Allah. Wallaahu a’lam

59. Tanda Hati Yang Mati

Hikmah 59 dlm Al-Hikam:

“Tanda Hati Yang Mati”

مِنْ علاَماَتِ مَوْتِ القلبِ عَدَمُ الحُزنِ على ماَ فاَتكَ منَ المُواَفَقاَتِ وَتركُ النَّدَمِ علىَ ما فَعلتهُ من الزَّلاَّتِ.

Sebagian dari pada tanda matinya hati, yaitu jika tidak merasa sedih [susah] karena tertinggalnya suatu amal [perbuatan] kebaikan [kewajiban], juga tidak menyesal jika terjadi berbuat pelanggaran dosa.

Pada hikmah sebelumnya diterangkan supaya jangan meninggalkan dzikir walaupun hati belum bisa hadir ketika berdzikir. Begitu juga dengan ibadah dan amal kebaikan. Janganlah meninggalkan ibadah lantaran hati tidak khusyuk ketika beribadah dan jangan meninggalkan amal kebaikan lantaran hati belum ikhlas dalam melakukannya. Khusyuk dan ikhlas adalah sifat hati yg sempurna. Dzikir, ibadah dan amal kebaikan adalah cara² untuk membentuk hati agar menjadi sempurna. Hati yg belum mencapai tahap kesempurnaan dikatakan hati itu berpenyakit. Jika penyakit itu dibiarkan, tidak diambil langkah mengobatinya, pada satu masa, hati itu mungkin akan mati. Matinya hati berbeda dengan mati tubuh badan. Orang yg mati tubuh badan ditanam di dalam tanah. Orang yg mati hatinya, tubuh badannya masih sehat dan dia masih berjalan ke sana kemari dimuka bumi ini.

Manusia menjadi istimewa karena memiliki hati ruhani. Hati mempunyai nilai yg mulia yg tidak dimiliki oleh akal fikiran. Semua anggota dan akal fikiran menuju kepada alam benda sementara hati ruhani menuju kepada Pencipta alam benda. Hati mempunyai persediaan untuk beriman kepada Tuhan. Hati yg menghubungkan manusia dengan Pencipta. Hubungan dengan Pencipta memisahkan manusia dari daerah kehewanan dan mengangkat derajat mereka menjadi makhluk yg mulia. Hati yg cerdas, sehat dan dalam keasliannya yg murni, berhubung erat dengan Tuhannya. Hati itu membimbing akal fikiran agar akal fikiran dapat berfikir tentang Tuhan dan makhluk Tuhan. Hati itu membimbing juga kepada anggota tubuh badan agar mereka tunduk kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Hati yg bisa mengalahkan akal fikiran dan anggota tubuh badannya serta mengarahkan mereka berbuat taat kepada Allah adalah hati yg sehat.

Dalam suatu hadits Rasulullah Saw.  bersabda:

“Barangsiapa yg merasa senang oleh amal kebaikannya, dan merasa sedih/menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin.”

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: ”Ketika kami dalam majelis Rasulullah Saw., tiba² datang seseorang yg turun dari kudanya dan mendekati Rasulullah Saw.  sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya telah melelahkan kudaku selama sembilan hari, maka saya jalankan terus menerus selama enam hari, tidak tidur di waktu malam dan puasa pada siang hari, hingga lelah benar kuda ini, demi hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yg telah merisaukan hatiku hingga tidak dapat tidur’. Rasulullah Saw.  bertanya, ‘Siapakah engkau?’ Jawab orang itu, ‘Zaidul-Khoir’ Berkata Rasulullah Saw., ‘ Wahai Zaidul-Khoir, bertanyalah kemungkinan sesuatu yg sulit, yg belum pernah ditanyainya’ . Berkata Zaidul-Khoir, ‘Saya akan bertanya kepadamu tanda² orang yg disukai dan yg dimurkai?’ Jawab Rasulullah Saw., ‘Untung, untung, bagaimanakah keadaanmu saat ini wahai Zaid?’ Jawab Zaid, ‘Saya saat ini, suka kepada amal kebaikan dan orang² melakukan amal kebaikan, bahkan suka akan tersebarnya amal kebaikan itu, dan bila aku ketinggalan merasa menyesal dan rindu pada kebaikan itu, dan bila aku berbuat amal sedikit atau banyak, tetap saya yakin pahalanya’. Jawab Rasulullah Saw., ‘Ya itulah dia, andaikan Allah tidak suka kepadamu, tentu engkau disiapkan untuk melakukan yg lain daripada itu, dan tidak peduli di jurang yg mana engkau akan binasa’. Berkata Zaid, ‘Cukup wahai Rasulullah, lalu ia kembali ke atas kudanya, kemudian ia berangkat pulang’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Tanda hidupnya hati ialah memancarnya cahaya Ilahi dari hatimu meskipun kau belum mendapatkan cahaya itu karena tebalnya hijabmu. 

Kesedihanmu atas ketaatan yg terlewatkan dan penyesalanmu atas kesalahan yg telah kau lakukan atau kebahagiaanmu atas amal² baikmu dan kesedihanmu atas amal² burukmu membuktikan bahwa kau termasuk ahli iradah (orang yg dikehendaki dan dicintai Allah). Oleh karena itu, giatlah dalam beramal shaleh dan jangan malas!

Wallaahu a’lam

60. Dosa Dan Khusnudzan (1)

Hikmah 60 dlm Al-Hikam:

“Dosa Dan Khusnudzan”

لاَ يُعظَمُ الذنبُ عِندَكَ عظمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسنِ الظنِّ بِاللهِ ، فَاِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَسغَرَ فىِ جَنْبِ كرَمِحِ ذ َنْبُهُ

Jangan sampai dosa yg kau anggap besar menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Siapa yg mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahan-Nya.

Merasa besarnya suatu dosa itu baik, jika menimbulkan rasa akan bertaubat dan niat untuk tidak mengulanginya untuk selama-lamanya. Tetapi jika merasa besarnya dosa itu akan menyebabkan putus dari rahmat Allah, merasa seakan-akan rahmat dan ampunan Allah tidak akan didapatnya, maka perasaan itu lebih berbahaya baginya dari dosa yg telah dilakukannya, sebab putus asa dari rahmat Allah itu dosa besar dan itu perasaan orang² kafir.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Seorang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yg akan menimpanya, sedang orang munafiq melihat dosanya bagaikan lalat yg hinggap di ujung hidungnya, maka diusirlah ia dengan tangannya.”

Rasulullah Saw. telah bersabda: “Demi Allah yg jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan mematikan kamu, dan mendatangkan suatu kaum yg berbuat dosa lalu istighfar (minta ampun) dan di ampunkan bagi mereka itu.”

Rasulullah Saw. bersabda: “Andaikan perbuatan dosa itu tidak lebih baik bagi seorang mukmin dari pada ujub (mau di agung²kan karena amal kebaikannya), maka Allah tidak akan membiarkan seorang mukmin berbuat dosa untuk selamanya.”

Sebab ujub itu menjauhkan seorang hamba dari Allah, sedang dosa itu menarik hamba mendekat kepada Allah. Dan ujub, merasa besar diri, sedang dosa merasa kecil dan rendah diri di sisi Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jangan kau anggap dosa yg kau lakukan itu besar dan tidak mungkin di ampuni sehingga membuatmu putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yg kau lakukan. 

Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri di hadapan Tuhanmu. Siapa yg mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yg tidak ada ampunan dan maafnya. 

Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yg terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba. 

Ada yg berkata: “Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil maka ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.”

Wallaahu a’lam

61. Dosa Dan Khusnudzan (2)

Hikmah 61 dlm Al-Hikam:

لاصغيرة اذاقابلك عدله ولاكبيرة اذاواجهك فضله

Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau dihadapkan pada karunia-Nya.

Yg dinamakan Adil yaitu: pelaksanaan hukum Allah di dalam kerajan-Nya yg tidak ada yg menentangnya. Apabila sifat adilnya Allah itu dilaksanakan pada orang yg di benci Allah, maka batal semua kebaikannya, dan dosa kecilnya akan menjadi dosa besar.

Yg dinamakan Fadhol yaitu: pemberian Allah kepada hamba-Nya yg tidak ada balasannya. Apabila sifat Fadholnya Allah diberikan pada hamba yg dicintai-Nya, dosa dan kesalahan yg besar akan di anggap kecil oleh Allah.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada dosa besar jika disertai dengan istighfar (minta ampun), dan tidak dapat di anggap dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.”

Yahya bin Mu’adz ra. dalam berdoa ia berkata: “Tuhanku, jika Engkau kasihan kepadaku, Engkau ampunkanlah semua dosaku, tetapi jika Engkau murka kepadaku, tidaklah Engkau terima amal kebaikanku.”

Syaikh Abu Hasan as-Syadzili ra. berkata dalam doanya: “Ya Rabbi, semoga amal jelekku Engkau jadikan seperti amal jeleknya orang yg engkau cintai, dan amal kebaikanku jangan engkau jadikan seperti kebaikannya orang yg engkau benci.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ketika keadilan Allah berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yg bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yg dibenci-Nya, kebaikan² orang itu akan diabaikan dan dosa² kecilnya akan dipandang besar. 

Adapun karunia Allah adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yg dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan di abaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil. Wallaahu a’lam

62. Amal Yang Bernilai di Sisi Allah

Hikmah 62 dlm Al-Hikam:

“Amal Yang Bernilai di Sisi Allah”

لاَ عمَلَ اَرْجٰى للِْقبُولِ من عملٍ يَغيْبُ عَنكَ شُهُودُهُ وَيُحتَقَرُّ عَنْكَ وُجوُدُهُ

Tidak ada amal kebaikan yg dapat diharapkan diterima oleh Allah, melebihi dari amal yg terlupa olehmu adanya dan kecil dalam pandanganmu kejadiannya.

Amal kebaikan yg pasti diterima oleh Allah, yaitu jika merasa bahwa amal itu semata-mata terjadi karena taufik dan hidayah dari Allah, kemudian ia tidak membanggakan diri dengan amal itu, dan tidak merasa seakan-akan sudah cukup baik dengan adanya amal itu.

Karena amal itu telah ditujukan kepada keridhoan Allah, maka tidak usah di ingat² lagi. Sebab barangsiapa yg merasa sudah beramal, sesungguhnya jarang sekali yg tidak merasa ujub/arogan dengan amalnya itu. Dan itu suatu bahaya bagi amal itu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Amal yg tidak kau sadari” adalah amalmu yg kau yakini dibimbing dan dilakukan oleh Allah. Tanpa Allah, niscaya amal itu tidak akan kau lakukan. 

”Amal yg tidak berarti di matamu” ialah amal yg tidak kau jadikan sandaran untuk meraih sebuah keinginan, seperti keinginan untuk bisa sampai kepada Allah dan dekat dengan-Nya atau keinginan mendapatkan derajat dan kedudukan tinggi. Bahkan, kau masih memandang amal itu kurang sempurna dan tidak terbebas dari cacat yg membuatnya sulit diterima Allah. Wallaahu a’lam

63. Warid (1)

Hikmah 63 dlm Al-Hikam:

“Warid”

اِنَّماَ اَوْرَدَ عليكََ الوَارِدِ لِتَكُونَ بِهِ عليهِ واَرِداً

Sesungguhnya Tuhan memberikan kepadamu warid (yaitu ilmu pengertian atau perasaan dalam hati, sehingga mengenal dan merasa benar² akan kebesaran karunia Allah), hanya semata-mata supaya engkau mendekat dan masuk kehadirat Allah.

Warid itu kadang diartikan dengan pemberian Allah pada hamba-Nya berupa ilmu laduni dan pemahaman tentang Ketuhanan Allah, yg menjadikan terang hatinya. Kadang diartikan ber-tajalli-nya Allah pada hati hamba, meskipun si hamba tidak bisa merasakan karena terlalu tebalnya sifat kemanusiaannya. Dan juga bisa disamakan dengan Ahwal. Jadi warid dengan hal itu sama artinya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”ilham” adalah ilmu dan cahaya pengetahuan yg datang dari Allah, cahaya yg membuat hati lapang dan bersinar terang. Dengannya, hati bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan melihat kebathilan sebagai kebathilan. Ilham ini juga merupakan penampakan Ilahi yg masuk ke dalam hati meski seorang hamba tidak merasakannya karena keburukan sifat² kemanusiaannya. Terkadang, ilham disebut juga dengan hal (keadaan batin). Semuanya datang kepadamu agar kau bisa menuju ke hadirat Ilahi. Namun, untuk sampai ke hadirat Allah, hati harus bersih dan suci dari segala kekotoran. Wallaahu a’lam

64. Warid (2)

Hikmah 64 dlm Al-Hikam:

اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيَتَسَلَّمَكَ مِنْ يَدِ الاَغْياَرِ وَلِيُحَرِّرَكَ مِنْ رَقَ الاَثاَرِ

Allah memberikan warid itu untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman materi, dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu.

Aghyaar dan atsaar yaitu: kepentingan duniawi dan kesenangan hawa nafsu. Keduanya bagaikan orang yg ghosob (mengambil) dirimu karena kamu senang dan bergantung pada keduanya.  Lalu Allah mendatangkan warid kepadamu untuk menyelamatkan kamu dari tangan orang yg ghosob dan membebaskan kamu dari orang yg memperbudak kamu (aghyaar dan atsaar). Sehingga makhluk tidak punya bagian dan persekutuan dalam dirimu. Sehingga kamu pantas menghadap kehadirat Ilahi.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Materi dan hawa nafsu akan merampas kebebasanmu bila kau begitu mencintai dan bergantung padanya. Oleh karena itu, Allah memberimu ilham yg dapat menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu. Dengan begitu, tak akan ada lagi kesempatan bagi makhluk untuk menguasaimu sehingga kau hanya pasrah kepada Allah dan layak untuk hadir ke hadapan-Nya. Wallaahu a’lam

65. Warid (3)

Hikmah 65 dlm Al-Hikam:

اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُودِكَ اِلٰى فَضاَءِ شُهُودِكَ

Allah memberikan kepadamu warid untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu dan membawamu ke angkasa penyaksianmu.

Dalam tiga pelajaran berkenaan dengan warid (karunia Tuhan) yg pertama diberikan kepadamu, supaya engkau ringan melakukan taat beribadah dan mendekat kehadirat Allah Ta’ala, tetapi kemungkinan kurang ikhlas, maka diturunkan warid yg kedua untuk melepaskanmu dari tujuan kepada sesuatu selain Allah, sedang warid yg ketiga untuk melepaskan dirimu dari sifat² dan wujud yg sempit kepada alam yg luas, melihat kebesaran Tuhan yg tidak terbatas sehingga lupa kepada diri dan hanya ingat kepada Allah Ta’ala semata-mata.

Syaikh Abul Qasim an-Nashrabady berkata: “Penjaramu yaitu dirimu sendiri (hawa nafsumu), kalau kamu bisa keluar dari dirimu, maka kamu akan enak selamanya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Makna ”penjara wujud” ialah kungkungan sifat²mu yg menghambatmu menyaksikan Tuhanmu, ibarat penjara yg membatasi gerak para narapidana. 

Maksud ”angkasa penyaksian” adalah kesempatanmu menyaksikan Tuhanmu. Ia di umpamakan dengan ruang angkasa yg tiada batas dan tanpa ada yg menghalangi pandangan mata. 

Hikmah ini menegaskan bahwa pemilik warid itu hanya satu. Demikian pula buahnya, yaitu datang ke hadirat-Nya. Hikmah ini juga bisa di artikan bahwa Allah selalu melimpahkan untukmu warid agar kau sampai kepada-Nya. Dengan warid yg datang kepadamu, kau pun sibuk melakukan bermacam ketaatan dan mujahadah. Namun, di saat sifat² burukmu masih bercokol di hatimu, yg menyebabkan kau tidak ikhlas dalam beribadah, Dia akan mengirimkan warid lain yg akan menyelamatkanmu dari hal itu dan membuatmu ikhlas. 

Ketika kau ikhlas, mungkin kau akan mengandalkan keikhlasanmu itu sebagai jaminan di terimanya amalmu dan sampainya dirimu di hadapan Tuhan dengan keikhlasanmu itu. Tentu, tindakan ini adalah salah. Oleh karena itu, warid berikutnya akan datang. Dengan warid itu, kau tidak lagi melihat dirimu sendiri dan hanya melihat Tuhanmu dengan mata batinmu. Wallaahu a’lam

66. Nur, Bashirah Dan Hati

Hikmah 66 dlm Al-Hikam:

“Nur, Bashirah Dan Hati”

الاَنْواَرُ مطَايَا القُلوُبِ والاَسرَارِ

“Nur (cahaya) iman dan nur keyakinan itu sebagai kendaraan yg mengantarkan hati manusia dan asror (rahasia) ke hadirat Allah.”

Nur Ilahiyah yg diberikan Allah kepada hamba-Nya itu biasanya hasil sebab dzikir dan latihan² ruhani. Nur itu yg menjadi kendaraan hati dan sirr yg menyampaikan pada tujuannya, yaitu masuk dan taqarrub kehadirat Allah Ta’ala. Nur ini juga disebut Nur Warid.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”cahaya” di sini ialah cahaya Ilahi yg masuk ke dalam hati murid. Biasanya, cahaya ini didapat dengan dzikir dan riyadhah. “Kendaraan hati” dapat membawa hati menuju Allah hingga sampai ke hadirat-Nya dan mendekati-Nya. Adapun “rahasia jiwa” menurut kaum Sufi ialah kedalaman hati, bukan mata hati. Wallaahu a’lam

67. Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu (1)

Hikmah 67 dlm Al-Hikam:

“Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu”

النّوُرُ جُندُ القـُلوب، كَماَ أَنَّ الظُّلمَةَ جُندُ النَّفْسٍ ، فَاِذاَ أرَادَ اللهُ أَنْ يَنصُرَعَبْدَهُ، أمَدَّهُ بِجُنوُدِ الاَنْواَرِ وَقطَعَ عَنْهُ عَدَدَ الظُلمِ والاَغيَارِ

Nur (cahaya) tauhid itu sebagai pasukan (tentara) yg membantu hati, sebagaimana gelapnya syirik itu sebagai pasukan (tentara) yg membantu hawa nafsu. Maka apabila Allah menolong hamba-Nya, maka dibantunya dengan pasukan (tentara) nur Ilahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan.

Nur (cahaya) terang yg berupa tauhid, iman dan keyakinan itu sebagai pasukan (tentara) pembela dan pembantu hati, sebaliknya kegelapan syirik dan keraguan itu sebagai pasukan (tentara) pembantu hawa nafsu. Sesungguhnya nur tauhid dan gelapnya syirik keduanya akan selalu berperang, Apabila Allah menolong hambanya, maka Allah akan melenyapkan kegelapan syirik dan mengganti dengan nur tauhid. Seperti contoh, ketika hatimu ingin mengerjakan kebaikan sedangkan nafsumu mengajak pada perkara sebaliknya, maka keduanya akan berperang untuk saling mengalahkan. Ketika seperti itu, bagi hamba tidak ada jalan lain kecuali meminta pertolongan dan berserah diri kepada Allah. Dan disinilah terlihat jelas pengertian:

“Barangsiapa yg diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yg dapat menyesatkannya.”

“Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yg dapat menunjukinya.”

“Barangsiapa yg diberi petunjuk (hidayah) oleh Allah, maka ialah yg mendapat petunjuk (hidayah), dan barangsiapa yg disesatkan oleh Allah, maka tidak akan engkau mendapatkan pelindung atau pemimpin untuknya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dengan iringan tentara kalbu (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat, sebagaimana seorang raja yg di iringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yg dapat kita petik dari hikmah di atas. 

“Kegelapan”, yg merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yg mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan. 

Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirimkan bala bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yg menghambatnya untuk sampai kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yg akan membantu nafsu. 

Sebaliknya, jika Allah ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yg cenderung kepada amal shaleh (misalnya, ingin berpuasa) dan nafsu yg cenderung kepada syahwat (misalnya, ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Seperti itulah yg terjadi dalam setiap amal shaleh yg dikerjakannya hingga ia berhasil sampai ke hadirat Allah. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah. Wallaahu a’lam

68. Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu (2)

Hikmah 68 dlm Al-Hikam:

النُّورُ لهُ الكشفُ والبَصِيرَة ُلهُ الحكمُ والقـَلبُ لهُ الاِقباَلُ والاَدْبارُ

Nur yg diberikan Allah di dalam hati itu bisa membuka arti sesuatu yg samar/rahasia. Dan bashirah (mata hati) bisa menentukan hukum sesuatu sesuai apa yg dilihatnya, sedangkan hati yg melaksanakan atau meninggalkan sesuatu, sesuai apa yg telah dilihat oleh bashirah.

Nur Ilahi itu bisa membuka perkara yg samar dan rahasia seperti baiknya taat dan hinanya maksiat, rahasianya qodar dan lain², dan bashirah itu juga mempunyai hukum yakni bisa melihat seperti hal tersebut. Lalu kedua kasyaf itu terkadang kurang sempurna, sehingga hamba yg di karuniai kasyaf tidak boleh mengerjakan dan menceritakan hal² tersebut sebelum meminta fatwa pada hatinya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg dipancarkan Allah ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal ghaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal ghaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yg membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yg dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin. 

Selanjutnya, yg dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu di ikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian di ikuti oleh anggota tubuh yg lain. 

Hikmah ini juga bisa di artikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri ghaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yg akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna. 

Oleh karena itu, seorang mukasyif (yg mampu menyingkap misteri ghaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yg disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yg disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya prediksi sebagian wali ada yg tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yg disingkapkan di hadapannya itu. Wallaahu a’lam

69. Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah (1)

Hikmah 69 dlm Al-Hikam:

“Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah”

لاَ تـُفـْرِ حُكَ الطَّاعَةُ، لاَنَّهاَ بَرَزَتْ منكَ، وَافرَحْ بِهاَ لاَنَّهاَ بَرَزَتْ مِنَ اللهِ ِليكَ. قـُلْ بِفَضلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فبذٰ لكَ فَليَفْرَحُوا هُوَ خيرٌ مِمَّا يجمَعُونَ

Jangan merasa gembira atas perbuatan taat, karena engkau merasa telah dapat melaksanakannya, tetapi bergembiralah atas perbuatan taat itu, karena ia sebagai karunia, taufik dan hidayag dari Allah Ta’ala kepadamu, ‘Katakanlah, dengan merasa mendapatkan karunia dan rahmat Allah, maka dengan itu hendaknya mereka bergembira. Itulah yg lebih baik dari apa yg dapat mereka kumpulkan.’ (QS. Yunus: 58)

Gembira atas perbuatan taat itu jika karena merasa mendapat kehormatan karunia dan rahmat Allah sehingga dapat melakukan taat, maka itu lebih baik. Sebaliknya jika gembira karena merasa diri sudah kuat dan sanggup melaksanakan taat, maka ini menimbulkan ujub, sombong dan kebanggaan, padahal yg demikian itulah yang akan membinasakan amal taat. Allah Ta’ala telah memperingatkan hambanya yg sombong dan ujub (mengagungkan diri) dengan firmannya dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yg mengambil salah satu dari kedua hal tersebut dari-Ku, maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yg semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah telah menganugrahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yg terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut. 

Syaikh Ibnu Atha‘illah mendasari hikmah itu atas firman Allah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yg mereka kumpulkan.” (QS. Yunus (10): 58)

Ketaatan yg bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu. Wallaahu a’lam

70. Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah (2)

Hikmah 70 dlm Al-Hikam:

قطَعَ السَّاءـرينَ لهُ، والواَصِلينَ مِنْ رُوءْيَةِ أعْمالهِمْ ، وَشُهُودِ أحْوالهِمْ. أمَّاالسّاءـرُونَ فَلاَِ َنَّهُمْ لَمْ يَتحَقــَّقوا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيهاَ. أمَّ الواَصِلوُنَ فَلاَِ َنَّهُمْ غيبهُمْ بِشُهُودِهِ عَنْهاَ

Allah membuat orang² yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang² yg telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa’irun belum benar2 ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.

Sehingga apabila ada amal perbuatan diri sendiri, maka itu hanya karunia, taufik dan rahmat Allah Ta’ala semata-mata. Tanda bahwa Allah telah memberi taufik dan hidayah pada seorang hamba, apabila disibukkan hamba itu dengan amal perbuatan taat, tetapi diputuskan dari pada ujub dan arogan dengan amal perbuatan itu, karena merasa belum tepat mengerjakannya, atau karena merasa bahwa perbuatan itu semata-mata karunia Allah, sedang ia sendiri merasa tiada berdaya untuk melaksanakan andaikan tiada karunia dan rahmat Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah menghalangi pandangan para sa’irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memperhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama² dihalangi, penyebabnya berbeda. Pandangan para sa’irun dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain dzat-Nya. 

Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sa’irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yg kedua lebih tinggi daripada yg pertama. 

Oleh sebab itu, Al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yg diperintahkan oleh Syaikh mereka. Mereka menjawab, ”Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memperhatikan kekurangan di dalam ketaatan yg kami lakukan itu.” 

Kemudian Al-Washiti berkata, ”Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran² kaum Majusi. Maukah kalian kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” Maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang² ‘arif, bukan merendahkan apa yg mereka alami karena hal itu juga termasuk kebaikan. Wallaahu a’lam

71. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (1)

Hikmah 71 dlm Al-Hikam:

“Tamak Akan Melahirkan Kehinaan”

ماَ سَبَقتْ اَغْصاَنَ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ

Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak (kerakusan).

Sifat tamak bagian dari besarnya aib yg mencela sifat kehambaan. Tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.

Sifat tamak (rakus) itu adalah sumber dari segala penyakit hati, karena tamak itu hanya bergantung pada manusia, minta tolong pada manusia, bersandar pada manusia, mengabdi pada manusia, yg demikian itu temasuk kehinaan, sebab ragu² dengan takdirnya Allah Ta’ala.

Abu Bakar al-Warraq al-Hakim berkata: “Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, ‘Siapakah ayahmu?’ Pasti jawabnya, ‘Ragu terhadap takdir Allah’. Dan bila ditanya, ‘Apakah pekerjaanmu?’ Jawabnya, ‘Merendahkan diri dan mencari kehinaan’. Dan bila ditanya, ‘Apakah tujuanmu?’ Jawabnya, ‘Memiskinkan seseorang.”

Suatu hikayat mengatakan: “Ketika Sayyidina Ali bin Abu Thalib kw. baru masuk ke masjid Jami’ di Bashrah, didapatinya banyak orang yg memberi ceramah di dalamnya. Maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan yg ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, maka mereka di usir dan tidak di izinkan memberi ceramah di masjid itu, dan ketika sampai ke majelis Hasan al-Basri, ia bertanya, ‘Wahai para pemuda! Aku akan bertanya kepadamu sesuatu hal, jika engkau dapat menjawab, aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, aku usir engkau sebagaimana teman²mu yg lain, telah aku usir itu’.

Jawab Hasan al-Basri, ‘Tanyakan sekehendakmu’.

Sayyidina Ali bertanya, ‘Apakah yg mengokohkan agama?’

Jawab Hasan, ‘Wara’ (menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yg bersifat syubhat dan haram).

Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi, ‘Apakah yg dapat merusak agama?’

Jawab Hasan, ‘Tamak (rakus)’.

Imam Ali berkata kepadanya, ‘Duduklah! Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang seperti engkaulah yg layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’-nya orang² khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’-nya orang² biasa (awam) yg baru sebatas meninggalkan perkara² syubhat’.”

Seorang Guru berkata: “Dahulu ketika dalam permulaan bidayahku di Iskandariyah, pada suatu hari ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seseorang yg mengenal aku, timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini, tiba² terdengar suara yg berbunyi, ‘Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk’.”

Wara’ dalam agama itu menunjukkan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah Ta’ala. Wara’ yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian, penerimaan atau penolakan, dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah Ta’ala.

Sahl bin Abdullah berkata: “Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, karena itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.”

Semua hamba pasti akan makan rezeki-Nya, hanya berbeda-beda, ada yg makan dengan kehinaan, yaitu peminta-minta. Ada yg makan rezeki-Nya dengan bekerja keras, yaitu para buruh, ada yg makan rezeki-Nya dengan cara menunggu, yaitu para pedagang yg menunggu sampai ada yg membeli barang²nya. Adapun yg makan rezeki-Nya dengan rasa mulia, yaitu orang² sufi yg merasa tidak ada perantara dengan Tuhan.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan²nya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Syaikh Ibnu Atha‘illah berkata, “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yg dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.” 

Ketamakan merupakan sikap tercela yg dapat merusak ‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yg telah ditakdirkan Allah. Wallaahu a’lam

72. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (2)

Hikmah 72 dlm Al-Hikam:

ماَ قاَدَكَ شىءٌ مثـل الوَهْمِ

Tiada sesuatu yg dapat menuntun/memimpin engkau (pada kehinaan) seperti angan² (bayangan yg kosong).

Wahm ialah tiap² angan² terhadap sesuatu selain dari Allah, yg berarti angan² yg tidak mungkin terjadi. Dan biasanya nafsu itu lebih tunduk pada wahm/angan², dari pada pada akalnya. Sebagai contoh: manusia itu biasanya lari apabila melihat ular, karena dia berangan-angan ular itu akan menggigit dirinya. Apabila dia (nafsunya) tunduk pada akalnya, tentu dia tidak lari. Karena apa² yg sudah ditentukan Allah pasti wujud, dan sebaliknya.

Ingatlah, tidak ada orang yg bisa selamat dari sifat tamak, kecuali orang yg khusus yaitu orang² yg ahli Qana’ah dan berserah diri pada Allah, yg hatinya sama sekali tidak bergantung pada makhluk (manusia).

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Angan² adalah sesuatu yg teramat buruk. Selain karena merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan² sebenarnya adalah perkara yg tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa selalu lebih tunduk kepadanya daripada kepada akal. 

Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa takut kepada ular karena ia menyangka bahwa ular itu berbahaya. Bahkan, ia takut bila melihat seutas tali yg melingkar sebab ia mirip dengan ular. Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena segala hal yg ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.

Oleh sebab itu, tak seorang pun yg selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yg ada di tangan mereka, kecuali para ahli wara’ dari kalangan khawwash. Mereka adalah orang² yg selalu qana’ah dan tawakkal. Di hati mereka tiada lagi hubungan antar makhluk. Mereka tidak lagi memperdulikan rezeki. Wallaahu a’lam

73. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (3)

Hikmah 73 dlm Al-Hikam:

أنْتَ حُرُّمِمَّا اَنتَ عَنْهُ أيِسٌ وَعَبْد ٌ لمَا اَنتَ لهُ طاَمعُ

Engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yg tidak engkau butuhkan, dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yg engkau inginkan.

Hikmah ini menunjukkan hinanya tamak, dan baiknya qana’ah.

Andaikan tidak ada keinginan² yg palsu dan sifat tamak, pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yg tidak berharga.

العبد حرّماقنع ٭ والحرُّعبد ٌماطمع

Budak itu merdeka/bebas selagi dia menerima pembagian dari Allah (qana’ah) *orang merdeka itu menjadi budak selagi dia tamak.

Qana’ah yaitu: tenangnya hati karena tidak adanya sesuatu yg sudah biasa ada. Dan qana’ah itu awal dari pada sifat zuhud.

Suatu hikayat:

Burung elang (rajawali) yg terbang tinggi di angkasa raya, sulit orang akan dapat menangkapnya, tetapi ia melihat sepotong daging yg tergantung pada perangkap, maka ia turun dari angkasa oleh karena sifat tamaknya (rakusnya), maka terjebaklah ia dari perangkap itu sehingga ia menjadi permainan anak² kecil.

Fateh al-Maushily ketika ditanya tentang ibarat orang yg menurutkan nafsu syahwat dan sifat tamaknya (rakusnya), sedang tidak jauh dari tempat itu ada dua anak sedang makan roti, yg satu hanya makan roti, sedang yg kedua makan roti dengan keju, lalu yg makan roti ingin yg keju, maka ia berkata kepada temannya:

“Berilah kepadaku keju.” Jawab temannya: “Jika engkau suka jadi anjingku, aku beri keju.”

Jawab anak yg meminta: ‘Baiklah.’

Maka di ikatlah lehernya dengan tali sebagai anjing dan dituntun.

Berkata Fateh kepada orang yg bertanya: “Andaikata anak itu tidak tamak (rakus) pada keju, niscaya ia tidak menjadi anjing.”

Suatu kejadian, ada seorang murid didatangi oleh Gurunya, maka ia ingin menjamu Gurunya, maka ia keluarkan roti tanpa lauk pauk, dan tergerak dalam hati si murid sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna. Dan setelah selesai Sang Guru makan apa yg di hidangkan itu, berdirilah Sang Guru dan mengajak si murid keluar tiba² ia dibawa ke penjara untuk ditunjukkan berbagai macam orang yg dihukum, baik yg dirajam atau dipotong tangannya dan lain², lalu berkatalah Sang Guru kepada muridnya:

Semua orang² yg engkau lihat itu, yaitu orang yg tidak sabar makan roti saja tanpa lauk pauk.

Ada seorang yg baru dikeluarkan dari penjara, yg masih terikat kakinya dengan rantai, ia meminta-minta sepotong roti kepada seseorang, maka berkatalah orang tempatnya meminta:

Andaikata sejak dulu engkau mau menerima sepotong roti, maka tidak akan terikat kakimu itu.

Dalam hikayat lain dikisahkan:

Ada seseorang melihat seorang hakim sedang makan buah yg jatuh ke sungai, maka orang itu berkata, ‘Wahai bapak hakim, sekiranya engkau mau bekerja pada Baginda Raja tentu engkau tidak sampai makan buah yg jatuh ke dalam sungai.

Lalu dijawab oleh sang hakim:

Andaikan engkau suka menerima makanan ini, tidak perlu menjadi budaknya Raja.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ini adalah dalil lain yg menunjukkan betapa buruknya ketamakan dan terpujinya keengganan terhadap para makhluk dan sikap qana’ah terhadap rezeki yg sudah dibagi. 

Ketamakan pada sesuatu sama saja dengan penghambaan terhadap sesuatu itu. Sementara itu, keengganan terhadap sesuatu adalah bentuk kebebasan dari sesuatu itu. Keengganan itu membuktikan ketidaktertarikan dan ketidakbutuhan hati terhadap sesuatu itu. Orang yg tamak akan menjadi budak, sedangkan orang yg enggan (terhadap sesuatu) akan menjadi orang yg merdeka. 

Oleh sebab itu, dikatakan, ”Seorang budak akan merdeka selama ia puas. Seorang yg merdeka akan menjadi budak selama ia tamak.” 

Sifat qana’ah adalah sikap tenang saat hilangnya sesuatu yg biasa ada. Ini adalah awal langkah zuhud. Wallaahu a’lam

74. Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah (1)

Hikmah 74 dlm Al-Hikam:

“Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah”

مَنْ لَمْ يُقبِلْ على اللهِ بِمُلاَ طفاَتِ الاِحْساَنِ قـُيِّدَ اليْهِ بِسلاَسِلِ الاِمتِحاَنِ

Barangsiapa yg tidak suka menghadap kepada Allah dengan halusnya pemberian karunia Allah, maka akan diseret supaya ingat kepada Allah dengan rantai ujian (musibah).

Ada dua perkara yg menjadikan seorang hamba itu bisa taat dan menghadap kepada Allah, yaitu:

1. Datangnya nikmat dari Allah pada dirinya, sehingga dia mau bersyukur dan menghadap taat kepada Allah.

2. Datangnya macam² musibah dan bencana pada dirinya atau hartanya, lalu ia bisa sadar dan kembali kepada Allah.

Terkadang musibah itu juga bisa menjadi sebab ia meninggalkan bergantung pada dunia dan hanya bergantung pada Allah. Karena yg di inginkan Allah pada hambanya yaitu kembalinya hamba kepada Allah dengan cara menurut (ridho) atau dipaksa.

Barangsiapa yg tidak suka sadar dan dzikir (ingat) kepada Allah ketika sehat dan murah rezeki, maka akan dipaksa supaya dzikir (ingat) kepada Allah dengan tibanya musibah (bencana). Maka dalam kedua hal itu Allah berkenan akan menuangkan nikmat karunia yg sebesar-besarnya kepada hamba-Nya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Orang yg tidak mendekat kepada Allah meski telah diberi berbagai kenikmatan akan dipaksa mendekat kepada Allah melalui berbagai macam musibah. Artinya, kedekatan seorang hamba kepada Allah terjadi melalui dua proses. 

Pertama, dengan diturunkannya nikmat kepadanya sehingga dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut dan bersiap melayani-Nya.

Kedua, dengan diturunkannya musibah yg menimpa tubuh atau hartanya sehingga dia akan berlindung kepada Allah dan meminta-Nya agar mengangkat musibah itu. Mungkin, itu akan menjadi sebab dia meninggalkan keduniaan dan hanya mau bergantung kepada Allah. Allah menghendaki para hamba-Nya kembali kepada-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa. Wallaahu a’lam

75. Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah (2)

Hikmah 75 dlm Al-Hikam:

مَنْ لَمْ يَشكُرِ النِّعَمِ فَقدْ تـَعَرَّضَ لِزَوَالِهاَ ومن شَكرَهاَ فقد قـَيَّدَ بِعِقاَلهاَ

Barangsiapa yg tidak mensyukuri nikmat Tuhan, maka berarti berusaha untuk menghilangkan nikmat itu, dan barangsiapa mensyukuri nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yg kuat.

Mensyukuri nikmat itu berarti menetapkan dan menambah nikmat itu, firman Allah Ta’ala:

“Lain syakartum la adziydannakum.”

(Kalau kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat bagimu).

Bersyukur itu ada kalanya dengan hati, yaitu sadar kalau kenikmatan itu semua datang dari Allah, firman Allah Ta’ala:

“Wamaa bikum min ni’matin faminallahi.”

(Tiada terjadi suatu nikmat bagimu, maka itu dari Allah).

Ada kalanya dengan lisan, yaitu dengan menceritakan nikmat itu pada orang lain. Firman Allah Ta’ala:

“Wa ammaa bini’mati Rabbika fahaddits.”

(Adapun terhadap nikmat pemberian Tuhanmu, maka pergunakanlah/ceritakan dan sebarkan).

Dan ada kalanya dengan anggota badan, yaitu dengan taat kepada Allah sehingga jangan sampai anggota tubuh digunakan untuk melakukan perkara yg tidak diridhoi Allah.

Nu’man bin Basyir ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yg tidak mensyukuri nikmat yg sedikit, maka tidak akan dapat mensyukuri nikmat yg banyak, dan barangsiapa yg tidak berterima kasih kepada sesama manusia berarti tidak dapat bersyukur (berterima kasih) kepada Allah.”

Syukur ialah merasa dalam hati, dan menyebut dengan lidah, dan mengerjakan dengan anggota badan.

Syaikh Junaid al-Baghdadi qs. berkata:

“Ketika aku berusia tujuh tahun dan hadir dalam majelis As-Sari as-Saqathi, tiba² aku ditanya:

Apakah arti syukur?

Jawabku: Syukur ialah tidak menggunakan suatu nikmat yg diberikakan Allah untuk berbuat maksiat.

As-Sari berkata:

Aku khawatir kalau bagianmu dari karunia Allah hanya dalam lidahmu belaka.

Al-Junaid berkata:

Maka karena kalimat yg dikeluarkan oleh As-Sary itu aku selalu menangis, khawatir kalau benar apa yg dikatakan oleh As-Sary itu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Syukur nikmat akan membuat nikmat itu abadi dan semakin bertambah. Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim (14): 7)

Sementara itu, kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu hilang. Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yg ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d (13): 11)

Artinya, jika mereka mengubah ketaatan mereka, yaitu dengan tidak mensyukuri nikmat yg diberikan-Nya, Allah tidak akan memberi mereka kebaikan dan kemurahan-Nya. 

Syukur nikmat bisa diwujudkan dengan hati, yaitu kita sadar bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan apa saja nikmat yg ada pada kamu maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl (16): 53)

Bisa pula diwujudkan dengan lisan, yaitu dengan membicarakan nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu siarkan ( bicarakan).” (QS. Adh-Dhuha (93): 11)

Bisa juga dilakukan dengan anggota tubuh, misalnya dengan menggunakannya di jalan ketaatan kepada Allah dan menjauhkannya dari hal yg tidak diridhai-Nya. Wallaahu a’lam

76. Karunia Atau Istidraj?

Hikmah 76 dlm Al-Hikam:

Karunia Atau Istidraj?

خـَفْ مِنْ وُجُودِ اِحْساَنِهِ اِلَيْكَ وَدَوامِ اِساَءَتِكَ مَعَهُ اَنْ يكونَ ذٰلِكَ اِسْتِدْراَجاًلكَ، سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْسُ لاَيَعْلموُنَ

Berhati-hatilah bila kebaikan Allah selalu kau dapatkan bersamaan dengan maksiat yg terus kau lakukan! Berhati-hatilah! Bisa jadi, itu adalah awal kehancuranmu yg berangsur-angsur. Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ( ke arah kebinasaan) dengan cara yg tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf (7): 182)

Hikmah ini menjadi jawaban soal dari hikmah sebelumnya, yakni: kita tahu banyak yg tidak mensyukuri nikmat, tetapi nikmatnya tidak hilang bahkan bertambah. Itu semua istidraj dari Allah Ta’ala.

Istidraj, ialah mengulur, memberi terus menerus supaya bertambah lupa kemudian dibinasakan, juga berarti memperdaya.

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتّٰىٓ إِذَا فَرِحُوا بِمَآ أُوتُوٓا أَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yg telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu² kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yg telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am (6): 44)

Demikianlah sebuah ibarat istidraj, tiap² seseorang berbuat dosa ditambah dengan nikmat, dan dilupakan untuk meminta ampun (istighfar) atas kesalahannya itu.

Ada yg berpendapat bahwa setiap kali mereka membuat kesalahan baru, maka Allah akan menambah nikmat untuk mereka dan membuat mereka lupa memohon ampunan atas kesalahan itu. 

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Kita sering melihat banyak manusia yg tidak bersyukur atas nikmat Allah, namun nikmat itu tidak hilang dari mereka. Bisa jadi, hal itu merupakan proses penarikan nikmat yg dilakukan secara berangsur-angsur oleh Allah. Karena prosesnya yg berangsur-angsur itu, mereka pun tidak menyadarinya. Namun, berikutnya Allah akan merampas seluruh nikmat itu dari mereka secara tiba².

Ada yg mengatakan, maksud ayat itu ialah, Allah akan terus memberi mereka nikmat dan membuat mereka lupa bersyukur. Jika mereka sudah bergelimang kenikmatan dan terhalang dari Pemberi nikmat, seluruh kenikmatan itu akan direnggut dari mereka secara tiba². Wallaahu a’lam

77. Sanksi yg Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj

Hikmah 77 dlm Al-Hikam:

“Sanksi yg Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj (Sanksi yg Ditimpakan secara Berangsur-angsur dan Tanpa Disadari)”

مِنْ جَهْلِ المُرِيدُ اَنْ يَنسِىء الاََدَبَ، فَتُوءَخِرُ العُقـُوْبَة ُ عَنْهُ فَيَقوُلُ، لَوْكاَنَ هٰذَا سُوْءَ اَدَبٍ لَقطَعَ الاِمداد وَاَوجب الاِبعادُ، فقد يقطعُ المَدَدُ عنهُ مِنْ حيثُ لاَ يَشْعُرُ ولَولَمْ يَكُنْ الاَ منعَ المَزِيدِ وقدْ يُقاَمُ مقاَمَ البُعْدِ وهُوَ لاَيَدْرِي ولَولَمْ يَكُنْ الاَّ اَنْيُخَلِّيَكَ وَماَتُرِيْدُ

Di antara tanda kebodohan seorang murid adalah jika bersikap tidak sopan, tetapi hukuman untuknya ditangguhkan, ia justru berkata, “Jika ini adalah sikap tidak sopan, tentu aku sudah tidak ditolong lagi dan dijauhi.” Bisa jadi, ia memang sudah tidak ditolong lagi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa tidak ditambahnya pertolongan. Bisa jadi pula sebenarnya ia telah dijauhi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa pembiaran dirinya dengan keinginannya.

Putusnya bantuan dari Allah adalah awal dari hijab. Jadi apabila murid sudah mulai terhijab sehingga ibadahnya tidak bisa khudhur kepada Allah, itu menjadi sebab gugurnya murid dari perhatian Allah, dan akan datang hijab dalam hatinya.

Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata: “Ketika aku sedang menunggu jenazah bersama orang² banyak yg akan di shalatkan di masjid As-Syuniziyah, tiba² ada seorang pengemis miskin meminta-minta, maka dalam hatiku berkata, ‘Andaikan orang itu bekerja sedikit² supaya tidak meminta-minta, tentu akan lebih baik baginya’. Dan ketika pada malam harinya, aku akan mengerjakan wirid yg biasa aku kerjakan pada tiap malam, terasa sangat berat dan tidak dapat berbuat apa², sambil duduk akhirnya tertidurlah mataku. Tiba² aku bermimpi, orang² datang membawa orang miskin itu di atas talam (baki), dan orang² itu berkata kepadaku, ‘Makanlah daging orang ini sebab engkau telah meng-ghibah padanya’. Maka langsung aku terbangun dan sadar, dan aku tidak merasa ghibah padanya, hanya tergerak dalam hati, tetapi aku diperintahkan meminta halal kepada orang itu, maka tiap hari aku berusaha mencari orang itu, akhirnya bertemu di tepian sungai sedang mengambil daun²an yg rontok untuk dimakan dan ketika aku memberi salam kepadanya, langsung ia berkata, ‘Apakah kamu akan mengulangi lagi wahai Abul Qasim?’ Jawabku, ‘Tidak’. Maka ia berkata, ‘Semoga Allah mengampuni kami dan kamu’.”

Tanda² seseorang mendapat taufik itu ada tiga:

1.Mudah mengerjakan amal kebaikan, padahal ia tidak berniat dan bukan tujuannya.

2.Berusaha untuk berbuat maksiat, tetapi selalu terhindar dari padanya.

3.Selalu terbuka baginya kebutuhan dan hajat kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan tanda² seseorang yg dihinakan oleh Allah juga ada tiga:

1.Sulit melakukan ibadah dan taat, padahal ia sudah berusaha sungguh².

2.Mudah terjerumus ke dalam maksiat, padahal ia berusaha menghindarkannya.

3.Tertutupnya pintu kebutuhan atau hajat kepada Allah, sehingga merasa tidak perlu berdoa dalam segala hal.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Tuhan telah mendidik aku sebaik-baik didikan dan menyuruhku melakukan akhlak yg sebaik-baiknya.”

Dalam satu ayat:

Ambillah hati mereka dengan suka memaafkan, dan anjurkan perbuatan² yg baik dan mudah, abaikanlah orang² yg masih bodoh, (jangan dituntut) mereka yg masih bodoh itu.

Seorang sufi kehilangan anak, hingga tiga hari tidak mendapat beritanya, maka ada orang yg berkata kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak minta kepada Allah, supaya mengembalikan anak itu kepadamu?’ Jawab sang sufi, ‘Tantanganku terhadap putusan Allah itu akan lebih berat bagiku dari pada hilangnya anak.’

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darany qs. berkata: “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud as., ‘Sesungguhnya Aku menjadikan syahwat hanya untuk orang² yg lemah dari para hamba-Ku, karena itu waspadalah jangan sampai hatimu tertawan oleh syahwat itu, sebab seringan-ringan siksa untuknya ialah Aku cabut manisnya rasa cinta kepada-Ku dari dalam hatinya.”

Dan dalam bagian lain Allah berfirman kepada Nabi Dawud as., “Wahai Dawud! Berpeganglah pada ajaran-Ku, dan tahanlah nafsumu untuk ketenangan dirimu, jangan sampai engkau tertipu daripadanya, niscaya engkau terhijab dari cinta-Ku, putuskan syahwatmu untuk Aku, sebab Aku hanya memberikan syahwat itu untuk hamba-Ku yg lemah, untuk apakah orang² yg kuat akan memuaskan syahwat. Padahal ia akan mengurangi kelezatan bermunajat kepada-Ku, sebab Aku tidak merelakan dunia ini untuk kekasih-Ku, bahkan Aku bersihkan ia dari padanya.

Wahai Dawud! Jangan engkau mengadakan antara-Ku dengan engkau suatu alam yg dapat menghijab engkau karena mabuk pada alam itu daripada cinta kepada-Ku, mereka hanya perampok di tengah jalan terhadap hamba-Ku yg baru berjalan. Usahakanlah untuk meninggalkan syahwat dengan banyak puasa.

Wahai Dawud! Cintailah Aku dengan memusuhi hawa nafsumu, dan tahanlah dari syahwatnya, niscaya engkau melihat kepada-Ku, dan engkau akan dapat melihat yg terbuka antara-Ku dengan engkau’.”

Syaikh Ibrahim bin Adham ra. berkata: ”Seseorang tidak akan mencapai derajat orang² shaleh, kalau tidak melalui enam rintangan:

1. Menutup pintu kemuliaan, membuka pintu kehinaan.

2. Menutup pintu nikmat, membuka pintu kesulitan.

3. Menutup pintu istirahat, membuka pintu perjuangan.

4. Menutup pintu tidur, membuka pintu jaga.

5. Menutup pintu kekayaan, membuka pintu kemiskinan.

6. Menutup pintu harapan, membuka pintu siaga menghadapi maut.”

Syaikh Ibrahim al-Khawwash ra. berkata: ”Ketika aku di tengah perjalanan tiba² merasa lapar, sehingga sampai di kota Array, maka aku berkata dalam hati, ‘Di sini aku banyak sahabat, maka jika aku bertemu tentu mereka akan menjamuku, maka ketika aku telah masuk ke dalam kota, tiba² aku melihat perbuatan² mungkar (maksiat), dan aku merasa berkewajiban mencegah kemungkaran. Tiba² aku ditangkap dan dipukuli oleh orang².’ Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, ‘Mengapa aku dipukuli oleh semua orang padahal aku ini lapar.’ Tiba2 di ingatkan dalam hatiku, ‘Engkau mendapat hukuman itu karena engkau mengharap dijamu oleh sahabat²mu’.”

Firman Allah dalam salah satu wahyu-Nya (kepada Nabi Dawud as.): ”Sesungguhnya seringan-ringan siksa-Ku terhadap orang alim jika ia mengutamakan syahwatnya daripada cinta-Ku, maka Aku haramkan daripada merasakan kelezatan bermunajat kepada-Ku.”

Sangat penting bagi murid:

Imam al-Qusyairy berkata: Siapa saja yg menjadi murid salah satu guru sufi/tarekat, lalu menentang gurunya dengan hati, berarti dia sudah merusak perjanjiannya menjadi murid, dan murid tersebut harus bertobat.

Apabila ada seorang salik yg bermaksud wushul, tapi tidak bisa wushul itu disebabkan menentang pada gurunya, karena guru sufi/tarekat (yg sudah menetapi syarat) itu menjadi penunjuk jalan bagi para murid.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Bersikap tidak sopan bisa terjadi terhadap Allah, guru, manusia, bisa pula terhadap diri sendiri. Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap Allah adalah melanggar perintah-Nya, mentaati aturan selain aturan-Nya, mengeluhkan hukum²Nya yg dianggap memberatkan, dan mengadukan penderitaannya kepada makhluk. 

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap guru adalah membangkang dan tidak mau menerima nasehat dan saran mereka. 

Sebagian orang berkata, ”Membangkang kepada guru tidak ada tobatnya.” 

Bahkan, ada yg mengatakan, ”Siapa yg berkata ‘mengapa’ kepada gurunya maka ia tidak akan pernah beruntung.”

Imam al-Qusyairy berkata, ”Siapa yg menemani seorang guru, namun kemudian membangkang dalam hatinya, berarti ia telah melanggar akad persahabatan itu dan harus segera bertobat.” 

Jika seorang salik mendapati dirinya belum juga sampai ke tujuannya, hendaknya ia sadar bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh pembangkangannya secara diam² terhadap guru²nya. Karena guru ibarat duta bagi para murid di hadapan Tuhan.  

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap diri sendiri adalah mengedepankan pemenuhan “syahwat yg di halalkan” daripada pemenuhan kewajiban yg sudah ditetapkan Allah. 

Orang yg bersikap tidak sopan bisa saja tidak segera dihukum. Misalnya, tidak langsung diberi penyakit atau petaka, baik yg menimpa tubuhnya maupun batinnya. Namun, Allah akan menghentikan bantuan kepadanya dan menjauhinya. Itulah awal mula terhijabnya ia dari Allah. 

Saat seorang murid tidak lagi mendapat pertolongan dan rahmat Allah ia akan jatuh di hadapan Allah dan terjuntailah tirai hijab di hatinya. Kerinduannya kepada Allah akan berganti menjadi keterasingan. Demikian pula saat seorang murid dijauhi-Nya, akan terurailah hijab yg menutupi dan menghalangi hatinya untuk masuk ke hadirat-Nya. Wallaahu a’lam

78. Dua Macam Hamba Allah: Muqarrabin dan Abrar

Hikmah 78 dlm Al-Hikam:

“Dua Macam Hamba Allah: Muqarrabin dan Abrar”

اِذاَ رَأيْتَ عَبْداً أقاَمهُ اللهُ تعالى بِوُجُودِ الاَورَدِ وَاَدَمَهُ عليهاَ مَعَ طُولَ الامساَدَ فَلاَ تـَسْتحْقِرَنَّ ماَمنَحَهُ مَولاهُ لاَنَّكَ لم تَرَعليهِ سِيماَ العاَرِفِينَ ولاَ بَهْجَةَ المُحِبِّينَ فَلولاَ واَرِدٌ ماكاَنَ وِرْدٌ

Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yg telah ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang² ‘arif atau keelokan kaum pecinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.

Wirid ialah macam²nya ibadah yg dikerjakan oleh hamba, seperti shalat, puasa, dzikir dan lainnya.

Jadi apabila kau merendahkan pemberian Allah pada sebagian hamba yg berupa wirid itu berarti kau kurang tata krama pada hamba tersebut.

Hamba Allah yg mendapat keistimewaan dari Allah ada dua macam:

1. Muqarrabin, yaitu mereka yg telah dibebaskan dari kepentingan nafsunya, dan ia hanya sibuk menunaikan ibadah dan taat kepada Tuhan, karena merasa sebagai hamba yg mengharapkan keridhaan Allah semata-mata, dan mereka yg disebut ‘arifin, muhibbin.

2. Abrar, yaitu mereka yg masih merasa banyak kepentingan dunia/nafsu keinginannya, dan mereka juga mengerjakan ibadah kepada Allah, mereka masih menginginkan masuk surga dan selamat dari neraka. Dan mereka yg dinamakan zahid ‘abid.

Dan masing² mendapat karunia sendiri² di dalam tingkat derajatnya yg langsung dari Allah Ta’ala.

Sebenarnya seseorang yg mendapat taufik dan hidayah dari Allah, sehingga dia istiqamah dalam menjalankan suatu wirid (taat ibadah), berarti telah mendapat karunia dan rahmat yg besar sekali, sebab ia telah diberi kunci oleh Allah untuk membuka dan menghasilkan karunia yg lain dari kebesaran Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Ditolong” ialah dipalingkan dari kesibukan² yg membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna ”dilanggengkan” di sini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid. 

“Tanda orang² ‘arif“ ialah karakter orang² ‘arif yg meninggalkan ikhtiar dan tidak memperdulikan nasib dan keinginan dari mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “keelokan para pencinta Tuhan” ialah bukti² dan pengaruh cinta yg tampak pada diri orang² yg mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berdzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya, dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha untuk melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya. 

Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni yg istiqamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda² kaum ’arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istiqamah dalam berwirid. 

“Wirid” bermakna segala amal ibadah yg dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, dzikir, maupun ibadah lainnya. Dengan demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya. 

Kesimpulannya, hamba² Allah yg khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabiin dan abrar. Muqarrabin adalah orang² yg tidak memperdulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak² Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari ridha-Nya. Mereka adalah kaum ’arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, abrar ialah orang² yg dalam ibadah mereka masih memperdulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka masing². Wallaahu a’lam

79. Orang-orang yang Melayani-Nya dan yang Mencintai-Nya

Hikmah 79 dlm Al-Hikam:

قومٌ اَقاَمهُمُ الحَق ُّ لِخِدمتِهِ وقومٌ اِخـْتصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ ،كُلا ًّنُمِدُّ هٰـءوُلاَءِ وهٰـءُولاَءِ من عطاَءِ رَبِّكَ وماكانَ عَطاءُ رَبِّكَ كانَ مَحْظُوراً

Ada orang² yg Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Ada pula orang² yg Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap² golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (QS. Al-lsra’ (17): 20)

Allah sendiri yg memilih hamba-Nya, maka ada yg dipilih untuk melaksanakan ibadah yg lahir, ialah mereka para ‘abid dan zahid, dan ada pula yg dipilih oleh Allah untuk Kesayangan (Kekasih) Allah dan mereka ini orang² ‘arif dan muhibbin yg tidak ada tempat dalam hati mereka kecuali dzikrullah semata-mata.

Menganggap dunia ini kosong tidak ada apa² kecuali Allah yg menciptakan dan melaksanakan segala sesuatunya.

Jadi ketika hamba melihat pada pilihan Allah atas hamba-Nya dan mengkhususkan kedudukan pada hamba tersebut, bisa menjadikan si hamba tidak memandang rendah pada kedudukan yg telah Allah berikan kepada sebagian hamba. Syeikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Allah Ta’ala melihat hati para hamba (kekasih-Nya), lalu sebagian ada yg tidak pantas/kuat memikul beratnya nur makrifat, lalu Allah menyibukkan hamba tersebut dengan ibadah.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan “orang² yg melayani-Nya” adalah orang² yg mentaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zahid dan ‘abid yg layak menempati surga-Nya. Sementara itu, yg dimaksud dengan “orang² yg mencintai-Nya” adalah para muhibbin dan ‘arif yg didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama² ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati. 

Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yg memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut. Wallaahu a’lam

80. Warid Terjadi Secara Tiba-Tiba

Hikmah 80 dlm Al-Hikam:

قَـلَّما تَكونُ الواَرِداَتُ الاِلٰهِيَّة ُ اِلاَّ بَغْتَة ً لـءَـلاَّ يَدَّعِيَهاَ العِبَادُ بِوجوُدِ الاِسْتِعدادِ

Jarang sekali terjadi karunia besar dari Allah (warid) itu kecuali datang secara mendadak (tiba²), supaya tidak ada orang yg mengaku bahwa ia dapat karena telah mengadakan persiapan untuk menerima karunia itu.

Yg dimaksud warid disini adalah ilmu² Wahbiyyah dan ilmu yg halus yg berhubungan dengan kemakrifatan, yg oleh Allah diberikan pada hamba²Nya.

Dan pemberian itu biasanya dalam kondisi mendadak tanpa persiapan seperti shalat, puasa dll. Supaya hamba tidak mengku-aku bahwa dia ahli warid/kehebatan.

Singkatnya: Warid itu hadiah dan anugrah dari Allah, jadi bukan hasil setelah mengerjakan macam²nya ibadah.

Allah mewahyukan kepada Nabi Musa as.: “Tahukah engkau mengapakah Aku mengangkat engkau sebagai Nabi yg langsung mendengar kalam-Ku?”

Jawab Nabi Musa as.: “Engkau yg lebih mengetahui.”

Allah berfirman: “Ketika Aku larikan semua kambing Nabi Syu’aib yg dipelihara itu, sehingga dengan susah payah engkau mengejar kambing² itu, sehingga dengan susah payah engkau mengejar kambing² itu untuk mengembalikannya, tetapi kemudian setelah kembali semuanya engkau tidak merasa jengkel/marah, maka itulah sebabnya.”

Dalam hadits, seorang pelacur yg memberi minum seekor anjing, tiba² Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni semua dosanya. Demikianlah kehormatan dan karunia besar dari Allah itu, tidak dapat diraba oleh manusia, dan selalu diberikan oleh Allah secara tiba², supaya tidak ada orang yg berbangga dengan amal perbuatannya. Wallaahu a’lam

81. Menjawab Semua yang Ditanyakan adalah Tanda Kebodohan

Hikmah 81 dlm Al-Hikam:

“Menjawab Semua yang Ditanyakan adalah Tanda Kebodohan”

مَنْ رَاَيْتـَهُ مُجِيْباً عنْ كُلِّ ماَ سُـءِـلَ وَمُعَبَِّراً عَنْ كُلِّ مَا شـَهِدَ وَذاكِراً كُلَّ ماَ علمَ فاَسْتَدِلَّ بذَٰ لكَ عن وجُودُ جَهلِهِ

Barangsiapa yg selalu menjawab segala pertanyaan, dan menceritakan segala sesuatu yg telah dilihat (mata hatinya), dan menyebut segala apa yg ia ingat (ketahui), maka ketahuilah bahwa yg demikian itu adalah tanda kebodohan orang itu.’

Menjawab segala pertanyaan yg berhubungan dengan ilmu batin yg dituangkan oleh Allah ke dalam hati orang² ‘Arifin, menunjukkan adanya kebodohan, demikian pula jika menceritakan segala yg dilihat, sebab semua itu berupa rahasia Allah yg diberikan kepada seorang hamba-Nya, maka jika diterangkan kepada bukan ahlinya, hanya akan menjadikan bahan ejekan dan pendustaan belaka. Karena itu yg menerangkan/menceritakan termasuk orang yg bodoh.

Para ulama’ sufi/tarekat mengatakan: Hati orang merdeka itu kuburan dari Sirr (rahasia Ketuhanan). Dan Sirr itu amanah dari Allah kepada hamba tersebut, barang siapa menerangkan Sirr itu berarti dia khianat. Jadi semua yg diketahui tidak boleh diterangkan kecuali dengan isyarat.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebagian dari ilmu itu ada yg sifatnya seperti barang simpanan, tidak ada yg tahu kecuali ulama’ billah, dan apabila dia menerangkan (menjelaskan ilmu Sirr) orang² akan ingkar”.

Sayyid Ali bin Husain bin Ali ra. berkata: “Hai Saudaraku, banyak ilmu yg seperti mutiara, berlian, yg seumpama aku terangkan, maka aku akan dituduh sebagai seorang musyrik, dan orang Islam menganggap halal darahku, mereka (muslimin) menganggap perkara jelek yg di kerjakan itu sebagai kebaikan, sungguh! Mutiaranya ilmu itu tetap aku simpan supaya orang² bodoh tidak tahu, dan menjadikan fitnah.”

Abu Hurairah ra  berkata: “Aku hafal ilmu dari Rasulullah Saw. dua karung, yg satu karung aku sebarkan ke masyarakat (umat), yg sekarung seumpama aku terangkan, kamu semua pasti akan memenggal leherku.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yg dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yg diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan² semacam itu dibutuhkan penguasaan yg baik atas ilmu yg bersangkutan. Dan itu amat mustahil.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَآ أُوتِيتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

”Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ (17): 85) 

Semestinya, ia juga memperhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan. 

Mengungkapkan semua yg disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yg semestinya disimpan. Orang² bijak berkata, “Hati orang² merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanah Allah pada seorang hamba.” 

Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yg berkaitan dengan pengalaman atas perkara² ghaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata², itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara² ghaib dengan kata² justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karena perkara² yang didasarkan pada dzauq (pengalaman ruhani) sulit diungkapkan dengan kata².

Selain itu, mengungkapkan semua yg diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, di antara ilmu yg diketahuinya itu ada yg tak layak untuk diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. 

Rasulullah Saw. bersabda, ”Di antara ilmu ada yg bagaikan mutiara berlumuran tanah yg tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yg mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang² yg lalai kepada Allah akan menolaknya.”

Sayyid Ali ibn Husain ibn Ali ra. berkata, ”Banyak inti ilmu yg jika aku kemukakan semuanya, orang² akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang² muslim yg menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang1 bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haqq.” 

Dan sebab mengucapkan/menerangkan bagian ilmu Sirr, Syaikh Husain bin Mansyur Al-Hallaj, dibunuh pemerintah pada masanya, sebab Al-Hallaj mengatakan: “Maafil jubbati illallah.” (dijubah ini tidak ada lain kecuali Allah). Itu semua karena mereka melihat Allah pada semua yg wujud, yakni mereka melihat Allah-lah yg mewujudkan, mengatur dan menguasai semua yg wujud itu. Ini diungkapkannya karena setiap orang yg dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yg ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Keterangan seperti ini adalah puncak dari yg bisa diterangkan. Sedang hakikatnya tidak bisa dijelaskan dengan kata², kecuali hanya bisa dirasakan. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yg tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.

Kebenaran yg dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata². Wallaahu a’lam

82. Akhirat Adalah Tempat Pembalasan

Hikmah 82 dlm Al-Hikam:

“Akhirat Adalah Tempat Pembalasan”

اِنّماَ جَعلَ الدَّرالاَخِرَة َ محلا ًّ لِجَزَاءِ عِباَدِهِ المُوءْمنينَ لاَِنَّ هٰذ هِ الدَّرَ لاَ تَسَعُ ماَ يُرِيدُ انْ يُعْطيَهُم وَلاَنَّهُ اَجلَّ اَقداَرَهُمْ عنْ اَنْ يُجاَزيَهُِم في داَرِِ لاَبَقاَءَ لهاَ

Sesungguhnya Allah menjadikan akhirat untuk tempat pembalasan bagi hamba yg mukmin, sebab dunia ini tidak cukup untuk tempat apa yg akan diberikan kepada mereka, juga karena Allah sayang akan memberikan balasan pahala mereka di tempat yg tidak kekal.

Allah Ta’ala berfirman:
“Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yg shaleh, apa² yg belum pernah dilihat oleh mata, atau didengar oleh telinga atau tergerak dalam hati manusia.”

Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tempat pecut kuda di dalam surga lebih berharga (baik) dari pada dunia dan semua isinya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Dunia tidak bisa menampung segala kenikmatan indrawi maupun maknawi. Pertama, karena dunia ini sempit. Seperti disebut dalam khabar, di akhirat Allah memberikan kepada setiap mukmin sebuah kerajaan yg luasnya sepanjang perjalanan selama tujuh ratus tahun. Bagaimana halnya dengan orang² mukmin yg khusus (khawwash)? Tentu jarak dan luas dunia ini tidak akan cukup menampung seluruh pahala mereka.

Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah, dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi, dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari di sana mengalahkan silaunya cahaya matahari.

Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yg tidak kekal ini. Segala hal yg fana, walaupun masanya panjang, akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan surga-Nya. Wallaahu a’lam

83. Tanda Diterima Amal

Hikmah 83 dlm Al-Hikam:

مَنْ وجَدَ ثمَرَة َعملِهِ عاَجِلا ً فَهُو دَليلٌ علٰى وُجودِ القبولِ اٰجِلا ً

Barangsiapa yg dapat merasakan buah dari amal ibadahnya di dunia ini, maka itu dapat dijadikan tanda diterimanya amal itu oleh Allah di akhirat.

Manis dan lezatnya amal itu sebagai tanda diterimanya amal tersebut oleh Allah yg di wujudkan di dunia. Itu sebagai bukti adanya pembalasan di akhirat. Apabila hamba sudah merasakan manisnya amal, maka jangan sampai berhenti atau condong dengan amal tersebut. Dan juga jangan sampai beramal demi mendapatkan manis dan lezatnya amal karena itu kepentingan nafsu. Dan karena maksud yg seperti itu bisa merusak keikhlasan ibadah. Jadi rasa manis dan enaknya ibadah itu hanya menjadi ukuran untuk membenarkan amal dan membenarkan tingkahnya hati.

Syaikh Atabah al-Ghulam berkata:
”Aku melatih diri shalat malam dua puluh tahun, setelah itu baru aku merasakan nikmat bangun malam.”

Syaikh Tsabit al-Bunani ra. berkata: ”Aku melatih membaca Al-Qur’an selama dua puluh tahun setelah itu baru aku merasakan nikmat membaca Al-Qur’an.”

Syaikh Abu Thurab berkata:
”Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam niatnya beramal, maka dapat merasakan nikmat amal itu sebelum mengerjakannya, dan apabila ikhlas dalam melakukannya, maka dia akan merasakan manisnya, itulah amal yg diterima dengan karunia Allah.”

Al-Hasan berkata:
”Carilah manisnya amal itu pada tiga hal:

  1. Bila kamu telah mendapatkannya, bergembiralah dan teruskan mencapai tujuanmu.
  2. Apabila kamu belum mendapatkannya, ketahuilah bahwa pintu masih tertutup.
  3. Ketika membaca Qur’an, berdzikir dan ketika bersujud.”

Ada pula yg mengatakan:
”Dan ketika bersedekah dan ketika bangun malam.”

Sejak kapankah engkau merasakan telah mengenal Allah? Yaitu ketika aku setiap akan berbuat pelanggaran terhadap syariat-Nya dan aku merasa malu kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”buah amal di dunia” adalah kenikmatan dalam beramal. Bila seseorang sudah merasakan nikmatnya beramal, itu berarti bahwa amal tersebut telah diterima Allah selagi masih di dunia.

Amal yg memiliki sifat² seperti ini akan diterima Allah. Bila Allah telah menerima amal seorang hamba di dunia, itu adalah tanda bahwa kelak di akhirat, Dia akan memberinya pahala, sebagaimana yg akan dijelaskan.

Sekalipun telah merasakan manisnya beramal, seorang hamba tidak layak untuk terlena dan merasa bahagia terlebih dahulu. Ia juga tidak layak berharap agar amal tersebut terus berlangsung lantaran ia merasa nikmat dan mujur di dalamnya. Hal itu bisa merusak keikhlasannya dalam beribadah dan ketulusan niatnya. Wallaahu a’lam

84. Kedudukan Hamba Di Sisi Allah

Hikmah 84 dlm Al-Hikam:

“Kedudukan Hamba Di Sisi Allah”

اِذاَ اَردتَ اَنْ تَعْرِفَ قدرَكَ عِندهُ فاَنْظُرْ ماَذاَ يُقِيمكَ فيهِ

Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka perhatikankah dimana Dia menempatkanmu.

Hikmah ini bisa diartikan dua kedudukan.

  1. Awam (umum), yaitu: apabila engkau termasuk golongan orang yg beruntung dan diterima, Allah akan menjalankanmu pada apa² yg selalu menjadikan Allah ridha, seperti selalu taat dan ibadah. Dan apabila kamu termasuk ahli celaka, maka Allah akan menjalankanmu pada perkara yg menjadikan murkanya Allah.
  2. Khash, yaitu: jika kamu ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka lihatlah kedudukan Allah di hatimu.

Rasulullah Saw. bersabda:

”Barangsiapa yg ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Maka sesungguhnya Allah mendudukkan hamba-Nya, sebagaimana hamba itu mendudukkan Allah dalam hatinya.”

Syaikh Fudhail bin Iyadh ra. berkata:

”Sesungguhnya seorang hamba dapat melakukan taat ibadah kepada Tuhan itu menurut kedudukannya di sisi Tuhan, atau perasaan imannya terhadap Tuhan, atau kedudukan Tuhan di dalam hatinya.”

Wahb bin Munabbih berkata:

”Aku telah membaca dalam kitab² Allah yg dahulu Allah berfirman:

”Wahai anak Adam, taatilah perintah-Ku dan jangan engkau beritahukan kepada-Ku apa kebutuhan yg baik bagimu. [Yakni engkau jangan mengajari kepada-Ku apa yg baik bagimu].” Sesungguhnya Aku [Allah] telah mengetahui kepentingan hamba-Ku, Aku memuliakan siapa yg taat pada perintah-Ku, dan menghina siapa yg meninggalkan perintah-Ku, Aku tidak menghiraukan kepentingan hamba-Ku, sehingga hamba-Ku memperhatikan hak-Ku [yakni kewajibannya terhadap Aku].”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Apakah kau termasuk orang² yg maqbul (diterima amalnya) dan bahagia ataukah termasuk orang² yg mardud (ditolak amalnya) dan menderita? Jika kau ingin tahu dirimu, perhatikan di mana Allah menempatkanmu, apakah di dalam ketaatan atau sebaliknya?

Siapa yg termasuk orang² yg maqbul dan bahagia maka Allah akan mempekerjakannya dalam amal yg diridhai-Nya, berupa bermacam ketaatan. Siapa yg termasuk orang yg mardud dan menderita maka Allah akan mempekerjakannya dalam hal yg dibenci-Nya, berupa ragam pelanggaran. Ini berlaku bagi orang² awam. Adapun bagi orang² khusus (khawwash) maka kalimatnya adalah, ”Jika kau ingin tahu kedudukanmu di sisi-Nya, apakah kau termasuk muqarrabin atau tidak, lihatlah di mana Allah menempatkanmu dan pengetahuan apa yg diberikan-Nya ke dalam hatimu?”

Wallaahu a’lam

85. Nikmat Lahir Dan Batin

Hikmah 85 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Lahir Dan Batin”

متىٰ رَزَقكَ الطَّاعةَ والغِنىٰ بهِ عَنها فاَعْلم اَنَّهُ قد اَسْبَغ َ عليكَ نِعمَهُ ظاَهِرة ًوباطِنَة ً

Ketika Allah memberi rezeki kepadamu berupa perasaan puas melakukan taat [ibadah] pada lahirmu, dan merasa cukup dengan Allah dalam hatimu, sehingga benar² tidak ada sandaran bagimu kecuali Allah. Maka ketahuilah bahwa Allah telah melimpahkan kepadamu nikmat lahir bathin.

Dua macam rezeki yg dinyatakan disini adalah Islam dan Iman. Hamba Allah yg memperoleh kedua rezeki tersebut menjadi insan yg beriman dan beramal shalih. Tidak ada amal shalih tanpa iman dan tidak ada kenyataan iman tanpa amal shalih. Ayat² al-Qur’an sering menggabungkan iman dan amal shalih menjadi satu, tidak dipisahkan.

Orang yg mengaku beriman tetapi tidak beramal menurut apa yg di imaninya adalah dianggap sebagai orang yg berbohong, sementara orang yg melakukan amal shalih sedangkan hatinya tidak beriman adalah munafik. Kesempurnaan seorang insan terletak pada gabungan kedua-duanya, yaitu iman dan amal shalih.

Seorang hamba dituntut dua macam, yaitu menurut perintah Allah dan meninggalkan larangan pada lahirnya, dan hanya bersandar serta berharap kepada Allah pada bathinnya. Karena itu siapa yg di beri rezeki oleh Allah demikian, berarti telah menerima karunia nikmat Allah yg sempurna lahir dan bathin, dan menyampaikan pada cita²nya di dunia dan di akhirat.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Ketaatan” ialah melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan secara lahir. Adapun makna ”merasa cukup dengan-Nya” adalah kau tidak terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginanmu, tetapi hanya bergantung kepada Tuhanmu dan menyisihkan segala hal selain-Nya.

Jika demikian, ketahuilah bahwa Allah telah menganugrahkan segala karunia-Nya, baik yg lahir, seperti ketaatan, maupun yg batin, seperti makrifat yg mewajibkanmu untuk mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya. Wallaahu a’lam

Komentar:

Yaqin dlm ilmu/pemahaman, disebut juga iman, yakin dlm penyaksian/musyahadah, disebut juga ihsan.

Seringkali… Setelah yaqin dlm ilmu, haliyah kita dinaikkan kepada yakin dlm penyaksian.

Contoh:
Bukan karena ikhtiar kita (jualan, marketing, narik taksi online, kontraktoran, ngajar jadi guru, dll), lantas Allah memberi rejeki. Apalagi sampai ta’alluq, menganggap ikhtiar kita itu sebagai sababiyah diberinya rejeki.

86. Sebaik-Baik Permintaan

Hikmah 86 dlm Al-Hikam:

“Sebaik-Baik Permintaan”

خيرُماَ تطلُبُهُ منهُ ماهُوَ طالبُهُ منكَ

Sebaik-baik yg harus engkau minta dari Allah, ialah bisa mengerjakan apa² yg Allah perintahkan kepadamu.

Ingatlah! Pada setiap waktu dan setiap keadaan pasti disitu ada tuntutan/kewajiban dari Allah, maka sebaik-baik yg harus engkau minta kepada Allah supaya tetap iman, patuh, taat pada semua perintah dan larangan, istiqamah dalam pengabdian diri kehadirat Allah. Itulah sebaik-baik yg harus engkau minta, baik untuk dunia maupun untuk akhirat, sebab hanya itulah bahagia yg tiada bandingnya.

Karena itu sebaik-baik doa ialah:

“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, ridha-Mu, dan surga, dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu dan api neraka.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sebaik-baik perkara yg kau minta dari Allah adalah yg Allah minta darimu, berupa sikap istiqamah di jalan ‘ubudiyah. Ini lebih baik bagimu daripada permintaanmu berupa nasib baik dan keinginan dunia atau akhiratmu karena itu hanyalah keuntungan bagi dirimu sendiri. Wallaahu a’lam

87. Tanda Orang Yang Tertipu

Hikmah 87 dlm Al-Hikam:

“Tanda Orang Yang Tertipu”

الحزنُ علٰى فِقداَنِ الطَّاعةِ مع عدمِ النُّهوْضِ اليها من علامات الاِغتِرارِ

Merasa susah karena tidak dapat melakukan suatu amal ibadah yg disertai oleh rasa malas untuk melakukannya, itu suatu tanda bahwa ia terperdaya [tertipu] oleh syaitan.

Jika ketinggalan suatu amal kebaikan merasa sedih, tetapi bila mendapat kesempatan tidak segera melakukannya, maka itu suatu tanda telah dipermainkan oleh nafsu dan syaitan. Susah yg seperti ini adalah susah yg bohong, dan menangis yg seperti ini juga menangis yg bohong. Sebagai mana dikatakan sebagian ulama’: “Banyak mata yg menangis akan tetapi hatinya masih keras, karena orang tersebut tidak aman dari tipuan Allah yg samar. Allah tidak memberikan pada orang tersebut apa yg manfaat pada dirinya tapi malah memberi sesuatu yg membohongi dirinya, yaitu susah dan menangis yg bohong. Adapun susah yg sesungguhnya yaitu, susah yg mendorong dirinya untuk melakukan taat yg disertai menangis yg benar. Dan itu termasuk dari maqomnya salik.

Bersabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya Allah menyukai pada tiap hati yg selalu berduka cita.”

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. berkata:

“Seseorang yg menyesal dapat menempuh jalan menuju kepada Allah dalam waktu satu bulan, apa yg tidak dapat ditempuh oleh orang yang tidak menyesal dalam beberapa tahun. Karena itu termasuk dalam sifat utama bagi Rasulullah Saw. Mutawashilul-ahzan, daa’imul fikir. Rasulullah Saw. selalu merasa berduka cita dan selalu berfikir [merenung]”.

Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah mendengar seseorang berkata:

”Alangkah sedihnya”. Maka Rabi’ah berkata:

”Katakanlah, alangkah sedikitnya rasa sedihku, sebab bila engkau benar² merasa sedih, tidak berkesempatan lagi untuk bersuka cita.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Kesedihan seperti ini biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yg tidak ada wujudnya. Inilah kesedihan semu yg biasanya disertai dengan tangisan yg juga semu. Dalam pepatah disebutkan, “Berapa banyak mata yg meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.”

Orang yg bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yg tersamar. Allah akan menahan apa yg berguna baginya dan memberi apa yg membuatnya sedih dan menangis. Dmgan begitu, ia menganggap baik ahwal-nya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yg tulus dan sungguh² adalah yg mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yg benar. Ini adalah maqom para salik.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. yg selalu bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yg belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun. Wallaahu a’lam

88. Tanda-Tanda Orang ‘Arif

Hikmah 88 dlm Al-Hikam:

“Tanda-Tanda Orang ‘Arif”

ماَالعاَرِفُ مَن اذاَ اَشارَ وجدَ الحَق َّ اقرَبَ اليهِ مِنْ اِشارَتِهِ ، بلِ العارفُ مَن لاَ اِشارَة َ لهُ لِفَناءـهِ في وُجُوده وانطِواَءـهِ في شهوُدهِ

Tidak disebut orang ‘arif itu, orang yg bila ia memberi isyarah sesuatu ia merasa bahwa Allah lebih dekat dari isyarahnya, tetapi orang ‘arif itu ialah yg merasa tidak mempunyai isyarah, karena merasa lenyap/sirna diri dalam wujud Allah, dan diliputi oleh pandangan [syuhud] kepada Allah.

Hikmah yg lalu menerangkan keadaan orang awam yg dihijab oleh cahaya dunia dan syaitan sehingga mereka tidak jadi untuk berbuat taat kepada Allah. Hikmah 88 ini pula menerangkan keadaan orang yg berjalan pada jalan Allah dan sudah mengalami hakikat², tetapi cahaya hakikat masih menjadi hijab antara dirinya dengan Allah. Pengalaman tentang hakikat menurut istilah tasawuf disebut isyarah tauhid. Isyarah² tersebut apabila diterima oleh hati maka hati akan mendapat pengertian tentang Allah. Isyarah² demikian membuatnya merasa dekat dengan Allah. Orang yg merasa dekat dengan Allah, tetapi masih melihat kepada isyarah² tersebut masih belum mencapai maqom ‘arif billah. Orang ‘arif billah sudah melepas isyarah² dan sampai kepada Allah yg tidak boleh di isyarahkan lagi. Maqom ini dinamakan fana’ fillah atau lebur kewujudan diri dalam Wujud Mutlak dan penglihatan mata hati tertumpu kepada Allah semata-mata, yaitu dalam keadaan:

Tiada sesuatu sebanding dengan-Nya.

Tidak ada nama yg mampu menceritakan tentang Dzat-Nya. Tidak ada sifat yg mampu menggambarkan tentang Dzat-Nya. Tidak ada isyarah yg mampu memperkenalkan Dzat-Nya. Itulah Allah yg tidak ada sesuatu apa pun menyerupai-Nya. Maha Suci Allah dari apa yg disifatkan.

Yakni, siapa yg masih mempunyai pandangan kepada sesuatu selain Allah, maka belum sempurna sebagai seorang [yg mengenal kepada Allah]. Tetapi seorang ‘arif yg sesungguhnya, ialah yg merasakan kepalsuan sesuatu selain Allah, sehingga pandangannya tiada lain kecuali kepada Allah.

Seorang ‘arif ditanya tentang apakah fana’ itu? Dia menjawab:
“Fana’ ialah muncul/terlihatnya sifat keagungan dan kemegahan Allah pada hamba-Nya, sehingga hamba tersebut jadi lupa akan dunia, lupa akhirat, lupa derajat, lupa maqom, hal, dzikir, lupa akalnya, lupa dirinya sendiri, lupa fana’nya sebab tenggelam dalam ta’dhim kepada Allah Ta’ala.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Memberi isyarat” ialah menunjukkan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. ”Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah ghaib, bahkan serasa Allah memperhatikan-Nya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.

Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yg sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yg mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yg menunjukkan”, wujud objek “yg ditunjukkan”, dan wujud media “yg digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yg ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana’ karena ia belum keluar dari ranah indranya.

Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berdzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia² tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman² yg didapat melalui perasaan.

Orang yg mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memperhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak ghaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya, Orang ‘arif sesungguhnya ialah orang yg tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana’ dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yg sirna dari isyarat, yg di isyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yg mengisyaratkan dan yg di isyaratkan saat itu hanya Allah Ta’ala. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yg melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.

Syaikh Yusuf Al-‘Ajami berkata, ”Siapa yg berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yg berbicara adalah Yang Maha Haq melalui lisan hamba-Nya.”

Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,

“Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”

Seseorang dari mereka ditanya tentang kefana’an diri (peleburan diri). Ia menjawab, ”Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan dzikir, dan ia merasa fana’ dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana’ dari kefana’an itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.” Wallaahu a’lam

89. Roja’ (Harapan) Dan Tamanni (Khayalan)

Hikmah 89 dlm Al-Hikam:

“Roja’ (Harapan) Dan Tamanni (Khayalan)”

الرَّجاءُ ماَ قاَرَنهُ عملٌ وِالاَّ فهُوَ اُمْنِيَّةٌ

Pengharapan (Roja’) yg sesungguhnya ialah yg disertai amal perbuatan kalau tidak demikian, maka itu hanya angan² [khayalan] belaka.

Yg dinamakan roja’ yaitu pengharapan yg dibarengi dengan amal. Apabila tidak dibarengi amal tapi malah malas beramal dan masih berani melakukan maksiat dan dosa, pengharapan itu disebut umniyyah atau lamunan. Dan dia tertipu dengan belas kasih Allah.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Seorang yg sempurna akal ialah yg mengoreksi dirinya dan bersiap-siap untuk memghadapi maut, sedang orang bodoh ialah yg selalu menurutkan hawa nafsu dan mengharap berbagai macam harapan.”

Syaikh Ma’ruf al-Karkhi berkata:

“Mengharap surga tanpa amal perbuatan itu dosa, dan mengharap syafa’at tanpa sebab berarti tertipu, dan mengharap rahmat dari siapa yg tidak engkau taati perintahnya berarti bodoh.”

Al-Hasan ra. berkata:

“Sesungguhnya ada beberapa orang oleh angan² keinginan pengampunan, sehingga mereka keluar dari dunia [mati], sedang belum ada bagi mereka kebaikan sama sekali. Sebab mereka berkata: Kami baik sangka terhadap Allah. Padahal berdusta dalam pengakuan itu, sebab andaikan mereka baik sangka terhadap Allah, tentu baik pula perbuatannya. Al-Hasan lalu membacakan ayat Qur’an:

وَذٰ لِكمُ ْ ظَنُّكمُ ُالَّذىِ ظَنـَنـْتُمْ بِرَبِّكُم اَرْداكمُ ْ فَاَصبَحْتـُمْ من الخاَسِرِينَ

“Itulah persangkaanmu terhadap Tuhan telah membinasakan kamu, maka kamu termasuk orang² yg rugi.”

Al-Hasan berkata: Wahai hamba Allah, berhati-hatilah kamu dari angan² [khayalan] yg palsu, sebab itu sebagai jurang kebinasaan, kamu akan lalai karenanya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberi pada seorang hamba kebaikan semata-mata karena angan² belaka, baik untuk dunia maupun untuk akhirat.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Harapan yg sesungguhnya ialah harapan yg memotivasi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja dan beramal. Biasanya, orang yg berharap sesuatu, dia akan mencarinya. Orang yg takut terhadap sesuatu, dia akan menghindarinya.

Jika harapan tidak dibarengi amal, bahkan pelakunya malas dan enggan bekerja, serta justru mendorong kepada maksiat dan dosa, menurut para ulama, itu hanyalah angan², bukan harapan sesungguhnya. Ia bukanlah harapan, melainkan ketertipuan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتٰبَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هٰذَا الْأَدْنٰى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yg jahat) yg mewarisi Taurat, yg mengambil harta benda dunia yg rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” (QS. Al-A’raf [7]: 169)

Rasulullah Saw. bersabda, ”Orang yg baik ialah orang yg menghinakan dirinya sendiri dan beramal untuk masa setelah kematian, sedangkan orang yg buruk ialah orang yg mengikuti hawa nafsunya dan berharap dari Allah dengan harapan² palsu.” Wallaahu a’lam

90. Permintaan Orang ‘Arif Billah

Hikmah 90 dlm Al-Hikam:

“Permintaan Orang ‘Arif Billah”

مَطْلَبُ العارفينَ مِنَ اللهِ تعالى الصِدق ُ في العُبُوديةِ والقِيامُ بحُقوُقِ الرُّبُوبيَّةِ

Permintaan orang yg sudah makrifat kepada Allah, hanya semoga dapat bersungguh-sungguh dalam menghamba dan tetap dalam menunaikan hak² kewajiban terhadap Allah.

Yg dinamakan Sidqul ‘Ubudiyyah yaitu: menetapi tatakramanya menghamba pada Allah (ubudiyyah), seperti mencukupi hak²nya Allah dalam beribadah, mensyukuri pemberian Allah, sabar menghadapi bala’, menyerahkan semua urusannya pada Allah, selalu Muraqabah (meniti taqdir Allah, yg terjadi atas dirinya dan lainnya), memperlihatkan fakirnya kepada Allah dan selalu mengharap rahmatnya Allah dan lain².

Hikmah 90 ini menjelaskan seorang ‘arif itu tidak mempunyai permintaan kepada Allah, kecuali dua perkara:

1. SHIDQUL ‘UBUDIYYAH,
2. AL-QIYAMU BIHUQUQIR-RUBUBIYYAH.

Tanpa melihat kepentingan dirinya dan nafsunya.

Berbeda dengan orang yg belum ‘Arif billah, yg belum bisa meninggalkan kepentingan diri dan nafsunya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg diminta oleh orang ’arif ini lebih tinggi daripada yg di minta oleh orang selainnya, baik itu oleh ahli ibadah, zahid, maupun ‘alim. Hal itu dikarenakan, yg diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memperhatikan etika penghambaan, berakhlak dengan akhlak hamba, dan melaksanakan hak² Allah.

Hak² Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yg memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yg menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yg butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat² dan akhlak ‘ubudiyah lainnya.

Siapa yg tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yg dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak² Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.

Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memperhatikan keuntungan diri. Artinya, orang² ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yg lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.

Syaikh Abu Madyan berkata, ”Ada perbedaan antara orang yg tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yg keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.” Wallaahu a’lam

91. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (1)

Hikmah 91 dlm Al-Hikam:

“Al-Basthu Dan Al-Qobdhu”

بسطكَ كى لا يُبْقِيك مع القبضِ وقبضكَ كى لا يترُككَ معَ البسطِ واخْرَجكَ عَنْهماكى لاتكون لشىءٍدونهُ

Allah melapangkan bagimu, supaya kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). Dan Allah telah menjadikanmu sempit supaya kau tidak hanyut (terlena dalam kelapangan (basth). Dan Allah melepaskanmu dari keduanya, supaya kau tidak tergantung kepada sesuatu selain Allah.

Arti Hikmah ini, Allah selalu membuat macam² keadaan hatimu, supaya kau selalu sadar dan fana’, yakni, tidak melihat keadaanmu itu.

Jadi, Qobdhu (kesempitan itu untuk ahli Bidayah, seumpama tidak ada Qobdhu tentu tidak bisa melatih/mencegah dari kebiasaan dan kesenangan nafsu. Sedangkan maqom Basthu, bagi orang yg masuk permulaan futuh, supaya tidak kendor kekuatannya dan anggota badannya bisa digunakan untuk sesuatu yg disenangi, yaitu pemberian dari Allah dan dan tanda² ridho dari Alloh.

Sedangkan maqom I’TIDAL, itu bagi orang yg berada pada akhir suluknya, supaya keadaannya bisa tetap (tidak berubah) dan bersih amalnya, dan selalu di sisi Allah, tanpa ada ‘illat.

Allah merubah-rubah keadaan dari sedih ke gembira, dari sakit ke sehat, dari miskin ke kaya, dari gelap ke terang dan seterusnya, supaya mengerti bahwa kita tidak bisa lepas dari hukum dan ketentuan-Nya. Dan supaya kita selalu berdiri diatas landasan LAA HAULAA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAH.

Firman Allah Ta’ala:

لِكيْلا تأ ْسَوْاعلٰى ماَ فاَتَكُم ولا تَفرَحُوْا بِماَ اٰتَكمُ ْ

“Supaya kamu tidak sedih (menyesal) terhadap apa yg terlepas dari tanganmu, dan tidak gembira atas apa yg diberikan kepadamu.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Saat dalam kesempitan, kita merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kita akan merasa beruntung dan senang. Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana’ dan kau memilih abadi dengan-Nya.

Oleh karena itu, jangan terus-menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yg menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah: tidak sempit, tidak pula lapang.

Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukkannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukkan bagi orang² ‘Arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat² mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.

Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang² yg mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan napas Tuhan dan tanda² penyaksian terhadap keridhaan-Nya.

Sementara itu, keseimbangan diperuntukkan bagi ahli nihayah (orang yg mendapat tujuan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih, dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.

Kesimpulannya, kesempitan dan kelapangan merupakan kondisi yg masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.

Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum ‘Arif pemula. Pada masa² itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yg keadaannya diwarnai harap dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut yg dirasakan murid berkaitan dengan perkara yg diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yg ditakuti maupun yg dicintai.

Adapun kesempitan dan kelapangan yg menimpa kaum ‘Arif berkaitan dengan perkara yg tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg dicintai, itu adalah kelapangan.

Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan² yg masuk ke dalam batin seorang ‘arif. Jika yg masuk ke dalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan. Wallaahu a’lam

92. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (2)

Hikmah 92 dlm Al-Hikam:

العَارِفوُنَ اِذاَ بُسِطوُ اَخـْوَفَ مِنْهُمْ اِذاَ قبَضَُوا وَلاَ يَقِفُ علىَحُدُودِ الاَدَبِ فى الْبَسْطِ الاَّ قلِيْلٌ

‘al-‘Arifun (orang yg ma’rifat billah) jika merasa lapang, itu lebih khawatir/takut kepada Allah, dari pada jika berada dalam kesempitan, dan tidak dapat berdiri tegak di batas² adab dalam keadaan lapang (basthu) kecuali hanya sedikit sekali.

Dalam kitab ‘Latha’iful Minan’, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata: “Keadaan basthu itu menggelincirkan kaki para lelakinya Allah (orang shalih). Jadi keadaan Basthu menjadikan sebab para ‘Arifin menambah kehati-hatiannya, dan kembali pada Allah. Sedangkan keadaan Qobdhu itu lebih dekat dengan keselamatan, karena itu sudah menjadi kedudukan hamba. Karena hamba selalu dalam genggaman dan kekuasaan Allah”.

Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. berkata: “Kami diuji dengan kesukaran, maka kami kuat bertahan dan sabar, tetapi ketika kami diuji dengan kesenangan (kelapangan), hampir tidak tahan/sabar”.

Syaikh Yusuf bin Husain ar-Razy menulis surat kepada Imam Junaid al-Baghdadi ra.: “Semoga Allah tidak memberimu rasa kelezatan hawa nafsumu, jika engkau merasakan kelezatan, maka tidak akan merasakan kebaikan untuk selamanya”.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Mereka amat mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk selalu berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yg mereka miliki. Mungkin di situlah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yg tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Yg bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”

Kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang². Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? Dari Allah.

Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yg memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yg penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak² Allah. Wallaahu a’lam

93. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (3)

Hikmah 93 dlm Al-Hikam:

البَسْطُ تاءْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهاَ بِوُجُودِ الفَرَحِ والقبضُ لاَ حَظَّ للنَّفْسِ فِيْهِ

Di dalam keadaan lapang (bashtu), hawa nafsu dapat mengambil bagiannya karena gembira, sedang dalam keadaan sempit (qobdhu) tidak ada bagian sama sekali untuk hawa nafsu.

Hikmah ini menjelaskan hikmah sebelumnya tentang sulitnya menjaga adab/tatakrama kepada Allah dikala keadaan Basthu, maka dari itu sedikit sekali orang yg bisa menepati adab kepada Allah dikala Basthu.

Karena itu manusia lebih aman dalam kesempitan, karena hawa nafsu tidak dapat berdaya dan tidak dapat bagiannya.

Syaikh Abul Hasan Ali as-Syadzili ra. berkata: Alqobdhu wal Basthu (susah/sedih dan senang dalam hati) itu selalu silih berganti dalam perasaan tiap hamba, bagaikan silih bergantinya siang dan malam. Dan sebabnya qobdhu (susahnya hati) itu salah satu dari tiga: karena dosa, atau kehilangan dunia, atau dihina orang, maka jika seseorang merasa berdosa maka segeralah bertaubat. Jika kehilangan dunia, maka harus rela dan menyerahkan kepada hukum Allah. Dan jika dihina orang harus sabar. Dan jagalah dirimu jangan sampai kamu merugikan orang lain.

Dan apabila terjadi qobdhu yg tidak di ketahui penyebabnya, maka harus tenang dan menyerah kepada Allah. Insya Allah tidak lama akan sirna masa gelap dan berganti dengan terang, adakalanya terangnya bintang, yaitu ilmu, atau sinar bulan yaitu tauhid, atau matahari yaitu ma’rifat. Tetapi jika tidak tenang di masa gelap (qobdhu), mungkin akan terjerumus ke dalam kebinasaan.

Adapun masalah basthu (riang/senangnya hati), maka sebabnya adalah satu dari tiga ini: karena bertambahnya kelakuan ibadah/taat dan bertambahnya ma’rifat atau bertambahnya kekayaan atau kehormatan, dan yg ketiga karena pujian dan sanjungan orang kepadanya.

Maka adab seorang hamba jika merasa bertambah kelakuan ibadahnya dan ilmu ma’rifatnya, harus merasa bahwa itu semata-mata karunia dari Allah, dan berhati-hati jangan sampai merasa bahwa itu dari hasil usahanya sendiri. Dan jika mendapat tambahnya harta dunia, maka ini pula sebagai karunia dari Allah juga, dan harus waspada jangan sampai terkena bahayanya. Adapun jika mendapat pujian dari orang lain kepadamu, maka kehambaanmu harus bersyukur kepada Allah yang telah menutupi kejelekanmu/aibmu, sehingga orang lain hanya melihat kebaikanmu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dalam hikmah ini terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga adab/etika saat lapang amat sulit. Sebab, tak ada yg bisa menjaga adab/etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.

Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”

Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-aku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin dan rahasia², selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal² luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing². Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.

Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa². Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yg menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika² ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang² ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan. Wallaahu a’lam

94. Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (1)

Hikmah 94 dlm Al-Hikam:

“Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah”

رُبَّماَ اَعْطاكَ فمَنَعكَ وَرُبَّماَ منَعَكَ فأَعْطاكَ

Terkadang Allah memberimu kekayaan/kesenangan dunia, tetapi Allah menahan tidak memberimu perkara yg hakikatnya baik padamu (taufiq dan hidayah-Nya). Dan terkadang Allah menahan (tidak memberi) kamu dari kesenangan dunia tetapi pada hakikatnya memberikan kepadamu taufiq dan hidayah-Nya.

Jadi apabila Allah tidak memberi apa yg menjadi syahwat keinginanmu dan apa yg enak menurut perasaan nafsumu, hakikatnya itu adalah pemberian yg agung dari Allah, dan kamu dilepaskan dari apa yg menjadi kepentingan nafsumu.

Sebaliknya walaupun kelihatannya itu sebagai pemberian dari Allah (dikabulkannya doamu) pada hakikatnya itu sebagai penolakan dari Allah.

Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata: “Jika ditahan (tidak diberi) permintaanmu maka hakikatnya engkau telah diberi, dan jika permintaanmu segera diberikan maka hakikatnya telah ditolak dari sesuatu yg lebih besar. Karena itu utamakan tidak dapat dari pada dapat, dan sebaiknya hamba tidak memilih sendiri, tapi menyerahkan sepenuhnya kepada Allah yg menjadikannya. Dan yg mencukupi segala kebutuhannya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Taufik” ialah bimbingan untuk melakukan ketaatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dan memahami-Nya.

Allah mungkin memberimu kesenangan dan kenikmatan dunia. Namun, Dia menghalangimu dari bimbingan-Nya untuk mentaati, mendekati, dan memahami-Nya. Mungkin juga Allah menghalangimu dari kesenangan dunia, namun dia memberimu bimbingan-Nya.

Halangan Allah kepadamu untuk menikmati syahwatmu dan menikmati kesenangan alam semesta, meski disertai buruknya kebiasaan ibadahmu, merupakan karunia yg besar dari-Nya. Allah telah menetapkannya untukmu dan memutusmu dari kepentingan dan tujuan²mu.

Sebaliknya, ketika Allah memberimu kesenangan dunia, walaupun secara lahir tampak seperti pemberian, jangan kau lihat lahirnya saja. Lihatlah hakikatnya. Saat itu, seorang hamba wajib menyerahkan putusan, pengaturan, dan pilihan kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam

95. Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (2)

Hikmah 95 dlm Al-Hikam:

مَتٰى فتَحَ لكَ باَبَ الفـَهْمِ فِى المَنْعِ عاَدَ المَنْعُ هُوَ عَيْنُ العطاَءِ

Apabila Allah telah membukakan pengertian (faham) tentang penolakan-Nya, maka berubahlah penolakan itu hakikatnya menjadi pemberian.

Sesuatu yg sangat menghalangi perjalanan keruhanian seorang murid adalah keinginan diri sendiri. Dia berkeinginan sesuatu yg menurutnya akan membawa kebaikan kepada dirinya. Keinginan atau hajat keperluannya itu mungkin tentang dunia, akhirat atau hubungan dengan Allah Ta’ala. Jika hajatnya tercapai dia merasa menerima karunia dari Allah. Jika hajatnya tidak dikabulkan dia akan merasa itu sebagai penolakan Allah, dan merasa jauh dari Allah. Orang yg berada pada peringkat ini selalu mengaitkan makbul permintaan atau doa, dengan kemuliaan di sisi Allah. Jika Allah mengabulkan permintaannya dia merasa itu adalah tanda dia dekat dengan-Nya. Jika permintaannya ditolak dia merasa itu tanda dia jauh. Anggapan begini sebenarnya tidak tepat. Tidak semua penerimaan doa itu menunjukkan dekat dan tidak semua penolakan itu menunjukkan jauh.

Apabila Allah telah memperlihatkan kepadamu hikmah kebijaksanaan-Nya dalam apa yg di jauhkan-Nya darimu, maka itu berarti suatu karunia Tuhan kepadamu. Sehingga terasa olehmu keselamatan dunia dan akhiratmu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ketika kau meminta namun tidak diberi, lalu kau paham bahwa tidak adanya pemberian itu merupakan salah satu bentuk rahmat-Nya untukmu (karena Dia Maha Tahu bahwa itulah yg terbaik untukmu), dan bahwa Tuhanmu sedang memperlihatkan kuasa-Nya di hadapanmu, maka pemahaman semacam itulah sejatinya pemberian untukmu dari-Nya. Wallaahu a’lam

96. Lahir Dan Batinnya Alam (Dunia)

Hikmah 96 dlm Al-Hikam:

“Lahir Dan Batinnya Alam (Dunia)”

اَلاَكـْواَنُ ظاَهِرُهاَ غِرَّ ةٌ وَباَطِنُهاَ عِبْرَةٌ فاَالنَّفْسُ تَنْظُرُ اِلىَ ظاَهِرِ غِرَّتِهاَ والقَلبُ يَنْظُرُ اِلٰى باَطِنِ عِبْرَتِهاَ

Alam semesta ini lahirnya berupa tipuan, dan batinnya sebagai peringatan, maka hawa nafsu melihat lahir tipuannya, sedangkan mata hati memperlihatkan peringatan/akibatnya.

Dunia ini bila dilihat dari lahirnya akan terlihat sangat indah, menyenangkan dan menggiurkan, sehingga banyak orang yg mencintai dunia, terbujuk oleh dunia sehingga melupakan Allah sang pencipta dan penguasa dunia.

Allah berfirman: “Maka janganlah kamu tertipu oleh kehidupan dunia.”

Firman Allah: WAMAL-HAYATAD-DUN-YA ILLAA MATAA-UL GHURUUR. (tiadalah kehidupan dunia ini melainkan kesenangan yg menipu)

Apabila dunia dilihat dari sisi batinnya (hakikatnya), akan menjadikan pelajaran bagi kita untuk mengenal Allah, dunia yg kita lihat akan membuat hati melihat manifestasi ketuhanan di dalamnya, dan dunia tempat berjalannya Qudrat dan Irodat Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Maksud “alam” di sini adalah segala kenikmatan dan pernak pernik duniawi yg di dalamnya nafsu meraih keuntungannya. Alam membuat jiwa tertipu karena keindahan dan kilauannya.

Namun hakikatnya, alam sesungguhnya adalah objek untuk diambil pelajarannya dan dijauhi karena keburukan, kehinaan, dan kefanaannya.

Secara lahir, alam ini indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yg melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah, dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Namun, siapa yg melihat hakikat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati, dan kotor sehingga akan menjadikannya bahan pelajaran dan menjauhinya.

Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yg menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Namun, kalbu akan melihat pada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca di sana dan terhindar dari keburukannya. Wallaahu a’lam

97. Carilah Kemuliaan Yang Abadi

Hikmah 97 dlm Al-Hikam:

“Carilah Kemuliaan Yang Abadi”

اذا اَرَدتَ اَنْ يَكُونَ لكَ عِزًّ لاَ يَفْنىَ فَلاَ تَسْتَعِزَّنَّ بِعِزٍّ يُفـْنىٰ

Jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan yg tidak punah/rusak, maka jangan membanggakan kemuliaan yg bisa rusak.

Manusia mencari kemuliaan melalui berbagai macam cara. Mereka mencarinya melalui harta, pangkat dan kekuasaan. Ada yg mencarinya melalui ilmu dan amal. Semua kemuliaan yg diperoleh dengan cara demikian bersifat sementara. Semua kemuliaan tersebut adalah fatamorgana.

Kemuliaan yg abadi/tidak rusak hanya kemuliaan Allah, maka bergantunglah dengan Allah, sebab Allah kekal abadi dan tidak rusak. Adapun jika bergantung kepada kekayaan, kebangsaan, kedudukan, maka semua itu palsu dan akan rusak tidak kekal. Maka barang siapa bergantung pada suatu sebab yg tidak kekal, maka akan rusak bersama dengan rusaknya sebab/alat itu.

Allah berfirman: “Apakah mereka mengharapkan pada apa yg mereka sanjung itu suatu kemuliaan, ketahuilah sesungguhnya kemuliaan itu semuanya milik dan hak Allah Ta’ala.”

Ada hikayat: Seseorang datang kepada raja Harun al-Rasyid, untuk memberi nasihat, tiba² Harun al-Rasyid marah kepadanya, lalu memerintahkan kepada pengawalnya supaya mengikat orang itu bersama dengan keledainya yg nakal, supaya dia mati di tendang keledai. Setelah perintah dilaksanakan tiba² keledai itu jadi lunak kepada orang yg akan dihukum. Kemudian Harun memerintahkan supaya orang tersebut di masukkan kedalam rumah dan pintunya supaya ditutup dengan semen, supaya dia mati didalamnya, tiba² orang yg dihukum itu telah berada di luar (kebun) sedang pintu rumah masih tertutup dengan semen. Maka orang itu dipanggil oleh Harun al-Rasyid dan ditanya: “Siapa yg mengeluarkan kamu dari rumah (penjara)?” Jawabnya: “Yg memasukkan saya ke kebun.” Harun bertanya lagi: “Dan siapa yg memasukkan engkau ke dalam kebun?” Jawabnya: “Yg mengeluarkan aku dari rumah.”

Kemudian Harun al-Rasyid sadar dan memerintahkan pengawalnya untuk membawa orang itu diatas kendaraan dan keliling kota, sambil memberitahukan pada masyarakat: “Ketahuilah bahwa raja Harun al-Rasyid menghinakan orang yg telah di muliakan Allah, maka tidak bisa.”

Seseorang datang kepada seorang ‘Arif sambil menangis, maka ditanya oleh sang ‘Arif: “Mengapa engkau menangis?” Jawabnya: “Karena Guruku telah mati.” Orang ‘Arif itu berkata: “Mengapa engkau berguru pada orang yg bisa mati.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jika kau menghendaki kemuliaan abadi, jauhilah segala sebab dan yakinlah dengan adanya sang Pencipta sebab. Pencipta sebab adalah Tuhan Yang Abadi sehingga ketergantunganmu kepada-Nya menjadi sumber kemuliaan yg abadi.

Jangan kau tertipu dengan kemuliaan yg fana, misalnya dengan menyandarkan diri pada sebab dan tidak menyadari siapa Penciptanya. Karena sebab itu fana, ketergantunganmu terhadap sebab menjadi sumber kemuliaan yg tidak abadi.

Apabila kau merasa mulia karena Allah, kemuliaanmu akan abadi dan tak seorang pun yg mampu menghinakanmu. Namun, jika kau mendapat kemuliaan dari selain-Nya, seperti dari harta, kehormatan, dan kedudukan, dan kau merasa puas serta menjadikannya sandaran, lalu kau lalai dari Tuhanmu, maka tak ada keabadian bagi kemuliaanmu itu. Tak ada kemuliaan pada sesuatu yg kau banggakan selain Tuhan. Wallaahu a’lam

98. At-Thoyyu: Melipat/Menyingkat Jarak/Waktu

Hikmah 98 dlm Al-Hikam:

“At-thoyyu” (Melipat/Menyingkat Jarak/Waktu)

اَلطَّيُّ الحقِقيُّ اَنْ تطوٰى مساَفة ُ الدُّنْياَ عَنْكَ حَتَّى ترَىالاٰخِرَةَ اَقْرَبَ اِليكَ منكَ

Menyingkat/melipat jarak yg hakiki ialah jika engkau bisa menyingkat jarak dunia ini, sehingga engkau dapat melihat akhirat itu lebih dekat kepadamu dari pada dirimu sendiri.

Hikmah ini menerangkan tentang at-thoyyu al-haqiqy, yg diberikan kepada para kekasih Allah, dengan thoyyu al-haqiqy, Allah memuliakan para wali²Nya. Bukan melipat jaraknya perjalanan di bumi (Indonesia- makkah bisa ditempuh hanya satu langkah atau kedipan mata).

Dan juga bukan menghabiskan masa siang malam dengan sholat dan puasa semata-mata. Karena itu semua bisa bercampur dengan sifat riya’, ujub, dll.

At-Thoyyul haqiqyy itu diberikan pada orang² yg telah bersinar Nurul yaqin dalam hatinya, sehingga dia melihat dunia akan hilang dari pandangannya, dan melhat akhirat ada dekat di depannya. Orang yg seperti ini tidak mungkin akan mencintai dunia, karena dia tahu rusaknya dunia.

Dalam keterangan lain, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata: Andaikata Nur keyakinan itu telah terbit terang di hatimu, pasti engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu daripada engkau akan pergi kesana, dan pasti dapat melihat segala keindahan dunia ini diliputi suramnya kerusakan dan kehancuran yg akan menimpa kepadanya. Wallaahu a’lam

99. Hakikat Pemberian Dari Makhluk

Hikmah 99 dlm Al-Hikam:

“Hakikat Pemberian Dari Makhluk”

العَطَاء مِنَ الخَلقِ حِرْماَنٌ والمنْعُ من اللهِ اِحْسانٌ

Pemberian dari makhluk itu suatu kerugian (penghalang), dan penolakan dari Allah itu suatu pemberian kebaikan dan karunia.

Hikmah ini merupakan ucapan ahli tauhid yg sebenarnya. Orang yg benar² bertauhid menganggap bahwa sekiranya mereka menerima pemberian makhluk sedangkan hatinya tidak melihat bahwa pemberian itu sebenarnya dari Allah, maka dia menerima pemberian itu sebagai suatu kerugian.

Sedangkan penolakan Allah atas permintaanmu itu hakikatnya suatu pemberian dan anugerah dari Allah, karena Allah menempatkan kamu di pintu Rahmat-Nya dan menyelamatkan kamu dari terhalang dengan-Nya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: Jangan merasa adanya yg memberi nikmat kepadamu selain Allah, dan anggaplah segala nikmat yg kamu terima dari selain Allah sebagai kerugian. (yakni: di antara engkau dengan Allah tidak ada perantara, maka semua nikmat yg kamu terima
semata-mata dari Allah, dan bila terjadi engkau merasa menerima nikmat dari sesama manusia, maka itu sebagai kerugian bagimu.)

Seorang Hakim berkata: Menanggung budi kebaikan dari manusia itu lebih berat daripada sabar karena kekurangan (ketiadaan). Pemberian dari makhluk itu, pada umumnya menyebabkan terhijab dari Allah, sehingga tidak ingat pada Allah, dan merasa berhutang budi kepada sesama manusia, dan inilah letak kerugian moril. Sebaliknya penolakan dari Allah yg menyebabkan kita ingat Allah itu, berarti suatu karunia nikmat yg besar dari Allah. Wallaahu a’lam

100. Amal Dan Balasan Dari Allah (1)

Hikmah 100 dlm Al-Hikam:

“Amal Dan Balasan Dari Allah”

جَلَّ رَبُّناَ اَنْ يُعاَملهُ العَبْدُ نَقْداً فَيُجاَزِيهُ نَسِيْـءَـةً

Maha Agung Tuhan, jika seorang hamba beramal kontan (segera) dan di balas kemudian hari.

Pembalasan amal itu tidak khusus di akhirat saja, tapi kadang sebagian ada yg di wujudkan di dunia, supaya mendorong semangatnya amal, dan sebagai tanda diterimanya amal. Wallaahu a’lam

101. Amal Dan Balasan Dari Allah (2)

Hikmah 101 dlm Al-Hikam:

كَفىَ من جَزَاءهِ اِيَّاكَ علىَ الطاَّعةِ اَنْ رَضِيكَ لها اَهْلاً

Cukuplah menjadi balasan Allah atas ketaatanmu jika Allah ridho menjadikan engkau ahli taat beribadah.

Apabila tidak ada Ridho Allah, pasti sifat manusia itu malas melakukan taat dan tidak memperhatikan ibadahnya.

Jadi apabila Allah memberi kemudahan bisa melaksanakan ibadah, hakikatnya itu suatu pembalasan dan anugerah yg sangat besar yg ada di dunia.

Ingatlah! Kita itu makhluk yg hina, tidak berhak dan pantas mengabdi/khidmah kepada Raja diRaja (ALLAH), jadi kalau Allah mendekatkan kita bisa mengabdi kepada-Nya, dan Allah ridho kepada kita menjadi ahli khidmah, itu suatu nikmat yg sangat besar.

Taufiq dan hidayah dari Allah yg diberikan kepada seorang hamba itu sebagai karunia yg sebesar-besarnya bagi seorang hamba, sebab dengan hidayah dan taufiq itulah seorang hamba dapat menerima nikmat dan bahagia dunia akhirat. Wallaahu a’lam

102. Amal Dan Balasan Dari Allah (3)

Hikmah 102 dlm Al-Hikam:

كفىَ العاَمِلِينَ جَزَاءً ماَهوَ فاَتِحُهُ على قلوبِهِمْ فِي طاَعَتِهِ وَماَ هُوَ مُورِدُهُ عليهِمْ من وُجُودِ موءَانَسَتِهِ

Cukuplah sebagai balasan dari Allah pada orang² yg beramal, apa yg telah dibukakan Allah dalam hati mereka dari kebiasaan melakukan taat dan apa yg di berikan Allah pada mereka berupa kesenangan berdzikir, kepuasan berkhalwat, menyendiri dengan Allah.

Tidak ada nikmat di dunia ini yg menyamai/menyerupai nikmat surga, kecuali nikmat yg dirasakan oleh ahli dzikir, dalam perasaan hati. Wallaahu a’lam

103. Beribadah Jangan Mengharap Sesuatu Selain Allah

Hikmah 103 dlm Al-Hikam:

“Beribadah Jangan Mengharap Sesuatu Selain Allah”

مَنْ عَبَدَهُ لِشىءٍ يَرْجُوهُ مِنْهُ اَوْلِيَدْفَعَ بِطاَعَتِهِ وُرودُ العُقُوبَتِ عَنْهُ فَماَ قَاَمَ بِحَقِّ اَوْصَافِهِ

Barang siapa menyembah Allah karena mengharap sesuatu, atau untuk menolak siksa atas dirinya, maka dia belum menunaikan kewajiban terhadap sifat² Allah.

Sebagai hamba Allah kita wajib menghamba dan beribadah hanya kepada-Nya, yg kita tuju juga hanya Allah, bukan karena pahala surga-Nya, atau siksa neraka-Nya. ILAAHI ANTA MAQSHUUDII-WA-RIDHOOKA MATHLUUBII.

Allah telah menurunkan wahyu pada Nabi Dawud as.: Sesungguhnya orang yg sangat aku kasihi ialah orang yg beribadah bukan karena upah pemberian-Ku, tetapi semata-mata karena Aku yg berhak untuk disembah. Dalam kitab zabur disebutkan: Dan siapakah yg lebih kejam dari orang yg menyembah-Ku karena surga atau neraka, apakah seandainya Aku tidak membuat surga atau neraka, Aku tidak berhak untuk disembah?

Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah berlaku sebagai seorang hamba yg busuk jika takut, lalu bekerja/beribadah. Dan jangan berbuat sebagai buruh yg busuk jika tidak di bayar tidak bekerja.

Sebab sebenarnya pemberian Allah kepada hamba itu sudah lebih dari yg diharapkan yaitu hidupnya, nafasnya, panca indranya dan kesehatannya dan lain²nya.

Abu Hazim berkata: Saya malu menyembah Allah karena pahala, seperti buruh yg busuk jika tidak di bayar tidak bekerja, atau menyembah karena takut siksa, seperti budak yg curang jika tidak takut siksa, tidak bekerja, tetapi saya menyembah Allah karena cinta kepada-Nya.

Sufyan as-Tsauri minta nasehat kepada Rabi’ah al-Adawiyyah, maka Rabi’ah berkata: Engkau seorang yg baik, andaikan engkau tidak cinta kepada dunia. Wallaahu a’lam

104. Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (1)

Hikmah 104 dlm Al-Hikam:

“Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah”

مَتىَ اَعْطاَكَ اَشْهَدَكَ بِرَّهُ وَمتىَ مَنَعَكَ اَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَحُوَ فىِ كُلِّ ذٰلكَ مُتَعَرِّفٌ اِليكَ وَمُقَبِّلٌ لِوُجوُدِ لُطْفِهِ عليْكَ

Apabila Allah memberi karunia kepadamu, maka Dia akan menunjukkan kepadamu karunia belas kasih-Nya, dan apabila Allah menolak pemberian-Nya atasmu, maka Dia akan menunjukkan kepadamu kekuasaan-Nya, maka Dia dalam semua itu memperkenalkan diri kepadamu, dan menghadapkan kepadamu dengan kehalusan pemberian pemeliharaan-Nya kepadamu.

Kewajiban bagi tiap hamba harus mengenal Tuhannya, dengan segala sifat² kebesaran-Nya. Maka siapa yg tidak mau mengenal dengan sifat Mu’thi Wahhab (pemberi) maka ia harus mau mengenal dengan sifat Mani’ (menolak), Muntaqim (membalas), Qohhar (memaksa). Tetapi apabila telah mengenal hikmah Rahmat Allah, maka terasa bahwa semua itu semata-mata karunia dari Allah kepada hamba-Nya.

Sufyan as-Tsauri bertemu dengan Abu Habib al-Badri, dan memberi salam, Abu Habib bertanya: Engkaukah Sufyan as-Tsauri yg terkenal itu? Jawabnya: Benar, semoga Allah memberkahi apa yg dikatakan orang² itu. Lalu Abu Habib berkata: Hai Sufyan, tidak ada suatu kebaikan melainkan berasal dari Tuhan. Jawab Sufyan, Benar. Ditanya lagi: Mengapa kamu tidak suka bertemu pada siapa yg tidak ada kebaikan kecuali pada-Nya. Hai Sufyan: Penolakan Allah kepadamu itu berarti pemberian karunia-Nya padamu, sebab Dia tidak menolak karena bakhil atau tidak ada, hanya Dia menolak permintaanmu karena kasih-Nya kepadamu. Hai Sufyan, Sesungguhnya aku masih suka duduk dengan engkau tetapi bersamamu itu ada kesibukan, kemudian Abu Habib menuju ke kambingnya dan membiarkan Sufyan as-Tsauri. Wallaahu a’lam

105. Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (2)

Hikmah 105 dlm Al-Hikam:

اِنَّمَا يوُءَلِّمكَ المَنْعُ لِعَدَمِ فَهْمِكَ عَنِ اللهِ فيهِ

Sesungguhnya sebab terasa pedihnya penolakan Allah kepadamu itu, karena engkau tidak mengerti hikmah rahmat Allah dalam penolakan (tidak memberikan keinginan/harapanmu) itu.

Sebagian dari tanda memahami penolakan (tidak mengabulkan doa) dari Allah yaitu:

1. Kita bisa memahami bahwasanya Allah menghendaki kita menghadap kepada-Nya, selalu bergantung kepada-Nya, dan tanda dikasihi Allah, karena apabila Allah mencintai hamba-Nya maka hamba itu akan di jaga dari kesenangan dunia.

2. Kita bisa memahami bahwasanya Allah akan menapakkan kita ke jalan orang² yg dekat dengan Allah. Seperti kata Syaikh al-Fudhail dalam munajatnya : Ya Tuhanku, Engkau memberi lapar padaku dan keluargaku, dan Engkau tidak memberi pakaian padaku dan keluargaku, yg itu semua biasanya diperuntukkan untuk orang² pilihan, lalu kenapa aku bisa mendapatkan kedudukan yg seperti itu?

3. Kita bisa memahami bahwasanya dunia itu rusak, hina dan akan musnah, dan kita merasa senang dengan simpan untuk kita besok di akhirat.

Dengan memahami itu semua akan membuka hati kita. Dan apabila hati kita telah terbuka maka kita bisa memahami bahwa penolakan dari Allah itu lebih menyenangkan. Jadi Allah tidak memberi itulah hakikatnya pemberian Allah.

Tiada sempurna iman dan keyakinan seseorang kepada Allah sebelum ia memiliki dua sifat:

1. Percaya penuh kepada Allah, yakni bersandar dan berharap hanya kepada Allah.

2. Bersyukur kepada Allah karena dihindarkan dari padanya apa yg di ujikan pada orang lain yaitu berupa kekayaan dunia.

Juga tidak sempurna iman keyakinan hamba sebelum ia mengerti bahwa pemberian Allah sesuatu yg manfaat. Dan penolakan Allah itu karena madhorot/bahaya. Wallaahu a’lam

106. Jangan Menyombongkan Amalmu (1)

Hikmah 106 dlm Al-Hikam:

“Jangan Menyombongkan Amalmu”

رُبَّماَ فَتَحَ لكَ باَبَ الطَّاعةِ وَماَ فَتَحَ لكَ بَابَ القَبُولِ. وَرُبَّمَا قَضىَ عليكَ بالذ َّنْبِ فَكانَ سَبَباً فِي الوُصوُلِ

Terkadang Allah membukakan untukmu pintu taat, tetapi belum dibukakan pintu kabul (penerimaan), sebagaimana adakalanya ditaqdirkan engkau berbuat dosa, tetapi menjadi sebab wushul (sampaimu) kepada Allah.

Taat itu terkadang dibarengi dengan penyakit hati yg bisa menghilangkan ikhlas, seperti ujub (bangga dengan amalnya dll.), sedangkan dosa itu terkadang di ikuti dengan merasa hina dirinya dan menganggap baik orang yg tidak melakukannya, dan menjadikan dia meminta ampun kepada Allah sehingga menjadi sebab Allah mengampuni dosanya, dan bisa wushul kepada Allah.

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah yg jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menyingkirkan (mematikan) kamu, dan diganti dengan orang² yg berbuat dosa lalu minta ampun kepada Allah, lalu di ampuni oleh Allah. Wallaahu a’lam

107. Jangan Menyombongkan Amalmu (2)

Hikmah 107 dlm Al-Hikam:

مَعْصِيَة ٌ اَورَثـْتَ ذُلاًّ واَفـْتِقَاراً خَيرٌ من طاَعةٍ اَوْرَثـْتَ عِزًّ واسْتِكباَراً

Maksiat (dosa) yg menjadikan rendah diri dan membutuhkan rahmat dari Allah, itu lebih baik dari perbuatan taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub dan merendahkan orang lain.

Merasa hina, rendah diri itu bagian dari sifatnya seorang hamba kepada Allah. Syaikh Abu Madyan berkata: inkitsarun lil-‘aashi khoirun min wushuulil-muthiiI. Perasaan rendah diri telah berbuat dosa, itu lebih baik dari kesombongan seorang yg taat.

Ada kalanya seorang hamba berbuat kebaikan yg menimbulkan rasa ujub, sombong, sehingga menggugurkan amal yg di kerjakan sebelumnya. Dan ada kalanya seorang berbuat dosa yg menyedihkan hatinya, sehingga timbul rasa takut kepada Allah, yg menyebabkan keselamatan pada dirinya.

As-Sya’bi meriwayatkan dari al-Khalil bin Ayyud, bahwasanya seorang ‘abiid (ahli ibadah) bani israil, ketika ia berjalan ia selalu dinaungi oleh awan, tiba² ada seorang pelacur bani israil tergerak hatinya, ingin mendekat kepada si ‘Abid. Maka ketika pelacur itu mendekat pada si ‘abid, tiba² si abid itu mengusirnya dengan berkata: pergi kau dari sini. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi, bahwa Aku (Allah) telah mengampuni dosa pelacur itu dan membatalkan amal ‘abid itu. Maka berpindahlah awan dari atas kepala ‘abid ke atas kepala pelacur itu.

Al-Harits al-Muhasibi berkata: Allah menghendaki supaya anggota lahir ini sesuai dengan batinnya (hati), maka apabila sombong congkak seorang alim/’abid, sedangkan pelacur itu tawadhu’ merendahkan diri, maka ketika itu pelacur itu lebih taat kepada Allah dari si ‘abid dan alim.

Ada pula kisah: seorang ‘abid bani israil sedang sujud, tiba² kepalanya di injak oleh orang, maka ‘abid itu berkata: angkat kakimu, demi Allah aku tidak akan mengampunkan engkau. Maka Allah menjawab: Hai orang yg bersumpah atas nama-Ku, bahkan engkau tidak diampunkan karena kesombonganmu. Al-Harits berkata: Dia bersumpah karena merasa diri besar di sisi Allah, maka kesombongan, ujub itulah yg tidak di ampuni Allah. Wallaahu a’lam

108. Nikmat Iijad dan Nikmat Imdad (1)

Hikmah 108 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Iijad (Diciptakan) dan Nikmat Imdad (Kelanjutan)”

نِعْمَتاَنِ ماَ خَرَجَ موْجُودٌ عَنْهاَ ولاَ بُدَّ لِكُلِّ مُكـَوِّنٍ مِنْهُما نِعْمةُ الاِيْجادِ وَنِعْمة ُالاِمْداَدِ

Ada dua nikmat yg tidak ada satu makhlukpun yg terlepas dari keduanya, yaitu nikmat ciptaan (diwujudkan) dan nikmat kelanjutan.

Karena tiap makhluk asalnya tidak ada, maka nikmat yg diterima pertama kali adalah nikmat iijad/diciptakan Allah yg menjadikannya ada. Kemudian dilanjutkan dengan nikmat imdad/kelanjutan hidup, yakni melengkapi kebutuhan hidup, sebab bila tidak dilengkapi kebutuhan hidup maka tidak akan dapat bertahan hidup. Wallaahu a’lam.

 

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kedua nikmat ini dirasakan oleh setiap yg berwujud. Setiap yg ada, awalnya tidak ada dan nihil. Nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan itu darinya sehingga ia menjadi ada. Tanpa nikmat itu, niscaya ia tetap tidak ada. Sesuatu yg tidak ada itu tentu tidak berharga.

Ketika keberadaannya membutuhkan pertolongan Ilahi agar sosok dan rangka fisiknya tetap ada, Allah membantunya dengan memberinya manfaat dan melindunginya dari bahaya. Oleh karena itu, nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan sebelumnya, sedangkan nikmat pemenuhan atau bantuan Ilahi dapat menghilangkan ketiadaan sesudahnya dan menggantinya dengan wujud yg berkesinambungan.

Tanpa nikmat penciptaan, segala sesuatu tidak akan keluar dari ketiadaan menuju wujud. Ia akan tetap ma’dim (tidak ada). Kemudian, tanpa nikmat pemenuhan dan bantuan Allah, wujud segala yg ada tidak akan sempurna. Ia tidak akan kekal, bahkan ia akan cepat rusak dan luluh lantak dalam waktu yg singkat. Semuanya berlaku pada seluruh makhluk, yg tinggi maupun yg rendah. Wallaahu a’lam.

109. Nikmat Iijad dan Nikmat Imdad (2)

Hikmah 109 dlm Al-Hikam:

اَنْعَمَ عليكَ اوَّلاً بِالاِيجَادِ واثاَنياً بِتَوالى الاِمدادِ

Pada mulanya Allah memberi nikmat kepadamu berupa iijad/diwujudkan, kemudian nikmat yg kedua: melengkapi kebutuhan² wujudmu yg terus-menerus (bantuan/pertolongan Allah).

Allah berfirman: wa-asbagho ‘alaikum ni’mahuu-dhohirotan-wa-baathinah.(Allah menuangkan kepadamu nikmat lahir batin yg terang dan samar, dan yg tidak terasa.)

Dan firman Allah: “Tetapi Allah yg mencintakan kamu kepada iman, dan Allah menghias iman itu dalam hatimu, dan Allah yg membencikan kamu kepada kufur (kekafiran) dan pelanggaran dan maksiat dosa. Merekalah orang yg dapat petunjuk, itu semua karunia dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hujurat: 8)

Dzun-Nun al-Mishri berkata: Siapa yg dalam tauhid itu merasa seolah-olah sebagai hasil kecerdasannya sendiri, maka tauhid itu, tidak dapat menyelamatkannya dari api neraka, sehingga merasa bahwa tauhidnya itupun karunia dari Allah Ta’ala.

Seseorang apabila telah merasa asal kejadiannya dari Allah dan kelanjutannya pun dari Allah, merasa bahwa sifat fakirnya itu memang asli pada kejadiannya, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari Tuhan yg di hajatkannya pada tiap detik dalam wujudnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya seorang hamba mengetahui bahwa awal dan kesinambungan wujudnya dari Allah, niscaya dia mengetahui bahwa kebutuhan adalah sifat aslinya. Maka dari itu, ia amat membutuhkan pertolongan Allah karena setelah berwujud, setiap saat ia teramat miskin dan papa. Ia amat membutuhkan pertolongan dan pemenuhan kebutuhan.

Berikutnya, pertolongan Ilahi ini pun datang berturut-turut kepadanya. Ada yg berupa makanan untuk membuatnya kenyang dan menguatkan tubuhnya. Ada pula yg berupa makanan untuk ruhnya, seperti keimanan, ilmu, dan pengetahuan.

Pertolongan Ilahi yg pertama meliputi seluruh makhluk, mukmin maupun kafir, seperti halnya nikmat penciptaan. Namun, pertolongan kedua khusus untuk kaum mukmin saja. Wallaahu a’lam

110. Sifat Asli Manusia Dan Waktu Terbaik Untuk Hamba

Hikmah 110 dlm Al-Hikam:

“Sifat Asli Manusia Dan Waktu Terbaik Untuk Hamba”

فاَقَتُكَ لكَ ذاتِيَةٌ وَوُروُدُ الاَسباَبِ مُذَكِراَتٌ لكَ بماَ خَفىَ عليكَ منهَا وَالفاقَةُ الذ ّاَتِيَةٌ لاَتَرْفَعُهاَ العَوَارِضُ

Kefakiran/kebutuhanmu itu adalah sifat asli dalam dzat kejadianmu, sedang sebab²/kejadian yg menghinggapi dirimu itu untuk mengingatkan kamu apa yg tersembunyi bagimu dari sifat aslimu, sedangkan kebutuhan/sifat asli itu tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yg sementara.

Hikmah ini menjadi kelanjutan dari hikmah sebelumnya, yg menerangkan nikmat pemberian dari Allah.

Jadi jelas sudah, bahwa wujud/kejadianmu itu pemberian/ciptaan Tuhan, demikian pula hajat kebutuhan tiap detik untuk kelanjutan hidup, itupun pemberian Tuhan, maka jelas bahwa kebutuhan/kefakiran itu asli dalam kejadianmu.

Jadi apabila kamu lupa dengan kefakiranmu, seolah-olah kamu tidak berhajat karena sudah hidup, dalam kondisi sehat, punya harta maka itu suatu hal yg hinggap sementara ketika engkau lupa asal kejadianmu, maka Allah memberi padamu peringatan berupa penyakit, kekurangan harta, dll, untuk mengingatkan kamu asal kejadianmu (fakir). Sehingga kamu mau kembali lagi menjadi seorang hamba.

Sebagian ulama’ mengatakan: mengapa Fir’aun mengatakan “ANA ROBBUKUMUL-A’LAA” (akulah tuhan yg maha tinggi), itu dikarenakan Fir’aun itu kaya dan selalu sehat tidak pernah sakit. Fir’aun dalam waktu 40 tahun itu tidak pernah sakit sekalipun, seumpama dia pernah sekali saja sakit kepala atau panas badannya, tentu dia tidak akan mengaku menjadi Tuhan.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.

Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka “Sebab² ketergantungan kepada Allah”, agar mereka kembali sadar dan ingat. “Sebab² ketergantungan kepada Allah” itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dan sebagainya.

“Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak ‘ubudiyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memenuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.

Sebagian orang mengatakan, “Yang membuat Firaun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai tuhan.”

Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang ‘arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. “Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.

Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridhaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.

“Ketergantungan kepada Allah” yg merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yg bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan hanyalah relatif dan sementara. Bukan perkara yg sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan sebaliknya, sehingga kau benar² merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah Ta’ala saja. Wallaahu a’lam

111. Waktu Terbaik Untuk Hamba

Hikmah 111 dlm Al-Hikam:

“Waktu Terbaik Untuk Hamba”

خَيْرُ اَوقاَتِكَ وَقْتٌ تَشْهَدُ فيهِ وُجُودُ فاَقَتِكَ وَتُرَدُّ فيِهِ اِلٰى وُجُودِ ذِلَّتِكَ

Sebaik-baik waktu dalam hidupmu, ialah saat² dimana engkau merasa dan mengakui kefakiran/kebutuhanmu, dan kembali pada adanya kerendahan dirimu.

Sebaik-baik waktu dalam masa hidupmu, ialah saat ingat kepada Allah dan putus hubungan dengan segala sesuatu selain-Nya. Yaitu disaat merasakan benar² kebutuhanmu kepada Allah, sedang segala sesuatu yg lainnya tidak dapat menolong meringankan kebutuhanmu. Dan tidak ada pengharapan selain pada Allah. Maka pada saat itu murnilah pengertian tauhidmu kepada Allah.

Diceritakan: Syaikh ‘Atha’ as-Sulami selama tujuh hari tidak merasakan makanan sama sekali dan dia tidak bisa berbuat apa², tapi dalam kondisi seperti itu hati Beliau tambah senang, dan berkata (berdoa): “Ya Tuhanku, jika Engkau tidak memberi makanan kepadaku tiga hari lagi tentu aku akan shalat seribu raka’at.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ini dianggap waktu terbaik karena pada waktu ini kau merasa hadir dengan Tuhanmu. Kau palingkan pandanganmu dari segala media, sarana, dan sebab² yg membuatmu semakin jauh dari-Nya. Lain halnya ketika kau merasa kaya dan mulia, maka itu adalah waktu terburuk bagimu.

Diceritakan bahwa suatu malam, Syaikh Fatah al-Mushili pulang ke rumahnya. Ia tidak mendapati hidangan makan malam, lampu penerang, dan tidak pula kayu bakar. Ia tetap memuji Allah dengan mengucap Alhamdulillah seraya beribadah kepada-Nya. Ia berdoa,

“Tuhanku, dengan sebab dan wasilah (perantara) apalagi agar Engkau memperlakukanku seperti memperlakukan para wali-Mu?”

Demikian pula yg terjadi pada Fudhail ibn Iyyadh. Ia berkata, “Dengan amal apa lagi supaya aku layak mendapatkan hal ini dari-Mu agar aku terus mengalaminya?”

Banyak kejadian serupa yg terjadi pada orang² yg dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Kebutuhan adalah hari raya para murid.” Wallaahu a’lam

112. Al-Unsu (Ketenangan Jiwa)

Hikmah 112 dlm Al-Hikam:

“Al-Unsu (Ketenangan Jiwa)”

مَتٰى اَوحَشكَ من خَلقِهِ فاَعْلم اَنَّهُ يُرِيدُ ان يَفتحَ لك باَبَ الاُنْسِ بِهِ

Apabila Allah telah menjemukan kamu dari makhluk, maka ketahuilah bahwa Allah akan membukakan untukmu pintu ketenangan dan senang kepada Allah.

Pada hikmah² sebelumnya menjelaskan tentang karunia pemberian Allah kepada kita, sehingga kita tahu tentang kefakiran dan kehinaan kita.

Pada hikmah ini Syaikh Ibnu Atha’illah menjelaskan tanda orang² yg sudah bergantung kepada Allah akan diberi Unsu (ketenangan hati). Yaitu ketika Allah telah membuka pintu ketenangan menghadap Allah, maka kita benar² menjadi hamba Allah, dan kita akan merasa jemu dengan selain-Nya (makhluk), karena merasa makhluk tidak bermanfaat, bahkan adakalanya mudharat bagi kita.

Diceritakan: Syaikh Abu Yazid al-Busthami ketika ia diperlihatkan oleh Allah alam malakut dan makhluk² yg ada di langit, kemudian ditanya: Adakah sesuatu yg menyenangkan engkau? Jawabnya: Tidak. Maka dikatakan kepadanya: Engkau hamba Allah yg sesungguhnya. Wallaahu a’lam

113. Rahasia Berdoa

Hikmah 113 dlm Al-Hikam:

“Rahasia Berdoa”

مَتٰى اَطـْلَقَ لِساَنَكَ بِاالطَلَبِ فَاعلمْ اَنَّهُ يُرِيدُ ان يُعْطِيكَ

Ketika lisanmu digerakkan untuk meminta, berarti Dia hendak memberimu.

Yakni ketika Allah melepaskan lidahmu dari diam (tidak meminta) yg timbul karena kamu merasa kaya dan tidak butuh dan tidak melihat kefakiranmu, sehingga kamu mau meminta/berdoa dengan lisanmu kepada Allah, itu disebabkan kamu sadar dengan kefakiranmu, pasti Allah akan memberi kepadamu. Karena Allah telah berjanji akan mengijabah doa orang² yg sangat berhajat.

Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yg telah mendapatkan izin berdoa, berarti telah dibukakan baginya pintu rahmat, dan tiada dimintai sesuatu yg lebih disukai oleh Allah dari pada dimintai ampunan dan selamat dunia akhirat.

Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yg telah diberi kesempatan berdoa, maka tidak akan diharamkan dari ijabah (diterimanya doa).

Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Apabila Allah kasih sayang kepada seorang hamba, maka diturunkan kepadanya bala’, maka bila ia berdoa, Malaikat berkata: Suara yg sudah terkenal, Jibril berkata: Tuhanku, hamba-Mu Fulan, sampaikan hajatnya. Allah menjawab: Biarkan saja hamba-Ku, Aku suka mendengar suaranya, maka apabila hamba berkata: Ya Robbi.. Allah menjawab: Labbaika hamba-Ku, tiada engkau berdoa kecuali Aku sambut, dan tiada engkau meminta melainkan pasti Aku berikan, ada kalanya aku segerakan pemberian-Ku untukmu, atau Aku simpan untukmu yg lebih baik bagimu. Atau Aku tolak dari padamu bala’ yg lebih besar dari itu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Diam adalah sifat yg dituntut dari seorang hamba yg tak lagi membutuhkan perkara duniawi dan tidak lagi memperhatikan berbagai kebutuhannya.

Namun, Allah bisa saja melepas tuntutan diam itu darimu. Misalnya, dengan memberimu kemiskinan dan kebutuhan sehingga kau pun terdorong untuk berdoa kepada-Nya. Maka pada saat itulah lisanmu digerakkan untuk meminta kepada-Nya dengan lisan keterdesakan. Ini berarti juga bahwa keinginanmu akan terwujud, sebab janji Allah untuk mengabulkan doa seseorang yg terdesak kebutuhan pasti akan ditepati-Nya. Allah tidak pernah melanggar janji-Nya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg diberi kesempatan berdoa maka pengabulannya tidak akan terhalang.” Pengabulan doa itu bisa berupa sesuatu yg dimintanya, bisa pula selainnya; bisa langsung atau tidak langsung:

Seseorang berkata, “Pengabulan ini terjadi bila doa itu bersumber dari ikhtiar dan niat baik. Adapun jika ia mengalir saja dari lisan tanpa disertai niat dan tujuan, pengabulannya yg berupa sesuatu yg diminta mungkin agak sedikit telat.” Wallaahu a’lam

114. Kebutuhan Orang ‘Arif Terhadap Allah Tidak Pernah Hilang

Hikmah 114 dlm Al-Hikam:

“Kebutuhan Orang ‘Arif Terhadap Allah Tidak Pernah Hilang”

العاَرِفُ لاَ يَزوُلُ اِضْطرَارُهُ ولاَ يَكُوْنُ معَ غَيْرِالله قرَارةٌ

Seorang ‘arif selalu merasa butuh pada-Nya dan hanya merasa tenang jika bersama-Nya.

Seorang ‘Arif mempunyai hati yg sangat halus dan adab sopan santun yg sangat tinggi terhadap Allah. Dia mengenali karunia dan kekuasaan Allah, pada nikmat penciptaan (ijaad) dan nikmat kelanjutan kewujudan (imdaad) yg diciptakan Allah. Dia meyakini bahwa tiada satu detik pun makhluk bisa terlepas dari ketergantungan kepada Allah.

Seorang ‘Arif selalu merasa berhajat kepada Allah, sebab memang tidak ada sesuatu yg bisa memuaskan kepadanya selain Allah. Juga karena sadar benar² terhadap kekuasaan Allah disamping kelemahan dan kebutuhan diri sendiri kepada Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kebutuhan seorang ‘Arif selalu ada karena ia melihat kuasa Allah yg Maha Menyeluruh, mengenali dirinya sendiri dengan baik, dan menyadari kebutuhannya setiap saat. Lain halnya dengan orang yg tidak ‘Arif, ia terkadang butuh, lalu berdoa, terkadang pula berdoa, namun tidak butuh. Hal itu dikarenakan kebutuhan orang² awam bergantung pada adanya dorongan sebab². Mereka terlalu di dominasi oleh indra dalam penyaksiannya. Jika sebab² itu hilang dari mereka, kebutuhan mereka pun akan sirna.

Sekiranya mereka melihat kuasa Allah yg menyeluruh niscaya mereka mengetahui bahwa kebutuhan mereka kepada Allah bersifat abadi. Mereka tidak akan tenang dan hati mereka tidak akan bergantung kecuali kepada Allah semata, karena sesekali mereka merasa butuh kepada sesuatu, tetapi hati mereka menolak sesuatu itu. Ini menandakan bahwa “kebutuhan akan bantuan-Nya” dan “tergeraknya lisan untuk meminta kepada-Nya” merupakan dua sifat orang² ‘Arif. Wallaahu a’lam

115. Hati Diterangi Dengan Nur Sifat-Nya

Hikmah 115 dlm Al-Hikam:

“Hati Diterangi Dengan Nur Sifat-Nya”

اَناَرَالظواَهِر بِاَنواَرِ اَثاَرِهِ وَاَناَرَالسَّرَاءرَ اَوْصافِهِ لاَجْلِ ذٰلكَ اَفَلَتْ اَنْوَارُالظَّواهِرِ وَلمْ تأفـُلْ اَنْوَارُالقلوبِ واَالسرَاءرِ ،ولذَٰلكَ قِيلَ : انَّ شَّمسَ النَّهاَرِ تـَغْرُبُ بِليلٍ وَشَمْسَ القلوبِ ليسَتْ تغيْبُ

Allah telah menerangi alam (lahir) ini dengan cahaya makhluk (atsar)Nya, dan menerangi hati (sirr) dengan Nur sifat-Nya. Maka karena itu cahaya alam itu bisa terbenam, dan tidak dapat terbenam/hilang cahayanya hati dan sirr. Kata syair: “Sesungguhnya mataharinya siang itu terbenam waktu malam, tetapi mataharinya hati tidak pernah terbenam.”

Allah menerangi alam dengan Nur/cahaya bulan, bintang dan matahari yg semua itu makhluk yg rusak dan berubah, tetapi Allah menerangi hati (sirr) dengan Nur, ilmu dan ma’rifat yg langsung dari sifat² Allah, maka karenanya tidak dapat suram dan terbenam.

Syair ini mengingatkan pada kita tentang pentingnya memperhatikan sesuatu yg abadi dari pada yg bisa rusak dan sirna.

Sahl bin Abdullah ra. ketika ditanya tentang makanan (qut) jawabnya: Huwa-alhayyul-ladzii laa-yamuut. (Ia yg hidup dan tiada mati). Penanya berkata: Saya tidak bertanya tentang makanan itu, tapi makanan yg menguatkan, jawabnya: Ilmu, ketika ditanya: Makanan sehari-hari yg lazim? Jawabnya: Dzikir, ditanya: makanan jasmani? Jawabnya : apa urusanmu dengan jasmani, biarkan/serahkan pada yg membuat pada mulanya, Dia akan mengurusi selanjutnya, jika ada kerusakan kembalikan pada yg membuat, tidakkah itu sudah lazim, buatan sesuatu jika rusak kembalikan pada yg membuat untuk diperbaiki.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala menerangi seluruh langit dan bumi dengan cahaya dari jejak sifat²Nya atau dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang, yg kesemuanya mencerminkan sifat qudrah dan iradah Allah. Seluruh fenomena alam nyata ini menjadi terbuka bagi kita dengan cahaya bintang². Saat itu, kita bisa melihat seluruh alam semesta dan mengambil manfaat darinya atau menghindari bahayanya.

Allah menerangi relung batin dengan ilmu pengetahuan yg bersumber dari penampakan sifat²Nya pada hati orang² ‘arif. Relung batin orang² ‘arif itu menjadi terbuka dengan cahaya ilmu pengetahuan yg bersumber dari sifat² Allah Ta’ala atau meresapnya sifat² itu dalam hati mereka. Saat itulah, orang² ‘arif akan bisa melihat berbagai sifat yg ada dalam batin mereka sehingga mereka akan menghindari bahayanya dan mengambil manfaatnya.

Alam semesta bisa nyata dengan cahaya makhluk-Nya dan relung batin bisa nyata dengan cahaya sifat²Nya. Cahaya makhluk bersumber dari sesuatu yg hadits (baru), sedangkan cahaya sifat²Nya bersumber dari Dzat yg Qadim (terdahulu). Semua Cahaya lahir (yg berasal dari makhluk) itu akan redup.

Cahaya matahari akan hilang di malam hari. Cahaya bintang dan bulan akan hilang di siang hari. Namun, cahaya hati yg bersumber dari penyaksian terhadap sifat² Allah yg Qadim tidak akan pernah hilang dan redup. Tentu saja cahaya yg bersumber dari Yang Maha Qadim tidak akan sirna.

Yg membuat cahaya itu tidak tampak adalah sifat² kemanusiaan yg ada pada diri orang² ‘arif, sehingga cahaya itu seolah-olah tak ada. Padahal, cahaya itu tetap ada dalam hati mereka. Oleh sebab itu, seorang penyair berkata,

“Sesungguhnya, matahari siang terbenam menjelang malam, namun matahari hati tiada pernah tenggelam.”

Syair lain mengatakan:

“Matahari pencinta Tuhan akan terbit di malam hari.

Ia akan memancarkan sinarnya dan tak pernah terbenam.”

Di sini terkandung peringatan bahwa perkara² yg abadi itulah yg harus disukai, disenangi, perlu dilestarikan, dan dijaga kondisinya. Lain halnya dengan perkara² fana yg bisa terbenam, ia tak perlu digandrungi. Bila demikian, seorang hamba akan mengikuti keyakinan dan prinsip Ibrahim saat ia berkata, “Saya tidak suka sesuatu yg terbenam dan hilang.” Wallaahu a’lam

116. Sikap Menghadapi Bala’ & Ujian

Hikmah 116 dlm Al-Hikam:

“Sikap Menghadapi Bala’ & Ujian”

لِيُخَفِّفْ اَلَمَ البَلاَءِ عليكَ عِلمُكَ بِاَنَّهُ سُبْحانهُ هُوَ المُبْلى لكَ. فالذِىواجْهَتكَ منهُ الاقدارُ هُوَالذيْ عَوَّدَكَ حُسنُالاِخِتِياَرِ

Seharusnya bala’ yg menimpa padamu terasa ringan, karena engkau mengetahui bahwa Allah yg menguji (memberi bala’) padamu. Maka Tuhan yg menimpakan kepadamu takdir-Nya itu, Dia pula yg telah biasa memberi sebaik-baik apa yg dipilihkan-Nya untukmu. (Dialah yg membiasakan kau merasakan sebaik-baik pilihan-Nya/pemberian-Nya).”

Ketahuilah, bahwa Dzat yg memberi nikmat kepadamu punya kebiasaan senang memberi sesuatu yg terbaik untukmu, maka di lain waktu bila memberi sesuatu yg dirasakan tidak baik, tentu kau bisa yakin bahwa itu juga terbaik untukmu.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Suatu tanda seseorang itu mendapat taufiq karunia Allah, ialah terpeliharanya iman (Tauhid) diwaktu menghadapi bala’, ujian bencana. Wa-‘asaa -an-takrohuu syai-an-wahuwa khoirul-lakum (Mungkin kamu tidak suka pada sesuatu, padahal itu baik untukmu).

Syaikh Abu Thalib al-Makki berkata: Manusia itu tidak suka miskin, hina dan penyakit, padahal itu semua baik baginya untuk bekal di akhirat, sebaliknya ia suka kaya, sehat dan terkenal padahal itu semua bahaya di sisi Allah, dan jelek akibatnya.

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Ketika saya tidur di tempat Syaikh Sary as-Saqathy, tiba² saya di bangunkan, lalu dia berkata: Ya Junaid, saya telah bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, lalu Allah berkata kepadaku: Hai Sary, ketika Aku membuat makhluk maka semua mengaku cinta kepadaku, kemudian aku membuat dunia, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen (90%) dan tinggal sepuluh persen (10%), kemudian Aku membuat surga, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen dari sisanya itu, kemudian Aku membuat neraka, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen dari sisanya itu, kemudian Aku membuat bala’, maka lari dari padaku sembilan puluh persen dari sisa²nya itu.

Maka Aku berkata pada sisa yg tinggal itu: Dunia kamu tidak mau, surga kamu tidak suka, neraka kamu tidak takut, bala’ musibah juga kamu tidak lari, maka apakah keinginanmu? Jawabnya: Engkau telah mengetahui keinginan kami. Aku berkata: Aku akan menurunkan kepadamu bala’ yg tidak akan sanggup menanggungnya walaupun bukit yg besar. Sabarkah kamu? Jawab mereka: Apabila Engkau yg menguji, maka terserahlah kepada-Mu (berbuatlah sekehendak-Mu), maka mereka itulah hamba-Ku yg sebenarnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau harus sadar bahwa Allah yg mengujimu, bukan yg lain. Dia yg lebih mengetahui maslahatmu daripada dirimu sendiri. Kesadaran ini akan menjadi sebab kebahagiaan, kesenangan, hiburan, ketawakkalan, dan kesabaranmu. Dzat yg menetapkan berbagai perkara yg ditakdirkan untukmu, seperti penyakit, hilangnya harta dan anak, atau yg lainnya, adalah Dzat yg memilihkan untukmu perkara terbaik yg sesuai denganmu.

Dalam kehidupan ini pun kau kerap menyaksikan bahwa orang yg selalu berbuat baik kepadamu bisa saja sewaktu-waktu bersikap buruk dan berbuat kasar kepadamu. Sekalipun demikian, kau tetap sabar menghadapi sikap buruknya karena mungkin saja kekasaran dan keburukan sikapnya itu didasari oleh niat baik dari dalam lubuk hatinya.

Demikian pula seorang hamba, jika ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala Maha Pemurah, Maha Lembut, dan Maha Melihat kepadanya, setiap petaka dan ujian yg dijatuhkan kepadanya tidak perlu dipedulikan karena Allah tidak menghendaki darinya kecuali kebaikan. Dengan kesadaran itu, ia akan berbaik sangka kepada Allah dan yakin bahwa itu adalah pilihan-Nya untuknya. Ia harus yakin bahwa dalam ujian itu terkandung maslahat tersamar bagi dirinya yg tidak diketahui, kecuali oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Syaikh Abu Thalib al-Makki berkata tentang ayat ini, “Seorang hamba benci kemiskinan, kekurangan, kelemahan, dan bahaya, padahal itu lebih baik baginya di hari akhir. Mungkin ia suka kekayaan, kesehatan, dan popularitas, padahal di sisi Allah itu lebih buruk baginya dan lebih jelek akibatnya.” Wallaahu a’lam

117. Salah Satu Tanda Lemahnya Iman adalah Tidak Melihat Lembutnya Takdir

Hikmah 117 dlm Al-Hikam:

“Salah Satu Tanda Lemahnya Iman adalah Tidak Melihat Lembutnya Takdir”

مَنْ ظَنَّ اِنفِكَاَكُ لُطْفِهِ عن قَدَرِهِ فَذاَكَ لِقُصُورِنَظْرِهِ

Barangsiapa yg mengira terlepas kasih sayang Allah sebab turunnya bala’ ujian yg ditakdirkan Allah, maka yg demikian itu disebabkan karena piciknya (dangkalnya) pandangan imannya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan menuduh tidak baik terhadap segala apa yg telah ditakdirkan Allah untukmu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Jika Allah belas kasih pada seorang hamba, maka diuji dengan bala’, jika sabar maka dipilih-Nya, jika telah ridho maka di istimewakan.”

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg dikehendaki Allah untuknya kebaikan, maka diujinya dengan musibah bala.”

Abu Hurairah ra. dan Abu Said ra. keduanya berkata: Bersabda Rasulullah Saw., “Tiada sesuatu yg mengenai seorang mukmin berupa penderitaan, kelelahan atau risau hati/fikiran melainkan kesemua itu akan menjadi penebus dosanya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Tiada seorang muslim yg terkena musibah bala’ gangguan atau penyakit, dan yg lebih ringan dari itu melainkan Allah menggugurkan dosanya, bagaikan gugurnya daun pohon.”

Kita jangan menjadi orang yg dangkal/piciknya pandangan, sehingga tidak dapat melihat adanya nikmat rahmat karunia dari Allah dalam takdir musibah bala’ itu hanya karena lemahnya iman keyakinan, dan tidak adanya husnudzan terhadap Allah Ta’ala yg Maha Bijaksana.

Sebab kalau kita mau berhusnudzan kepada Allah, banyak sekali karunia Allah yg diberikan bersamaan dengan bala’/ujian itu di antaranya:

Sebab bala’, Allah menempatkan kita di pintu rahmat-Nya.

Sebab bala’, nafsu kita jadi lemah, hilang kekuatannya, hilang sifat²nya nafsu yg menjatuhkan kita ke pintu maksiat dan mencintai dunia.

Sebab bala’, hati mudah untuk taat seperti sabar, ridho, tawakkal, zuhud dan ingin bertemu dengan Allah.

Sebab bala’, dosa² hamba akan di ampuni oleh Allah.

Imran bin Husain ra. menderita penyakit buang air selama tiga puluh tahun tidak dapat bergerak dari tempat tidurnya, sehingga dibuatkan lubang dibawah tempat tidur untuk kencing dan buang airnya, suatu hari datang saudaranya Al alaa’ atau Muthorrif bin Assyikhir, lalu menangis melihat penderitaan Imran bin Husain, maka ditanya oleh Imron, “Mengapakah engkau menangis?” Jawabnya, “Karena aku melihat keadaanmu.” Imran berkata, “Jangan menangis, karena aku suka pada apa yg disukai Allah untukku.” Kemudian Imran berkata, “Saya akan berkata kepadamu semoga bermanfaat bagimu, tetapi jangan kau buka kepada orang lain sehingga aku mati. Sesungguhnya para malaikat berziarah padaku dan memberi salam padaku, sehingga aku merasa senang dengan adanya mereka.”

Urwah bin az-Zubair ra. ketika sakit yg oleh dokter diputuskan harus di potong betisnya, maka ketika akan dilaksanakan, oleh dokter akan diberi obat tidur supaya tidak terasa sakitnya dipotong betisnya itu. Urwah berkata, “Jangan diberi obat tidur, tetapi teruskan potong betis tanpa obat tidur.” Dan ketika di gergaji betisnya tidak terdengar keluhan kecuali ucapan Hasby (cukup bagiku yakni rahmat Allah).

Dan setelah selesai operasinya, ia menyuruh pembantunya supaya mencuci dan membungkus potongan betisnya itu dan menguburnya di kuburan kaum muslimin, lalu ia berkata, “Allah telah mengetahui bahwa kaki itu tidak pernah saya gunakan berjalan kepada maksiat.” Lalu ia berkata, “Ya Allah, jika Engkau ambil, masih banyak sisanya, jika engkau memberi bala’, masih banyak selamatnya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kemahakuasaan Allah terlihat saat Allah menimpakan petaka dan ujian kepadanya. Jika ia mengira bahwa kelembutan Allah itu terpisah dari kekerasan-Nya, hal itu menandakan pandangannya sempit. Sekiranya pandangannya sempurna, ia akan menyadari bahwa dalam petaka dan ujian itu ia banyak mendapat kelembutan Allah. Misalnya, dengan ujian itu, ia bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ujian yg ditimpakan Allah kepada hamba²Nya pasti bertolak belakang dengan keinginan mereka dan membuat nafsu syahwat mereka meronta. Tentu setiap hal yg mengganggu atau menyakiti nafsu pasti akan berbuah baik, bahkan sebelum hamba itu kembali kepada Allah dan mengetuk pintu-Nya. Ini adalah faedah terbesar dari ujian dan cobaan. Hamba yg mendapatkan ujian akan mendapati bahwa jiwanya lemah, kekuatannya terbatas, dan sifat² yg telah mendorongnya melakukan dosa atau maksiat serta menguatkan keinginannya terhadap dunia adalah bathil.

Dengan ujian itu, biasanya seorang hamba akan meraih ketundukan hati, sabar, ridha, tawakkal, zuhud, dan ingin bertemu Allah. Bagaimanapun, sebiji sawi amalan hati lebih baik daripada segunung amalan anggota tubuh. Dengan ujian itu pula, ia akan mendapatkan penghapusan dosa dan kesalahan serta meraih kelembutan Ilahi lainnya. Wallaahu a’lam

118. Khawatir Dengan Hawa Nafsu

لاَ يُخاَفُ عليكَ اَنْ تَلْتَبِسَ الطُرُقُ عليكَ وَاِنَّماَ يُخَافُ عليكَ مِنْ غَلبَةِ الهَوَى عليكَ

Tidak dikuatirkan padamu salah jalan, tetapi yg dikuatirkan atasmu yaitu menangnya hawa nafsu mengalahkan akal dan imanmu.

Apabila kamu dalam perjalanan suluk mengalami berbagai hal seperti: berbuat taat, atau maksiat, mendapat nikmat atau bala’, itu semua jalan menuju Allah yg sudah jelas, sudah cukup tuntunan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jika berbuat taat hendaknya merasa itu sebagai karunia dari Allah, jika berbuat dosa lekas bertaubat, jika menerima nikmat harus bersyukur, jika mendapat ujian bala’ harus bersabar. Tetapi yg di khawatirkan padamu yaitu merajalelanya hawa nafsu, sehingga mengalahkan akal dan iman.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

“Ketidakjelasan jalan” bermakna ketidakjelasan jalan ‘ubudiyah yg dapat mengantarkanmu ke hadirat Tuhanmu saat kau mengalami satu ahwal. Padahal, jalan ‘ubudiyah ini telah dijelaskan syari’at. Siapa yg menelaah Al-Qur’an dan sunnah maka ia akan mendapatkan bimbingan gamblang dalam meniti jalan itu.

‘Ubudiyah-mu dalam ketaatan adalah dengan menyaksikan karunia ketaatan itu. ‘Ubudiyah dalam maksiat adalah dengan beristighfar dan bertaubat. Adapun ‘ubudiyah-mu dalam kenikmatan adalah dengan mensyukuri nikmat tersebut dan ‘ubudiyah dalam cobaan adalah dengan bersabar.

Dalam semua kondisi di atas, yg dikhawatirkan dari dirimu adalah kemenangan hawa nafsu atas dirimu sendiri sehingga ia membutakan matamu sampai kau tidak bisa melihat jalan tujuanmu. Ia bisa membuatmu bersikap sombong dan ‘ujub atas ketaatanmu, mendorongmu untuk selalu bermaksiat, mengabaikan nikmat dan tidak mensyukurinya, atau gelisah dan sedih saat menerima musibah.

Bisa jadi makna hikmah di atas adalah yg dikhawatirkan darimu, bukan ketidaktahuanmu tentang mana di antara sekian amal yg harus kau utamakan. Ini akan kau alami jika kau tidak dibimbing oleh seorang Syaikh atau Guru. Yg dikhawatirkan darimu justru adalah saat hawa nafsu mengalahkanmu. Hawa nafsu akan menghalangimu untuk melakukan amalan² tersebut sehingga kau malah mengurungkan niat meniti jalan menuju Tuhan. Bahkan, kau meninggalkan jalan yg semestinya kau gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Jika kau tidak mengetahui mana yg lebih utama di antara semua amal itu, sebaiknya kau mencari seorang Syaikh pembimbing agar kau diajari dan dibimbingnya. Wallaahu a’lam

119. Allah Menutupi Rahasia Kewalian

Hikmah 119 dlm Al-Hikam:

“Allah Menutupi Rahasia Kewalian”

سُبْحاَنَ من سَتَرَ سِرَّالخُصُوصيَّةِ بِظُهُورِ البَشَرِيَّةِ وَظَهرَ بِعَظَمةِ الرُّبُوْبِيَّةِ فِى اِظهاَرِالعُبُودِيَّةِ

Maha Suci Allah yg telah menutupi rahasia² keistimewaan seorang wali dengan tampaknya sifat² yg umum bagi menusia, dan telah jelas terlihat keagungan ke-Tuhanan Allah dengan menunjukkan kepada manusia sifat² kehambaan dan kerendahan mahluknya.

Rahasia² kebesaran ilmu makrifat yg diberikan oleh Allah pada para wali-Nya ditutupi oleh Allah dengan tampaknya sifat dan kebiasaan yg umum bagi semua manusia, seperti bekerja, bertani, berdagang, dll, tetapi dalam hatinya penuh dengan ilmu dan makrifat. Sebaliknya Allah memperlihatkan dengan sangat jelas kebesaran Ketuhanan-Nya dengan menunjukkan sifat² ‘Ubudiyah, kelemahan dan kefakiran hamba kepada-Nya.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: AL-‘UBUDIYYATU JAUHAROTUN ADH-HAROTHAR-RUBUBIYYAH. (‘Ubudiyah/penghambaan itu berlian yg diperlihatkan oleh Allah).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Di antara “keistimewaan” yg dimaksud dalam hikmah di atas adalah ilmu pengetahuan dan rahasia² Ilahi yg diberikan dan dilimpahkan Allah ke dalam hati para wali-Nya.

“Sifat² kemanusiannya” ialah hal² duniawi yg biasa dialami dan dihadapi manusia secara umum. Terkadang, sebagian wali berprofesi sebagai pengemudi keledai tunggangan atau penenun. Bisa jadi tak ada seorang pun yg mengetahui bahwa ia adalah seorang wali karena keistimewaan mereka tertutup profesi yg digeluti atau tersamar oleh sikap² mereka yg tidak berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya, seperti bertengkar atau beradu mulut dengan orang.

Namun, terkadang pula, Allah menampakkan tanda² keistimewaan itu pada sebagian manusia, seperti pada para da’i. Allah menampakkannya pada para da’i agar dengan peran mereka seluruh manusia menjadi baik dan sempurna.

Dan keagungan rububiyah-Nya terlihat ketika Dia memperlihatkan kehambaan makhluk. Artinya, keagungan rububiyah Allah akan tampak manakala Dia memperlihatkan tanda kehambaan seluruh makhluk. Yg dimaksud dengan tanda kehambaan makhluk adalah kondisi² yg membuat seorang makhluk membutuhkan Tuhan, seperti penyakit atau kemiskinan. Seorang hamba, jika mengalami salah satu kondisi itu, ia akan berlindung kepada Tuhannya dan memohon agar diselamatkan dari kondisi itu.

Di sinilah rububiyah Allah akan ditampakkan-Nya kepada hamba-Nya itu. Allah ingin menegaskan bahwa hamba itu memiliki Tuhan yg Maha Kuasa dan bisa menghilangkan kondisi yg dialaminya. Tanpa hal itu, Allah tidak akan mengenalkan keagungan rububiyah-Nya. Tanpa hal itu juga, keagungan rububiyah Allah hanya akan terselubung dan tidak akan tampak ke permukaan.

Oleh sebab itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata, “’Ubudiyah adalah isi. Ia akan ditampakkan oleh rububiyah.”

Maha Suci Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Meliputi segala sesuatu. Wallaahu a’lam

120. Jangan Menuntut Tuhanmu

Hikmah 120 dlm Al-Hikam:

“Jangan Menuntut Tuhanmu”

لاَ تُطَالب رَبَّكَ بِتأَخرِ مطلَبكَ وَلٰكِن طِالب نَفْسَكَ بِتأَخِيرِ اَدَبِكَ

Jangan menuntut Tuhan karena ditundanya permintaan yg telah engkau minta kepada Allah. Tetapi hendaknya engkau koreksi dirimu, tuntut dirimu yg belum bisa bertata krama (supaya tidak terlambat melaksanakan kewajiban²mu terhadap Allah.

Jika belum tercapai hajat permintaanmu, jangan engkau su’udzan kepada Allah, dan menuntut kepada Allah untuk segera mengabulkan permintaanmu, sebab Allah tidak dapat dituntut terhadap apa saja yg dikehendaki.

Akan tetapi hendaknya permintaanmu itu semata-mata untuk menunjukan sifat kehambaanmu kepada Allah, dan hajat kebutuhanmu kepada Allah. Sebab terhadap kebutuhanmu, Allah tidak usah di ingatkan, bahkan Allah telah melengkapi segala kebutuhanmu sebelum kau mengerti apa hajat kebutuhanmu yg sebenarnya. Maka sebaiknya kau menyerah bulat² kepada Allah tanpa memaksa, tanpa usul apa² kepada Allah.

Dan lagi apabila kamu meyakini Allah tidak akan mengabulkan doamu itu berarti kamu tidak punya adab, karena Allah telah berjanji akan mengabulkan semua doa hamba-Nya. Tetapi cara mengabulkannya tidak harus mewujudkan seperti keinginanmu, semua terserah Allah, yg semua itu terbaik bagimu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan protes kepada Tuhan dan berburuk sangka kepada-Nya jika permintaanmu terlambat dipenuhi-Nya, baik yg batin, seperti keistimewaan tertentu, maupun yg lahir, seperti kebutuhan² duniawimu.

Jika kau meminta sesuatu dari-Nya dan jawaban-Nya tidak diberi langsung, jangan kau berburuk sangka kepada-Nya dan jangan memaksa-Nya untuk menunaikan permintaanmu itu karena Dia melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya tanpa dimintai pertanggungjawaban atas apa yg dilakukan-Nya. Jika permintaanmu ditunda, tuntutlah dirimu atas keterlambatan pengabulan doamu itu karena kau telah meminta agar disegerakan jawaban doamu. Tentu ini merupakan sikap yg tidak sopan dan kurang ajar terhadap Tuhan.

Tuntutanmu agar Tuhan segera mengabulkan doamu merupakan bukti bahwa kau berdoa hanya untuk dikabulkan. Doamu hanya memiliki tendensi tertentu. Inilah yg mengurangi kesempurnaan ‘ubudiyah-mu. Demikian pula halnya dengan keyakinanmu bahwa Dia tidak akan mengabulkan doamu. Ini adalah sikap yg tidak sopan karena belum tentu pengabulan doa itu berupa sesuatu yg kau inginkan langsung. Allah berhak menahannya darimu karena bisa jadi tindakan itu lebih baik bagimu.

Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan sebuah etika. Jika dipegang oleh seorang hamba, ia akan mendapatkan tujuan dan maksudnya, yaitu sikap istiqamah dan berjalan pada jalan yg lurus, seperti dalam firman Allah, “Tunjukilah kami jalan yg lurus.” (QS. Al-Fatihah (1): 6). Wallaahu a’lam

121. Nikmat Karunia Terbesar Dari Allah

Hikmah 121 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Karunia Terbesar Dari Allah”

مَتىَ جَعَلكَ فِى الظَّاهِرِ مُمتـَثِلاً لاَمْرِهِ وَرَزقكَ فِى البَاطِنِ الاِسْتِسْلاَمِ لِقَهْرِهِ فَقَد اَعْظَمَ المِنَّةَ عَلَيْكَ

Apabila Allah telah menjadikan engkau pada lahirnya taat menurut perintah-Nya dan dalam hatimu menyerah/tawakkal kepada-Nya, maka berarti Allah memberi kepadamu nikmat karunia yg sebesar-besarnya.

Jika Allah telah memberi taufiq hidayah kepada hamba untuk melakukan segala perintah-Nya, dan di dalam hati/batinnya diberi kekuatan bisa menyerah/tawakkal pada sifat qohrinya Allah (selalu ridho atas apa yg terjadi atas dirinya), itu berarti Allah telah memberi karunia nikmat yg sangat besar. Karena Allah telah mengumpulkan ‘Ubudiyyah (penghambaan) lahir dan ‘Ubudiyyah batin.

Sebab tugas manusia hanya untuk beribadah kepada Allah lahir batin, dengan ikhlas, tentang semua kebutuhan dan hajatnya telah dicukupi oleh Allah, maka jangan menuruti hawa nafsu yg tidak ada puasnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ketika Allah menjadikanmu taat, dengan memberimu taufiq untuk melaksanakan berbagai ketaatan, dan membuatmu ridho dengan putusan Tuhanmu, berarti Dia telah melimpahkan karunia yg paling besar kepadamu. Dalam karunia itu, Dia telah menghimpun ‘ubudiyah batin dan ‘ubudiyah lahir pada dirimu.

Kedua perkara inilah yg menuntutmu untuk menghambakan diri kepada Allah semata. Lantas, mengapa kau masih tamak? Apa lagi yg kau cari setelah mendapat dua perkara itu jika kau seorang hamba sejati? Ketahuilah, tak ada kedudukan yg sempurna, kecuali saat kau berjuang dalam ‘ubudiyah lahir dan ‘ubudiyah batin. Wallaahu a’lam

122. Kekeramatan Bukan Jaminan Kesempurnaan

Hikmah 122 dlm Al-Hikam:

لَيْسَ كُلُّ مَنْ ثَبَتَ تَخْصِيْصُهُ كـَمُلَ تَخـْـلِيْصُهُ

Tidak semua orang yg telah tampak jelas kekeramatannya itu berarti telah sempurna pembersihannya (dari penyakit² hati dan hawa nafsu).

Keramat (perkara yg luar biasa/tidak masuk akal) yg diberikan Allah kepada para hamba-Nya, yg tujuannya untuk menambah keyakinan dan keimanan hamba, dan untuk memperkenalkan bukti kekuasaan Allah itu tidak tergantung pada sebab dan kebiasaan, bahkan kebiasaan itu bisa menjadi sebab terhijabnya manusia dari Qudratnya Allah. Dan juga bisa menjadi fitnah, bagaikan awan yg menutupi sinar matahari keesaan Allah. Maka dari itu menurut ajaran thariqah, siapa yg terterikat/silau pada keramat maka dia terhina.

Seorang sahabat Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Adakalanya jika saya wudhu’ tiba² air yg mengalir di tanganku menjadi lantakan emas dan perak.” Jawab Sahl: “Apakah engkau tidak mengerti bahwa anak kecil jika menangis dihibur dengan boneka/mainan supaya diam.”

Abu Nashr as-Sarraj berkata: “Saya bertanya kepada Hasan bin Salim: apakah arti kekeramatan, sedang mereka telah dimuliakan oleh Allah sehingga sanggup mengabaikan dunia dan meninggalkannya dengan suka rela, tetapi bagaimana lalu kemuliaan (keramat) batu berubah menjadi emas, apakah artinya itu?” Jawabnya: “Bukannya Allah memberikan karena kotornya, tetapi diberi untuk menjadikan hujjah mengalahkan bisikan hawa nafsu, yg selalu goncang kuatir tidak dapat rizki, sehingga oleh Allah diperlihatkan yg demikian, sehingga dapat berkata: Bahwa Allah yg dapat merubah batu menjadi emas, dapat mendatangkan rizki dan memberi dari jalan yg tidak disangka.”

Ishaq bin Ahmad berkata pada Sahl: “Nafsuku ini selalu merasa kuatir tidak dapat makan.” Maka Sahl berkata: “Engkau ambil batu itu dan minta kepada Allah supaya dijadikan makanan untuk kau makan.”

Ishaq bertanya: “Jika berbuat demikian, maka siapa tauladan dalam berbuat demikian?” Jawab Sahl: “Bertauladanlah pada Nabi Ibrahim as. ketika berkata: “Wahai Tuhan, tunjukkan perlihatkan kepadaku bagaimana caranya Engkau menghidupkan sesuatu yg telah mati, supaya tentram hatiku, sebenarnya aku telah percaya tetapi nafsuku ini tidak puas, kecuali jika telah melihat dengan mata kepala.””

Seorang wali Ibrahim al-Khawwas pada suatu hari berkenalan dengan orang Yahudi di dalam kapal, keduanya membicarakan tentang agama, lalu Yahudi tadi berkata: “Kalau agamamu ini benar, berjalanlah diatas laut bersamaku.”

Lalu si Yahudi turun dari kapal dan berjalan diatas laut bersama dengan Ibrahim, sesampainya di daratan Yahudi berkata : “Aku ingin berteman dan bersamamu, tapi dengan syarat kita tidak boleh masuk masjid dan gereja, mari kita masuk ke hutan dan padang, tidak boleh bawa bekal.” Dan disanggupi oleh Ibrahim, lalu keduanya berjalan ke padang yg tidak ada tumbuhan dan tidak ada air sama sekali. Sampai tiga hari keduanya tidak makan dan minum, ketika keduanya duduk² tiba² ada anjing datang dengan menggigit roti tiga biji, dan ditaruh di depan Yahudi lalu anjingnya pergi, si Yahudi lalu makan roti tadi tanpa mengajak Ibrahim ikut makan, tidak berapa lama ada pemuda yg tampan dan berbau harum datang dengan membawa nampan yg dipenuhi dengan makanan dan minuman yg sangat enak dan lezat, dan ditaruh di depan Ibrahim lalu dia pergi. Lalu Ibrahim mengajak Yahudi untuk ikut makan, tapi Yahudi tidak mau karena malu, akhirnya Allah memberi hidayah kepada si Yahudi sehingga masuk Islam dan menjadi murid Ibrahim al-Khawwas.

Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs berkata: “Kamu jangan sampai tertipu dengan keadaan yg luar biasa/tidak masuk akal, yg dialami seseorang, tapi lihatlah bagaimana taatnya pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tidak setiap orang yg mendapatkan perkara luar biasa, seperti dapat mempersingkat perjalanan, terbang di udara, atau berjalan di atas air, sepenuhnya terbebas dari gejolak nafsu, dorongan syahwat, kesalahan, dan pelanggaran.

Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Tidak semua orang yg mendapat karamah terbebas dari salah.” Bahkan mungkin, sebagian orang yg mendapatkan karamah itu tidak mampu istiqamah.”

Karamah sejati adalah sikap istiqamah yg dimiliki seseorang. Lain halnya dengan karamah yg berupa perkara² luar biasa yg kadang kala terjadi pada orang yg tidak beristiqamah dengan sempurna. Bahkan, karamah seperti ini banyak terjadi pada para pemula dan tidak tampak pada orang yg sudah benar² istiqamah dan tawakkal. Sekalipun demikian, keduanya termasuk orang² yg dekat dengan Allah. Oleh karena itu, kita harus tetap menghormati mereka dan memuliakannya. Namun, ahli istiqamah lebih harus dimuliakan daripada ahli karamah. Wallaahu a’lam

123. Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah (1)

Hikmah 123 dlm Al-Hikam:

“Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah”

لاَيَسْتَحْقِرُ الوِرْدُ الاَّ جَهُولٌ. الوَارِدُ يُوجَدُ في الدَّارِ الاَخِراَةِ. الوِرْدُ يَنْطَوِي بِانْطواَءِ هٰذِهِ الدّاَرِ وَاَولٰى ماَ يُعْتَنىَ بِهِ ماَلاَ يَخْلُفُ وُجُودُهُ، ثُمَّ الوِرْدُ هُوَ طَالِبُهُ مِنْكَ واَالوَارِدُ اَنْتَ تَطْلُبُهُ

Tidak akan meremehkan wirid, kecuali orang yg sangat bodoh, warid (karunia Allah buah dari wirid) itu akan wujud di akhirat. Wirid itu akan habis/hilang bersama habisnya dunia,. Dan sebaik-baik yg harus diperhatikan oleh seseorang yaitu perkara yg apabila hilang tidak ada gantinya (wirid). Wirid itu sebagai perintah Allah padamu (haknya Allah yg harus kau penuhi), sedangkan warid itu hajat keperluanmu yang kau minta kepada Allah, maka apa imbang antara perintah Allah kepadamu (hak Allah) dengan pengharapanmu dari Allah.

Wirid adalah segala macam bentuk ibadah lahir batin baik yg wajib maupun yg sunnah, sedangkan warid (pemberian Tuhan dalam hati hamba) yg berupa pemahaman, nur/cahaya, kesenangan/manisnya dalam beribadah, taufiq dan hidayah-Nya.

Maka sebaiknya seorang hamba menjalankan kewajibannya, karena wirid itu hanya berlaku ketika masih hidup di dunia ini saja, sedang warid akan lanjut sampai di akhirat.

Rasullullah Saw. bersabda, “Amal yg paling disukai Allah ialah yg istiqamah (terus-menerus) meskipun sedikit.”

Imam Hasan al-Bashri berkata, “Siapa yg hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia rugi, dan siapa hari ini lebih buruk dari kemarinnya, maka dia mahrum (tidak dapat rahmat), dan siapa yg tidak bertambah berarti berkurang, dan siapa yg makin berkurang amalnya, maka mati lebih baik baginya.”

Ketika Imam Junaid ditegur orang karena memegang tasbih di tangannya, “Tuan dalam kedudukan yg demikian itu masih menggunakan tasbih.” Jawab Imam Junaid, “Alat yg telah menyampaikan kami, maka tidak saya tinggalkan.”

Imam Junaid berkata, “Orang ’arif menerima semua amal (wirid) itu sebagai tugas dari Allah, karena itu mereka kembali menghadap pada Allah dengan kebiasaan wirid (ibadah) yg ditugaskan Allah itu. Dan andaikata seribu tahun tidak akan mengurangi sedikitpun amal wiridku, kecuali jika terhalang untuk melakukannya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Wirid ialah amal shaleh yg mengisi waktu² dan membuat seluruh anggota tubuh menjauhi hal² yg dibenci-Nya. Orang bodoh akan meremehkan wirid, padahal di dalamnya terkandung ubudiyah kepada Allah, rasa hadir bersama-Nya, dzikir, pembersihan batin, serta dapat menarik cahaya karunia Ilahi. Menjalani wirid tanpa mempedulikan hasilnya termasuk kebodohan.

Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan, wirid lebih utama daripada warid bila ditinjau dari dua sisi. Pertama, wirid ialah karunia yg masuk ke dalam batin seorang hamba, berupa makrifat Tuhan dan kelembutan jiwa atau cahaya² yg membuat hati lapang dan bersinar terang. Warid ini tetap akan ada hingga di negeri akhirat, sedangkan wirid akan musnah dengan musnahnya dunia. Oleh karena itu, yg perlu mendapat perhatian adalah yg wujudnya akan sirna. Artinya seorang hamba harus memperbanyak wirid sebelum tertinggal karena ia tidak mungkin mengganti wirid yg hilang dan tertinggal.

Kedua, wirid merupakan sesuatu yg dituntut Allah darimu. Adapun warid, kaulah yg memintanya dari Allah. Oleh karena itu, yg kau minta dari-Nya tidak sebanding dengan yg Dia minta darimu. Tentu, yg diminta-Nya darimu lebih utama daripada yg kau minta dari-Nya. Wirid adalah hak Allah atasmu, sedangkan warid (karunia) adalah hakmu atas-Nya. Melaksanakan hak-Nya tentu lebih utama dan lebih patut daripada meminta keuntungan dan bagian dari-Nya.

Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mengingatkan para murid yg tamak terhadap warid (karunia), namun mengabaikan wirid. Tindakan itu merupakan akibat kebodohan dan ketidaktahuannya tentang buah dan hasil wirid. Oleh karena itu, orang² ‘arif tidak meninggalkan wirid, padahal ahwal mereka lebih baik daripada para murid. Wallaahu a’lam.

124. Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah (2)

Hikmah 124 dlm Al-Hikam:

وُروُدُ الاِمدادِ بِحَسْبِ الاِستِعْداَدِ وَشُرُوقُ الاَنواَرِ عَلَى حَسَبِ صَفاءِ الاَسْرَارِ

Datangnya bantuan/pertolongan dari Allah itu menurut kadar kesiapannya, dan terbitnya/cahaya ilahi itu menurut/tergantung pada bersih/jernihnya hati.

Bersihkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan mengisi/memenuhi hatimu dengan pengertian² makrifat dan rahasia² keyakinan. Karena itu tiap² warid (pemberian karunia dari Allah) itu tergantung pada wirid, apabila wiridnya banyak maka waridnya juga banyak, apabila wirid itu timbul dari hati yg bersih, maka datangnya warid demikian terang jernihnya, demikian pula jika wiridnya tetap terus, maka waridnya pun demikian tidak berhenti begitu seterusnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya bergantung pada kesiapan seorang hamba membersihkan hatinya dan seberapa sering ia melakukan wirid. Oleh sebab itu, dikatakan, “Bersihkan hatimu dari dunia maka Kami akan mengisinya dengan makrifat dan rahasia.”

Setiap warid akan selalu mengikuti wirid, sesuai kondisinya. Jika wiridnya sempurna, misalnya bersumber dari hati yg bersih, warid-nya pun akan sempurna. Jika wirid kurang, warid pun akan kurang. Jika wiridnya banyak, warid-nya akan banyak. Setiap warid akan bergantung pada wiridnya. Jika wiridnya dilakukan terus-menerus, warid pun akan mengalir terus-menerus.

Oleh sebab itu, amal yg paling dicintai Allah adalah yg paling sering dilakukan walaupun sedikit. Jika amal itu sering dilakukan, bantuan Allah pun akan sering diberikan.

Kalimat “terbitnya cahaya sesuai dengan kadar kejernihan jiwa” merupakan penegas dan penjelas ungkapan sebelumnya. Maknanya, terbitnya cahaya keyakinan dan makrifat bergantung pada kejernihan batin dari kekotoran yg di akibatkan sikap bergantung pada dunia. Kejernihan batin itu sendiri tidak akan terjadi, kecuali dengan seringnya melakukan wirid. Wallaahu a’lam

125. Sikap Orang yang Lupa Pada Allah

Hikmah 125 dlm Al-Hikam:

“Sikap Orang Yang Lupa Pada Allah”

الغَافِلُ اِذاَ اَصْبَحَ نَظَرَ فيماَ يَفْعَلُ، والعاَقِلُ يَنْظُرُ ماَذاَ يَفْعَلُ اللهُ بِهِ

Orang yg lupa/lalai dalam tauhidnya (bahwa segala sesuatu itu berjalan menurut ketentuan takdir Allah), jika pagi hari dia selalu berangan-angan apakah yg harus aku kerjakan hari ini (yakni mengatur dirinya sendiri), sedangkan orang yg sempurna akal tauhidnya memikirkan apakah yg akan ditakdirkan Allah bagi dirinya hari itu.

Jadi, pandangan org yg lalai pada Allah itu, selalu mengatur dan memandang dirinya dan kemampuan atau rencananya, maka dari itu Allah menyerahkan urusannya itu pada dirinya sendiri. Sehingga tidak akan berhasil apa yg direncanakan.

Sedangkan orang yg berakal, selalu memandang Allah, selalu mengingat kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, maka Allah mencukupi apa yg menjadi kebutuhannya. Permulaan pemikiran yg bergerak dalam hati itu menjadi timbangan dan ukuran tauhid dan imannya kepada Allah.

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Kini aku tidak merasa senang kecuali dalam ketentuan² takdir Allah.”

Abu Madyan berkata, “Usahakan dengan sungguh² bila dapat, supaya hatimu tiap pagi dan sore menyerah bulat² kepada Allah, semoga Allah melihat padamu dengan pandangan Rahmat-Nya. Niscaya kamu termasuk orang yg bahagia dunia akhirat.

Siapa yg melihat kepada Allah, maka tidak akan terlihat dirinya sendiri, dan siapa yg melihat dirinya sendiri maka tidak terlihat Allah. Karena itu jika engkau menghadapi sesuatu hal, perhatikan hatimu, kemana condongnya, jika langsung pada kekuatanmu sendiri, maka terputus dengan Allah. Dan jika langsung pada kekuasaan Allah, berarti engkaulah yg telah sampai kepada Allah, sedang alam ini semua dalam genggaman Allah.

Dan tiap pagi sebaiknya berdo’a: Allahumma-inni-ash-bahtu laa-amliku linafsii dharra’u-walaa-naf‘aa, walaa mautau-walaa nusyuraa, walaa-as-tathii’u an-aakhudza illaa-maa-a’thaitanii, walaa-at-taqii illa maa-waqaitanii. Allahumma innaka-dzul-fadhlil-‘adhiim.

“Ya Allah, kini aku berada di waktu pagi, tiada menguasai diriku untuk kebaikan atau menolak bahaya, atau mati atau hidup atau bangkit sesudah mati, dan aku tidak dapat mengambil kecuali yg engkau beri, dan tidak dapat menghindari sesuatu kecuali yg engkau hindarkan. Ya Allah, pimpinlah aku kepada jalan yg engkau ridhai baik dalam perkataan atau amal perbuatan di dalam taat kepada-Mu, sungguh engkau Dzat yg maha besar karunia-Nya.”

Doa Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra., “Allahumma innal amra ‘indaka wahuwa mahjuubun ‘annii walaa a’lamu amran akhtaa-ruhu linafsii fakun antal-mukhtaaralii, wah-milnii fii-ajmalil umuuri ‘indaka wa-ahmadihaa ‘aa-qibatan fid-diini wad-dun-ya wal aakhirah, innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir”.

“Ya Allah sungguh segala sesuatu ada di tangan-Mu, dan tertutup dari padaku, dan aku tidak mengetahui apa yg harus aku pilih untuk diriku, maka pilihkanlah apa yg baik bagiku, dan bawalah aku dalam hal yg amat baik serta terpuji akibatnya dalam agama, dunia dan akhirat, sesungguhnya engkau berkuasa atas segala sesuatu.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg lalai ialah yg lupa tauhid dan lupa bahwa segala sesuatu terjadi atas ketetapan dan takdir Allah. Di pagi hari, orang seperti ini akan menisbahkan semua amalnya kepada dirinya sendiri, biasanya, ia berkata, “Apa yg akan kulakukan hari ini?”

Sementara itu, seorang yg berakal, saat bangun pagi, ia tidak lalai dari tauhid dan tidak lupa bahwa segala sesuatu terjadi dengan ketentuan dan takdir Allah. Ia juga menisbahkan semua amalnya hanya kepada Allah. Orang seperti ini akan berkata, “Apa yg akan dilakukan Allah terhadapku hari ini?”

Orang lalai akan selalu melihat kemampuan dirinya sendiri. Saat Allah membebaninya dengan sebuah pekerjaan, pekerjaan itu tidak akan berhasil. Sementara itu, orang yg berakal hanya akan melihat kepada Tuhannya. Oleh karena itu, Allah akan mencukupi keinginannya dan memudahkan semua permintaannya. Ini adalah sebuah patokan agar murid bisa mengenali kondisi dirinya.

Hal pertama yg harus terdetik dalam hati seorang murid adalah kadar tauhidnya. Seberapa besar kadar tauhidnya? Itu bisa dilihat melalui kadar cahaya yg datang kepadanya. Jika sejak pertama hatinya hanya memandang pada daya dan kekuatannya, ia akan terputus dari Allah. Jika ia sadar dan kembali kepada Allah, tentu ia pun akan sampai kepada-Nya. Wallaahu a’lam

126. Jangan Terpengaruh Dengan Makhluk

Hikmah 126 dlm Al-Hikam:

“Jangan Terpengaruh Dengan Makhluk”

٭ اِنَّماَ يَسْتوحِشُ العِباَدُ وَالزُّهاَدُ مِنْ كُلِّ شيءٍ لِغَيْبَتِهِمْ عَنِ اللهِ فِى كُلِّ شىءٍ فَلَو شَهِدوُهُ فِى كُلِّ شىءٍ لَمْ يَسْتوحِشُوا مِنْ شَىءٍ ٭

Sesungguhnya yg menyebabkan kerisauan/kesusahan hati para ‘abid (ahli ibadah) dan zahid (ahli zuhud) dari segala sesuatu itu karena mereka masih terhijab/tidak melihat Allah dalam apa yg mereka lihat itu. Tetapi andaikan mereka melihat Allah dalam segala sesuatu (makhluk), pasti mereka tidak akan risau dari/terhadap segala sesuatu.

Yg dinamakan ‘abid/ahli ibadah ialah: orang² yg bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam amal ibadah. Sedangkan zahid/ahli zuhud ialah orang yg bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan tawakkal/menyerahkan diri hanya kepada Allah. Kedua golongan ini selalu ingin menjauh dari masyarakat/sesama makhluk, itu dikarenakan mereka merasa bahwa masyarakat/makhluk menjadi perintang mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah, tapi sekiranya mereka lebih mendalam dalam makrifat kepada Allah, tentu mereka tidak dapat terhalang oleh suatu apapun, sebab Allah berada dalam segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu yg melupakan dari Allah, bahkan sebaliknya masyarakat/makhluk itu bisa mengingatkan kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

‘Abid adalah orang² yg menuju Allah melalui jalan amal dan ibadah, sedangkan zahid ialah orang² yg menuju Allah dengan jalan tawakkal. Kedua golongan ini cenderung menjauhi makhluk karena mereka terputus dari Allah, terhalang, dan belum bisa melihat-Nya. Itu di akibatkan oleh sikap mereka yg terlalu memandang diri sendiri dan selalu memperhatikan kemaslahatan pribadinya. Mereka lari dari segala hal duniawi (baik itu manusia maupun materi) yg menghantui pandangan mereka. Mereka takut jika hal duniawi menghalangi tujuan mereka dan menyimpangkan maksud mereka. Mereka khawatir terlena dan tertipu olehnya.

Sekiranya mereka melihat Allah dalam segala sesuatu, sebagaimana orang² ‘Arif dan para muhibbin (kaum pencinta), mereka tidak akan khawatir atau takut terhadap segala hal duniawi karena mereka melihat Allah ada di dalamnya. Tentu mereka tidak akan lagi sibuk memandang dan memperhatikan kemaslahatan diri sendiri. Buahnya, mereka tidak akan merasa risau dan takut tertipu olehnya. Wallaahu a’lam

127. Lihatlah Alam Ini Untuk Mengenal Allah

Hikmah 127 dlm Al-Hikam:

“Lihatlah Alam Ini Untuk Mengenal Allah”

اَمَرَكَ فِى هٰذِهِ الدَّارِ بِالنَّظَرِ فِى مُكَوَّناَتِهِ وَسَيَكـْشِفُ لَكَ فِى تِلْكَ الدَّارِ عَنْ كمَال ذاَتِهِ

Allah memerintahkan kepadamu semasa hidup di dunia ini memperhatikan alam ciptaan-Nya (memikirkan makhluk di dunia ini sehingga menjadikan ingat pada Allah). Dan kelak di akhirat, Allah akan mamperlihatkan kepadamu kesempurnaan Dzat-Nya.

Allah telah memerintahkan memperhatikan dan memikirkan makhluknya Allah. Ada juga yg secara isyarah seperti firman Allah yg artinya: “Dan di bumi itu ada bagian² tanah yg berdekatan satu sama lainnya, ada kebun² kurma dan anggur, ada tanaman yg sejenis dan beda jenis, yg kesemuanya itu disirami dengan satu macam air, sesungguhnya yg demikian itu mengandung tanda² keagungan Allah, yg manfaat bagi orang² yg mau berfikir.”

Satu macam air itu (air hujan) tetapi pohon yg disiram beda², daunnya tidak sama, buahnya tidak sama, adakalanya sama tapi rasanya berbeda, itu semua pasti ada yg menetapkan, yaitu Allah.

Apabila mau memperhatikan alam semesta (makhluk), maka kelak di akhirat, Allah akan membukakan hijab sehingga langsung bisa melihat Dzat-Nya.

Firman Allah Ta’ala: WUJUUHUY-YAUMA-IDZIN-NAADHIROH, ILAA-ROB-BIHAA NAADHIROH. (beberapa wajah pada hari kiamat itu berseri-seri, (bercahaya), karena ia dapat melihat Tuhannya).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memerintahkanmu di dunia ini untuk memperhatikan ciptaan-Nya agar dengan mata batinmu kau melihat-Nya tampak sana.

Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yg ada di langit dan di bumi’.” (OS. Yunus (10): 101)

Dengan begitu, di akhirat kelak, Dia akan menyingkapkan untukmu kesempurnaan Dzat-Nya agar kau melihat-Nya dengan mata batinmu. Kemampuan seorang hamba melihat Tuhannya bergantung pada kadar penampakan-Nya di hadapan mereka.

Di dunia, mereka melihat-Nya tampak di alam semesta dengan cahaya mata batin mereka karena Allah menampakkan Diri kepada mereka dari balik hijab mereka sendiri, yaitu alam semesta tersebut. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan hamba²Nya untuk mengamati dan merenungkan ciptaan-Nya. Di akhirat, mereka akan melihat-Nya langsung tanpa hijab dengan cahaya mata kepala mereka. Itu tak mustahil terjadi.

Inilah puncak dari tajalli (penampakan Allah) dan kasyaf (ketersingkapan Allah) di dunia yg di alami khusus oleh orang² ‘arif. Di akhirat, tajalli dan kasyaf ini akan di alami oleh seluruh kaum mukmin. Wallaahu a’lam

128. Tidak Sabar ingin Menyaksikan Allah

Hikmah 128 dlm Al-Hikam:

عَلِمَ مِنكَ اَنَّكَ لاَ تَصْبِرُ عَنْهُ فاَشـْهَدَكَ ماَ بَرَثَ مِنْهُ

Allah mengetahui bahwa engkau tidak sabar ingin menyaksikan Allah, maka Allah memperlihatkan kepadamu yg bersumber dari-Nya.

Orang yg berfikir tentang makhluk buatan Allah, dan mengetahui semua atas ketentuan Allah, tentu tidak sabar ingin mengetahui Dzat yg membuat dan menentukan yaitu Allah. Berhubung itu tidak mungkin, maka Allah memperkenalkan Diri-Nya lewat makhluk buatan-Nya.

Kerinduan yg berupa ingin melihat Allah itu, termasuk karunia yg agung dari Allah, dan ini termasuk maqam ihsan.

Dawuh mu’allif ini untuk orang² yg mencari Allah, yg dalam pikirannya sudah jauh dari selain Allah.

Ahli fikir itu ada dua:

1. Ahli fikir yg punya maksud mencari Allah/taqarrub kepada Allah, ini akan menghasilkan cinta dan rindu bertemu Allah.

2. Ahli fikir yg untuk urusan dunia seperti mencari ilmu alam yg tidak ada maksud mencari Allah, ini tidak akan membuka mata hati.

Maka terhadap orang yg telah sampai ke maqam ihsan ini, Allah menganjurkan sabar melihat ciptaan² Allah terlebih dahulu untuk diperlihatkan Dzat Allah di akhirat nanti.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Maha Mengetahui jika kau tidak bisa bersabar untuk dapat melihat-Nya langsung, sebagaimana seorang pencinta yg tak tahan ingin segera melihat kekasihnya. Namun, penglihatanmu kepada Allah tanpa hijab di dunia ini tidak mungkin bisa dilakukan. Maka dari itu, Allah memperlihatkan kepadamu segala jejak, tanda, dan ciptaan-Nya agar kau melihat-Nya pada semua itu dengan mata batinmu.

Namun, jika semua ciptaan itu menghalangi pandanganmu kepada-Nya, sebenarnya kau telah melihat-Nya dari balik hijab. Itulah karunia dan perhatian Allah untukmu karena di dunia pun Dia tidak menghijabmu dari memandang-Nya. Wallaahu a’lam

129. Beragamnya Bentuk Ketaatan Agar Tidak Membosankan

Hikmah 129 dlm Al-Hikam:

“Beragamnya Bentuk Ketaatan Agar Tidak Membosankan”

لمّا علم الحق منك وجود الملل لَوّن لك الطاعات وعلم مافيك من وجود الشرّه فحجرهاعليك فى بعض الاوقات ليَكون همّك اِقمامة الصلاةِلاوجودالصلاةِفماكلُّ مصَلٍّ مُقِيمٌ

Karena Allah mengetahui bahwa engkau mudah jemu, Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu. Karena Allah mengetahui bahwa engkau rakus, Dia membatasi ketaatan itu hanya pada waktu² tertentu. Agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat. Karena tidak semua orang yg shalat dapat menyempurnakan shalatnya.

Allah Ta’ala berfirman: Wa-aqiimus-shalaata (dan kamu semua supaya mendirikan shalat), firman-Nya tidak: SHALLUU (shalatlah kamu semua).

Cara mendirikan shalat (iqamatus-shalah) itu harus dengan menyempurnakan adab/tata kramanya shalat;
1. Adab lahir seperti: menjaga syarat², rukun² dan sunnah²nya shalat.
2. Adab batin seperti: menjaga khusyuk dalam shalat dengan menghadapkan hati hanya kepada Allah Ta’ala, sehingga hati tidak mengingat sesuatu melainkan kepada Allah Ta’ala, dan merasa bahwa shalatnya itu semata-mata karunia dari Allah Ta’ala.

Shalat dengan menyempurnakan adab/tata kramanya ini yg akan menimbulkan bekas, seperti bertambah baik budi pekertinya, dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar ( INNAS-SHALAATA-TANHAA ‘ANIL-FAKHSYA-I WAL MUNKAR)

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala mengetahui bahwa kau mudah bosan dan jemu. Beratnya amal akan mengakibatkanmu meninggalkan amal itu. Oleh karena itu, Dia membuat untukmu bermacam cara dan bentuk ketaatan. Itu adalah rahmat dan kemudahan-Nya untukmu. Jika kau bosan dengan satu cara ketaatan, kau bisa menggunakan cara lainnya. Sekiranya ketaatan itu hanya satu macam, tentu jiwamu akan jemu dan akan meninggalkannya lantaran merasa berat melakukannya. Lain halnya dengan ketaatan yg beragam, tentu dapat membuatmu ringan dan mudah sehingga kau bisa berpindah dari satu ketaatan ke ketaatan lainnya.

Tabiat jiwa biasanya tidak sanggup berada dalam satu kondisi secara terus-menerus. Ia akan mencari bermacam kondisi lainnya.

Tidakkah kau lihat bahwa manusia, jika terus-menerus memakan satu jenis makanan, ia akan merasa bosan? Sebagaimana yg pernah terjadi pada Bani Israil ketika hidup terasing di tengah hamparan gurun. Makanan yg bisa mereka temukan saat itu hanyalah manna dan salwa.

Allah Ta’ala juga mengetahui bahwa kau begitu tamak, rakus, dan melampaui batas. Kau selalu ingin cepat beramal sehingga membuatmu tidak melaksanakannya secara sempurna. Maka dari itu, Dia pun melarangmu untuk melakukannya pada beberapa waktu tertentu. Hal itu juga dimaksudkan demi meringankanmu.

Kewajiban terlarang dilakukan di luar waktu²nya yg telah ditentukan. Sementara itu, ibadah atau amal sunnah terlarang dilakukan pada waktu² yg dibenci (makruh). Allah membuat setiap ketaatan memiliki waktu khusus dan tidak membuatnya setiap waktu agar kau tidak tamak dan berlebihan, yg akan berakibat pada ditinggalkannya amal itu.

Kesimpulannya, ketaatan dibuat beragam karena adanya rasa bosan. Ketaatan dilarang di waktu² tertentu karena adanya ketamakan pada dirimu. Keragaman dan ketentuan waktu ketaatan ini merupakan dua nikmat yg diberikan Allah kepada hamba-Nya. Di sisi lain, rasa bosan dan sifat rakus adalah dua bencana besar yg dapat memutus amal.

Rutinitas ibadah yg sama dapat mendatangkan rasa bosan sehingga jiwa akan jemu dan merasa berat melakukannya. Namun, jika jiwa diberikan bentuk² amal yg beragam, ia akan merasa ringan dan menikmatinya.

Jika ibadah diperbolehkan di setiap waktu, tentu akan melahirkan rasa rakus karena ibadah itu dilakukan dengan penuh ketamakan. Saat tamak itulah, pelaksanaan ibadah akan kurang sempurna, seperti orang yg tamak membaca Al-Qur’an, namun tidak menghayati maknanya dan kalbunya tidak hadir bersama Tuhannya ketika membacanya. Oleh sebab itu, Allah menentukan waktu² khusus untuk ibadah dan ketaatan. Itulah hikmah mengapa Allah melarang beribadah pada waktu² tertentu.

Allah membatasi shalat dengan waktu tertentu agar tekadmu adalah bagaimana mendirikan shalat dengan baik, bukan bagaimana shalat itu terlaksana begitu saja.

Allah mewarnai dan membuat variasi ketaatan untukmu agar kau tidak bosan. Dia melarangmu beribadah pada waktu² tertentu agar kau tidak rakus. Itu semua dimaksudkan agar tekadmu adalah mendirikan shalat dengan baik, bukan sekadar ada dan terlaksana.

Mendirikan shalat dengan benar adalah dengan menjaga batasan²nya seraya menjaga hati agar tetap khusyuk dan hadir bersama Allah sehingga tidak gelisah dan gusar dalam shalat.

Dalam hikmah di atas, shalat disebut secara khusus, tak lain karena ia merupakan ibadah yg di dalamnya seorang hamba sering melakukan kesalahan. Wallaahu a’lam

130. Manfaat² Shalat

Hikmah 130 dlm Al-Hikam:

“Manfaat² Shalat”

الصلاةطهرة للقلوب من ادناس الذنوب واستفتاح لباب الغيوب

Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan shalat itu bagaikan sungai yg mengalir di depan pintu rumah salah seorang, maka ia mandi di sungai itu tiap hari lima kali, apakah masih ada sisa kotorannya?” Jawab sahabat, “Tidak ada sisa kotoran sedikitpun.” Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Demikian pula shalat lima waktu yg menghapuskan dosa.”

Shalat juga sebagai pemuka pintu ghaib, sebab bila hati telah bersih dan selalu berhubungan dengan Tuhannya, pasti lambat laun akan terbuka baginya tirai/pintu ghaib.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Shalat yg sesungguhnya ialah yg menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa, serta sifat² lain yg menjauhkan pelakunya dari pandangan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.

Shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yg tak pernah kau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia² Ilahi. Makrifat dan rahasia Ilahi ini di umpamakan dengan harta karun yg tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga ia bisa melihat rahasia² ghaib yg tak bisa dilihatnya. Wallaahu a’lam

131. Shalat Adalah Tempat Munajat & Kerinduan

Hikmah 131 dlm Al-Hikam:

الصلاة محل المناجاةومعدن المصافات تتسع فيهاميادين الاسرار وتشرق فيها شوارق الانوار

Shalat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya bersinar.

Allah Ta’ala berfirman: “Aqimis-shalaata li-dzikrii.” (Dirikanlah/tegakkanlah shalat itu untuk dzikir ingat kepadaKu.)

Sesungguhnya seorang hamba bila ia berdiri shalat, maka Allah Ta’ala membukakan untuknya tirai hijab, dan langsung dihadapinya, dan berdiri tegak para malaikat dari atas bahunya hingga langit, mengikuti shalatnya dan mengaminkan doanya.

Dan seorang yg shalat itu ditaburi rahmat dari langit hingga ubun² kepalanya. Dan dipanggil oleh suara: Andaikata orang yg munajat ini mengetahui siapakah yg diajak bicara, maka tidak akan berhenti shalatnya, dan sesungguhnya pintu² langit terbuka untuk orang yg shalat.

Dan sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan barisan orang² yg shalat di hadapan malaikat-Nya.

Muhammad bin Ali at-Tirmidzi berkata, “Allah Ta’ala telah memanggil orang² yg bertauhid supaya shalat lima waktu, karena rahmat kasih kepada mereka, dan menyediakan berbagai macam hidangan, supaya seorang hamba bisa merasakan pada tiap² bacaan dan gerak itu karunia pemberian-Nya. Maka gerakan itu bagaikan makanan dan minuman. Dan hidangan itu disediakan oleh Allah tiap hari lima kali, supaya tidak ada lagi sisa kotoran ataupun debunya.

Dalam kitab Taurat disebutkan: Hai anak Adam, jangan malas untuk mendirikan shalat di hadapan-Ku sambil menangis, maka Akulah Allah yg telah mendekat dari hatimu, dan karena ghaib engkau telah dapat melihat cahaya-Ku.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Munajat bermakna keintiman dan percakapan lembut seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah media munajat hamba kepada Tuhannya. Dengan munajat itu, Allah menampakkan sifat²Nya yg indah sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan seluruh alam semesta. Dengan munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba, ilmu² laduni dan rahasia² pengetahuan.

Shalat juga menjadi sarana pertemuan dan pelepas rindu hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, hamba menghadap-Nya dengan segenap jiwa raga dan mendatangi-Nya secara lahir dan batin sehingga dalam relung batinnya tak ada yg tersimpan selain-Nya. Dengan shalat juga, Allah Ta’ala akan membersihkan hamba-Nya dengan memberinya kemampuan syuhud dan mencurahkan karunia dan kebaikan-Nya. Inilah pembersihan yg paling tinggi. Semakin seorang hamba mendekati-Nya maka Allah pun akan semakin lebih mendekatinya lagi.

Di dalam shalat, ruang hati menjadi luas, sehingga bisa menerima rahasia² yg berlimpah.

Di dalam shalat pula cahaya bersinar terang. Jika cahaya menyinari hati, hati itu akan lapang dan terbuka menerima berbagai ilmu dan makrifat. Itulah buah munajat dan pembersihan yg disebut di atas. Semuanya adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa yg dituntut dari hamba adalah mendirikan shalat secara sungguh², bukan sekedar melaksanakannya. Wallaahu a’lam

132. Kebutuhan Hamba Terhadap Karunia Allah

Hikmah 132 dlm Al-Hikam:

علم وجود الضعف منك فقلل اعدادها وعلم احتياجك الى فضله فكثرامدادها

Allah mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangan (shalat). Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahala-Nya.

Allah Ta’ala itu mengetahui kalau hamba itu butuh sekali anugerah dari-Nya, maka Allah memperbanyak asror-nya shalat, yakni Allah memperbanyak anugerah berupa ilmu dan makrifat di dalam hatinya.

Dalam kitab ini disebutkan Amdadahaa itu mempunyai dua arti:

1. Untuk orang yg bermaksud wushul kepada Allah/salik, itu bermakna Asror (yaitu anugerah ilmu makrifat).

2. Untuk orang yg tidak bermaksud wushul kepada Allah, itu bermakna tsawab (pahalanya), yakni Allah melipat gandakan pahalanya shalat, shalatmu yg lima waktu tapi diberi pahala lima puluh waktu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala mengetahui kelemahanmu, wahai murid, karena kemampuan dan energi manusia tak akan sanggup menyaksikan penampakan Ilahi. Oleh karena itu, Dia mengurangi bilangan shalat dari yg sebelumnya lima puluh waktu menjadi lima waktu saja. Allah juga mengetahui rasa butuhmu kepada karunia-Nya, karena itu Dia memberikan ilmu², rahasia² (asror), dan pengetahuan-Nya ke dalam hati seseorang yg shalat. Ungkapan ini ditujukan untuk para murid.

Untuk selain murid, Allah mengetahui kelemahanmu karena kau malas dan sibuk dengan duniawi sehingga tak sanggup melakukan shalat yg banyak. Allah juga mengetahui kebutuhanmu akan karunia-Nya. Oleh karena itu, Dia memperbanyak pahala-Nya dengan memberikan sebanyak lima puluh pahala untuk shalat lima waktu. Wallaahu a’lam

133. Jangan Minta Balasan Atas Amalmu (1)

Hikmah 133 dlm Al-Hikam:

“Jangan Minta Balasan Atas Amalmu”

متى طلبت عواضا على عمل طولبت بوجود الصدق فيه ويكفي المريب وجدان السلامة

Ketika kau meminta balasan atas sebuah amal, sebenarnya kau dituntut untuk tulus di dalamnya. Sudah cukup beruntung bila seseorang selamat dari siksa-Nya.

Hikmah ini menjelaskan kejelekan orang yg beramal karena mengharap balasan/upah dari amalnya. Padahal seharusnya orang itu beramal yg baik, bersih hanya karena menghamba pada Allah Ta’ala.

Karena hanya Allah lah Dzat yg wajib disembah dan diagungkan, dan menjadi tujuan kita dunia dan akhirat. Hal ini sudah banyak dibahas dalam kitab ini dengan berbagai bahasan yg berbeda.

Syaikh Khair an-Nassaj ra. berkata, “Timbangan amalmu itu sesuai dengan perbuatanmu, karena itu mintalah kemurahan karunia-Nya. Dan itu lebih baik bagimu.”

Syaikh al-Washity ra. berkata, “Amal ibadah lebih dekat kepada minta/mengharap ampunan dan maaf, dari pada mengharap pahala dan upah.”

Syaikh an-Nashrabadzy ra. berkata, “Amal ibadah itu bila diperhatikan kekurangan²nya, lebih dekat kepada mengharap maaf dari pada mengharap pahala dan balasan.”

Firman Allah Ta’ala: QUL-BI-FADH-LILLAAHI-WA-BIROHMATIHII-FA-BIDZAALIKA FAL-YAF-ROCHUU-HUWA KHOIRUM-MIMMAA YAJ-MA’UUN.”

Katakanlah: “Hanya karena karunia dan rahmat Allah mereka boleh bergembira, sebab itu lebih baik bagi mereka dari segala apa yg dapat mereka kumpulkan sendiri.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ketika kau meminta balasan atas shalatmu atau ibadah lainnya, misalnya dengan berharap pahala langsung di dunia dan akhirat, padahal Allah menuntutmu agar ikhlas dan tulus dalam amalmu, Allah akan menyatakan kepadamu bahwa kau belum tulus dalam amalmu untuk-Nya. Kau hanya beramal untuk kepentingan dan keuntungan dirimu.

Ketulusan dan keikhlasan adalah kesesuaian batin dengan lahir. Sifat inilah yg tidak ada pada diri seorang ‘amil (orang yg beramal). Secara lahir, ia memang beramal untuk Allah dan ingin melaksanakan hak² ketuhanan-Nya. Namun, di dalam batinnya, ia beramal untuk keuntungan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat beruntunglah dia bila Allah membebaskannya dari siksa.

Lebih beruntung lagi bila orang yg kurang sempurna dalam amalnya itu diberi pahala oleh Tuhannya, secara langsung maupun tak langsung. Sekiranya ia bertekad dan berniat untuk menyempurnakan amalnya serta yakin atas keluasan rahmat Allah Ta’ala, niscaya di hatinya tak akan pernah terpikir pahala saat ia beramal. Justru ia akan mengikhlaskan amalnya karena Allah. Sekalipun amalnya kurang sempurna, beruntungnya, ia tetap terselamatkan dari siksa Allah. Tuhannya akan berkata kepadanya, “Amal yg kau kerjakan ini tidak layak mendapat pahala-Ku, tetapi cukuplah bagimu jika kau selamat dan tidak Ku-siksa.”

Hikmah di atas sebetulnya adalah celaan bagi para pencari pahala atas amal yg dilakukannya. Ia menjelaskan bahwa sebaiknya seorang hamba menyembah Allah berdasarkan keyakinannya atas kebesaran, ketuhanan, dan sifat² rububiyah-Nya, bukan karena balasan yg akan di dapatnya di dunia dan akhirat. Wallaahu a’lam

134. Jangan Minta Balasan Atas Amalmu (2)

Hikmah 134 dlm Al-Hikam:

لاتطلب عواضا على عمل لست له فاعلا، يكفى من الجزاءلك على العمل ان كان له قابلا

Jangan mengharap upah atas amal yg tidak kau lakukan. Sudah cukup sebagai balasan untukmu jika Allah menerimanya.

Firman Allah Ta’ala:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yg menciptakan kamu dan apa yg kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Saffat [37]: 96)

Jadi, kita hanya menjadi lalu lintas qadha’ dan qadar-nya Allah Ta’ala, tidaklah pantas kalau kita minta balasan/upah sedangkan kita tidak ikut mengerjakan, yakni semua pekerjaan yg kita kerjakan itu yg menjadikannya adalah Allah Ta’ala, ini hukum ‘Aqli.

Kalau menurut hukum syar’i, hamba yg membuat pekerjaan yg dikerjakannya. Dalilnya:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yg telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 32)

Tapi ketahuilah bahwa makhluk tidak bisa mengerjakan kalau tidak digerakkan oleh Allah Ta’ala.

Syaikh Ibrahim al-Laqqany ra. berkata, “Dan Allah yg menjadikan hamba, dan segala perbuatannya, Dia pula yg memberi taufiq untuk siapa yg akan sampai (wushul) kepada-Nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan mengharap upah atas amal yg tidak kau lakukan karena yg melakukan sesungguhnya adalah Allah. Kau hanyalah objek penampakan-Nya. Jika yg melakukan adalah Allah, betapa lancang kau meminta pahala atas amal itu!

Dengan kata lain, pencipta sesungguhnya dari amal para hamba adalah Allah semata, sedangkan hamba hanya berusaha. Lantas, apakah pantas ia meminta pahala atas amal yg sebenarnya tidak dilakukannya?

Cukuplah bagimu jika Allah sudah menerimanya. Maksudnya, jika Allah sudah menerima amalmu, Allah tidak lagi meminta pertanggunganjawabmu atas amalmu yg kurang sempurna, bukan atas amalmu yg tidak kau niatkan untuk mencari pahala. Wallaahu a’lam

135. Karunia Allah Atas Adanya Amal (1)

Hikmah 135 dlm Al-Hikam:

“Karunia Allah Atas Adanya Amal”

اذا اراد ان يظهرفضله عليك خلق فنسب اليك

Apabila Allah hendak memperlihatkan karunia-Nya kepadamu, Dia akan mencipta (amal), lalu menisbatkannya kepadamu.

Sebagaimana firman² Allah: Hai hamba-Ku yg beriman, Hai orang² yg beriman.

Padahal Allah yg memberikan iman itu, karena itu jawaban hamba: Engkau ya Allah yg memberikan karunia iman kepadaku, sehingga aku berbuat taat, padahal aku sendiri tiada berdaya dan tidak berkekuatan kecuali semata-mata dengan pertolongan-Mu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika Allah Ta’ala ingin menganugerahimu karunia-Nya, Allah akan menciptakan amal pada dirimu, lalu menisbatkannya kepadamu. Dia akan menyatakan kepadamu melalui malaikat-Nya bahwa kau adalah orang yg taat, bertakwa, gigih, dan gemar beramal. Dengan cara lain, Allah akan menisbatkan amal itu kepadamu melalui lisan para hamba-Nya, seperti perkataan orang² kepadamu, “Kau adalah orang yg taat, bertakwa, dan rajin beribadah.”

Jika seorang hamba menyaksikan karunia yg amat agung ini dan merasa malu kepada Tuhannya, ia tidak akan menisbatkan sifat² terpuji atau amal² baik kepada dirinya karena ia tidak memiliki kelayakan sama sekali untuk itu. Adapun sifat² tercela dan amal yg buruk, menurut etika, sepatutnya ia nisbatkan kepada diri sendiri. Ia harus mengakui bahwa itu akibat kezaliman dan kebodohannya.

Sahal ibn Abdullah ra. berkata, “Jika seorang hamba melakukan kebaikan, lalu ia berkata, “Tuhanku, dengan karunia-Mu aku beramal, Engkau yg membantuku dan memudahkannya”, berarti ia telah bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Lalu, Allah pun akan menjawabnya, “Hamba-Ku, melainkan kau sendiri yg taat dan kaulah yg mendekati-Ku.”

Namun, jika seorang hamba hanya memandang dirinya sendiri, lalu bergumam, “Aku yg beramal, aku yg taat, dan aku yg mendekat”, maka Allah akan berpaling darinya. Dia akan berkata kepadanya, “Hamba-Ku, Akulah yg membimbingmu, Aku pula yg membantumu, dan Aku yg memudahkan jalanmu.”

Sekiranya hamba melakukan keburukan, lalu berkata, “Tuhanku, Engkau yg mentakdirkannya, Engkau yg menetapkannya, dan Engkau pula yg memutuskannya”, maka Tuhan akan murka kepadanya. Dia akan berkata kepada hamba itu, “Justru kau yg telah berbuat buruk. Kau bodoh dan kau durhaka.”

Sekiranya hamba itu berkata, “Tuhanku, aku telah berlaku zalim, bodoh, dan buruk.” Tuhan pun akan mendatanginya dan berkata, “Hamba-Ku, Akulah yg memutuskannya, Aku yg menetapkannya, dan kau pun telah Ku-ampuni, Aku maafkan, dan Kututupi aibmu.”” Wallaahu a’lam

136. Karunia Allah Atas Adanya Amal (2)

Hikmah 136 dlm Al-Hikam:

لانهاية لمذامّك ان ارجعك اليك ولا تفرغ مداءحك ان اظهر جوده عليك

Tiada terhingga keburukanmu jika Allah membiarkanmu. Sebaliknya, tiada pernah berakhir kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya atas dirimu.

Apabila Allah mengembalikan amal pada kamu sendiri, artinya Allah tidak memberi bantuan, taufiq, hidayah dan pertolongan-Nya padamu, maka kamu akan selalu (tidak ada akhirnya) melakukan pekerjaan yg dicela oleh syara’. Sehingga tidak ada amal yg di anggap baik menurut Allah, walaupun kelihatannya ibadah dan amal kebaikan.

Rasulullah Saw. bersabda dalam doanya: “ASHLIH-LII- SYA’NII-KULLAHU, WALAA-TAKILNII- ILAA-NAFSII-THORFATA ‘AINII.” (Ya Allah, perbaikilah urusanku semuanya, dan jangan Kau serahkan urusanku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.)

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Keburukanmu tidak akan pernah berakhir jika Allah membiarkanmu sendiri, karena nafsumu selalu terdorong untuk melakukan keburukan. Jika Allah membiarkanmu dan tidak mengaturmu dalam mengontrol hawa nafsu, niscaya nafsu akan menguasai dan mengendalikanmu. Ia akan menjerumuskanmu ke jurang keburukan sehingga tak satu pun amal dan ahwal-mu yg baik. Itulah tanda² jika kau terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Jika Allah menampakkan wujud-Nya kepadamu, misalnya dengan memberimu pertolongan dan perlindungan-Nya dalam mengendalikan hawa nafsumu sehingga tidak menguasaimu, maka tak terhitung pujian orang terhadapmu. Dengan begitu, amal dan ahwal-mu akan menjadi baik dan indah. Kebaikanmu pun tidak akan pernah habis. Itulah tanda bahwa Allah telah memilihmu. Ketahuilah, tak ada jalan selamat dari hawa nafsu dan gejolaknya, kecuali dengan bergantung dan berlindung kepada Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

137. Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah (1)

Hikmah 137 dlm Al-Hikam:

“Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah”

كن باوصاف ربوبيته متعلقا، وباوصاف عبود يّـتك متحققا

Bersandarlah selalu kepada sifat² Rububiyah Allah (ketuhanan-Nya) dan wujudkanlah sifat² ‘ubudiyah-mu (kehambaanmu).

Arti bersandar/bergantung pada sifat² ke-Tuhanan (Rububiyah) ialah: Ingatlah selalu sifat² ke-Tuhanan Allah, yaitu: Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Mulia, Maha Kuat dan sifat² sempurna lainnya.

Sedangkan memperlihatkan sifat² kehambaan (Ubudiyah) ialah: Menyadari sifat² hamba seperti: fakir/miskin, lemah, bodoh, hina, tak berdaya. Maka hamba harus bergantung/bersandar diri pada sifat² ke-Tuhanan Allah, sehingga Allah memberi pertolongan dan bantuan dan menitipkan sifat² Rububiyah-Nya pada hamba-Nya, seperti: menjadi kaya billah (karena Allah), kuasa billah, ‘alim/pandai billah, mulia billah, kuat billah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bersandarlah selalu kepada sifat² Rububiyah-Nya dan jangan berusaha mewujudkan sifat² itu pada dirimu karena seorang hamba tak mampu melakukannya. Ia hanya bisa bergantung pada sifat² Tuhannya. Maka dari itu, wujudkanlah pada dirimu sifat² ‘ubudiyah-mu kepada-Nya.

“Bersandar kepada sifat² Rububiyah” bermakna memandang atau memperhatikan maslahat sifat² itu. Namun demikian, tidak layak bagimu untuk bersifat dengan salah satunya.

“Mewujudkan sifat² ubudiyah” bermakna melihat dan memperhatikan sifat² itu atau mengamati pembentukannya untuk dirinya. Sifat inilah yg harus dimiliki seorang hamba dengan sempurna, bukan sifat² Rububiyah-Nya.

Sifat Rububiyah yg didapat seorang hamba yg ada pada dirinya tak lain hanyalah pinjaman Allah padanya, bukan miliknya pribadi. Jika seorang hamba mendapati sifat kaya dan mampu, mulia dan kuat pada dirinya, tak lain itu hanyalah milik Allah. Ia harus melihat bahwa sifat² asli yg dimilikinya adalah kebalikan dari semua sifat Allah, yaitu miskin, lemah, hina, dan tak berdaya. Kemudian, Allah menyokongnya dengan sifat²Nya sehingga ia menjadi kaya, mampu, tahu, mulia, dan kuat karena Allah. Wallaahu a’lam

138. Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah (2)

Hikmah 138 dlm Al-Hikam:

منعك ان تدّعي ماليس لك مما للمخلوقين افيبيح لك ان تدعي وصفه وهو ربّ العلمين

Allah melarangmu mengakui hak orang lain yg bukan milikmu. Lalu, mungkinkah Dia membolehkanmu mengakui memiliki sifat-Nya, padahal Dia Tuhan Pemelihara alam semesta?

Pangakuanmu terhadap apa yg bukan menjadi sifat²mu itu bagian dari kedhaliman yg besar. Dan bagian dari paling jeleknya perkara yg jelek menurut para ‘arifin yaitu: Menyekutukan Allah di dalam hatinya hamba, dengan mengakui sebagian dari sifat² ke-Tuhanan Allah, dengan i’tiqad dan ucapan. Itu berarti merebut kedudukan Allah dan sombong kepada Allah.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tiada seorang yg lebih cemburu dari Allah, karena itu Allah mengharamkan segala perbuatan keji, dan karena itu pula Allah takkan mengampuni orang yg menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena itu pula sifat² kesempurnaan Allah, tidak boleh dikurangi walaupun sedikit.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah mengharamkanmu untuk mengaku-aku sesuatu yg bukan milikmu, misalnya mengaku-aku kepemilikan harta yg diberikan-Nya kepada makhluk-Nya yg lain. Tindakan ini disebut Allah sebagai ‘udwan (tindakan melampaui batas) dan kezaliman. Jika tindakan ini dilarang-Nya, apakah Dia membolehkanmu mengaku-aku sifat² yg dimiliki-Nya?

Apabila tindakan mengaku-aku hak milik orang lain saja diharamkan, tentu saja tindakan mengaku-aku sifat Allah lebih dilarang lagi. Tindakan ini merupakan ‘udwan dan kezaliman yg lebih besar dan lebih berat.

Jika kau mengaku kaya, berkuasa, terhormat, kuat, dan alim, sebagaimana yg terjadi pada sebagian orang, itu termasuk maksiat dan dosa besar. Bahkan, menurut pandangan orang² ‘arif, itu merupakan tindakan menyekutukan Tuhan dan kekejian yg paling keji. Hal itu dikarenakan di dalam hati hamba, ada sekutu Allah, yaitu dirinya yg mengaku sifat² rububiyah Allah, baik dengan keyakinan maupun dengan ucapan. Itu sama dengan tindakan menandingi Allah dan sombong di hadapan-Nya.

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Kesombongan adalah surban-Ku dan kebesaran adalah sarung-Ku, siapa yg menandingi-Ku dalam salah satu sifat itu, maka Aku akan menjerumuskannya ke dalam neraka.”

Makna “menandingi” di sini ialah mengaku-aku dengan ungkapan dan keyakinan. Wallaahu a’lam

139. Kejadian² Luar Biasa akan Muncul Dari Orang Yang Mujahadah-nya Luar Biasa

Hikmah 139 dlm Al-Hikam:

“Kejadian² Luar Biasa akan Muncul Dari Orang Yang Mujahadah-nya Luar Biasa”

كيف تخرق لك العواءـد وانت لم تخرق من نفسك العواءــد

Bagaimana mungkin kau mendapat hal luar biasa, sedangkan kebiasaanmu belum luar biasa?

Kharqul-awaa’id ialah: perkara yg tidak masuk akal, kejadian² yg luar biasa seperti: berjalan di atas air, melipat jarak dan waktu, sehingga bisa pergi ke ujung barat dan timur dengan satu langkah kaki, dll.

Bagaimana kau akan dapat mencapai yg demikian (kharqul-awaa’id), padahal kau sendiri belum bisa mengekang hawa nafsu dan keinginanmu, padahal kau belum dapat melepaskan kehendakmu untuk menyerah pasrah pada kehendak Allah Ta’ala.

Keramat/Kharqul-awaa’id itu tidak diberikan oleh Allah, kecuali pada orang yg sudah bisa melenyapkan kehendak diri sendiri dan menentang keinginan hawa nafsunya sendiri.

Kharqul-awaa’id itu ada beberapa macam: kalau keluar dari seorang Nabi disebut mu’jizat. Kalau keluar dari seorang wali disebut karamah, kalau keluar dari orang shalih disebut ma’unah. Tapi kalau keluar dari orang yg menentang hukum Allah Ta’ala disebut istidraj (panglulon).

Karamah itu ada dua macam;

  1. Karamah maknawiyyah, yakni karamah yg tidak di ketahui orang lain, seperti: bertambahnya iman dan keyakinan, bertambah baik akhlaqnya kepada Allah Ta’ala dan kepada makhluk.
  2. Karamah dhohiriyyah, yakni: keramat yg bisa diketahui orang lain, seperti Toyyil Ardhi (melipat jarak yg jauh menjadi dekat) dan melakukan perkara yg luar biasa yg tidak masuk akal.

Futuh yaitu: terbukanya tabir/hijab yg menutupi mata lahir dan mata hati.

Macam futuh itu banyak sekali, termasuk bagian dari futuh yaitu Kasyaf.

Antara kasyaf dan futuh itu sama artinya. Dan keduanya ada yg dari malaikat, ada yg dari setan, dan yg dari setan itu bukan karamah tapi dinamakan istidraj.

Kasyaf itu ada dua macam:

  1. Kasyaf hissi, yakni mengetahui perkara/kejadian yg jauh dari pandangan mata kepala. Seperti kisah Sayyidina Umar bin Khattab ra. ketika khutbah jum’ah di Madinah, tiba² memerintahkan pada panglima perang bernama Sariyyah yg sedang bertempur di tanah Nahawand yg jauhnya kira² perjalanan dua bulan dari Madinah. Sayyidina Umar ra. berkata, “Ya Sariyyah al-Jabal! (Hai Sariyyah! Awas, musuh ada di atas gunung).”

Diceritakan saat itu pasukan Islam baru bertempur di bawah gunung melawan sebagian pasukan musuh. Dan tidak tahu kalau ada sebagian pasukan musuh yg ada di atas gunung yg mau menyerang. Seumpama tidak ada komando dari Sayyidina Umar ra. yg bisa didengar oleh panglima perang Sariyyah, tentu pasukan Islam akan kalah. Dan akhirnya pasukan Islam dapat kemenangan. Setelah pasukan kembali ke Madinah, komando dari Sayyidina umar ra. dicocokkan dengan penduduk Madinah ternyata benar.

  1. Kasyaf ma’nawi, yakni mengetahui perkara yg diluar dari alam syahadah (alam nyata).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bagaimana kau begitu antusias untuk mendapatkan sesuatu yg luar biasa, misalnya karamah dan kemampuan mempersingkat jarak bumi, sedangkan kau terbiasa melakukan kesombongan dan keangkuhan serta sifat buruk lainnya? Hal² luar biasa terjadi dengan kuasa Allah Ta’ala. Dan itu tidak akan diberikan Allah kecuali kepada orang yg membuat kebiasaannya menjadi luar biasa, memusnahkan keinginan dan maslahat pribadinya.

Barang siapa yg belum mencapai maqam ini maka ia tidak boleh berhasrat mendapatkannya. Jika terlihat padanya sebentuk karamah, ia harus takut tertipu dan hendaknya ia tidak mengharapkan dan mencarinya. Jika ia masih mengharapkan atau mencarinya, itu menjadi bukti bahwa ia tetap terkungkung dalam keinginan, maslahat, dan kebiasaannya. Bagaimana bisa hal² luar biasa didapat oleh orang² yg sifatnya selalu ingin mendapatkan karamah?

Wallaahu a’lam

140. Adab Berdoa

Hikmah 140 dlm Al-Hikam:

“Adab Berdoa”

ماشاءن وجودالطلب انّما الشاءن ان ترزق حسن الاداب

Yg harus diperhatikan bukan sekedar meminta, melainkan bagaimana kau di anugerahi adab yg baik.

Sebab karena adab, kamu bisa memperlihatkan ‘ubudiyahmu, dan mencukupi hak²nya ke-Tuhanan Allah Ta’ala. Dan juga bisa menerima apa yg diberi oleh Allah Ta’ala, tanpa merasa kurang atau kecil. Sebagai kebiasaannya seorang tuan (majikan) itu mencukupi semua kebutuhan hambanya, demikian pula kewajiban seorang hamba menyerah dan pasrah kepada kebijaksanaan aturan Tuhannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Yg harus diperhatikan bukan sekadar berdoa dengan lisan. Sebaliknya, menurut para muhaqqiq (ahli hakikat), yg penting bukanlah berdoa dengan mengarahkan semua permintaan dan kebutuhanmu kepada-Nya semata. Cara itu belum memenuhi etika² dan kesopanan berdoa.

Namun, yg paling penting menurut para muhaqqiq adalah kau meminta seluruh permintaanmu itu dari-Nya semata, bukan bertujuan mendapatkan bagian dan keinginanmu saja, melainkan memintanya sebagai perwujudan dari ‘ubudiyah-mu kepada-Nya dan pelaksanaan terhadap hak² rububiyah-Nya. Dengan begitu, kau akan mendapatkan adab yg baik dari-Nya. Permintaanmu dan adab baikmu itu menjadi pelaksanaan yg sesungguhnya dari hak² etika dalam berdoa.

Maksud “meminta” dalam hikmah di atas adalah permintaan dengan hati atau hasrat hati kepada suatu tujuan. Jadi, yg harus diperhatikan bukanlah kau meminta sesuatu dari Tuhanmu dengan hatimu, baik disertai dengan permohonan lisan maupun tidak, namun yg paling penting adalah bagaimana kau diberikan adab yg baik oleh-Nya, yaitu tidak meminta kepada-Nya karena kau merasa cukup dengan pandangan Allah terhadapmu.

Etika yg baik dalam berdoa pada ungkapan pertama adalah agar berdoa kepada Allah sebagai bentuk ‘ubudiyah dan pelaksanaan terhadap hak² rububiyah-Nya, bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi saja. Sementara itu, pada ungkapan kedua adalah meninggalkan doa karena puas dengan bagian yg telah diberikan-Nya dan cukup dengan kehendak-Nya serta sibuk dengan berdzikir kepada-Nya. Wallaahu a’lam

141. Hubungan Antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan

Hikmah 141 dlm Al-Hikam:

“Hubungan Antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan”

ماطلب لك شيء مثل الاضطرار ولا اسرع بالمواهب اليك مثل الذلة والافتقار

Tiada sesuatu yg lebih menuntutmu, kecuali kebutuhan mendesak. Tidak ada pula yg dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kebutuhan mendesak seorang hamba merupakan sifat terkhusus ‘ubudiyah-nya kepada Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, tak ada sesuatu pun yg lebih menuntut seorang hamba, kecuali perasaan mendesak itu. Maknanya, sebaik-baik peminta adalah kebutuhan mendesak, Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kebutuhan mendesak ini dengan sosok “peminta”.

Kebutuhan mendesak adalah sikap menampakkan kefakiran yg sangat sehingga berkonotasi bahwa kau tak memiliki daya dan upaya apa², serta tidak menemukan satu pun sebab yg bisa kau jadikan sandaran untuk mendapatkannya. Keadaanmu sama dengan keadaan orang yg tenggelam di laut atau yg tersesat di hutan. Kau tak mendapati sesuatu pun yg dapat mensejahterakanmu, kecuali Tuhanmu dan tak berharap keselamatan dari kebinasaanmu, kecuali dari-Nya.

Tak ada yg dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh karena kehinaan dan rasa butuh merupakan dua sifat yg ada pada seseorang yg terdesak. Keduanya tentu akan mempercepat pemberian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yg memiliki sifat itu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang² yg lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 123)

Karena kondisi itulah, mereka pun akhirnya mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

142. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (1)

Hikmah 142 dlm Al-Hikam:

“Wushul Itu Sebab Karunia Dari Allah Dan Ditutupinya Cela Kita”

ولولا انك لاتصل اليه الابعد فناء مساويك ومحودعاويك لم تصل اليه ابدا ولكن اذااراد ان يوصلك اليه غطى وصفك بوصفه ونعتك بنعته فوصلك اليه منه اليك لابمامنك اليه

Jika kau yakin bahwa kau hanya akan sampai kepada-Nya setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, kau selamanya tak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya dan watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yg diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaikan yg kau persembahkan kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau tidak akan sampai kepada-Nya sekalipun kau melakukan riyadhah (olah batin) dan mujahadah berusaha menghilangkan aib dan semua keinginan yg tak layak bagimu, seperti keinginan untuk meraih kekuatan, kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan. Itu adalah sifat² inti dan watak yg sudah melekat pada seorang hamba dan tak bisa terlepas darinya. Sampainya kau kepada Allah adalah anugerah-Nya kepadamu, bukan karena usahamu sendiri.

Hal itu di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha’illah dengan ucapannya, “Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya.” Allah akan menutup dan menghapus sifat² buruk darimu. Dia juga akan mengabadikan ketiadaan sifat² burukmu itu dengan menampakkan sifat² yg baik padamu.

Hal itu di isyaratkan Allah dalam sebuah hadits qudsi, “Hamba-Ku terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah² sunnah sampai Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yg digunakannya untuk mendengar, penglihatannya yg digunakannya untuk melihat, tangannya yg digunakannya untuk memukul, dan kakinya yg digunakannya untuk berjalan.”

Allah akan membawamu sampai kepada-Nya dengan anugerah-Nya kepadamu, yaitu berupa sifat²Nya yg ditampakkan-Nya pada dirimu, bukan dengan usahamu dalam beramal.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra berkata, “Seorang wali tidak akan pernah sampai kepada Allah selama ia memiliki syahwat, keinginan, dan pilihan. Walaupun Allah sudah memberi jalan baginya, ia tetap tidak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Allah menginginkan untuk mendekatkan hamba itu kepada-Nya, Dialah yg akan mengaturnya, yaitu dengan menampakkan sifat²Nya yg tinggi dan suci sehingga akan menghilangkan sifat² hamba-Nya yg buruk. Saat itu, hamba tersebut tidak lagi memiliki keinginan dan pilihan, kecuali yg dipilihkan dan diinginkan Tuhannya.” Wallaahu a’lam

143. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (2)

Hikmah 143 dlm Al-Hikam:

لولا جميل ستره لم يكن عمل اهلا للقبول

Kalau bukan karena keindahan tutup-Nya, tentulah tiada amal yg layak diterima.

Sebab syarat untuk diterimanya amal itu adalah ikhlas, tulus kepada Allah, tetapi manusia diuji dengan sombong diri, merasa sudah cukup amalnya, dan lebih jelek lagi bila ia riya’ dengan amalnya,dan mengharap pujian atas amal perbuatannya. Karena demikian watak tiap hamba, maka sulit untuk diterima amal perbuatannya, kecuali hanya mengharap rahmat karunia Allah semata.

Syaikh Abu Abdullah al-Quraisyi berkata, “Jika Allah menuntut mereka tentang keikhlasan, maka lenyaplah semua amal perbuatan mereka, maka apabila telah lenyap semua amalnya, bertambahlah hajat kebutuhan mereka, maka dengan itu mereka lalu melepaskan diri dari bergantung kepada segala sesuatu, dan apabila ia telah bebas dari segala sesuatu, kembalilah mereka kepada Allah dalam keadaan bersih dari segala sesuatu.”

Jadi para murid/salik dalam perkara wushul kepada Allah, itu harus bergantung pada anugerah dan pemberian Allah. Jangan sampai mengandalkan amal ibadahnya sendiri.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kalau bukan karena tirai-Nya yg indah, tentu tidak satu pun amal yg diterima-Nya karena seorang hamba selalu diuji dengan pandangannya terhadap diri sendiri dan kebahagiaannya dengan amalnya. Selain itu, ia juga selalu menisbatkan amalnya itu kepada diri dan kemampuannya. Terkadang ia membuka hijabnya di depan orang sehingga ia menjadi riya’ dan mengharap pujian manusia. Semua ini akan menjadi syirik tersamar yg dapat merusak keikhlasan. Sementara itu, keikhlasan adalah syarat diterimanya sebuah amal.

Dengan demikian, sampainya seorang murid kepada Allah bergantung pada karunia dan kemuliaan-Nya, bukan atas perjuangan dan kerja kerasnya. Sekiranya ia berkata, “Jika bukan karena karunia Allah,” tentu akan lebih utama baginya daripada bersikap sombong. Wallaahu a’lam

144. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (3)

Hikmah 144 dlm Al-Hikam:

انت الى حلمه اذا اطعته احوج منك الى حلمه اذاعصيته

Ketika taat, kau lebih membutuhkan belas kasih-Nya daripada ketika melakukan maksiat.

Kemuliaan seorang hamba hanya ketika bersandar diri kepada Tuhannya. Dan hina/jatuhnya seorang hamba bila ia telah melihat dan berbangga dengan dirinya sendiri. Sedang manusia ketika berbuat taat, merasa dirinya sudah baik lalu bangga dengan amal perbuatannya sendiri, sombong dan merendahkan orang lain. Padahal amal perbuatannya jika dikoreksi keikhlasannya tidaklah mungkin akan diterima, bahkan amal itu semua hanyalah amal yg palsu dan tidak ada harganya di sisi Allah.

Allah telah menurunkan wahyu kepada seorang Nabi-Nya, “Beritahukan kepada hamba²Ku yg shiddiqin (sungguh² dalam beribadah kepada-Ku), janganlah kamu tertipu oleh kesombongan dengan amal perbuatanmu itu, karena apabila Aku menegakkan benar² keadilan-Ku pasti Aku akan menyiksa mereka, dan bukan suatu kedholiman terhadap mereka. Dan katakan kepada hamba²Ku yg telah berbuat dosa, ‘Jangan kamu berputus asa dari rahmat-Ku, sebab tidak ada suatu dosa yg tidak dapat Ku ampunkan.'”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra. berkata, “Taubat karena berbuat maksiat itu cukup hanya sekali, sedangkan taubat setelah berbuat taat harus seribu kali, sebab taat yg diliputi oleh ‘ujub, sombong, itu berubah menjadi maksiat yg besar, dan orang tidak akan menyadarinya. Sebagaimana jatuhnya iblis dari singgasananya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Seorang yg taat biasa mengalami berbagai keadaan, seperti sombong, ‘ujub, meremehkan orang lain, menganggap dirinya layak mendapat pahala, dan kondisi lainnya yg mencerminkan kesombongan. Lain halnya dengan seorang pemaksiat, boleh jadi maksiatnya akan mendorongnya untuk berhati-hati, takut kepada Tuhannya, berlindung kepada-Nya, tunduk dan membutuhkan-Nya.

Oleh sebab itu, seorang hamba lebih membutuhkan belas kasih Allah saat ia taat, melebihi kebutuhannya terhadap belas kasih-Nya saat ia bermaksiat kepada-Nya. Hikmah ini merupakan peringatan tambahan bagi orang yg merasa mampu sampai kepada Allah dengan amalan²nya. Sikap ini adalah kesalahan dan kebodohan. Wallaahu a’lam

145. Dua Macam Perlindungan Allah (1)

Hikmah 145 dlm Al-Hikam:

“Dua Macam Perlindungan Allah”

الستر على قسمين ستر عن المعصية وستر فيها، فالعامّة يطلبون من الله تعالى الستر فيها خشيــة سقوط مرتبتهم عندالخلق، والخاصة يطلبون من الله السترعنهاخشية سقوطهم من نظرالملك الحقّ

Tutup (perlindungan) Allah ada dua: tutup yg menghalangi perbuatan maksiat dan tutup ketika melakukan maksiat. Manusia pada umumnya berharap supaya ditutupi dalam melakukan maksiat karena khawatir derajat mereka jatuh di mata makhluk. Adapun kalangan khusus berharap ditutup (dicegah) dari perbuatan maksiat karena khawatir kedudukan mereka jatuh dalam pandangan Allah.

Manusia pada umumnya meminta pada Allah Ta’ala supaya ditutupi maksiatnya pada waktu mengerjakannya, sehingga mereka meminta pada Allah supaya di tutupi karena takut kedudukannya di masyarakat/sesama manusia jatuh sebab maksiat itu.

‘Ady bin Hatim ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Kelak pada hari kiamat ada beberapa orang yg dibawa ke surga, tetapi setelah melihat segala kesenangan yg tersedia dan merasakan hawa enaknya surga, tiba² diperintahkan mengusir mereka dari surga, sebab mereka tidak punya bagian dalam surga itu, maka kembalilah mereka dengan penuh penyesalan, sehingga mereka berkata, ‘Ya Allah, andaikan Engkau memasukkan kami ke neraka sebelum memperlihatkan kepada kami surga dan segala yg disediakan untuk para wali-Mu, niscaya akan lebih bagi kami.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Memang Aku sengaja demikian, kamu dulu jika sendirian berbuat segala dosa² besar, tetapi jika bertemu dengan orang², berlagak khusyuk bermuka-muka pada manusia, berlawanan dengan apa yg ada dalam hatimu, kamu takut pada manusia dan tidak takut pada-Ku, mengagungkan manusia tidak condong pada-Ku, maka hari ini rasakan siksa-Ku yg sepedih-pedihnya, dan diharamkan atas kamu segala rahmat-Ku.'”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tirai Allah Ta’ala ada dua macam. Pertama, tirai yg menghalangi seorang hamba dari kemaksiatan, misalnya dengan tidak memberinya sebab² untuk melakukan maksiat. Kedua, tirai penutup saat hamba melakukan maksiat, misalnya dengan menutupi aibnya di hadapan semua orang saat ia melakukan maksiat atau sesudahnya.

Manusia awam yg tidak memiliki hakikat keimanan selalu di dominasi oleh pandangan mereka terhadap makhluk. Mereka selalu berharap dari makhluk berbagai manfaat dan keselamatan dari bahaya, karena itu mereka bersikap riya’ dan berpura-pura di hadapan semua makhluk. Mereka selalu tamak dan sombong di hadapan manusia. Mereka juga tidak suka jika manusia mengetahui hal² buruk yg ada pada diri mereka yg dapat menjatuhkan kedudukan mereka.

Oleh sebab itu, manusia cenderung meminta agar Allah menutupi aib mereka saat mereka melakukan maksiat atau bahkan saat menyukainya. Hal itu dikarenakan, mereka takut martabatnya jatuh di mata makhluk. Jika makhluk mengetahui kondisi mereka, tentu mereka tidak akan mendapatkan apa yg mereka harapkan, yaitu manfaat dan keselamatan dari bahaya. Mereka itulah orang² yg bersandar kepada selain Allah. Mereka adalah ahli syirik tersamar yg dapat mengeluarkan pemiliknya dari hakikat keimanan. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yg Allah tidak ridlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yg mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 108)

Adapun orang² khusus yg mendapatkan hakikat keimanan, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk, tidak memuji, tidak pula mencela. Mereka juga tidak berharap dari makhluk manfaat atau takut terhadap bahaya mereka. Mereka tidak pernah bersandar kepada makhluk karena mereka hanya puas dengan pandangan Allah Ta’ala kepada diri mereka.

Orang² khusus ini meminta agar Allah Ta’ala menutupi aib mereka dari pandangan manusia dan menjaga bisikan hati mereka untuk tidak melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan, mereka takut kedudukannya jatuh di mata Allah akibat pelanggaran dan perbuatan mereka yg memicu murka-Nya.

Inilah yg sering terjadi pada dua kelompok manusia tersebut. Tentu ada perbedaan yg besar di antara keduanya. Terkadang orang² awam meminta agar Allah Ta’ala menutupi aibnya. Ini dilakukannya karena ingin melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menutupi aib orang yg diuji dengan maksiat. Pada diri mereka tak ada rasa penghinaan terhadap maksiat, tidak pula rasa cinta kepadanya. Sesekali orang khusus juga meminta agar Allah Ta’ala menutupi maksiat yg mereka lakukan, tidak membongkarnya di tengah makhluk, tidak pula di hadapan Allah Ta’ala karena mereka malu telah jatuh ke jurang maksiat. Juga karena manusia sering berburuk sangka kepada orang² yg dekat dengan Allah Ta’ala jika mereka mengetahui keburukannya. Wallaahu a’lam

146. Dua Macam Perlindungan Allah (2)

Hikmah 146 dlm Al-Hikam:

من اكرمك فانمااكرم فيك جميل ستره فالحمد لمن سترك ليس الحمد لمن اكرمك وشكرك

Orang yg menghormatimu sebenarnya menghormati indahnya tutup Allah yg diberikan kepadamu. Oleh karena itu, pujian hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi (aibmu); bukan kepada orang yg menaruh hormat dan berterima kasih kepadamu.

Sudah menjadi sifat manusia bahwa tiap orang pasti mempunyai cela/aib dan kebusukan yg andaikan diketahui oleh orang lain, pasti orang lain akan membenci dan tidak suka padanya. Kenyataannya ada orang yg memuji, menghormatinya, adapun yg menyebabkan adanya orang yg memuji dan menghormati padanya, bukan semata-mata karena kebaikannya, tetapai karena Allah menutupi kebusukan dan cacatnya, maka pujian itu seharusnya kembali pada Allah yg menutupi kebusukan dan aibnya. Karena itu ia wajib bersyukur dan memuji kepada Allah yg menutupi aibnya, tidak pada manusia yg memujinya karena tidak tahu kejelekannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg mendekati dan mencintaimu atau berterima kasih kepadamu tak lain dikarenakan keindahan tirai Allah yg diberikan kepadamu. Tanpa tirai itu, mereka tidak akan datang kepadamu, tidak mencintaimu, dan tidak pula melihat kepadamu dengan keramahan. Hal itu dikarenakan jika mereka mengetahui apa yg ada padamu, niscaya mereka akan merendahkanmu dan menganggap dirimu buruk, bahkan mereka akan menghindar darimu.

Saat itulah segala puji hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi aibmu, bukan kepada orang yg menghormati dan berterima kasih kepadamu. Jangan kau berterima kasih kepada orang itu, kecuali atas kebaikan yg diberikannya, bukan karena ia orang yg menghormatimu dengan sebenar-benarnya karena tak ada yg memuliakanmu dengan sebenarnya, kecuali Allah Ta’ala semata.

Orang yg didatangi, dicintai, dan dimuliakan oleh manusia kadang melakukan kesalahan sehingga pujian dan sanjungan kepadanya tidak tepat. Manusia yg memujinya sama saja dengan zalim. Ia juga kadang salah dengan melihat pada dirinya sifat² terpuji yg layak mendapat kemuliaan. Maka dari itu, mereka yg memujinya termasuk orang² yg bodoh. Mereka bodoh karena hanya melihat kepada amalnya dan lupa kepada karunia Allah atasnya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah mengingatkan dari dua kesalahan ini. Wallaahu a’lam

147. Sahabat Sejati

Hikmah 147 dlm Al-Hikam:

“Sahabat Sejati”

ماصحبك الامن صاحبك وهوبعيبك عليم وليس ذٰلك الامولك الكريم خيرمن تصحب من يطلبك لالشيءيعودمنك اليه

Sahabat sejatimu adalah yg bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Tidak lain Ia adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yg tidak mengharap keuntungan darimu.

“Dan sebaik-baik sahabatmu ialah yg selalu memperhatikan/membantu kepentinganmu, bukan karena sesuatu kepentingan yg diharap daripadamu untuk dirinya.”

Sudah menjadi watak manusia akan menjauhi/membenci orang lain ketika jelas² mengetahui kebusukan dan kejelekan orang tersebut, dan tidak mau bersahabat dengannya, kecuali hanya Allah Ta’ala. Dan juga orang² yg bersandar pada sifat² Ketuhanan, yaitu orang² yg sudah makrifatullah, yg masih mau menolong dan membantu. Sedangkan orang tua itu masih juga ada kepentingan dan pengharapan atas dirimu, sedang di dunia ini tidak ada orang yg kasih sayangnya sebagaimana ayah ibumu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tiada yg menjadi sahabatmu dengan sebenar-benarnya, kecuali Dzat yg memberimu kebaikan-Nya. Dia mengetahui aib dan celamu, namun Dia tidak pernah terhalang untuk mendekatimu dan menjadi sahabatmu, padahal ia mengetahui rincian kekurangan dan aibmu itu. Teman seperti itu ialah Tuhanmu Yang Maha Mulia. Seperti itu pulalah persahabatan kaum sufi dan orang² ‘Arif yg memiliki akhlak seperti sifat² Tuhannya.

Adapun orang² yg menemanimu dengan kebodohannya, ia bukanlah sahabatmu sejati karena ia tak kuasa melihat kekurangan dan aibmu. Ia takkan mampu bersabar menanggungnya. Meskipun bersabar, pasti ada tendensi dan tujuan yg di inginkannya.

Sebaik-sebaik sahabatmu adalah orang yg tidak menuntut apa2 darimu. Itu hanyalah Tuhanmu atau orang yg berakhlak seperti akhlak-Nya. Adapun orang yg bersahabat denganmu karena kebaikanmu dan manfaat yg kau berikan kepadanya, ia bukanlah sahabat sejati karena tujuannya hanyalah menunaikan kebutuhannya darimu. Jika tujuan itu telah terlaksana, ia akan meninggalkanmu.

148. Nur Yaqin Akan Mendekatkan Akhirat dan Memperlihatkan Kefanaan Dunia

Hikmah 148 dlm Al-Hikam:

“Nur Yaqin Akan Mendekatkan Akhirat dan Memperlihatkan Kefanaan Dunia”

لواشرق لك نوراليقين لرايت الاخرةاقرب اليك من ان ترحل اليها ولرايت محاسن الدنيا قدظهرت كسفةالفناء عليها

Andaikan cahaya keyakinan menerangi dirimu, tentu kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu daripada kau berjalan menujunya, dan tentu kau akan menyaksikan keindahan dunia telah diliputi selubung kebinasaan.

Sebab dengan Nurul-yaqin, semua hakikat perkara itu kelihatan yg semestinya dan apa adanya. Apabila hamba sudah bercahaya hatinya dengan Nurul-yaqin dia bisa mengetahui yg benar dan yg salah sedangkan akhirat itu perkara yg haqq/benar, tetap wujudnya, sedangkan dunia itu akan rusak.

Anas ra. berkata: Ketika Rasulullah Saw. sedang berjalan dan berjumpa dengan seorang pemuda dari sahabat Anshor, Rasulullah Saw. bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu hai Haritsah pada pagi ini?”

Jawabnya, “Saya kini menjadi seorang mukmin yg sungguh².

Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Haritsah, perhatikan perkataanmu, sebab tiap kata itu harus ada bukti hakikinya.”

Maka Haritsah ra. berkata, “Ya Rasulullah, jiwaku jemu dari dunia, sehingga aku bangun malam dan puasa siang hari, kini seolah-olah aku berhadapan dengan ‘Arsy, dan seolah-olah aku melihat neraka yg penghuninya sedang menjerit-jerit di dalamnya.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau telah melihat, maka tetapkanlah (jangan berubah). Seorang hamba, yg telah diberi Nur iman dalam hatinya.”

Haritsah ra. berkata, “Ya Rasulullah, doakan aku mati syahid.”

Maka Rasulullah Saw. berdoa untuknya. Dan ketika pada suatu hari ada panggilan untuk berjihad, maka dialah orang pertama yg menyambutnya, dan akhirnya dia yg pertama mati syahid.

Dan ketika ibunya mendengar berita bahwa anaknya telah mati syahid, ia datang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang Haritsah putraku, jika ia di surga aku tidak akan menangis atau menyesal, tapi jika lain dari itu, maka aku akan menangis selama hidup di dunia!”

Jawab Rasulullah Saw., “Haritsah, bukan hanya satu surga tetapi surga di dalam surga². Dan Haritsah telah mencapai Firdaus yg tertinggi.”

Maka kembalilah ibu Haritsah sambil tertawa dan berkata, “Untung.. untung bagimu hai Haritsah.”

Anas ra. juga berkata: Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal ra. masuk ke tempat Rasulullah Saw. sambil menangis, maka ditanya oleh Rasulullah Saw., “Bagaimanakah keadaanmu pagi ini hai Mu’adz?”

Jawab Mu’adz ra., “Aku pagi ini mukmin benar² kepada Allah.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Tiap kata² yg benar harus ada bukti hakikatnya. Maka apakah bukti pernyataanmu itu?”

Jawab Mu’adz ra., “Ya Nabiyallah, kini jika aku berada di waktu pagi merasa mungkin tidak sampai sore, dan jika sore, aku merasa tidak akan sampai pagi. Dan tiap melangkahkan kaki merasa mungkin tidak dapat melangkah yg lain, dan terlihat kepadaku seolah-olah manusia semua telah dipanggil untuk menerima suratan amal bersama dengan Nabi² dan berhala²nya yg disembah selain Allah, dan juga seolah-olah aku melihat siksa ahli neraka dan pahala ahli surga.”

Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau telah mengetahui, maka tetapkanlah.”

Rasulullah Saw. ketika memberi tahu kepada para sahabat hal gugurnya Zaid bin Haritsah ra. dan Ja’far bin Abi Thalib ra., dan Abdullah bin Rowahah ra. bersabda, “Demi Allah, mereka tidak akan senang, andaikan mereka masih berada di antara kami.”

Rasulullah Saw. memberitakan demikian dengan air mata yg berlinang-linang.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya hatimu diterangi cahaya keyakinan atau ilmu pengetahuan tentang Allah dan janji-Nya yg disampaikan melalui lisan Nabi-Nya, niscaya kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu saat kau berjalan menuju-Nya. Kau juga akan melihat keindahan dunia telah diliputi oleh selubung kebinasaan. Karena dengan cahaya keyakinan dan ilmu itu, hakikat segala sesuatu akan terlihat sesuai kondisi aslinya.

Jika cahaya itu menyinari hati, seorang hamba akan melihat yg benar tetap benar dan yg bathil tetap bathil; akhirat adalah benar, sedangkan dunia adalah bathil. Dia akan melihat akhirat yg tadinya ghaib seakan hadir di hadapannya, seakan akhirat itu tidak sirna dari hadapannya dan amat dekat kepadanya untuk ia tuju.

Dengan begitu, ia akan lebih siap lagi untuk menyongsongnya. la melihat dunia yg hadir di matanya telah redup cahayanya, segera musnah dan sirna dari pandangannya. Di matanya, tampaklah kebathilan dunia itu sehingga seakan ia tidak ada. Dengan pandangan penuh keyakinan ini, ia terdorong untuk ber-zuhud meninggalkan dunia dan perhiasannya, serta lebih mengutamakan akhirat dan bersiap menyongsongnya.

Keadaan ini menandakan kelapangan dada seorang hamba dengan cahaya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya cahaya jika masuk ke dalam hati, dada akan lapang dan terbuka karenanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal itu ada tanda²nya?” Beliau menjawab, “Ya, tandanya ialah sikap menjauhi tempat tipu daya, berlindung ke negeri keabadian, dan bersiap menghadapi kematian sebelum datang.”

Saat cahaya masuk ke dalam kalbu seorang hamba, syahwatnya akan mati dan dorongan jiwanya akan sirna sehingga ia hanya terdorong untuk melakukan kebaikan dan tidak pernah tertarik untuk melanggar. Hamba yg mendapatkan cahaya tidak memiliki tekad, kecuali untuk segera melakukan kebaikan dan menggunakan waktu dan kesempatan karena saat itu ia merasa ajal sudah dekat, sedangkan kebaikan banyak terlewatkan. Wallaahu a’lam

149. Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu (1)

Hikmah 149 dlm Al-Hikam:

“Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu”

ماحجبك عن الله وجود موجود معه ولٰـكن حجبك عنه توهّم موجود معه

Bukan keberadaan benda yg menghijab dirimu dari Allah Ta’ala. Akan tetapi, yg menghijabmu dari-Nya adalah sangkaan adanya wujud selain Allah Ta’ala.

Segala sesuatu selain Allah Ta’ala itu pada hakikatnya tidak maujud/tidak ada, sebab yg wajib wujud/ada itu hanya Allah Ta’ala, sedang yg lainnya terserah belas kasih Allah Ta’ala, untuk di adakan atau ditiadakan.

Jadi apabila kita tidak bisa melihat/mengenal Allah Ta’ala, itu bukan karena ada perkara/sesuatu yg di adakan Allah Ta’ala yg menghalangi/menghijab kita, akan tetapi yg menghalangi kita dari Allah Ta’ala yaitu adanya prasangka kita bahwa ada sesuatu yg wujud selain Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bukanlah perkara² duniawi dan ukhrawi yg menghijab kita dari Allah Ta’ala karena tak ada wujud pada sesuatu selain wujud-Nya. Akan tetapi, yg menghijab kita dari-Nya adalah anggapan kita bahwa sesuatu selain-Nya memiliki wujud, padahal menurut orang² ‘Arif, aslinya sesuatu itu tidak berwujud. Wujud segala sesuatu laksana bayangan pepohonan di atas air. Ia tidak dapat menghalangi perjalanan perahu di air tersebut. Dengan demikian, tak ada hijab antara diri kita dengan Allah, kecuali sangkaan kita bahwa ada wujud lain selain Allah Ta’ala.

Seperti seorang lelaki yg ingin buang air kecil di dekat sebuah gua, ketika ia mendengar suara deru angin dari mulut gua itu, ia menyangkanya suara auman singa. Hal itu menghalanginya untuk buang air. Namun, ketika ia tidak mendapati seekor pun singa di sana, ia akhirnya memberanikan diri untuk menunaikan hajatnya. Tentu saja singa bukan sesuatu yg menghalanginya buang air, melainkan sangkaannya tentang wujud seekor singa di sana. Wallaahu a’lam

150. Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu (2)

Hikmah 150 dlm Al-Hikam:

لولاظهوره في المكونات ماوقع عليها وجود ابصار، لوظهرت صفاته اضمحلّـت مكوّناته

Andaikan Allah Ta’ala tidak tampak di alam, tidak akan ada pandangan yg tertuju pada-Nya. Andaikan sifat²Nya terlihat, pasti alam menjadi lenyap.

Yakni dhahirnya Allah Ta’ala kepada kita itu dari belakang tabir berupa semua makhluk, ini yg menjadikan dhahirnya semua makhluk, dan menjadi sebab kita bisa melihat wujudnya makhluk, seperti juga dhahirnya sinar matahari yg ada di kaca cermin.

Seumpama Allah Ta’ala tidak dhahir di belakang tabir makhluk artinya Allah Ta’ala dhahir dengan sifat Dzat-Nya secara langsung, maka semua makhluk akan hancur.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya bukan karena penampakan Allah Ta’ala di alam wujud, tidak akan ada pandangan yg tertuju pada-Nya. Jika tidak ada, tentu pandangan itu tidak akan pernah melihat wujud-Nya.

Wujud alam semesta itu tak lain hanya pinjaman Allah Ta’ala semata. Penampakan Yang Maha Haqq di dalamnya seumpama pantulan matahari di dalam lentera kaca karena pada hakikatnya, alam semesta ini tidak ada dan tak berwujud, sebagaimana telah dijelaskan.

Penampakan Allah Ta’ala kepada kita dari balik hijab alam semesta itulah yg membuat alam semesta berwujud dan semua pandangan tertuju padanya. Tanpa ada penampakan Allah di alam semesta ini, niscaya semua alam lenyap dan musnah, serta tak satu pun pandangan yg melihatnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَمَّا جَآءَ مُوسٰى لِمِيقٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرٰىنِى وَلٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرٰىنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسٰى صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yg telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yg pertama-tama beriman.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)

Ayat ini menyatakan bahwa sekiranya sifat²Nya terlihat, seluruh alam semesta akan luluh lantak, bahkan tak akan ada wujud di sana dan tak ada yg melihatnya. Sebagaimana dalam hadits “Hijab-Nya adalah cahaya.” Dalam riwayat lain, “Hijab-Nya adalah api.” Sekiranya hijab itu terbuka, Allah Ta’ala akan membakar semua yg ada. Wallaahu a’lam

151. Segala Sesuatu Tidak Ada, Allah-lah Yang Menjadikannya Ada

Hikmah 151 dlm Al-Hikam:

“Segala Sesuatu Tidak Ada, Allah-lah Yang Menjadikannya Ada”

اظهركلّ شيءلانه الباطن وطوى وجودكلّ شيءلانه الظاهر

Allah menampakkan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia menutupi keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tampak.

Yakni sebab Allah mempunyai sifat Bathin maka Allah mendhohirkan semua makhluk, sebab makhluk itu tidak bisa terlihat kecuali dengan Nur Allah, dan Allah melipat/menyembunyikan makhluk sebab Allah bersifat dhohir, tidak ada makhluk yg menyekutukan Allah dalam Sifat, Dzat dan Af’al-nya Allah. Artinya Allah tidak menjadikan sifat wujud dengan dzatnya/hakiki pada selain Allah. Semua makhluk itu ‘adam yg hakiki, dan semua makhluk itu tidak wujud kecuali dengan wujudnya Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memiliki nama baik “Al-Bathin” (Yang Maha Tersembunyi). Tak satu pun yg dapat menandingi-Nya dalam hal ketersembunyian. Oleh sebab itu, Dia menampakkan segala sesuatu dan membuatnya lahir. Di dalamnya tidak ada lagi yg tersembunyi, kecuali Dzat-Nya.

Allah juga memiliki nama baik “Az-Zhahir” (Yang Maha Tampak). Tak satu pun yg menyamai-Nya dalam hal kelahiran. Oleh sebab itu, Dia menutupi wujud segala sesuatu atau tidak membuat selain-Nya berwujud dengan sendirinya. Bahkan, seluruh alam semesta ini tidak berwujud, kecuali karena wujud-Nya.

Lahir bermakna tersembunyinya segala sesuatu selain-Nya. Sehingga tak satu pun yg menandingi penampakan-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tertutup dan lenyap.

Batin bermakna tampaknya segala sesuatu sehingga tak satu pun yg menandingi ketersembunyian-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tampak dengan wujud-Nya.

Intinya, Allah Yang Maha Haqq adalah Dzat Yang Mawjud, dan tak ada wujud selain-Nya, kecuali secara dependen (mengikuti wujud-Nya). Wallaahu a’lam

152. Lihat dan Pelajari Alam Ini (1)

Hikmah 152 dlm Al-Hikam:

“Lihat Dan Pelajari Alam Ini”

اباح لك ان تنظر في الممكوّنات وما اذن لك ان تقف مع ذوات المكوّنات قل انظروا ماذافى السماوات؟ فتح لك باب الافهام ولم يقل: انظرواالسماوات لـءلا يدلك على وجودالاجرام

Allah memperbolehkan kamu melihat alam sekitarmu (makhluk), tetapi Allah tidak mengizinkan engkau berhenti pada benda² di alam ini (makhluk). Sebagaimana firman Allah; Katakanlah: perhatikanlah apa² yg di langit. Semoga Allah membuka kefahaman padamu, Allah tidak berfirman: Perhatikan langit² itu. Supaya tidak menunjukkan padamu adanya benda² itu.

Pada hikmah sebelumnya mushonnif menerangkan tentang wujud/adanya alam (bisa terlihat) itu karena Nur dari Allah. ALLAAHU-NUURUS-SAMAAWATI WAL-ARDHI (Allah itulah yg menerangi langit dan bumi). Dan pada hikmah ini kita dituntun untuk bisa melihat dan mempelajari alam ini.

Allah mengizinkan kita untuk melihat ciptaannya supaya kita bisa melihat bahwa semua itu ciptaan Allah, jangan sampai kita terjebak/berhenti hanya melihat/memperhatikan bendanya, sehingga kita tidak melihat Allah dibalik benda² itu.

Dalam ayat ini menggunakan Fi’iI dengan makna dhorof, yg berarti: yg harus diperhatikan yaitu apa yg ditempatkan, bukan tempatnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memerintahkanmu untuk melihat alam semesta sebagai bukti keindahan Allah Ta’ala atau menyapukan pandangan hatimu ke sana agar kau menyaksikan bahwa Allah ada di alam semesta dan tampak di sana. Allah melarangmu untuk menghijab dirimu dengan alam sehingga kau tidak bisa melihat-Nya di sana. Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, perhatikan apa yg terdapat di langit!”

Dalam Lathaif Al-Minan disebutkan, “Alam semesta yg ditampakkan di hadapanmu bukan untuk kau lihat, tetapi aga kau lihat wujud Tuhan di dalamnya. Kehendak Tuhanmu adalah agar kau melihat alam semesta dengan mata orang yg tidak melihatnya. Kau melihatnya dari sisi penampakan Allah di dalamnya, bukan melihatnya dari sisi wujud alam semesta itu sendiri.”

Allah membukakan pintu pemahaman atau mengingatkan dan menyadarkanmu atas apa yg dituntut darimu, yaitu melihat yg ada di alam semesta.

Allah tidak mengatakan kepadamu, “Lihatlah langit²!” agar tidak menunjukkan kepadamu benda² langit saja sehingga dengannya kau menjadi terhijab dan tidak menyaksikan wujud Allah di dalamnya. Hal itu juga dimaksudkan agar alam semesta tidak menjadi fokus dan tujuanmu karena ia hanyalah wasilah (perantara) dan media. Ia hanyalah benda yg dapat dilihat. Bagi para ahli syuhud, alam semesta adalah wahana penampakan Allah Ta’ala. Namun, bagi para ahli hijab, alam adalah bukti keberadaan-Nya. Wallaahu a’lam

153. Lihat dan Pelajari Alam Ini (2)

Hikmah 153 dlm Al-Hikam:

الاكوان ثابتة بإثباته وممحوّة باحد يّة ذاته

Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan Dzat-Nya.

Siapa saja yg memandang Sifat Esa Dzat-Nya Allah, pasti tidak akan menemukan sifat tetap dan nyata pada semua makhluk. Semua makhluk itu bisa mempunyai sifat tetap kalau memandang sifat WAHID-nya Allah.

Sifat Ahadiyyah menurut para ‘Arifin adalah Dzat yg bersih dari sifat tetap/nyata pada semua makhluk. Sedangkan sifat Wahidiyyah itu Dzat-Nya Allah yg nyata ada pada semua makhluk, dan semua makhluk mempunyai sifat tetap (ada) sebab memandang adanya Allah pada semua makhluk, sehingga para ‘Arifin mengatakan “AL-AHADIYYATU BAHRUN-BILA MAUJIN WAL WAA-HIDIYYATU BAHRUN MA’A MAUJIN. (Ahadiyyah itu umpama laut tanpa ombak, sedangkan Wahidiyyah itu umpama laut beserta ombaknya).

Yakni: menurut pandangan para ‘Arifin, Allah itu di ibaratkan laut, maka makhluk di ibaratkan ombak yg di gerakkan oleh laut. Jadi jelasnya semua makhluk itu bukan Allah.

Ke-Esaan Dzat Allah yg tidak bersekutu itu melenyapkan apa saja (makhluk), yakni tetap Allah yg tunggal dan segala sesuatu yg selain-Nya itu hanya bayangan belaka yg di ciptakan/di wujudkan oleh Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Pada mulanya, alam semesta ini tidak ada. Alam semesta memiliki sifat wujud dengan penetapan Allah Ta’ala terhadapnya atau dengan penampakan-Nya di dalamnya. Ketetapan alam ini bersifat relatif karena tak ada yg mutlak, kecuali Dia. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Alam lenyap dengan keesaan Dzat-Nya.”

Siapa yg melihat kepada keesaan Dzat-Nya maka ia tidak akan mendapati alam ini tetap dan berwujud. Alam memiliki sifat tetap dengan memandang kepada keesaan-Nya. Menurut orang² ‘arif, keesaan maknanya adalah kemurnian, kemutlakan, dan keterbebasan dari penampakan pada alam semesta. Keesaan dalam arti itu berbeda dengan ke-satu-an karena kesatuan ialah penampakan dzat yg lahir di alam semesta sehingga alam semesta menjadi ada berdasarkan adanya Yang Maha Haqq di sana. Oleh sebab itu, mereka berkata, “Keesaan umpama lautan tanpa gelombang, sedangkan kesatuan umpama lautan dengan gelombang.”

Bagi mereka, Allah Ta’ala seumpama lautan dan alam semesta ini seperti gelombang yg digerakkan oleh lautan itu. Gelombang tentu berbeda dengan lautan. Inilah tauhid orang² ‘arif.

Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengulang-ulang ungkapannya tentang hal ini. Ia mengatakannya dengan berbagai ungkapan berbeda untuk mewujudkan yg benar dan menyingkirkan yg bathil dari dirimu. Sebagian orang membahasnya secara khusus dalam satu karya tersendiri atau membahasnya dalam pembahasan tentang wahdatul wujud (kesatuan wujud). Wallaahu a’lam

154. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (1)

Hikmah 154 dlm Al-Hikam:

“Sikap Kita Ketika Dipuji Orang”

الناس يمدحونك لمايظنونه فيك فكن انت ذامّالنفسك لماتعلمه منها

Orang² memujimu atas apa yg mereka sangka ada pada dirimu. Karena itu, celalah dirimu atas apa yg kau ketahui ada pada dirimu.

Jangan sampai terpengaruh/tertipu dengan pujian orang² yg tidak mengetahui hakikatnya dirimu, tetapi kamu harus kembali melihat dirimu dengan mencela dirimu sebab perbuatanmu yg terbalik/tidak sama dengan prasangka orang lain pada dirimu.

Dan siapa yang merasa senang dengan pujian orang lain terhadap dirinya, berarti dia telah memberi kesempatan pada setan untuk masuk dan merusak imannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Manusia memujimu atas sifat² terpuji yg ada padamu. Oleh karena itu, jangan kau tertipu dan terpesona oleh pujian mereka kepadamu, tetapi celalah dirimu sendiri. Celalah dirimu karena apa yg tidak sesuai dengan sangkaan manusia kepadamu.

Oleh sebab itu, Sayyidina Ali kw. sering berdoa, “Ya Allah, jadikan kami lebih baik daripada apa yg mereka kira dan jangan tuntut kami dengan apa yg mereka katakan tentang kami. Ampuni dosa kami atas apa yg tidak mereka ketahui.”

Ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah: “Celalah dirimu!” bukan berarti bahwa kau disuruh untuk mendustakan perkataan manusia atau mencoba mengubah sangkaan mereka terhadapmu. Akan tetapi, maksudnya, kau tidak boleh tertipu atau terpesona dan tidak mengutamakan pengetahuanmu atas sangkaan mereka.

Jika seorang pemuji berbohong, misalnya dengan terlalu berlebihan dalam memuji, dan kebohongannya telah diketahui, laksanakanlah sabda Rasulullah Saw., “Lemparkan debu di wajah para pemuji.”
Pujian seperti itu dilarang.

Demikian pula jika pujian dapat mendorong orang yg dipuji tertipu dan membuatnya melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri maka laksanakan perintah Rasulullah Saw., “Jauhilah pujian karena ia sama dengan tindakan menyembelih seseorang.”

Wallaahu a’lam.

155. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (2)

Hikmah 155 dlm Al-Hikam:

الموءمن اذامدح استحيٰى من الله ان يثنى عليه بوصف لايشهده من نفسه

Seorang mukmin, jika dipuji, akan malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yg tidak ia dapati pada dirinya.

Jadi apabila orang lain memuji dirinya dan menyebut kebaikannya, dia merasa malu kepada Allah, karena dia merasa tidak mempunyai sifat² yg layak dipuji, sebab ia merasa hanya mendapat karunia Allah jika ia bisa berbuat sesuatu yg baik, dan bukan dari usaha dan kemampuannya sendiri.

Seorang salik itu harus tidak percaya dengan pujian orang lain, tetapi dia juga tidak diperintah untuk merubah/menolak supaya orang lain tidak memuji atau berprasangka baik padanya, dia hanya di perintah untuk tidak terpengaruh, dan supaya mendahulukan apa yg diketahui terhadap dirinya sendiri, mengalahkan prasangka orang lain. Yg penting tidak keterlaluan pujiannya, kalau keterlaluan maka harus ditolak.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Mukmin sejati adalah mukmin yg tidak mendapati pada dirinya sifat² terpuji sehingga layak untuk dipuji. Dia hanya memandang bahwa sifat itu datang dari Allah. Jika manusia memujinya dan menyebut-nyebut kebaikannya, ia akan malu kepada Allah karena ia tidak mendapati sifat yg dipuji itu ada pada dirinya.

Rasa malunya kepada Allah adalah rasa malu penuh takzim dan pengagungan kepada-Nya dengan sifat² yg tak ada padanya. Dengan begitu, ia akan bertambah benci dan jijik kepada dirinya sendiri, pandangannya terhadap kebaikan dan karunia Allah semakin besar. Inilah kesyukuran yg dengannya ia akan mendapatkan yg lebih dan selamat dari sikap nyaman dengan pujian manusia. Wallaahu a’lam

156. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (3)

Hikmah 156 dlm Al-Hikam:

اجهل الناس من ترك يقين ما عنده لظن ماعند الناس

Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yg meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang².

Orang yg dipuji orang lain dan terpengaruh dengan pujiannya, dan menganggap baik pada dirinya sendiri, orang seperti ini adalah orang paling bodoh, karena yg yakin ia ketahui yaitu kekurangan² dan dosa² yg telah dilakukannya atau rendahnya akhlaknya dan kelemahan imannya sendiri.

Al-Harits Al-Muhasiby mengumpamakan pada orang yg senang dipuji orang lain, itu bagaikan orang yg senang dengan ejekan orang padanya. Seumpama ada orang berkata, “Kotoranmu itu berbau harum.” Lalu engkau gembira dengan pujian yg demikian, padahal engkau sendiri jijik dan tahu kotoran itu berbau busuk. Ketahuilah bahwa kotoran dosa dan jiwa itu lebih busuk daripada kotoran (tinja) orang.

Seorang Hakim dipuji oleh orang awam/biasa, maka ia menangis, lalu ditanya: “Mengapa engkau menangis? Padahal orang itu memujimu.”

Jawabnya: “Ia tidak memujiku, melainkan setelah dia mengetahui bahwa yg ada padaku sifat² yg sama dengan sifat²nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg paling bodoh adalah orang yg meninggalkan keyakinan atau pengetahuannya tentang kelemahan dan aib diri serta kekurangan hubungannya dengan Allah karena sangkaan orang² bahwa dirinya baik sehingga mereka memujinya. Jika orang yg dipuji itu tertipu dan yakin bahwa dirinya layak mendapat pujian tersebut serta terperdaya oleh kesaksian seluruh makhluk tentangnya, ia menjadi manusia terbodoh karena ia mengabaikan keyakinannya dan lebih mengutamakan sangkaan tentangnya. Ia lebih mengutamakan sesuatu yg ada pada orang lain daripada yg ada pada dirinya. Wallaahu a’lam

157. Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif (1)

Hikmah 157 dlm Al-Hikam:

“Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif”

اذااطلق الثناء عليك ولست باهل فاَثن عليه بما هو اهلهُ

Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yg memang layak menyandangnya.

Kenyataannya apa yg disanjungkan orang² padamu itu tidak ada pada dirimu, atau kau mempunyai cacat/aib, sehingga kau tidak berhak menerima pujian itu, maka kau harus memuji kepada Allah, yg telah menutupi aib² dan kekuranganmu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau tidak layak mendapat pujian karena pujian mereka sesungguhnya tidak ada padamu. Orang² memujimu karena Allah menutupi aib dan celamu itu. Sekiranya bukan karena karunia Allah kepadamu dan tirai-Nya yg menutupi aibmu, niscaya kau tidak layak mendapat pujian tersebut.

Oleh karena itu, etikanya, kau harus memuji Tuhanmu yg memang layak dipuji agar hal itu menjadi kesyukuranmu atas nikmat ditutupnya tirai darimu dan banyaknya lisan yg memuji kendati kau tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, jangan tertipu dan terpesona oleh ucapan orang² yg memujimu. Wallaahu a’lam

158. Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif (2)

Hikmah 158 dlm Al-Hikam:

الزهّاد اذامدحواانقبضوالشهودهم الثناءمن الخلق ، والعارفون اذامدحوا انبسطوا لشهودهم ذالك من الملك الحقّ

Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum ‘arif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha Haqq.

Orang ‘arif itu selalu hadir ke hadhratullah, tidak pernah memandang selain Allah, mereka menganggap pujian² itu datang dari Allah, sehingga mereka gembira, dan pujian itu bisa menambah kekuatan hatinya dan kedudukannya di hadapan Allah, karena mereka tidak memandang pada dirinya, tidak membanggakan amalnya, dan tidak terpengaruh dengan pujian ataupun celaan orang lain.

Rasulullah Saw. sendiri pernah dipuji dengan qasidah oleh Hassan dan Ka’ab bin Zuhair. Rasulullah Saw. menunjukkan kegembiraan bahkan memberikan mantel kepada Ka’ab bin Zuhair.

Orang yg mempunyai maqam ini, antara dihina dan dipuji orang tidak akan ada bekasnya dalam hati, karena mereka tidak memandang itu semua dari makhluk, tapi mereka melihat itu semua dari Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika orang² zuhud dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah. Mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah akan hilang. Sebaliknya, jika orang² ‘arif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah Yang Maha Haqq.

Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali Dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yg membuat tinggi ahwal dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub dan tertipu.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya.”

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah memuji Syaikhnya, Syaikh Abul Abbas al-Mursi, dan Beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yg agung. Seperti itulah yg di alami kaum ‘arif lainnya. Para pemilik maqam ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yg mencelanya. Wallaahu a’lam

159. Sifat Ke-Kanak-Kanakan

Hikmah 159 dlm Al-Hikam:

“Sifat Ke-Kanak-Kanakan”

متى كنت اذا اُعطيتَ بسطك العطاءُوإذامنعت قبضك المنع فاستدلّ بذالك على ثبوت طفوليّتك وعدم صدقك في عبوديتك

Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.

Ketika suasana hatimu masih selalu berubah-ubah ketika menerima nikmat atau mendapat balak/ujian. Maka nyata bahwa engkau masih dipengaruhi oleh hawa nafsu, dan belum sungguh² dalam kedudukan kehambaan kepada Allah Ta’ala, dan pengertian terhadap hikmah rahmat Allah terhadap semua makhluk-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Itu adalah sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yg tak layak kau ikuti. Seperti halnya anak² yg tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yg belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu kepada-Nya.

Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum ‘arif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah. Siapa yg mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa ‘ubudiyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-aku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.

Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yg mengganggu kondisinya. Ini bukanlah bukti sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yg disebutkan di atas. Bagaimanapun, orang² ‘arif pasti tetap memiliki sisa² sifat kemanusiaan yg ada pada dirinya. Dengan sisa² sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Itu adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya. Wallaahu a’lam

160. Jangan Putus Asa

Hikmah 160 dlm Al-Hikam:

“Jangan Putus Asa”

إذا وقع منك ذنب فلا يكن سببالياءْسك من حصول الاستـقامة مع ربّك فقد يكون ذٰلك اٰخرذنب قدّر عليكَ

Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah hal itu membuatmu putus asa untuk beristiqamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah dosa terakhir yg ditetapkan atasmu.

Engkau jangan putus asa dengan merasa tidak mungkin bisa istiqomah dalam menghamba pada Allah Ta’ala, (sehingga mendorongmu melakukan dosa² yg lainnya) karena engkau terlanjur melakukan dosa.

Perbuatan dosa itu tidak menyalahi istiqamah dalam kehambaan, kalau semata-mata terlanjur, dengan tidak ada sifat gembira dalam melakukan dosa itu, sebab manusia tidak mungkin mengelak dari takdir yg telah ditulis baginya. Kewajiban kamu ketika terlanjur berbuat dosa yaitu harus segera bertobat.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau melakukan dosa sesuai dengan maqam dan kedudukanmu, hal itu jangan sampai membuatmu putus asa dari kelurusan dan keseimbangan ahwal -mu dengan Tuhanmu, misalnya dengan meyakini bahwa karena timbulnya dosa itu, kau merasa mustahil untuk beristiqamah. Sikap itu akan mendorongmu untuk melakukan dosa lainnya. Ini tentu langkah yg salah karena istiqamah dalam ‘ubudiyah tidak mesti terhalang oleh perbuatan dosa yg dilakukan akibat lalai dan alpa jika kau telah ditakdirkan untuk itu.

Yg menghalangi istiqamah adalah keinginanmu yg terus menerus untuk melakukan dosa dan bertekad untuk kembali melakukannya lagi. Oleh karena itu, yg wajib bagimu adalah bertobat langsung kepada Tuhanmu dan kembali kepada-Nya, jangan putus asa dari rahmat-Nya. Bisa jadi itu adalah dosa terakhir yg ditetapkan Allah untukmu sehingga setelah itu, Allah akan menerimamu dengan taufik dan kebaikan-Nya. Wallaahu a’lam

161. Roja’ dan Khouf

Hikmah 161 dlm Al-Hikam:

“Roja’ dan Khouf”

اذااَرادْتَ ان يفْتحَ لك باب الرجاءِ فاشهد مامنه اليكَ، واذا اردت ان يفتح لك باب الخوف فاشهد مامنك إليهِ

Jika kau ingin dibukakan pintu roja’/asa/harapan, lihatlah karunia-Nya kepadamu. Namun, jika kau ingin dibukakan pintu khouf/takut, lihatlah amal yg kau persembahkan untuk-Nya.

Hikmah ini menjelaskan dua cara untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, yaitu:

  1. Roja’ (berharap hanya kepada Allah Ta’ala), caranya: selalu memperhatikan apa yg ada pada dirimu dari nikmat pemberian Allah Ta’ala, macam²nya manfaat yg diberikan kepadamu, dan dihindarkan dari macam²nya bala’ bencana mulai dari kamu dalam kandungan ibumu sampai saat ini. Sehingga hati kamu bisa berharap secara optimis dan husnudzan kepada Allah Ta’ala dan tidak akan putus asa.
  2. Khouf (takut hanya kepada Allah Ta’ala), caranya: selalu memperhatikan apa² dari dirimu tentang kekurangan dan kecuranganmu dalam menghamba kepada Allah Ta’ala, adab yg kurang baik terhadap Allah Ta’ala. Sehingga timbul dalam hatimu rasa takut kepada Allah Ta’ala. Kedua sifat ini harus dimiliki oleh setiap mukmin.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau ingin Allah Ta’ala membukakan pintu harap untukmu, rasakanlah dalam dirimu kehadiran nikmat-Nya kepadamu, baik yg berupa manfaat maupun perlindungan-Nya dari bahaya, sejak kau masih dalam perut ibumu sampai waktu kau hidup sekarang. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dihiasi dengan harapan yg besar dan tak pernah putus asa dari rahmat-Nya walaupun saat kau terjerumus ke lembah dosa. 

Jika kau sudah dikuasai rasa harap dan kau takut hal itu akan membuatmu melanggar perintah Allah Ta’ala, kau akan merasa ingin dibukakan pintu takut kepada-Nya agar bisa menjagamu dari yg kau takutkan. Oleh karena itu, sadarilah apa yg sudah kau berikan kepada-Nya, baik berupa kesalahan, pelanggaran, maksiat, maupun kekurangsopananmu di hadapan-Nya. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dikuasai rasa takut kepada-Nya sehingga kau pun akan berhenti melanggar perintah-Nya.

Rasa harap dan takut merupakan dua kondisi yg timbul dari dua kesadaran di atas; kesadaran atas nikmat Allah dan kesadaran atas amal perbuatan yg kau persembahkan kepada-Nya. Wallaahu a’lam

162. Manfaat Al-Qobdh Dan Al-Basthu

Hikmah 162 dlm Al-Hikam:

“Manfaat Al-Qobdh Dan Al-Basthu”

ربّما افادك في ليل القبض مالم تستفده في إشراق نهارالبسط لاتدْرُون ايّهُمْ اَقرَبُ لكم نفعًا

Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam kesempitan yg tidak kau dapatkan pada saat siang kelapangan. “Kalian tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat bagi kalian,” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Dalam hikmah yg lalu telah diterangkan tentang al-qobdhu dan al-basthu, bahwa orang yg diberi kesenangan/kelapangan (basth) yg nafsunya ikut mendapatkan bagiannya, yg terkadang menjadikan sebab terhijab dengan Allah. Berbeda ketika orang yg dalam kondisi susah, sedih hatinya, nafsunya akan lemah dan merasa sangat berhajat kepada Allah, yg menjadikan sebabnya Allah memberikan suatu kenikmatan yg hakiki, yaitu ilmu dan ma’rifat. Sebagaimana diterangkan lagi pada hikmah ini. Sehingga orang² ‘Arif lebih memilih keadaan qobdh daripada basth. Tapi pada umumnya manusia memilih kesenangan daripada kesempitan.

Karena kita tidak mengetahui maka sebaiknya menyerahkannya kepada Allah, dan rela terhadap pemberian dan kehendak Allah kepada kita.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

“Kesempitan” di umpamakan dengan malam hari karena pada kedua keadaan tersebut terdapat kesunyian. “Manfaat” yg dimaksud adalah manfaat ilmu dan pengetahuan. Adapun “kelapangan” di umpamakan dengan siang hari karena pada kedua kondisi tersebut manusia bertebaran ke seluruh penjuru.

Siapa yg mendapatkan kelapangan maka jiwanya akan bergejolak untuk menampakkan pengetahuan dan hal lain yg dimilikinya. Mungkin ini akan menjadi sebab ia dihijab. Beda halnya dengan orang yg mengalami kesempitan, jiwanya akan lelah dan merasa hina. Ini akan menjadi sebab Allah akan menganugerahinya bermacam kebaikan. Oleh karena itu, orang² ‘arif lebih mengutamakan masa sempit daripada masa lapang.

Saat sempit, jiwa tidak memiliki kesenangan dan keuntungan. Ia lebih mampu untuk menunaikan hak² Allah dan etika-Nya. Saat sempit, terkadang jiwa juga mengalami ketakutan dan ketidaksabaran dalam melawan kuasa Ilahi. Oleh karena itu, seorang hamba harus sadar dan tahu kadar nikmat Allah kepadanya saat sempit, sebagaimana ia harus mengetahuinya saat lapang. Pada dua kondisi itu, ia harus tetap bersandar kepada Tuhannya dan berbaik sangka kepada-Nya karena ia tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat baginya.

Allah Ta’ala berfirman: “Kalian tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat bagi kalian,” (QS. An-Nisa [4]: 11). Wallaahu a’lam

163. Hati Menjadi Sumbernya Nur (1)

Hikmah 163 dlm Al-Hikam:

“Hati Menjadi Sumbernya Nur”

مطالعُ الانوارالقلوب والاسرارُ

Tempat terbitnya cahaya Ilahi adalah hati dan relung batin.

Hati dan sirr-nya para ‘Arifiin itu ibaratnya seperti langit yg menjadi tempat berjuta-juta bintang, bulan dan matahari. Seperti yg sudah diterangkan pada hikmah yg terdahulu bahwa nur yg keluar dari hati ‘Arifin itu lebih terang dibandingkan sinarnya bintang, bulan dan matahari.

Sebagian ‘Arifin berkata: “Andaikan Allah membuka Nur hatinya para waliyullah, niscaya cahaya matahari, bulan akan suram (kalah). Sebab cahaya matahari dan bulan bisa tenggelam dan gerhana, sedangkan Nur hati para wali itu tidak bisa tenggelam dan gerhana.”

Dalam hadits qudsi, Rasulullah Saw. bersabda, firman Allah Ta’ala: “Tidak cukup untuk-Ku bumi dan langit-Ku, tetapi yg cukup bagi-Ku hanya hati hamba-Ku yg beriman.”

Jadi kalau kita tidak mengetahui nurnya ‘Arifin, itu bagian dari belas kasihnya Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tempat terbitnya cahaya maknawi yg berupa bintang² pengetahuan, bulan ilmu, dan matahari tauhid adalah hati dan relung batin. Hati orang ‘arif seumpama langit yg di dalamnya seluruh bintang bersinar.

Cahaya² maknawi itu lebih terang sinarnya daripada cahaya² bintang sesungguhnya. Seorang ‘arif berkata, “Jika Allah membukakan tempat² bersinarnya cahaya di hati para wali-Nya, niscaya cahaya matahari dan bulan akan redup oleh pancaran cahaya hati mereka. Cahaya matahari dan bulan tak sebanding dengan cahaya hati karena cahaya keduanya masih bisa dihalangi oleh gerhana, selain juga akan tenggelam di malam atau siang hari. Sementara itu, cahaya hati wali Allah tidak pernah tenggelam atau mengalami gerhana.

Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili berkata, “Jika Allah menyingkap cahaya seorang mukmin yg bermaksiat, cahaya itu menyinari semua yg ada di antara langit dan bumi. Lantas, bagaimana halnya dengan cahaya mukmin yg taat?”

Di antara bukti kelembutan Allah untuk seluruh makhluk adalah, Dia tidak menyingkap cahaya² kaum ‘arif. Syaikh Abul Abbas al-Mursi berkata, “Jika Allah membukakan hakikat para wali-Nya, niscaya wali² itu akan disembah karena sifat² dan watak²nya sama dengan sifat² Allah Ta’ala.” Wallaahu a’lam

164. Hati Menjadi Sumbernya Nur (2)

Hikmah 164 dlm Al-Hikam:

نَورمستودعٌ فى القلوبِ مددهُ من النورالواردِمن خزاءن الغيوبِ

Cahaya yg tersimpan di dalam kalbu bersumber dari cahaya yg datang dari perbendaharaan ghaib.

Sebagaimana diterangkan dalam hikmah terdahulu, bahwa Allah Ta’ala menerangi alam semesta ini dengan cahaya benda (matahari, bulan) buatan-Nya. Sedangkan Allah Ta’ala menerangi hati dengan nur sifat²Nya. Selanjutnya dalam hikmah ini mejelaskan bahwa Nur cahaya keyakinan dalam hati para ‘Arifin itu salurannya langsung dari Nur yg berasal dari perbendaharaan alam ghaib. Sehingga Nur yg ada dalam hati ‘Arifin semakin bertambah terang memancar.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg tersimpan dalam hati disebut nurul yaqin (cahaya keyakinan), yaitu yg tersimpan dalam hati orang² ‘Arif. Cahayanya bertambah terang dengan cahaya sifat² azali yg bersumber dari perbendaharaan ghaib. Jika Allah menampakkan diri dan sifat²Nya kepada mereka, cahaya yg masuk ke dalam hati mereka akan bertambah. Itu adalah bukti perhatian Allah Ta’ala kepada mereka.

Dalam Lathaif Al-Minan disebutkan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala, jika mengangkat seorang wali, Dia akan menjaga hatinya dari segala kebendaan dan menjaganya dengan cahaya² yg terus meneranginya.”

Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan bahwa cahaya yg tersimpan dalam hati terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan hikmah berikutnya. Wallaahu a’lam

165. Hati Menjadi Sumbernya Nur (3)

Hikmah 165 dlm Al-Hikam:

نوريكشفُ لك بهِ عن اٰثاره، ونوريكشف لك به عن اوصافه

Ada cahaya yg menyingkap jejak²Nya dan ada cahaya yg menyingkap sifat²Nya.

Hikmah ini juga bisa di artikan:

  1. Nur yg ada dihati ‘Arifin itu bisa membuka/mengetahui keadaan makhluk, mengetahui apa yg ada diatas dan dibawah langit, apa yg ada dibawah bumi, dll. Yg seperti ini dinamakan Kasyaf Shuwari. Menurut ulama’ ahli hakikat, Kasyaf Shuwari itu tidak dipentingkan.
  2. Dan Nur itu juga bisa membuka sifat² keagungan, dan keindahan Allah Ta’ala. Nur yg seperti ini tidak akan bisa berhasil kecuali Allah Ta’ala memperlihatkan sifat² keagungan-Nya pada hamba. Hal seperti ini disebut Kasyaf Maknawi. Dan inilah yg terpenting menurut para ‘Arifin.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ada cahaya yg menyingkap keadaan makhluk² sehingga ia menyinari ahwal para hamba dan menyinari yg ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq.

Ada pula cahaya yg menyingkap sifat² Allah Ta’ala dan keindahan-Nya. Cahaya ini tidak akan terlihat, kecuali pada orang² yg darinya tampak sifat² Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yg dicari oleh para muhaqqiq.

Syaikh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya yg menyingkap Dzat-Nya,” karena penampakan Dzat Allah yg murni dan bersih dari sifat² masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikannya. Sebagian lagi membenarkan kemungkinannya.

Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyebut penampakan Dzat Allah yg murni ini dengan bawâriq (kilat) karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama. Wallaahu a’lam

166. Hati Menjadi Sumbernya Nur (4)

Hikmah 166 dlm Al-Hikam:

ربّما وقفتِ القلوبُ مع الانوار كماحجبت النفوس بكثاءِف الاغيارِ

Bisa jadi hati terhenti pada cahaya², sebagaimana terhijabnya jiwa oleh gelapnya bayang² ciptaan.

Ada dua perkara yg bisa menghijab/menghalangi manusia berjalan menuju Allah Ta’ala, yaitu:

  1. Hijab/penghalang yg berupa Nur, yaitu macam²nya cahaya ilmu dan makrifat. Apabila hati hamba selalu silau melihat dan condong kepada Nur ilmu dan makrifatnya, dan menjadikan ilmu dan makrifatnya sebagai tujuan ibadahnya, bukan karena Allah Ta’ala yg memberi ilmu dan makrifat.
  2. Hijab berupa kegelapan, yaitu kesenangan nafsu syahwat dan adat kebiasaan nafsu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bisa jadi hati tertutup oleh cahaya² dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah Ta’ala, sebagaimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah Ta’ala.

Hijab yg menghalangi dari Allah Ta’ala itu ada dua macam. Pertama, hijab yg bersumber dari cahaya, yaitu ilmu dan pengetahuan. Jika hati berhenti padanya, ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud.

Kedua, hijab yg bersumber dari kegelapan, yaitu nafsu syahwat dan kebiasaannya. la digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan karena tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan. Wallaahu a’lam

167. Hati Menjadi Sumbernya Nur (5)

Hikmah 167 dlm Al-Hikam:

ستر انوار السراءـربكثاءـف الظواهر،إجلالالها ان تبتذل بوجودالاظهار وان ينادٰى عليها بلسان الاِشتهارِ

Dia menutup cahaya batin dengan tebalnya perbuatan lahir untuk memuliakannya, sehingga tidak menjadi murah lantaran mudah terlihat orang dan tidak diseru dengan lisan yg menyebutkan ketenarannya.

Nur cahaya kewalian itu sangatlah agung dan mulia, maka Allah Ta’ala mengagungkannya dari kehinaan sebab diperlihatkan, dan dijaga oleh Allah Ta’ala dari keterkenalan di kalangan makhluk.

Hikmah ini juga sudah diterangkan pada hikmah terdahulu, dan juga Allah Ta’ala menutupi nur kewalian karena rahmat/kasih sayang dari Allah Ta’ala terhadap orang² mukmin, sebab sekiranya nur kewalian terbuka pada seseorang, orang tersebut berkewajiban mencukupi hak²nya wali, yg mungkin tidak dapat melaksanakannya. Dan dengan demikian berarti telah berbuat dosa durhaka.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala menutup cahaya hati para wali-Nya dengan perbuatan lahir mereka dan profesi yg mereka geluti dalam kehidupan sehari-hari karena perbuatan lahir para wali itu dapat menghalangi orang lain untuk melihat cahaya hati mereka. Allah Ta’ala melakukan itu demi memuliakan cahaya batin mereka sehingga tidak murah dan tidak tergoda oleh popularitas karena ia memiliki kedudukan tinggi dan rawan godaan.

Allah Ta’ala memuliakannya agar ia tidak di obral karena mudah dilihat. Allah Ta’ala menjaganya dari ketenaran di antara makhluk agar tidak menyebabkannya terhina di tengah mereka. Hal ini sudah dijelaskan Syaikh Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Maha Suci Allah yg telah menutup rahasia keistimewaan dengan ditampakkannya sifat² kemanusiaan.”

Allah Ta’ala menutup cahaya dan rahasia keistimewaan itu tak lain sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum mukmin. Hal itu disebabkan, jika rahasia kewalian itu ditampakkan pada seseorang, niscaya orang itu akan dituntut untuk melaksanakan kewajiban² yg tak mampu dilakukannya. Jika ia kurang dalam melaksanakan kewajiban² itu, ia akan terjebak pada sesuatu yg dilarang. Wallaahu a’lam

168. Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian (1)

Hikmah 168 dlm Al-Hikam:

“Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian”

سبحان من لم يجعل الدليلَ علىٰ اولياعه الامن حيث الدليلُ عليه، ولم يوصل اليهم الا من اراد ان يوصله اليه

Maha Suci Allah yg tidak membuat penanda atas para wali-Nya, kecuali dengan penanda atas Diri-Nya. Dia juga tidak mempertemukan dengan mereka, kecuali orang yg Dia kehendaki untuk sampai (wushul) kepada-Nya.

Sebagaimana telah diterangkan pada hikmah sebelumnya, yaitu Allah menutupi Nur cahaya kewalian, begitu juga Allah menutupi para wali-Nya, dengan amal² lahir, seperti bekerja, makan, minum, sakit dan lain². Jadi sangatlah sulit untuk mengenali waliyullah itu, karena mereka juga seperti kita keadaan lahirnya.

Syaikh Abul Abbas al-Mursi berkata: “Untuk mengenal Waliyullah itu lebih sulit dari pada mengenal Allah, sebab Allah mudah dikenal dengan adanya bukti² kebesaran, kekuasaan dan keindahan ciptaan-Nya. Tetapi untuk mengetahui seorang yg sama dengan kamu, makan, minum menderita segala penderitaanmu sungguh sangat sukar. Tetapi jika Allah memperkenalkan kamu dengan seorang wali, maka Allah menutupi sifat² manusia biasanya dan memperlihatkan kepadamu keistimewaan² yg diberikan Allah kepada wali itu.”

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
“Para wali-Ku dibawah naungan-Ku, tiada yg mengenal mereka dan mendekat pada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan taufiq hidayah-Nya. Supaya ia juga langsung mengenal kepada Allah dan kebesaran-Nya yg diberikan Allah kepada seorang hamba yg dikehendaki-Nya.”

Syaikh Abu Ali al-Jurja’i berkata:
“Seorang wali itu orang yg fana’ lupa pada dirinya dan tetap baqa’ dalam musyahadah dan melihat Tuhan. Allah mengatur segala-galanya, maka karena itu terus-menerus datang kepadanya Nur Ilahi.”

Maka jika Allah menghendaki memperkenalkan kamu dengan wali-Nya, itu suatu anugerah yg sangat besar yg wajib kamu syukuri, karena dengan itu berarti Allah menghendaki kamu agar bisa wushul kepada Allah. Karena wali itu kekasih Allah, Allah tidak menghendaki selain kekasih-Nya berkumpul dengan Kekasih-Nya. (Laa ya’riful waliy illal-waliy).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Maha Suci Allah yg sengaja menjadikan penanda diri-Nya sebagai penanda para wali-Nya. Sulit bagi kita untuk mengenali seorang wali, sebagaimana sulit mengenali Allah.

Karena Allah terhijab dengan alam semesta, jalan untuk sampai kepada-Nya dan mengenali-Nya merupakan perkara yg amat sulit. Jika hijab tersebut tersingkap di hadapan seseorang, tentu itu adalah karunia besar dan anugerah agung yg harus disyukurinya.

Demikian pula seorang wali, ia terhalang oleh tebalnya ciptaan² lahir, makanan dan minuman yg ia konsumsi, dan perbuatan manusiawi lainnya sehingga untuk mengenalinya pun perkara yg sulit. Jika seseorang bisa mengenali seorang wali, berarti ia telah mendapatkan anugerah dan karunia besar yg harus ia syukuri.

Kesimpulannya, mendapat makrifat dan mengenali Allah secara khusus adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada seorang hamba, bukan karena permohonan atau karena sebab tertentu. Demikian pula mengenali seorang wali. Bahkan, mengenali seorang wali itu lebih sulit daripada mengenali Allah karena Allah Ta’ala sudah dikenal dengan kesempurnaan dan keindahan-Nya. Sementara itu seorang wali sama dengan kita. Ia biasa makan dan minum serta melakukan aktivitas manusia biasa seperti kita.

Jika Allah ingin memperkenalkanmu dengan seorang wali-Nya agar kau mendapatkan manfaat darinya, Dia akan menutupi wujud kemanusiaannya dan memperlihatkan padamu wujud keistimewaannya. Tak ada yg dapat mengenali para wali atau berkumpul bersama mereka, kecuali yg dikehendaki Allah untuk sampai kepada-Nya karena mereka adalah para kekasih Allah. Allah akan cemburu jika mereka dikerumuni manusia. Barang siapa yg akan dikenalkan Allah kepadanya maka Allah akan menghimpunnya dengan mereka dalam sebuah persahabatan khusus.

Para Wali ini ada dua kelompok. Kelompok pertama, yg terlihat di mata orang awam dan orang khusus. Kelompok kedua, yg hanya terlihat di mata orang khusus. Di samping itu, ada juga hamba² Allah yg tak seorang pun makhluk-Nya mampu melihat mereka, bahkan para malaikat yg bertugas mencabut nyawa sekalipun. Yg mencabut nyawa mereka adalah Allah langsung, dan badan mereka tak sedikit pun tersentuh debu. (Ulasan Syaikh Abdullah Asy-Syarqawi). Wallaahu a’lam

169. Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian (2)

Hikmah 169 dlm Al-Hikam:

رُبّمَا اطلعك على غيب ملكوته وحجب عنك الإستشراف على اسرارالعباد

Adakalanya Allah memperlihatkan rahasia malakut-Nya, namun Dia menghijabmu dari mengetahui rahasia para hamba-Nya.

Adakalanya Allah memperlihatkan alam malakut kepada wali-Nya, sehingga ia bisa mengetahui segala sesuatu yg ghaib dalam alam malakut, tetapi karena rahmat Allah kepadanya, tidak dibukakan padanya jalan untuk mengetahui rahasia² hati sesama manusia, itu supaya tidak ikut campur dalam urusan dan kebijaksanaan Allah yg berlaku pada hamba-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Mungkin Allah sesekali menampakkan rahasia kerajaan-Nya yg ghaib dan tak bisa kau lihat, yg ada di atas langit dan di bawah bumi. Namun, Dia menghijabmu dari melihat rahasia para hamba-Nya atau yg ada di hati mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Itu termasuk bentuk kasih sayang Allah kepadamu. Wallaahu a’lam

170. Mengetahui Rahasia Hamba adalah Cobaan, Bila Tidak Dikaruniai Sifat Rahmat-Nya

Hikmah 170 dlm Al-Hikam:

“Mengetahui Rahasia Hamba adalah Cobaan, Bila Tidak Dikaruniai Sifat Rahmat-Nya”

منِ اطلع على اسرار العباد، ولم يتخلق بالرحمة الإ لهيّة كان اطلاعه فتـنة عليه، وسببا لجر الوبال اليه.

Siapa yg mengetahui rahasia para hamba, namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana.

Orang yg tidak dibukakan kasyaf untuk bisa melihat rahasia dalam hati sesama manusia itu termasuk karunia belas kasih dari Allah, sebab apabila dia dibukakan kasyaf sehingga bisa mengetahui rahasia hati orang lain, tapi dia tidak meniru sifat rahmat dan ampunan Allah, seperti tidak mau menutupi aib orang lain, tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, tidak kasihan pada orang yg berbuat dosa/kesalahan, maka kasyaf yg demikian akan menjadi fitnah bagi yg diberi, dan menjadi ujian yg berat baginya, bahkan akan menjadi sebab datangnya bencana bagi dirinya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan dicabut sifat rahmat belas kasih kecuali dari hati orang yg celaka.”

Dan Rasulullah Saw. juga bersabda:

الراحمونَ يَرْحمهمُ الرَحْمن، اِرحَمُوامَنْ فى الارضِ يَرْحمكُم من فى السمَاءِ.

“Orang yg belas kasih, dikasihi oleh Allah (ar-Rahman), karena itu kasihanilah orang yg di bumi niscaya kamu dikasihi orang yg di langit.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Siapa yg mengetahui rahasia para hamba, tetapi tidak meniru sifat rahmat (kasih sayang) Tuhan, seperti menutupi aib orang² yg berdosa, bersabar atas orang² yg zalim, memaafkan orang² yg bodoh, berbuat baik kepada orang yg berlaku buruk, dan menyayangi para hamba Allah, maka pengetahuannya tentang rahasia hamba itu akan menjadi fitnah atau ujian baginya. Hal itu dapat mendorongnya untuk melihat dirinya sendiri dan mengagungkan keadaannya, sombong dengan amalnya, dan congkak di hadapan orang lain. Inilah ujian paling besar baginya. Bahkan, dapat menjadi sebab datangnya bencana kepadanya karena ia telah mengaku-aku memiliki sifat Tuhan dan menandingi-Nya dalam hal kesombongan dan keagungan. Inilah bencana paling besar, kehinaan, dan peringatan yg paling keras.

Diriwayatkan bahwa ketika Allah memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Nabi Ibrahim as., ia mendatangi seorang laki² yg sedang melakukan maksiat terhadap Allah. Nabi Ibrahim as. pun mendoakan celaka orang itu hingga ia pun binasa. Nabi Ibrahim as. lalu mendoakan orang lain yg berbuat sama dengannya maka semuanya pun binasa.

Allah lalu berfirman kepada Nabi Ibrahim as., “Wahai Ibrahim, kau adalah orang yg doanya selalu dikabulkan. Jangan kau doakan celaka hamba²Ku karena lalai dari-Ku, mereka akan terbagi ke dalam tiga keadaan: seorang hamba dari mereka bertobat kepada-Ku dan Aku pun menerima tobatnya; Ku keluarkan darinya nyawa yg bertasbih kepada-Ku; atau Ku bangkitkan ia dan Ku hadapkan kepada-Ku. Jika Aku mau, Aku akan memberinya maaf. Jika aku berkehendak, Aku akan menghukumnya.”

Ada yg mengatakan, inilah sebab kenapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anaknya, yaitu karena Allah begitu menyayangi hamba²Nya, seperti Nabi Ibrahim as. menyayangi anaknya. Kesimpulannya, mukasyafah adalah nikmat Allah Ta’ala atas seorang murid. Cara mensyukurinya adalah dengan menutupi aib hamba atau memaafkannya. Wallaahu a’lam

171. Peran Samar Nafsu dalam Ketaatan

Hikmah 171 dlm Al-Hikam:

“Peran Samar Nafsu dalam Ketaatan”

حظ النفس فى المعصية ظاهرٌجليٌّ، وحظها فى الطاعة باطن خفيٌّ ومدواة ما يخفى صعبٌ علاجهُ

Andil nafsu dalam perbuatan maksiat tampak jelas, sedangkan andilnya dalam perbuatan taat samar tersembunyi. Mengobati yg tersembunyi itu amatlah sulit.

Ketahuilah bahwa hawa nafsu itu selalu ambil bagian/peran baik dalam maksiat atau dalam taat (ibadah). Kepentingan nafsu dalam maksiat itu jelas, seperti zina, minum-minuman keras, dia jelas merasakan enaknya dan kepuasannya. Karena nafsu mengajak maksiat itu tujuannya hanya ingin merasakan kenikmatan dan kepuasan, dan akhirnya terjadi bencana dan kehinaan.

Sedangkan bagian nafsu dalam taat/ibadah, sangatlah halus dan samar untuk diketahui dan disadari. Karena dalam taat/ibadah itu nafsu akan merasa berat, karena semua ibadah itu selalu bertentangan dengan hawa nafsu. Jadi apabila nafsu memerintahkan untuk ibadah maka waspadalah! Dan telitilah apakah ada kepentingan nafsu di dalam ibadah tersebut, taat dan ibadah seharusnya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tapi nafsu mempunyai kepentingan lain seperti riya’ (supaya dilihat/diketahui orang) bahwa dia orang yg ahli ibadah, yg selanjutnya orang lain memujinya, dan terkenal di kalangan manusia. Dan masih banyak contoh yg lain apabila kita mau meneliti pergerakan nafsu kita.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Andil nafsu dalam maksiat, seperti zina, amat jelas, yaitu bagaimana ia menikmati kemaksiatan tersebut. Nafsu tidak pernah memintamu untuk melakukan maksiat, kecuali untuk menikmatinya sehingga kau akan mengalami bencana dan hukuman. Sementara itu, andilnya dalam ketaatan itu samar dan tersembunyi, tak bisa dilihat, kecuali oleh para pemilik mata batin. Hal itu dikarenakan, ketaatan merupakan perkara yg amat berat bagi nafsu.

Jika nafsu menyuruhmu melakukan ketaatan, kau tidak akan pernah mengetahui perannya di dalamnya, kecuali setelah diteliti dan di amati. Secara kasat mata, nafsu seakan-akan terlihat berperan menggiringmu untuk dekat dengan Allah. Namun di balik itu sebenarnya nafsu ingin membuatmu berharap pada penghargaan manusia dan membanggakan keshalehanmu di hadapan orang banyak.

Maka dari itu, barang siapa yg menilai diri sendiri, mengevaluasi, dan memperhatikan suara hatinya, akan tampak baginya kebenaran tentang hal ini.

Mengobati sesuatu yg tersembunyi atau menghilangkan peran²nya yg tersembunyi amatlah susah karena membutuhkan ketelitian, pemahaman, dan pengetahuan.

Para pemilik mata batin mencela diri mereka sendiri jika cenderung kepada salah satu ibadah. Kemudian, mereka meneliti sebab mengapa mereka cenderung kepada ibadah itu. Jika itu dikarenakan peran nafsunya, mereka akan meninggalkannya atau mengobati nafsu mereka saat melakukannya agar ia benar² tulus dan ikhlas karena Allah.

Ini terjadi pada seseorang yg nafsunya ingin pergi berperang di jalan Allah. Namun kemudian, setelah ditelitinya, ternyata nafsu itu berperang untuk tujuan mendapat istirahat dari letihnya perjuangan. Setiap hari, orang itu berkali-kali membunuh nafsunya dengan cara menahan hasratnya. Hingga akhirnya, nafsu menginginkan tuannya itu mati langsung. Dengan demikian, ia akan beristirahat selamanya. Kemungkinan lain setelah diteliti, ternyata nafsu itu berperang hanya agar didengar orang² bahwa ia mati syahid sehingga menjadi mulia di mata mereka. Ia juga ingin disebut-sebut sebagai orang yg rela mati. Oleh karena itu, ia memilih meninggalkan perang demi mendapatkan keinginannya itu.

Terkadang seseorang memiliki semangat dan merasa nikmat pada satu macam ibadah yg tidak didapatnya pada jenis ibadah lain. Hal itu tak lain karena keuntungan nafsu di dalam ibadah itu lebih besar daripada dalam ibadah lainnya. Jika orang itu termasuk pemilik mata batin, ia akan beralih dari kecenderungan nafsunya kepada hal lain. Jika nafsu mengalahkannya, dalam kesibukannya beribadah itu, nafsu tidak memiliki andil apa², kecuali untuk keuntungannya sendiri. Wallaahu a’lam

172. Riya’ Masuk Dari Tempat Yang Tak Terlihat Oleh Makhluk

Hikmah 172 dlm Al-Hikam:

“Riya’ Masuk Dari Tempat Yang Tak Terlihat Oleh Makhluk”

ربّما دخل الرياءُ عليك من حيث لاينظرالخلقُ اليكَ

Kadang kala penyakit riya’ masuk ke dalam dirimu dari tempat yg tak terlihat oleh makhluk.

Riya’ yg masuk dalam amal perbuatan ketika di depan orang banyak itu dinamakan riya’ jaliy (terang). Riya’ juga bisa masuk pada amal ketika sendirian, dan tidak ada orang yg mengetahuinya. Dan dengan amalnya itu dia berharap akan di sanjung orang, di muliakan orang, seumpama dia berilmu, supaya orang lain mencukupi hak²nya, dan apabila tidak, dia berharap supaya orang lain disiksa oleh Allah sebab tidak menghormati orang yg berilmu.

Apabila hal seperti ini ada dalam diri seseorang, itu tandanya dia riya’ dengan ilmunya, yg seperti ini dinamakan riya’ khafiy (samar).

Dan tidak akan selamat dari riya’ jaliy dan riya’ khafiy kecuali orang yg sudah ma’rifat billah, dan kuat tauhidnya. Karena Allah sudah menjaganya dari syirik dan menutup pandangannya dari melihat makhluk sebab Nur keyakinan dan Nur ma’rifat yg sudah terang bersinar dalam hatinya. Para ‘Arifin itu sudah tidak berharap dapat manfaat dari orang lain (makhluk), dan juga tidak takut bahaya dari makhluk. Dan amalnya para ‘arif itu bersih dari riya’ walaupun di kerjakan di depan orang banyak.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Syirik itu ada yg lebih samar dari jalannya semut hitam di atas batu hitam di malam yg gelap gulita.” (dan riya’ itu termasuk syirik yg samar, yaitu beramal tidak karena Allah)

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: “Kelak di hari kiamat, Allah akan berkata kepada orang² yg zahid dan fakir: “Tidakkah telah dimurahkan (diturunkan) harga barang² untuk kamu, tidakkah jika kamu berjalan lalu diberi salam terlebih dahulu, tidakkah jika kamu berhajat segera disampaikan (dibantu) semua hajatmu.” Di dalam hadits lain diterangkan: “Kini tidak ada lagi pahala bagimu, sebab semua pahalamu telah kamu terima semasa hidup di dunia.””

Syaikh Yusuf bin al-Husain ar-Razy berkata: “Sesuatu yg amat berharga di dunia ini ialah ikhlas, beberapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dalam hatiku, tiba² tumbuh lagi dengan lain corak (model).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kadang, sifat riya’ menelisik ke dalam dirimu dari arah yg tak terlihat oleh makhluk lain atau saat kau di tempat yg tak dilihat oleh manusia. Biasanya, riya’ dapat masuk ke dalam amal jika pelakunya melakukan amal itu di hadapan manusia. Riya’ ini disebut dengan riya’ lahir.

Namun, riya’ juga bisa masuk ke dalam amal saat pelakunya melakukan amal sendirian dan tak dilihat orang, yaitu ketika seseorang melakukan amal dengan tujuan agar manusia menghormati dan mengagungkannya atau agar orang lain segera menunaikan hak untuknya dan memenuhi kebutuhannya. Jika hak dan kebutuhan si pelaku amal ini tidak dipenuhi secara maksimal oleh orang lain, ia akan menjauhinya atau mengancamnya dengan hukuman Allah atasnya.

Jika seorang hamba menemukan tanda² ini pada dirinya, sadarlah bahwa sebenarnya ia telah bersikap riya’ dengan amalnya.

Jika ia tutupi amalnya dari manusia, sifat riya’ itu disebut riya’ batin (tersamar). Tak seorang pun yg selamat dari riya’ lahir dan riya’ batin, kecuali orang² ‘arif yg mengesakan Allah. Allah Ta’ala membersihkan mereka dari segala macam kemusyrikan dan menjauhkan mereka dari keinginan agar cahaya keyakinan dan makrifatnya dilihat makhluk.

Orang² ‘arif tidak akan berharap manfaat dan takut mudharat apa pun dari makhluk. Amal mereka murni dan tulus karena Allah walaupun mereka melakukannya di hadapan manusia. Barang siapa yg tidak memiliki sifat ini atau lebih suka memandang makhluk, mengharap manfaat dan takut mudharatnya, berarti ia telah bersikap riya’ dengan amalnya walaupun ia beribadah kepada Allah di atas gunung yg tak bisa dilihat dan didengar oleh seorang pun. Wallaahu a’lam

173. Ingin Dikenal Istimewa adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan Dalam Penghambaan

Hikmah 173 dlm Al-Hikam:

“Ingin Dikenal Istimewa adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan Dalam Penghambaan”

استشرافك ان يعلم الخلقُ بخصوصيّـتكَ ، دليل على عدم صدقك في عبوديّـتك

Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu dalam ‘ubudiyahmu.

Yg dinamakan Sidqul ‘Ubudiyyah yaitu: membuang segala sesuatu selain Allah, dan tidak memandang pada selain Allah dalam beribadah.

Jadi apabila engkau benar² beribadah kepada Allah, pasti akan menerima perhatian dari Allah kepadamu, sehingga engkau tidak senang diketahui orang lain dalam menghamba kepada Allah.

Syaikh Abu Abdullah al-Qurasyi berkata: “Siapa yg tidak puas dengan pendengaran dan penglihatan Allah dalam amal perbuatannya, maka pasti dia kemasukan riya’.”

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat [41]: 53)

Syaikh Abul Khair al-Aqtha’ berkata: “Siapa yg ingin amalnya diketahui orang, maka itu riya’, dan siapa yg ingin diketahui orang hal keistimewaannya, maka itu pendusta.”

Hikmah ini untuk pelajaran orang yg memulai perjalanan suluk (murid), tapi bagi orang yg sudah ‘arif dan hanya melihat sifat wahdaniyyah-nya Allah, antara tekenal dan tersembunyi itu sama saja. Seperti kata hikmah dari Syaikh Abul Abbas al-Mursyi:

“Barang siapa yg ingin terkenal, maka ia budak (hamba)nya terkenal, dan siapa yg ingin tersembunyi, maka ia budak (hamba)nya tersembunyi, dan siapa yg benar² merasa sebagai hamba Allah, maka terserah pada Allah apakah dia diterkenalkan atau disembunyikan, yakni sama saja, yg penting beramal karena Allah.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Keinginanmu agar keistimewaan atau kelebihan yg diberikan Allah kepadamu yg berupa ilmu, amal shaleh, atau ahwal batin diketahui orang lain adalah bukti ketidakikhlasanmu dalam ‘ubudiyahmu.

Keikhlasan dalam ‘ubudiyah bermakna kau menyingkirkan segala hal yg bernuansa kemakhlukan dan tidak pernah menoleh ke arahnya. Sekiranya kau tulus dalam menyembah Tuhanmu, niscaya kau cukup puas dengan hanya kau diketahui-Nya. Kau juga tidak akan suka jika orang lain mengetahuimu sebab hal itu dapat membuatnya iri hati kepadamu atas kondisimu akibat pandangannya yg besar terhadap kemakhlukan.

Sebagian orang ada yg suka jika amalnya dilihat manusia. Orang seperti ini riya’ dalam amalnya. Barang siapa yg kondisinya ingin dilihat manusia, berarti ia pembohong. Ini biasanya terjadi di awal upayanya meniti jalan Allah (suluk). Akan tetapi, jika seorang hamba telah mendapat makrifat dan musyahadah, tak masalah untuk memberitahukan amal²nya dan menampakkan kebaikan ahwal -nya karena hal itu bertujuan untuk menunaikan hak syukurnya kepada Allah serta agar banyak orang yg mengikuti jejaknya.

Pada awalnya, ahli tarekat membangun perilaku mereka atas sikap menjauh dari makhluk, menyendiri dengan Yang Maha Haqq, dan menyembunyikan amal dan ahwal -nya untuk mewujudkan kefana’an mereka, mengukuhkan kezuhudannya, menjaga keselamatan hati mereka, dan ingin mengikhlaskan amal mereka untuk Tuhan semata. Sampai ketika keyakinan telah merasuki diri mereka dengan kuat dan mereka telah mendapatkan hakikat kefana’an, jika Allah berkehendak, Dia akan menampakkan mereka di hadapan manusia. Jika Dia berkehendak, Dia akan menutupinya dari mereka. Keinginan ahli tarekat tidak bergantung pada tampak atau tidaknya amal mereka di hadapan manusia. Mereka hanya mengembalikan segala urusan dan perkaranya kepada Allah Ta’ala semata. Wallaahu a’lam

174. Penghambaan Yang Sebenarnya

Hikmah 174 dlm Al-Hikam:

“Penghambaan Yang Sebenarnya”

غيّبْ نَظَرَالخلقِ اِليْكَ بِنَظَرِاللهِ اِليْكَ، وَغِبْ عَنْ اِقْبالهِمْ عَلَيْكَ بِشُهودِ اِقْبالِهِ عَلَيْكَ

Hilangkan pandangan makhluk padamu dengan pandangan Allah. Lupakan sambutan mereka dengan menyaksikan sambutan-Nya padamu.

Sebagai murid jangan terpengaruh dengan penglihatan, perhatian dan pujian orang lain, karena Allah selalu melihat dan memperhatikanmu. Sebagai gambaran: sebagai seorang murid ketika kita dilihat dan di awasi oleh Guru kita, tentu kita lupa dan tidak memperhatikan kalau kita sedang dilihat dan di awasi oleh orang lain. Begitu juga ketika Guru kita berada dihadapan kita, tentu kita tidak akan memperdulikan orang lain yg menghadap kita. Apalagi yg melihat, mengawasi dan menghadapi kita itu Allah, tentunya semua makhluk tidak ada artinya.

Syaikh Sahl bin Abdullah at-Tustary qs. berkata kepada kawan²nya: “Seseorang tidak akan dapat mencapai hakikat kewalian sehingga menghilangkan pandangan orang dari fikirannya, sehingga tidak melihat apa² di dunia ini, yg ada hanya ia dan Tuhan yg menciptakannya, sebab tidak ada seorang pun (makhluk) yg dapat menguntungkan atau merugikannya, dan menghilangkan perasaan diri dan hawa nafsunya sehingga tidak menghiraukan orang lain, dan tidak segan atau takut kepada mereka, apa saja yg akan terjadi.”

Syaikh Harits al-Muhasiby qs. ketika ditanya tentang tanda orang yg ikhlas, yaitu: “Yg tidak menghiraukan dinilai apa saja oleh sesama manusia, asalkan ia sudah benar hubungannya dengan Allah dan tidak ada orang yg mengetahui walau sekecil debu dari amal kebaikannya, dan tidak takut jika ada orang yg mengetahui perbuatannya yg tidak baik. Sebab jika ia takut diketahui kejelekannya, berarti ia ingin dipuji atau besar dalam pandangan orang, dan itu tidak termasuk kelakuan atau akhlak orang yg benar² ikhlas.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Singkirkan pandangan makhluk kepadamu. Jangan menoleh kepada pandangan mereka terhadapmu. Jangan mencarinya. Jangan pula pernah terpikir olehmu untuk mendapatkannya. Jauhkan pandangan mereka itu dari dirimu. Jauhkan ia dengan pandangan Allah terhadapmu! Hendaknya yg kau harap dan kau cari hanyalah pandangan Allah terhadapmu.

Lupakan sambutan mereka kepadamu dengan menyaksikan sambutan Allah kepadamu. Jangan pernah menoleh kepada kehangatan sambutan mereka, apalagi mencarinya. Namun, jadikan tolehan dan pencarianmu hanya kepada sambutan Allah karena sambutan makhluk kepada seorang murid sebelum ia mencapai kesempurnaan justru akan mendorongnya untuk berpura-pura dan sok alim di hadapan mereka. Tentu itu akan membuat derajatnya turun dan jatuh di mata Allah Ta’ala, na’udzu billaah.

Tak ada yg ridha dengan sambutan makhluk kepada dirinya, kecuali orang yg berakal sempit dan bertekad rendah. Hal itu dikarenakan, keridhaan manusia merupakan sesuatu yg tak bisa diketahui dengan pasti. Manusia terbodoh adalah orang yg mencari sesuatu yg tidak diketahuinya. Adapun orang yg berakal cerdas dan luas, ia tidak akan cenderung, kecuali kepada sambutan Allah terhadapnya, tanpa peduli dengan celaan atau hinaan orang² kepadanya.

Seorang bijak berkata, “Orang yg tulus adalah orang yg tidak peduli jika seluruh kehormatannya sirna dari hati makhluk demi memperbaiki hatinya. Ia tidak suka jika manusia mengetahui sebiji sawi keshalehan amalnya dan tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika ia benci keburukannya diketahui, itu pertanda bahwa ia berharap lebih dari manusia. Ini bukanlah keikhlasan para shadiqin.” Wallaahu a’lam

175. Maqam Fana’, Makrifat, Dan Cinta

Hikmah 175 dlm Al-Hikam:

“Maqam Fana’, Makrifat, Dan Cinta”

مَنْ عَرَفَ الْحَقَّ شَهِدَهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ فَنِيَ بِهِ غَا بَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ أَحَبَّهُ لَمْ يُؤْ ثِرْ عَلَيْهِ شَيْئًا.

Siapa yg mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu. Siapa yg fana’ dengan-Nya, ia akan lenyap dari segala sesuatu. Siapa yg mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya.

Orang yg sudah berada di maqam fana’, mereka sudah tidak melihat apa yg ada di alam ini kecuali hanya Allah, dan orang tersebut sudah lupa pada dirinya, tidak merasakan apa yg ada pada dirinya, mereka sudah tidak melihat sifat wujud dan nyata pada apa yg dilihat. Berbeda dengan orang yg berada di maqam makrifat, mereka melihat makhluk dan juga melihat Allah yg menciptakan makhluk, mereka dengan jelas melihat Allah pada setiap perkara yg wujud (makhluk), jadi para ‘arif itu masih merasa dirinya ada, dan masih melihat adanya makhluk.

Siapa saja yg mengaku cinta pada Allah, tetapi masih memilih selain Allah, dan mementingkan kepentingannya dan kepentingan selain Allah, dan mengalahkan kepentingan pada Allah, maka pengakuan cintanya itu bohong.

Keterangan lain dari hikmah ini:
Siapa yg benar² mengenal Allah (makrifatullah), pasti ia selalu ingat pada Allah, pada tiap sesuatu apapun yg ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan. Sebab tidak ada sesuatu melainkan menunjukkan keindahan, kekuasaan dan ciptaan Allah.

Dan orang yg sudah fana’ kepada Allah, mereka sungguh² yg di ingat hanya Allah, sehingga segala sesuatu yg dilihat dan yg ada di depannya, seolah-olah kosong dan hanya bayangan belaka.

Dan orang² yg benar² cinta kepada Allah, ia tidak akan mengutamakan sesuatu apapun selain Allah yg dicintainya, bahkan ia sanggup mengurbankan segala kepentingannya dan hawa nafsunya, demi mendapatkan keridhaan dari Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Siapa yg mendapatkan makrifat Allah, ia akan melihat Allah tampak dalam segala sesuatu. Ia tidak akan merasa terasing, tidak pula merisaukan segala hal, sebagaimana sifat² orang ‘arif.

Siapa yg merasakan kefana’an dengan wujud Allah, ia tidak lagi melihat fenomena wujud, kecuali Allah, dan dia akan mengabaikan diri dan inderanya sendiri. Ia tidak akan melihat dirinya berwujud.

Lain halnya dengan orang² ‘arif, mereka telah mendapatkan maqam keabadian. Mereka melihat makhluk sekaligus melihat Sang Khaliq. Mereka melihat Sang Khaliq tampak pada segala sesuatu dan berada disana, tetapi mereka tidak merasakan kefana’an diri dan inderanya. Orang yg kehendak dan syahwatnya hanya kepada Allah adalah orang yg telah meraih maqam² tersebut. Wallaahu a’lam

176. Hijabnya Makhluk (1)

Hikmah 176 dlm Al-Hikam:

“Hijabnya Makhluk”

إِنَّمَا حَجَبَ اْلحَقَّ عَنْكَ شِدَّةَُ قُرْبِهِ مِنْكَ

Yg membuat Allah terhijab darimu adalah karena kedekatan-Nya yg amat sangat kepadamu.

Bisa di maklumi, bahwa panca indera manusia itu sangatlah terbatas, contohnya mata untuk bisa melihat, haruslah tepat pada ukurannya, terlalu jauh tidak akan kelihatan begitu juga terlalu dekat, juga tidak akan kelihatan. Seperti kalau kita baca tulisan yg kita dekatkan dan menempel pada mata tentu tidak akan bisa terbaca.

Begitu juga Allah, kita tidak bisa melihat Allah, karena terlalu dekatnya Allah, Allah meliputi kita dengan cara yg sangat sempurna.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan Aku lebih dekat (kepada mayit) dari pada kamu semua, akan tetapi kamu semua tidak tahu.”

Hikmah ini tidak bisa difahami dengan sempurna kecuali orang² yg mata hatinya sudah terbuka terang, yg bisa melihat pendhohiran Allah pada makhluk-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Karena Allah Ta’ala begitu dekat denganmu, kau pun terhijab dari melihat-Nya. Adanya hijab, selain akibat jarak yg jauh, juga akibat jarak yg terlalu dekat. Telapak tangan, jika didekatkan ke mata, mata takkan dapat melihatnya. Lain halnya jika ia dijauhkan dan mata.

Demikian pula Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya karena Dia meliputi kita dan mendekatkan Diri-Nya kepada kita. Tak ada yg menyadari hal itu, kecuali para pemilik mata batin karena di mata mereka Allah amat tampak. Oleh sebab itu, Allah mengangkat hijab dari mereka sehingga mereka melihat-Nya ada pada segala sesuatu dan meliputinya. Wallaahu a’lam

177. Hijabnya Makhluk (2)

Hikmah 177 dlm Al-Hikam:

إنَّمَا احْتَجَبَ لِشِدَّة ِظُهُرِهِ، وَخَفِيَ عَنِ الاَبْصَارِ لِعَظِيمِ نُورِهِ

Dia terhijab lantaran sangat jelas dan Dia tersembunyi dari pandangan makhluk lantaran cahaya-Nya yg agung.

Sebagaimana keterangan hikmah sebelumnya, tentang keterbatasan/kelemahan panca indera manusia yg tidak bisa melihat karena terlalu dekat, begitu juga tidak akan bisa melihat terlalu terang. Pada hakikatnya semua benda itu bisa terlihat karena adanya cahaya/nur, tanpa cahaya takkan bisa terlihat, begitu juga terlalu terangnya cahaya, mata pun tidak akan kuat melihat karena terlalu silau. Seperti contoh matahari, yg cahayanya paling terang dari cahaya yg lain yg bisa dilihat mata, sebab dari kuatnya sinar matahari, mata kita tidak mampu menembus/melihat dzatnya matahari itu sendiri, sehingga kita bisa tahu matahari hanya lewat sinarnya saja, dan mata tidak kuat/bisa melihat hakikatnya matahari itu. Artinya: matahari itu tidak terhijab oleh dzatnya sendiri tapi cahayanyalah yg menghijab matahari itu.

Begitu juga Allah, yg tidak terhijab oleh Dzat-Nya, tapi terhijab oleh makhluk-Nya, sebab terlalu jelas, terang dan besar Nur-Nya. Jadi yg menghijab sesuatu itu bukan Dzat-Nya, tapi kelemahan kita yg menjadikan hijab itu sendiri.

Jadi hakikat/dzat itu tidak akan bisa dicapai dengan panca indera, tapi bisa dicapai dengan mata hati yg terang.

Maka apabila engkau melihat dengan mata hatimu, tidak akan menemukan sesuatu yg terlukis pada benda² (makhluk) itu selain daripada-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah terhalang dari pandangan dan tak bisa diketahui karena cahaya-Nya yg dahsyat. Seperti halnya matahari, ia tak bisa dilihat karena cahayanya lebih kuat daripada cahaya lain. Kekuatan cahaya itulah yg membuatnya tak bisa dilihat oleh mata yg lemah sehingga inti dan hakikatnya tidak diketahui.

Penampakan matahari yg ditimbulkan oleh cahayanya yg kuat menjadi hijab tersendiri baginya. Hijab di sini bukan hijab sesungguhnya karena sesuatu yg lahir, tentu tidak akan terhalang. la terhijab karena lemahnya pandangan orang yg melihat pancaran cahayanya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Wallaahu a’lam

178. Doa Bukan Penyebab Allah Memberi

Hikmah 178 dlm Al-Hikam:

“Doa Bukan Penyebab Allah Memberi”

لا يَكُنْ طَلَبُكَ تَسَـبُّـبًا اِلى العَطَاءِ مِنْهُ فَيَقِلَّ فَهْمُكَ عَنْهُ وَاليَكُنْ طَلَبُكَ لاِظْهارِ العُبُودِ يَّةِ وَقياماً بِحُقُوقِ الرُّبُوبيَّةِ

Jangan sampai doa permintaanmu itu engkau jadikan alat/sebab untuk mencapai pemberian Allah (jangan punya i’tikad bahwa pemberian Allah itu sebab doamu), niscaya akan kurang pengertianmu (makrifatmu) kepada Allah, tetapi hendaknya doa permintaanmu itu semata-mata untuk menunjukkan kerendahan, kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap keTuhanannya Allah.

Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, tujuan utamanya hanya supaya hamba benar² menunjukkan sifat fakir, hina dan bodohnya dihadapan Allah, bukan untuk sebab/alat menghasilkan apa yg diminta.

Hikmah dan pemahaman ini bagi orang yg sudah ‘arif billah, yg mereka tidak pernah berhenti dan bosan meminta kepada Allah, walaupun tidak diberikan apa yg diminta, bagi mereka antara diberi atau tidak itu sama saja, sehingga mereka selalu menjadi hamba Allah dalam segala keadaan.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Janganlah yg menjadi tujuan dari doamu itu tercapainya hajat kebutuhanmu, maka jika demikian berarti engkau terhijab dari Allah, tetapi seharusnya tujuan doa itu untuk munajat kepada Allah, yg memeliharamu, menciptakan dirimu. Dan bala’ dan bencana yg memaksa engkau berdoa kepada Allah, itu lebih baik daripada menerima nikmat kesenangan yang melupakan kepada Allah dan menjauhkan daripada-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan kau tujukan permintaan dan amal shalehmu kepada-Nya untuk mendapatkan karunia-Nya. Jangan pula kau yakini bahwa semua permintaan dan amal shalehmu itu adalah sebab datangnya karunia sehingga pemahamanmu tentang Allah dan hikmah-Nya dalam memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa menjadi berkurang.

Akan tetapi, jadikanlah permintaanmu sebagai bentuk penghambaanmu kepada-Nya atau untuk menampakkan status kehambaanmu yg hina, lemah, dan amat membutuhkan pertolongan Tuhan. Permintaan juga bisa merupakan pelaksanaan hak² rububiyah-Nya karena rububiyah menuntut kerendahan diri dan ketundukan orang yg menyembah-Nya.

Maksudnya, Allah Ta’ala tidak memerintahkan hamba-Nya meminta dan berdoa, kecuali untuk menampakkan rasa butuh mereka kepada-Nya dan menyatakan kehinaan dan kelemahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk menjadikan doa itu sebagai sebab mendapatkan permintaan dan keinginan mereka. Inilah pemahaman para ‘arifin tentang Allah.

Siapa yg keadaannya seperti itu, permintaannya tak akan pernah terputus dan keinginannya tak akan pernah terhenti walaupun Allah selalu mewujudkan semua permintaannya dan mengaruniakan semua keinginannya. Orang seperti ini tidak pernah membeda-bedakan antara ketika Allah memberi dan ketika Allah menahan pemberian-Nya. Dengan begitu, dalam semua keadaan tersebut, ia tetap menjadi hamba Allah dan Allah pun tetap sebagai Tuhannya.

Amat buruk jika seorang hamba memalingkan wajahnya dari pintu Tuhannya setelah Dia memenuhi segala keinginannya. Wallaahu a’lam

179. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (1)

Hikmah 179 dlm Al-Hikam:

“Mana yang Baik, Meminta Atau Diam?”

كَيْفَ يَكُونُ طَلَبُكَ اللاَّحِق سَبـبًا فى عَطَاءِـهِ السَّابِقِ؟

Bagaimana mungkin permintaanmu yg datangnya kemudian menjadi sebab bagi pemberian-Nya yg sudah ditentukan sebelumnya?

Keputusan Allah dalam menentukan peraturan alam sudah ditentukan dalam azali sebelum adanya alam ini, dan termasuk juga segala kebutuhan hajat hidup semua makhluk tidak kecuali manusia, karena itu jangan mengira bahwa Allah seolah-olah lupa terhadap hajat kebutuhanmu, sehingga sekiranya tidak engkau ingatkan mungkin tidak diberi, kalau demikian kepercayaanmu terhadap Allah, berarti benar² engkau belum mengenal Allah dalam sifat kesempurnaan-Nya.

Contohnya:
Jika ada seorang ayah yg dianggap oleh anaknya, andaikan tidak di ingatkan oleh anaknya niscaya ia melupakan kebutuhan anaknya itu, maka bagaimanakah ayah yg demikian itu?

Sedangkan Allah tidak dapat di umpamakan dengan ayah itu sebab Allah Maha Sempurna, Maha Mengetahui, Maha Mencukupi, Maha Bijaksana dalam memelihara seisi alam.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana mungkin permintaanmu sekarang ini menjadi sebab pemberian Allah atas sesuatu yg sudah ditetapkan-Nya sejak zaman azali? Pemberian Allah merupakan hubungan antara kehendak-Nya di masa azali dengan pelaksanaannya yg juga sejak azali. Di dalamnya, permintaan tidak menjadi sebab karena permintaan itu datang belakangan setelah pemberian. Padahal, sebab seharusnya datang terlebih dahulu daripada akibatnya. Wallaahu a’lam

180. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (2)

Hikmah 180 dlm Al-Hikam:

جَلَّ حُكْمُ الْأَزَلِ أَ نْ يَنْضَا فَ إِلَى الْعِلَلِ

Terlalu agung bila putusan Allah yg azali disandarkan kepada rangkaian sebab.

Sungguh tidak masuk akal kalau permintaan kita yg baru sekarang, itu menjadi sebab pemberian Allah yg sudah lalu. Sesungguhnya keputusan Allah dalam menentukan peraturan alam ini sudah ditentukan/ditetapkan dalam zaman ‘azal sebelum adanya alam ini, dan termasuk juga segala kebutuhan hajat hidup semua makhluk termasuk kita manusia, artinya sebelum kita meminta sesungguhnya Allah sudah menentukan apa yg diberikan kepada kita. Yakni Allah sudah memberi sebelum kita meminta. Sebagai contoh kita tidak/belum pernah meminta hidup tapi Allah sudah memberi kehidupan, sewaktu kita masih dalam alam kandungan sampai kita lahir, dan di masa kanak², kita belum pernah meminta bahkan belum tahu caranya meminta hajat kebutuhan kita, Allah sudah terlebih dahulu memberikan semua hajat kebutuhan kita sehingga kita bisa hidup sampai sekarang, dan itu sama berlaku seterusnya.

Karena itu jangan mengira seolah-olah Allah lupa dengan hajat kebutuhanmu, sehingga kamu harus mengingatkan Allah supaya memberikan hajat kebutuhanmu. Kalau memang demikian kepercayaanmu terhadap Allah, berarti benar² engkau belum mengenal Allah dalam sifat kesempurnaan-Nya.

Segala sesuatu yg terjadi di alam ini, semata-mata dari qudrat dan iradatnya Allah secara mutlak, sehingga tidak disandarkan pada ‘ilat/sebab musabab (karena ini dan itu).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Adalah sikap mengecilkan putusan Allah bila kita menghubungkan putusan yg telah ada di masa azali, yaitu karunia Allah, dengan sebab².

Jika ada yg berkata, “Terkadang, pemberian bergantung pada permintaan. Dengan demikian, permintaan menjadi sebab adanya pemberian.” Jawabannya: sebab hakiki datangnya karunia adalah penangguhan kehendak Allah di waktu azali. Kau meminta-Nya atas sesuatu yg sudah ditetapkan, namun belum dilaksanakan. Wallaahu a’lam

181. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (3)

Hikmah 181 dlm Al-Hikam:

عِنَايَـتـُهُ فِيْـكَ لالِشَْىءٍ مِنْكَ وَايْنَ كُنْتَ حِينَ وَاجَهَـتـْكَ عِنَـَايَتـُهُ وَقَا بَلَتـْكَ رِعَايَتـُهُ لَمْ يَكُنْ فِى اَزَلِهِ اِخلاََصُ اَعْماَلٍِ وَلاَ وُجُدُ اَحْوَالٍ بَلْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ الاَّ مَحْضُ الاِفْضال وَعَظيمُ النَّوّال

Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yg timbul dari dirimu. Di manakah kau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu, padahal di zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun ahwal. Bahkan, belum ada apa² selain banyaknya karunia dan pemberian semata.

Allah sudah melengkapi dan memenuhi hajat kebutuhan kita di saat kita sendiri belum mengerti apa saja kebutuhan kita, maka dari itu coba kita pikirkan dan perhatikan perhatian dan pemberian Allah pada kita semenjak kita masih berupa air mani, sama sekali kita belum bisa berdoa dan beramal, tetapi perlengkapan yg diberikan Allah kepada kita tidak berkurang sedikitpun, dan selanjutnya hingga kita lahir, masa kanak², dewasa dan tua, karunia dan pemberian serta perhatian Allah kepada kita tidak berubah. Dan semua itu tidak bersandar pada amal atau doa kita. Tapi semata-mata kekuasaan dan kehendak Allah yg mutlak.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Perhatian atau pemberian Allah kepadamu bukan karena doa atau amal shaleh yg kau lakukan. Coba ingat, di mana dirimu ketika Allah memberimu perhatian dan perlindungan-Nya? Maknanya, di masa azali kau sendiri tidak ada. Tentu saja, itu menafikan semua yg bersumber darimu. Jika dirimu dahulu tidak ada, berarti tak ada pula sesuatu yg bersumber darimu, baik doa maupun amal shaleh. Meskipun demikian, Allah tetap memberimu perhatian dan karunia.

Di masa azali, belum ada amal yg ikhlas, seperti doa, shalat, dan puasa, tidak pula ada ahwal. Bahkan, belum ada apa² selain karunia dan pemberian Allah semata. Oleh karena itu, doa bukanlah sebab terwujudnya sesuatu yg diminta. Demikian pula amal shaleh, itu bukanlah sebab yg mempengaruhi pemberian dan perhatian Allah atau sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka. Wallaahu a’lam

182. Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah (1)

Hikmah 182 dlm Al-Hikam:

“Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah”

عَلِمَ اَنَّ الْعِبَادَ يَتَشَوَّقـُونَ اِلىَ ظُهُورِ سِـرِّالعِنَـَايَةِ فَقاَلَ :يَـخْتـَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَّـَشَـاءُ. وَعَلِمَ اَنّـَهُ لَوْ خَلاَّ هُمْ وَذَالكَ لَتَرَكُواالعملَ إعْتِمَادًا علىْ الاَزَلِ فَقاَلَ: إنَّ رَحْمَة َ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ المُحْسِنِيـْنَ

Allah mengetahui bila hamba ingin agar rahasia pertolongan-Nya tampak. Dia berfirman, “Dia yg menentukan rahmat-Nya untuk siapa yg Dia kehendaki.” Allah juga mengetahui bila mereka dibiarkan begitu saja, tentu mereka tidak akan beramal karena bersandar pada keputusan azali. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang² yg berbuat baik.”

Sirr itu berarti: semua perkara yg ditutupi, karena itu sirr dirahasiakan pada kita.

‘Inayah berarti: bersambungnya Iradah (kehendak Allah) dengan berhasilnya Sirr di masa yg akan datang.

Berhubung Allah mengetahui bahwa kita itu sangat menginginkan dapat mengetahui masa depan kita, apa celaka apa bahagia, sehingga kita ingin tahu rahasia pemberian/karunia Allah (sirrul ‘inayah), lalu kita meminta dengan berdoa dan beramal shaleh, dan kita beri’tikad bahwa dengan doa dan amal shaleh itu bisa menarik sirrul ‘inayah, maka Allah Ta’ala berfirman : “Allah sendiri yg menentukan (mengkhususkan) rahmat dan karunia pada siapa yg dikehendaki.” (QS. Al-Baqarah [2]: 105) untuk mencegah kita dan menghilangkan keinginan kita, karena Allah sendiri lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya.

Dan Allah juga mengetahui bila para hamba dibiarkan mengetahui rahasia pertolongan-Nya, dan terus menerus melihat bahwa sirrul ‘inayah ‘azaliyyah itu khusus pada sebagian orang, yakni tidak umum, bisa jadi para hamba meninggalkan amal dan berdoa, karena mengandalkan pada keputusan di zaman ‘azal, (kalau di zaman ‘azal aku sudah ditetapkan menjadi orang yg dapat ‘inayah dan menjadi orang khusus, pasti aku akan masuk surga, walaupun tidak beramal, jadi tidak perlu beramal, begitu pula sebaliknya). Karena itu Allah menunjukkan tanda² orang yg mendapatkan ‘inayah/karunia, yaitu orang² yg berbuat baik dan memperbaiki perbuatannya. Yakni bukan amal kebaikan itu yg menyebabkan datangnya ‘inayah/karunia, ia hanya sebagai tanda adanya ‘inayah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

“Rahasia” adalah sesuatu yg tertutup karena ia tersembunyi dari kita. Ketika Allah mengetahui bahwa kita menghendaki pertolongan itu terjadi dan kita memintanya dengan doa dan amal shaleh serta yakin bahwa keduanya berpengaruh pada datangnya pertolongan yg kita inginkan itu, Dia langsung berfirman, “Dia yg menentukan rahmat-Nya untuk siapa yg dikehendaki-Nya.”

Firman Allah ini menghentikan kita dan memutus ketamakan kita karena mungkin pertolongan Allah itu khusus diberikan kepada beberapa manusia saja. Sebagaimana halnya kenabian, ketika orang² merindukan datangnya Nabi di akhir zaman, banyak orang yg mengaku sebagai Nabi. Namun, Allah mematahkan klaim mereka dengan firman-Nya, “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan,” (QS. Al-An’am [6]: 124)

Allah juga mengetahui bahwa jika mereka dibiarkan begitu saja setelah mendapati bahwa pertolongan azali itu khusus diterima sebagian orang saja dan bukan untuk umum, niscaya mereka tidak akan beramal karena hanya bersandar kepada putusan azali itu. Mereka akan berkata, “Jika di masa azali telah ditetapkan bahwa kami adalah orang² khusus yg mendapat pertolongan Allah, niscaya kami akan selamat dari neraka dan akan masuk surga. Maka dari itu, kami tidak perlu lagi beramal atau berdoa.”

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang² yg berbuat baik.” Orang yg berbuat baik adalah orang yg sering beramal shaleh. Kedekatan rahmat Allah itu adalah tanda pertolongan azali Allah. Walaupun tidak menjadi sebab yg mendatangkan pertolongan itu, amal shaleh tidak patut ditinggalkan hanya karena bersandar pada putusan azali. Wallaahu a’lam

183. Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah (2)

Hikmah 183 dlm Al-Hikam:

إلى المشِيْـءَـةِ يَسْـتَـنِدُ كُلَّ شَىءٍ وَلاَ تَسْـتـنِدُ هِي الَى شَىءٍ

Segala sesuatu tergantung Kehendak-Nya, bukan Kehendak-Nya bergantung pada segala sesuatu.

Segala yg ada ini muncul karena kehendak Azali-Nya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun pada munculnya keinginan hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.

Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan yg harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Ta’ala sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepada-Nya.

Namun, bila Allah Ta’ala menghendaki hamba-Nya untuk meraih anugerah-Nya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal shaleh serta ibadah yg benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yg mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yg sesungguhnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap yg memiliki wujud bersandar kepada kehendak Allah karena kehendak Allah sudah ditetapkan sejak azali. Sementara itu, kehendak Allah tidak bergantung pada sesuatu yg memiliki wujud.

“Kehendak Allah” bermakna sesuatu yg diputuskan sejak azali dan padanya bergantung keinginan hamba yg sudah diketahui Allah karena permintaan hamba dengan doa dan amal shaleh tidak menjadi sebab yg mempengaruhi kehendak Allah itu.

Ungkapan Syaikh Ibnu Atha’illah di atas adalah ungkapan yg amat tepat. Di dalamnya terkandung isyarat adanya ketergantungan segala sesuatu pada putusan² azali dan di kesampingkannya sebab². Oleh karena itu, seorang hamba harus senantiasa melakukan ‘ubudiyah, merasa butuh kepada-Nya, dan mengabaikan pengaturan dan pilihan dirinya.

Syaikh Abu Bakar al-Wasithi berkata, “Sesungguhnya, Allah tidak mendekati seorang fakir karena kefakirannya dan tidak menjauhi seorang kaya karena kekayaannya. Allah tidak peduli dengan berbagai keadaan hamba untuk memberi atau menahan karunia-Nya. Sekiranya dunia dan akhirat dikerahkan untuk bisa sampai kepada-Nya, niscaya tidak akan membuatmu sampai kepada-Nya. Jika kau singkirkan keduanya pun, niscaya tidak akan memutus jalanmu kepada-Nya, tidak memutus jalan orang² yg mendekati-Nya tanpa sebab, dan tidak menjauhkan orang yg menjauhi-Nya tanpa sebab. Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yg tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun,” (QS. An-Nur [24]: 40). Wallaahu a’lam

184. Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak (1)

Hikmah 184 dlm Al-Hikam:

“Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak”

رُبَّمَا دَلَّهُمُ الْأَدَبُ عَلَى تَرْ كِ الطَّلَبِ , اعْتِمَا دًا عَلَى قِسْمَتِهِ , وَاشْتِغَا لًا بِذِكْرِهِ عَنْ مَسْأَ لَتِهِ.

Terkadang, adab membuat orang² ‘Arif tidak meminta karena mereka telah bersandar kepada pembagian-Nya dan sibuk berdzikir mengingat-Nya sehingga lupa meminta kepada-Nya.

Ada sebagian ‘Arifin yg mereka terkadang terpaksa untuk tidak meminta, dan menyerah pada Allah dan hanya mengandalkan pembagian yg sudah ditetapkan Allah di zaman ‘azal.

Para ulama ada yg berbeda pendapat tentang lebih utama mana antara meminta/berdoa atau diam/tidak meminta.

Ada yg berpendapat: lebih utama berdoa, karena berdoa itu bagian dari ibadah, dan mengerjakan perkara yg disebut ibadah itu lebih utama daripada meninggalkannya.

Sebagian berpendapat: diam dan tidak berdoa dan merasa puas dan ridha dengan berlakunya hukum (qadha) itu lebih sempurna dan diridhai, karena sesuatu yg sudah dipilihkan Allah untuk kita itu lebih utama daripada pilihan kita.

Dan ada yg berpendapat: waktu itu berbeda-beda, adakalanya lebih utama berdoa dan adakalanya lebih baik diam, sebagaimana yg dikatakan Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairi ra.

Apabila hati lebih condong kepada doa, maka lebih baik berdoa, dan apabila hati lebih condong diam, maka diam dan tidak berdoa lebih baik. Apabila hati lebih condong kepada ridha, dan puas dengan pembagian dan pilihan dari Allah, dan lebih memperbanyak dzikir itulah adab tata krama yg utama.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksudnya, orang ‘arif terkadang diliputi sikap pasrah dan tawakkal sehingga tidak mau meminta kepada Allah karena merasa cukup dengan pembagian dan ketetapan azali. Di antara orang yg kita lihat benar² meraih maqam ini adalah Syaikh Mushthafa Afandi At-Turki Al-Qasthimuni Al-Jarkasi.

Orang² berbeda pendapat, manakah yg lebih utama: berdoa kepada Allah ataukah hanya diam dan rela dengan pembagian-Nya? Di antara mereka ada yg berkata, “Doa lebih utama karena di dalam doa terkandung ibadah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., ‘Doa adalah inti ibadah.’ Melaksanakan sesuatu yg mengandung unsur ibadah lebih utama daripada meninggalkannya.”

Ada pula yg berpendapat bahwa diam dan pasrah terhadap hukum dan ketetapan Allah lebih utama dan lebih sempurna karena hal yg sudah dipilihkan Allah untukmu lebih baik daripada pilihanmu sendiri. Dalam hadits qudsi disebutkan, “Siapa yg dzikirnya kepada-Ku membuatnya sibuk sehingga tidak meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yg lebih baik daripada yg Ku berikan kepada orang yg meminta.”

Sebagian orang berkata, “Waktu itu bermacam-macam. Jika seseorang merasakan dorongan untuk berdoa di hatinya, seperti kelapangan dan kekhusyukan, doa baginya lebih utama. Namun, jika ia merasakan di hatinya dorongan untuk diam, seperti tidak khusyuk atau gelisah, diam baginya lebih baik. Apabila ia tidak mendapati dorongan apa pun di hatinya, berdoa ataupun tidak berdoa sama saja baginya. Namun, jika yg mendominasi kala itu adalah makrifat, diam lebih baik.”

Syaikh Ibnu Atha’illah menegaskan ucapannya tentang adab di atas dengan menyatakan bahwa terkadang adab itu terpelihara pada saat seseorang tidak meminta. Wallaahu a’lam

185. Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak (2)

Hikmah 185 dlm Al-Hikam:

إِ نَّمَا يُذَ كَّرُ مَنْ يَجُوْ زُ عَلَيْهِ الْإِغْفَا لُ، وَإِ نَّمَا يُنَبَّهُ مَنْ يُمْكِنُ مِنْهُ الْإِهْمَالُ.

Yg perlu di ingatkan adalah yg bisa lupa dan yg perlu ditegur adalah yg mungkin teledor.

Apakah mungkin Allah itu lupa? Kok harus di ingatkan dengan meminta. Dan apakah mungkin Allah itu teledor, sehingga tidak memperhatikan hamba-Nya? Itu tidak mungkin, dan itu muhal bagi Allah. Maka bagi para ‘Arif, meninggalkan meminta itu bagian dari adab tata krama kepada Allah.

Syaikh Abu Bakar Al-Wasithi ra. ketika diminta mendoakan muridnya, lalu ia berkata: ‘Aku khawatir jika aku berdoa, lalu ditanyakan kepadaku begini: ‘Jika engkau meminta kepada-Ku apa yg menjadi hakmu, berarti engkau curiga kepada-Ku, dan bila engkau meminta apa yg bukan menjadi hakmu, berarti engkau telah menyalahgunakan kewajibanmu untuk memuji kepada-Ku, dan bila kau ridha maka Aku akan menjalankan padamu apa yg sudah Aku tetapkan pada masa yg sudah lalu (zaman ‘Azal).’

Syaikh Abdullah bin Munazil berkata: ‘Sejak lima puluh tahun saya tidak pernah berdoa meminta kepada Allah, juga tidak ingin di doakan oleh orang lain. Sebab segala sesuatu berjalan menurut apa yg telah ditetapkan oleh Allah di zaman ‘azal, dan saya sudah merasa puas dengan itu.’

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Yg perlu di ingatkan dengan doa dan permintaan adalah yg bisa lupa dan tidak menyadari ada yg meminta. Yg perlu ditegur adalah yg mungkin teledor dan tidak teliti. Sifat lupa dan teledor ini amat mustahil bagi Allah. Oleh sebab itu, tidak meminta kepada Allah, menurut orang² ‘arif, adalah adab karena tanpa diminta dan di ingatkan pun Allah tidak akan lupa dan teledor. Wallaahu a’lam

186. Hari Rayanya Murid (1)

Hikmah 186 dlm Al-Hikam:

“Hari Rayanya Murid”

وُرُوْدُ الْفَاقَاتِ أَعْيَادُا لْمُرِيْدِيْنَ.

Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi para murid.

Seorang murid itu ketika kedatangan kesulitan, kefakiran, bala’, sehingga merasa rendah diri dihadapan Allah, itu adalah saat yg terbaik untuk mendapat belas kasih Allah, dan mempercepat tercapainya tujuan yaitu taqarrub kepada Allah. Sebagaimana diterangkan pada hikmah yg lalu bahwa dengan kefakiran, nafsu tidak dapat bagian apa², yakni dengan kefakiran itu sebagai kemenangan melawan hawa nafsu, sehingga saat yg demikian itu sebagai hari raya yg sangat menggembirakan, sebab tunduknya hawa nafsu, hilangnya rasa kesombongan, ujub atau besar diri.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Hari raya adalah hari di saat kebahagiaan meliputi seluruh orang. Bagi para murid, kesukaran adalah hari raya yg mendatangkan kebahagiaan. Para murid merasa bahagia dengan kesukaran karena kesukaran dapat mempercepat sampainya mereka kepada tujuan. Selain itu, di dalam kesukaran terkandung penghinaan dan pembatasan hawa nafsu. Orang² awam amat senang dengan kedatangan hari raya karena mereka bisa mendapatkan keinginan hawa nafsunya, berupa makanan lezat, pakaian baru, dan lain sebagainya. Wallaahu a’lam

187. Hari Rayanya Murid (2)

Hikmah 187 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا وَجَدْتَ مِنَ الْمَزِيْدِ فِي الْفَاقَا تِ مَا لَا تَجْدُ هُ فِي الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ.

Barangkali, pada saat sulit, kau mendapatkan tambahan karunia yg tidak kau temukan dalam puasa dan shalat.

Itu bisa terjadi sebab puasa dan shalat terkadang karena kesenangan dan kepentingan hawa nafsu, sehingga ibadahnya tidak bisa selamat dari afatnya ibadah seperti riya’, takabbur, ujub dan lain². Berbeda ketika dalam kondisi fakir, akan hilang kesenangan dan kepentingan hawa nafsu. Dan lagi hikmah ini bisa di artikan bahwa datangnya kefakiran, bala’ itu sebagai nikmat batin (samar).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Wahai murid, barangkali saat kau mengalami kesulitan, kau mendapatkan tambahan karunia berupa kesucian batin, cahaya, dan makrifat yg tidak kau dapatkan pada puasa dan shalat karena bisa jadi puasa dan shalat yg kau lakukan lebih didasari keinginan nafsumu dan keuntungannya.

Ibadah seperti ini adalah ibadah yg tidak terbebas dari kekurangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menyucikan hati. Di saat sulit, hawa nafsu dan syahwat tertahan. Oleh karena itu, saat sulit, karunia yg didapat seorang hamba lebih banyak daripada yg didapatnya dalam puasa dan shalat. Wallaahu a’lam

188. Hari Rayanya Murid (3)

Hikmah 188 dlm Al-Hikam:

اَلْفَاقَاتُ بُسُطُ الْمَوَاهِبِ.

Ragam ujian merupakan hamparan anugerah.

Dengan datangnya kefakiran, hakikatnya Allah mendudukkan kamu di hadapan-Nya, dan cukuplah bagi kamu apa yg ada dari macam² anugerah dari Allah.

Dan lagi apabila Allah akan memberi anugerah yg besar kepada hamba, akan tetapi amal ibadah lahiriahnya tidak mencukupi sebagai tebusan karunia Allah, maka Allah menguji padanya dengan bala’ sebagai tebusan berbagai dosa, kemudian diberikannya anugerah karunia dari Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ragam ujian seumpama hamparan permadani yg dipenuhi karunia dan pemberian Ilahi bagi yg duduk di atasnya. Sebagaimana halnya orang yg duduk di atas permadani raja, ia tentu akan mendapatkan kenikmatan yg diberikan raja kepadanya.

Ujian yg berupa kesulitan membuatmu selalu hadir bersama Tuhanmu dan mendudukkanmu di permadani ketulusan. Pada saat hadir itulah, kau akan diberi karunia Rabbani dan hembusan kasih sayang-Nya. Wallaahu a’lam

189. Hari Rayanya Murid (4)

Hikmah 189 dlm Al-Hikam:

إِ نْ أَرَدْتَ وُرُوْدَ الْمَوَاهِبِ عَلَيْكَ, صَحِّحِ الْفَقْرَ وَالْفَاقَةَ لَدَيْكَ (إِنَّمَا الصَّدَقَا تُ لِلْفُقَرَاءِ)

Jika kau mengharapkan datangnya karunia, luruskan rasa papa dan butuh pada dirimu karena “Sedekah hanya diberikan kepada mereka yg fakir (butuh).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika kau ingin mendapatkan karunia Allah, luruskan rasa miskin dan butuh pada dirimu. Caranya adalah dengan mewujudkan keduanya pada dirimu secara total sehingga kau tidak lagi membutuhkan selain-Nya dengan cara apa pun. Saat itulah, karunia Ilahi akan datang kepadamu. Ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya zakat² itu hanyalah untuk orang² fakir…, ” (QS. At-Taubah [9]: 60)

Wallaahu a’lam

190. Hari Rayanya Murid (5)

Hikmah 190 dlm Al-Hikam:

تَحَقَّقْ بِأَوْصَا فِكَ يُمِدُّ كَ بِأَوْصَافِهِ, تَحَقَّقْ بِذَ لِكَ يَمُدُّ كَ بِعِزِّ هِ. تَحَقَّقْ بِعَجْزِكَ يَمُدُّ كَ بِقُدْرَتِهِ , تَحَقَّقْ بِضَعْفِكَ يَمُدُّكَ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ.

Tampakkan sifat²mu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat²Nya. Tampakkan kehinaanmu, niscaya Dia membantu dengan kemuliaan-Nya. Tampakkan kelemahanmu, niscaya Dia membantu dengan kekuasaan-Nya. Tanpakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantu dengan daya dan kekuatan-Nya.

Hikmah ini mengajarkan kepada kita supaya menempati posisi kita yg semestinya, yaitu sebagai hamba, yg mempunyai sifat asli yaitu: fakir, kurang, lemah, hina, dan bodoh. Apabila kita mengakui dan memposisikan diri sebagai hamba, niscaya Allah akan menolong kita, memberi kemudahan dan karunia-Nya kepada kita. Dan ketika Allah memberikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan dan kekuatan, kita akan sadar dan merasa bahwa itu semua dari Allah, bukan dari diri sendiri, dan bukan dari selain Allah. Itulah tauhid yg murni, yg tidak ada tuhan, tidak ada daya kekuatan, melainkan Allah, dan semata-mata bantuan dan pertolongan-Nya, tanpa ada perantara dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Sebaliknya apabila kita tidak mau menempati kedudukan kita sebagai hamba, dan lupa akan sifat kehambaan, yg akan menjadikan murka Allah, dan menyaingi sifat² Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tunjukkan sifat²mu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat²Nya. Wujudkan sifat kehinaanmu, niscaya Dia akan memberimu kemuliaan-Nya sehingga kau akan menjadi mulia, bukan dengan dirimu sendiri. Wujudkan sifat kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya sehingga kau mampu berbuat apa saja, bukan dengan dirimu sendiri. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kekuatan dan daya-Nya sehingga kau menjadi kuat dengan kekuatan-Nya, bukan dengan kekuatan dirimu sendiri.

Demikian pula jika kau tampakkan kebutuhan dan kemiskinanmu, Dia akan membantumu dengan kekayaan-Nya. Seandainya kau duduk di permadani kehinaan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Mulia, siapa lagi yg memberi kemuliaan kepada yg hina selain diri-Mu?” kau duduk di permadani kelemahan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Kuasa, siapa yg memberi kuasa kepada yg lemah selain diri-Mu?” kau duduk di atas permadani ketidakberdayaan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Kuat, siapa yg memberi kekuatan kepada yg lemah selain Diri-Mu?” kau duduk di permadani kemiskinan dan kesulitan sambil berkata, “Wahai Yang Maha Kaya, siapa yg memberi kekayaan kepada orang yg miskin selain diri-Mu?” niscaya kau akan mendapatkan jawaban seakan jawaban itu datang berdasarkan kehendak dan keinginanmu. Wallaahu a’lam

191. Hakikat Karamah

Hikmah 191 dlm Al-Hikam:

“Hakikat Karamah”

رُبَّما رُزِقَ الكرَامة َمن لم تَكـْمُلْ لهُ الاِسْتِقَامةُ

Bisa jadi, karamah diberikan kepada orang yg belum benar beristiqamah.

Seorang murid sebaiknya tidak mengharapkan karamah, dan tidak tertipu dengan munculnya karamah pada dirinya. Karena keistimewaan yg diberikan pada murid yg belum sempurna istiqamahnya, bisa jadi hanya berupa ma’unah, atau bahkan istidraj. Karena hakikat karamah itu ialah Istiqamah. Dan kesempurnaan istiqamah itu ada pada dua perkara yaitu: sungguh²nya iman, dan benar² mengikuti apa yg di ajarkan Rasulullah Saw. secara lahir batin.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Tiap kekeramatan yg tidak disertai keridhaan terhadap Allah, berarti orang itu tertipu dan akan binasa.”

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Bukannya kebesaran (karamah) itu bagi orang yg bisa melipat dunia ini sehingga dalam satu detik bisa sampai ke Mekkah dan negara lain². Tetapi kebesaran itu ialah orang yg dilipatkan baginya sifat² hawa nafsunya, sehingga ia langsung di sisi Tuhannya.”

Syaikh Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Sebesar-besar karamah yaitu berubahnya akhlaq yg jelek menjadi akhlaq yg baik. Dan ada yg mengatakan: kamu jangan heran dengan seseorang yg tidak menaruh apa² dalam sakunya, tetapi ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam sakunya dan mendapat apa yg di inginkan. Tapi kamu boleh heran dengan seseorang yg menaruh apa² dalam sakunya, ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam saku dan tidak mendapat apa², dan tidak berubah imannya kepada Allah.”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra. berkata: “Andaikata ada orang berjalan diatas air, atau duduk di udara, maka jangan kau tertipu olehnya sehingga kau perhatikan ia, bagaimana terhadap perintah dan larangan Allah dan Rasulullah Saw. Sebab setan dapat bergerak dari timur ke barat dalam sekejap mata, dan dia tetap dilaknat (terkutuk).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bisa jadi, karamah atau perkara luar biasa diberikan kepada orang² yg belum sempurna istiqamahnya. Oleh sebab itu, seorang murid tidak layak mempedulikannya dan mengharap kemunculannya. Mungkin, keistimewaan yg diberikan tersebut hanyalah pertolongan, bukan karamah sebenarnya. Karamah sebenarnya adalah kesempurnaan istiqamah. Sumbernya ada dua: kebenaran iman kepada Allah dan pelaksanaan terhadap apa yg dibawa Rasulullah Saw. secara lahir maupun batin.

Oleh karena itu, yg wajib bagi seorang murid adalah tidak mempedulikan dan mengharap, kecuali dua hal itu. Ia tidak boleh memiliki tekad lain, kecuali untuk meraihnya. Adapun karamah, yg berarti kemampuan luar biasa, tak pernah dibincangkan oleh para muhaqqiq. Wallaahu a’lam

192. Tanda² Kedudukan/Maqam

Hikmah 192 dlm Al-Hikam:

“Tanda² Kedudukan/Maqam”

مِنْ عَلَا مَا تِ إِقَا مَةِ الْحَقِّ لَكَ فِي الشَّيْءِ إِقَامَتُهُ إِيَّاكَ فِيْهِ مَعَ حُصُوْ لِ النَّتَائِجِ.

Di antara tanda Dia menempatkanmu pada satu kedudukan adalah ketika Dia menempatkanmu di dalamnya disertai buah yg nyata.

Sebagaimana sudah dijelaskan pada hikmah kedua tentang maqam tajrid dan maqam kasab, hikmah ini kembali menerangkan tentang tanda² orang yg berada di salah satu maqam tersebut.

Tanda orang yg di maqam tajrid yaitu:
Apabila Allah memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yg tidak disangka-sangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban².

Tanda orang yg berada di maqam kasab yaitu:
Apabila Allah memudahkan kamu dalam usaha/bekerja mencari ma’isyah, dan dalam bekerja itu bisa selamat agamamu (ibadahmu).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara tanda bahwa Allah menempatkanmu dalam satu keadaan, antara bekerja atau menyucikan diri dengan ibadah, adalah ketika Dia memudahkanmu untuk mendapatkan sebab²nya dan melestarikanmu di sana. Dia menempatkanmu di sana dengan memberimu buah yg nyata dari perbuatanmu itu, seperti selamatnya agama atau adanya keuntungan dari hasil pekerjaanmu. Wallaahu a’lam

193. Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah) (1)

Hikmah 193 dlm Al-Hikam:

“Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah)”

من عَبَّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبَّرَ مِن بِساطِاِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذاأساءَ

Siapa yg berbicara (mengajar) karena memandang kebaikan dirinya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Namun, siapa yg berbicara karena memandang anugerah Allah padanya, ia tidak akan berhenti ketika berbuat salah.

Hikmah ini menerangkan tentang orang yg mengajar/memberi nasihat tentang kebaikan dengan merasa bahwa dirinya sudah baik, dan merasa bahwa keterangannya itu hasil dari kebaikannya sendiri (yakni dia masih memandang dirinya sendiri), maka bila suatu saat dia tergelincir dalam dosa, dia akan merasa malu untuk memberi nasihat/mengajar orang lain, akan tetapi bila ia ketika memberi nasihat/mengajarkan ilmu pada orang lain itu hanya memandang bahwa ilmunya itu karunia dari Allah, ia tidak memandang dirinya, maka dia tidak merasa malu untuk menerangkan ilmu/memberi nasihat jika suatu saat ia tergelincir dalam dosa. Sebab berbuat kebaikan itu hanya semata-mata karunia dari Allah.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Manusia itu terbagi menjadi tiga golongan. Pertama: golongan yg selalu memperhatikan apa² yg dari dirinya kepada Allah. kedua: Golongan yg selalu hanya ingat pemberian dan karunia dari Allah kepda dirinya. Ketiga: Golongan yg hanya memandang bahwa semua dari Allah kembali pada Allah.”

Golongan pertama: selalu memikirkan kekurangan diri dalam menunaikan kewajibannya, sehingga selalu berduka cita.

Golongan kedua: selalu melihat semua itu adalah karunia dari Allah, maka ia selalu gembira.

Dan golongan ketiga: telah lupa pada dirinya sendiri, hanya teringat bahwa semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, maka semua terserah Allah.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Pada suatu malam saya membaca surat Qul-a’udzu birobbinnas hingga akhir surat. Tiba² terasa bagiku bahwa: Syarril was-waasil-khonnaas, yg berbisik dalam hati itu ialah yg menyusup antara kau dengan Allah, untuk melupakan engkau dari karunia² Allah, yg halus dan samar, dan mengingatkan engkau pada perbuatan²mu yg jahat/dosa. Tujuannya untuk membelokkan engkau dari khusnudzan kepada su’udzan terhadap Allah. Maka waspadalah.”

Beliau juga berkata: “Seorang ‘Arif itu ialah seorang yg telah mengetahui rahasia² karunia Allah di dalam berbagai macam ujian bala’ yg menimpanya sehari-hari. Dan juga menyadari/mengakui kesalahan²nya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.”

Beliau berkata lagi: “Sedikitnya amal dengan mengakui karunia Allah, itu lebih baik dari banyaknya amal dengan merasa kekurangan diri sendiri. Yakni seolah-olah mempunyai kekuatan sendiri untuk bikin baik, hanya sekarang belum baik, sehingga ia selalu berduka cita memikirkan bagaimana ia dapatnya lebih baik. Padahal seharusnya ia menyerah dan hanya meminta kepada Allah saja.”

Sebab jika Allah belum memberi maka tetap tidak ada perubahan pada dirinya, berdasarkan pengertian ayat:

وَمنْ يَتَوكـَّلْ عَلى اللهِ فـَهُوَ حَسْبُهُ

Dan siapa yg berserah diri kepada Allah, maka Allah sendiri yg akan mencukupi/ melengkapi kekurangannya.

لاحَوْل ولاقُوَّة َالا بِاللهِ

Dan tiada daya upaya atau kekuatan, kecuali atas bantuan dan pertolongan Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg berbicara tentang ilmu satu kaum dan memberitahukannya kepada murid karena memandang kebaikan dirinya atau karena melihat bahwa ungkapannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan atau amal shalehnya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Ia akan berhenti bicara ketika ia bermaksiat karena malu dengan maksiatnya. Penyebabnya adalah karena ia memandang kebaikan dirinya saat berbicara. Saat kebaikan diri itu hilang, bicaranya pun terhenti.

Namun, siapa yg berbicara karena memandang hamparan kebaikan Allah atau memandang bahwa ungkapan dan pemberitahuannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan Allah dan tidak memandang diri sendiri, ia tidak akan diam ketika berbuat salah. Ia tidak akan berhenti bicara ketika ia melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan sikapnya yg tidak memandang diri sendiri dan hanya melihat keesaan dan kekuasaan Tuhannya, membuatnya berani untuk terus bicara. Wallaahu a’lam

194. Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah) (2)

Hikmah 194 dlm Al-Hikam:

تَسْبِقُ أَنْوَارُ الْحُكَمَا ءِ أَقْوَا لَهُمْ، فَحَيْثُمَا صَا رَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ.

Cahaya orang bijak mendahului ucapan mereka. Ketika cahaya terpancar, nasihat itu pun akan sampai.

Ulama’ ahli hikmah (ahli makrifat) itu bila memberikan nasihat/keterangan akan bisa diterima oleh hati orang yg mendengarkan, sebagaimana tanah yg tandus dan mati yg disirami dengan air hujan yg lebat, lalu orang yg mendengar bisa mengambil manfaat dari nasihatnya, itu semua dikarenakan mereka (‘arifin) selalu berhubungan dengan Allah, dan minta taufiq dan hidayah dari Allah, dan hanya Allah yg mengatur kalimat yg keluar dari perkataannya, dan Allah yg mengatur pendengaran orang yg mendengarkan.

Rasulullah Saw. bersabda:

رأ ْسُ الحِكمةِ مَخافَةاللهِ

Pokok dari segala hikmah itu ialah takut kepada Allah.

Ulama’ yg tidak takut kepada Allah, adalah ulama’ suu’ (penipu umat). Siapa yg bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah imannya, maka tidak bertambah dekatnya kepada Allah, bahkan bertambah jauh.

Allah Ta’ala berfirman:

إنَّماَ يَخْشىَ اللهَ مِنْ عِباَدهِ العُلماءُ

“Sesungguhnya yg benar² takut kepada Allah hanyalah para ulama’.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Cahaya orang² bijak atau ‘arif yg mengenal Allah mendahului ucapan mereka. Cahaya orang² ‘arif maksudnya adalah cahaya makrifat mereka, yaitu kekuatan keyakinan mereka bahwa semua perkara ada di tangan Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Jika mereka ingin membimbing seorang hamba Allah dan memberi nasihat kepadanya dengan izin Allah, mereka segera menghadap Allah dan meminta bantuan-Nya untuk mengatur hati hamba itu supaya siap menerima apa yg di nasihatkan kepada mereka. Saat itulah, dari kalbu orang² ‘arif itu akan keluar cahaya yg bersumber dari batin mereka dan sampai ke hati hamba tersebut.

Ketika cahaya masuk ke dalam hati hamba Allah yg ingin di nasihatinya, nasihat dan ungkapan mereka akan mudah diterima oleh hatinya, seumpama bumi tandus yg menerima curah hujan. Dengan begitu, ia akan mendapatkan manfaat yg sempurna dari mereka. Wallaahu a’lam

195. Ucapan Dari Hati yang Bersih akan Menorehkan Kesan yang Dalam

Hikmah 195 dlm Al-Hikam:

“Ucapan Dari Hati Yang Bersih Akan Menorehkan Kesan Yang Dalam”

كُلُّ كَلَا مٍ يَبْرُ زُ وَعَلَيْهِ كِسْوَةُ الْقَلْبِ الَّذِي مِنْهُ بَرَزَ.

Setiap ungkapan yg terucap dibungkus oleh corak kalbu yg menjadi tempat keluarnya.

Jadi apabila hati bersinar nurnya, maka perkataannya pasti membawa nur juga, sehingga bisa diterima oleh hati orang yg mendengarkannya, berbeda dengan orang yg hanya mengaku-ngaku (ahli hikmah), perkataan yg keluar itu membawa kegelapan, yakni tidak bisa di ambil manfaatnya (masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri).

Dan lagi tiap² tempat (wadah) itu pasti akan mengeluarkan yg terisi di dalamnya, sebagai contoh: gelas atau lainnya yg terisi kopi, itu pasti yg dikeluarkan juga kopi, tidak mungkin air putih.

Ada seseorang yg berkata: “Mengapa sekarang hati orang² tidak bisa khusyu’ dan matanya tidak bisa mencucurkan air mata?” Maka di jawab oleh Syaikh Muhammad bin Wasi’: “Kemungkinan yg demikian itu penyebabnya dari kamu sendiri, sebab bila nasihat itu keluar dari hati yg ikhlas pasti masuk ke dalam hati juga. Sebaliknya kalau hanya berupa kata² di lidah dan fantasi belaka, maka ia akan masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.”

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Keadaan hamba itu hanya ada empat macam: nikmat, bala’, taat, maksiat. Maka jika di dalam nikmat, kewajiban hamba bersyukur kepada Allah, dan jika menerima bala’ maka hamba harus bersabar, dan jika dapat melakukan taat harus merasa itu taufiq dan hidayah dari Allah, dan bila tergelincir dalam dosa/ maksiat maka harus meminta ampun (beristighfar).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap ungkapan yg terucap akan dibungkus oleh pakaian hati. Jika hati bersinar oleh cahaya, setiap ucapan yg keluar akan dibungkus oleh cahaya itu sehingga semua pendengaran tidak akan menolaknya dan seluruh hati tidak mengingkarinya. Pakaian yg membungkus ungkapan itulah cahaya yg keluar dari hati.

Ucapan orang bijak muncul dengan dibungkus oleh cahaya sehingga hati manusia yg tertutup akan terbuka dan mereka dengan mudah menerima seruannya. Sebaliknya, ucapan orang² yg mengaku bijak disertai kegelapan, sehingga tak seorang pun yg mengambil manfaat darinya. Manfaat bisa saja di dapat hanya dari isi ucapannya, bukan dari siapa yg mengucapkannya, karena Allah menguatkan agama kita ini dengan ucapan seorang lelaki yg durjana sekalipun. Wallaahu a’lam

196. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (1)

Hikmah 196 dlm Al-Hikam:

“Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia Yang Disembunyikannya”

مَنْ أُذِنَ لَهُ فِي التَّعْبِيْرِ فُهِمَتْ فِي مَسَا مِعِ الْخَلْقِ عِبَارَتُهُ وَجُلِّيَتْ إِلَيْهِمْ إِشَارَتُهُ.

Barang siapa sudah mendapat izin dari Allah untuk mengajar (menerangkan ilmu makrifat), maka keterangannya itu bisa difahami oleh pendengarnya, dan isyarat petunjuknya bisa diterima dengan jelas.

Maksud dari orang yg sudah mendapat izin dari Allah yaitu: orang yg mengajar/memberi nasihat itu Lillahi (karena Allah) wa Billahi (dan sebab bantuan/pertolongan Allah, wa Fillahi (dalam tuntunan hukum Allah).

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi ra. berkata: “Kalimat/perkataan yg benar itu hanya yg di ucapkan setelah mendapat izin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَيَتَكَـلمُونَ إلاَّ من اَذِنَ لَهُ الرّ َحمٰنُ وَقَالَ صَواَباً

“Mereka tidak berkata-kata, kecuali yg di izinkan oleh Ar-Rahman (Allah) dan berkata dengan benar.”

Syaikh Hamdun bin Ahmad bin Umarah al-Qasshar ra. ketika ditanya: “Mengapa kata² orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini?” Jawabnya: “Karena mereka bicara/berkata untuk kemuliaan Islam, dan keselamatan jiwa dan untuk mendapat keridhaan Allah. Sedangkan kita bicara untuk kemuliaan diri, dan mencari dunia, dan keridhaan penerima/pendengar (makhluk).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang ‘Arif yg di izinkan berbicara tentang hakikat-makrifat, yaitu berupa ilmu² yg diberikan Allah tanpa perantara, maka penjelasannya akan mudah dipahami. Tanda seorang ‘arif di izinkan berbicara ialah, ia merasa mudah mengungkapkan apa yg ingin di ungkapkannya tanpa perlu bersusah payah. Lidahnya lancar mengungkap kata² tentang ilmu² itu. Ia juga mendapatkan dorongan kuat untuk mengungkapkan ilmu² itu tanpa kekurangan dalam berbicara.

Tanda lainnya yg bisa dilihat ialah, penjelasannya mudah dipahami dan amat jelas sehingga tidak perlu di ulang². Keterangannya lebih lembut daripada ungkapan yg biasa digunakan ahli tarekat dalam memberitakan tentang ilmu² batin dan hakikat makrifat. Lain halnya dengan orang yg tidak di izinkan berbicara. Wallaahu a’lam

197. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (2)

Hikmah 197 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا بَرَزَتِ الْحَقَائِقُ مَكْسُوْ فَةَ الْأَ نْوَارِ إِذَالَمْ يُؤْذَنْ لَكَ فِيْهَا بِإِظْهَارِ.

Bisa jadi cahaya hakikat meredup apabila kau belum diberi izin untuk menampakkannya.

Yg dimaksud ilmu hakikat disini yaitu ilmu yg berhubungan dengan makrifatullah.

Barang siapa yg belum sempurna sifat²nya, dan belum mendapat izin untuk menerangkan hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena keluar dari lisan yg masih tertutupi kegelapan yaitu selain Allah. Dan ia sendiri masih diliputi sesuatu yg berlawanan dengan hakikat itu, yg akibatnya orang yg mendengarkan tidak faham dan bahkan yg mendengar akan ingkar dan menolak.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Seorang Wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu dan pemahaman makrifat, sehingga hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika mengeluarkan kalimat/perkataan seolah-olah mendapat izin dari Allah, dan kalimat/perkataan yg dikeluarkannya itu berhias keindahan yg bukan buatan, maka langsung diterima oleh pendengarnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Apabila kau tidak diberi izin untuk menampakkan hakikat, bisa jadi hakikat yg berupa ilmu dan makrifat itu akan meredup dan diselimuti kegelapan akibat pandanganmu terhadap kebendaan. Akibatnya, telinga para pendengar akan menolaknya dan hati mereka mengingkarinya.

Syaikh Abul Al-Abbas al-Mursyi ra. berkata, “Ucapan orang yg diberi izin untuk berbicara diselimuti keindahan, sedangkan ucapan orang yg tidak diberi izin bercahaya redup. Jika kedua orang itu berbicara tentang satu hakikat, ucapan orang yg pertama diterima, sedangkan ucapan orang yg kedua ditolak.” Wallaahu a’lam

198. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (3)

Hikmah 198 dlm Al-Hikam:

عِبَارَاتُهُمْ إِمَّا لِفَيَضَا نِ وَجْدٍ أَوْلِقَصْدِ هِدَ ايَةِ مُرِيْدٍ, فَا لْأَوَّل ُحَالُ السَّالِكِيْنَ وَالثَّانِي حَا لُ أَرْبَابِ الْمَكِنَةِ وَالْمُحَقِّقِيْنَ.

Kata²/keterangan orang yg menerangkan (ilmu makrifat), itu ada kalanya muncul karena luapan perasaan dalam hatinya yg tidak dapat ditahan, atau karena tujuan memberi petunjuk pada murid. Yg pertama itu hal keadaan seorang salik, sedang yg kedua hal keadaan orang yg sudah matang dan mendalam dalam makrifatnya kepada Allah (ahli tahqiq).

Jika seorang salik (berjalan menuju Allah), itu berkata-kata/menerangkan ilmu makrifat, yg bukan karena luapan apa yg dirasakan dalam hatinya, berarti ia hanya merupakan pengakuan yg palsu belaka, demikian pula orang yg mendalam ilmu makrifatnya, jika bicara tidak untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yg tidak di izinkan. Yg seharusnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab terhadap Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ungkapan para peniti jalan Allah tentang ilmu dan makrifat yg mereka temukan dalam batin mereka bisa jadi keluar karena luapan perasaan yg mereka alami di dalam hati. Mungkin, hati mereka sempit sehingga tanpa mereka sadari, dari sana mengalir dengan deras apa yg bersemayam di dalamnya. Persis seperti sebuah bejana kecil yg dipenuhi air, tentu air itu akan tumpah ruah keluar. Bisa jadi juga, ungkapan itu keluar karena mereka ingin memberikan petunjuk kepada murid. Walaupun hati mereka luas, mungkin mereka akan menahan isinya sehingga tak satu pun yg keluar dari hati itu.

Kondisi pertama adalah kondisi yg dialami seorang salik atau orang yg baru mulai meniti jalan menuju Allah. Di sini mereka tidak diberi izin untuk mengungkapkan isi hatinya karena mereka masih dikuasai luapan perasaan. Sementara itu, yg kedua adalah kondisi para muhaqqiq atau orang yg sudah sampai kepada Allah. Mereka diberi izin untuk mengungkapkannya karena ungkapan mereka mengandung bimbingan dan hidayah bagi orang lain.

Jika seorang salik mengungkapkan isi hatinya tanpa dikuasai perasaan, ungkapannya itu sama saja dengan sebentuk pengakuan. Jika seorang muhaqqiq mengungkapkannya tanpa niat memberi hidayah kepada murid, tindakannya itu sama dengan menyebarkan rahasia terlarang. Seorang muhaqqiq harus bersikap diam tak banyak bicara karena ia sedang berada di hadirat Allah, menerima yg datang ke dalam hatinya, berupa keajaiban ilmu dan pemahaman. Wallaahu a’lam

199. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (1)

Hikmah 199 dlm Al-Hikam:

“Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain”

الْعِبَا رَتُ قُوْتٌ لِعَا ئِلَةِ الْمُسْتَمِعِيْنَ , وَلَيْسَ لَكَ إِلَّا مَا أَنْتَ لَهُ آ كِلٌ.

Keterangan (kata² yg berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yg mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa² kecuali apa yg engkau makan.

Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam (berbeda-beda), dan makanan yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yg lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yg berguna bagi tiap² orang itu hanya yg dimakan. Begitu juga makanan yg bangsa maknawi, yg difahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yg disampaikan kepada orang banyak/jama’ah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yg lainnya, itu karena berbeda tujuannya.

Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi ra. berkata: “Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di Mesir, dan disitu bertemu dengan Guru², dan setelah hidangan dikeluarkan, disitu ada satu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang² makan tiba² wadah itu berkata: ‘Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Allah untuk tempat makanan Guru² ini maka mulai saat ini aku tidak rela dipakai tempat kotoran.’ Kemudian ia terbelah menjadi dua.”

Syaikh Ibnu Arabi bertanya kepada hadirin semua: “Apakah kalian semua telah mendengar?” Jawab mereka: “Ya, kami mendengar. Ia berkata, ‘Sejak aku dipakai tempat makanan Guru², maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi.'”

Syaikh Ibnu Arabi berkata: “Tidak begitu katanya.” Para hadirin bertanya: “Lalu ia berkata apa?” Jawab Syaikh Ibnu Arabi: “Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat Iman, maka janganlah rela ditempati najis², syirik, maksiat dan cinta dunia.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ungkapan yg diucapkan oleh ahli tarekat tentang ilmu dan makrifat adalah makanan ruh bagi para pendengarnya atau mereka yg membutuhkan nasihat dan hikmah, persis seperti makanan yg dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Apa yg kau peroleh tak lain adalah apa yg telah kau makan. Tidak setiap orang cocok dengan satu makanan tertentu karena perbedaan kebiasaan dan kesukaan. Demikian pula dengan makanan ruh, makanan ruh untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain karena perbedaan kecenderungan dan keinginan mereka masing².

Bahkan, terkadang satu ungkapan yg dilontarkan kepada satu kelompok pun, tiap² anggota kelompok itu akan berbeda dalam memahaminya dengan yg dipahami anggota lainnya. Mungkin sebagian orang ada yg memahami sebuah ucapan dengan makna yg berbeda dengan yg di inginkan si pembicara, namun batinnya terpengaruh oleh hal itu secara menakjubkan. Wallaahu a’lam

200. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (2)

Hikmah 200 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ الْمَقَا مِ مَنِ اسْتَشْرَفَ عَلَيْهِ, وَرُبَّمَا عَبَّرَ عَنْهُ مَنْ وَصَلَ إِلَيْهِ, وَذَلِكَ مُلْتَبِسٌ إِلَّا عَلَى صَا حِبِ بَصِيْرَةٍ.

Bisa jadi, yg menjelaskan perihal maqam adalah orang yg belum sampai kesana. Bisa jadi pula, yg menjelaskannya adalah orang yg telah sampai kesana. Semuanya samar, kecuali bagi orang yg memiliki ketajaman bashirah/mata hati.

Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke sebelumnya, yg perlu kita perhatikan, ada orang yg menerangkan suatu maqam karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata² para ulama’ shufiyyah, lalu diterangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang² yg sudah sampai pada maqam itu, yg berbicara tentang maqam itu biasa saja, seperti berbicara tentang lainnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bisa jadi, orang yg menjelaskan perihal maqam, seperti maqam zuhud, maqam wara’, dan maqam tawakkal, adalah orang yg belum sampai ke maqam tersebut, bisa jadi pula orang yg memang sudah sampai. Kedua kondisi itu amat sulit dibedakan, kecuali oleh orang yg memiliki bashirah/mata hati karena ia mampu melihat gambaran batin seseorang.

Orang yg belum mencapai maqam biasanya senang membicarakan maqam. la menganggapnya sebagai sesuatu yg luar biasa. Ia juga merasa dirinya hebat karena sebentar lagi akan sampai kesana. Lain halnya dengan orang yg sudah mencapai maqam. Ia membicarakan maqam-nya dengan biasa² saja, seperti berbicara tentang hal lain.

Mungkin juga, orang yg menjelaskan perihal maqam ini adalah orang yg menukilnya dari sebuah kitab sembari menjaga ahwal-nya dari kebiasaan bicara orang² sehingga tak heran jika akhirnya ia dianggap sebagai orang yg sudah mendapatkan maqam itu. Untuk mengenali orang seperti ini, kita harus menerapkan kaidah² ilmu. Jika ia selalu banyak menjawab, cenderung fanatik dan egois, berarti ia hanya seorang pendusta yg mengaku-aku telah mendapatkan sebuah maqam. Wallaahu a’lam

201. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (3)

Hikmah 201 dlm Al-Hikam:

لَا يَنْبَغِي لِلسَّا لِكِ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْ وَارِ دَاتِهِ, فَإِ نَّ ذَلِكَ يُقِلُّ عَمَلَهَا فِي قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْقِ مَعَ رَبِّهِ.

Tidak semestinya seorang salik mengungkapkan karunia (warid) yg diperolehnya. Hal itu bisa mengurangi pengaruh warid dalam qalbu dan menghalangi ketulusannya kepada Tuhan.

Seperti keterangan² terdahulu tentang warid, yaitu: perkara yg diberikan Allah kepada hamba-Nya yg berupa ilmu yg langsung dari Allah yg berhubungan dengan Tauhid.

Sebaiknya salik (orang yg berjalan menuju Allah) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada Guru Mursyid-nya, karena bisa mengurangi atsar-nya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid di dalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Allah, karena menerangkan warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yg bisa menjadikan kuat sifat²nya nafsu. Yg demikian itu pandangannya belum bulat kepada Allah, tetapi masih selalu mengharap apa² dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yg diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia² yg lebih besar selanjutnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Seorang salik tak layak untuk mengungkapkan anugerah dan karunia yg di alaminya, berupa ilmu laduni maupun rahasia² tauhid. Ia tidak boleh mengungkapkannya dengan keinginan sendiri. Justru semestinya ia menyembunyikan dan menjaganya agar tak seorang pun tahu, kecuali Guru Mursyid-nya.

Mengungkapkan hal itu bisa mengurangi kesan karunia itu di dalam qalbu sehingga ia tidak bisa memanfaatkannya secara utuh. Hal itu juga dapat menghalangi ketulusannya kepada Tuhan karena biasanya, pengungkapan tentang karunia itu tidak akan lepas dari nafsu syahwat. Saat mengungkapnya, nafsu menemukan kenikmatan dan kelapangan. Tentu hal itu akan menguatkan sifat² syahwatnya dan kekuatan sifat itulah yg menghalanginya untuk tulus kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam

202. Syarat Menerima Pemberian yg Harus Dipenuhi Ahli Tajrid (yg tidak diberi kemudahan hidup) dan Ahli Asbab (yg diberi kemudahan hidup)

Hikmah 202 dlm Al-Hikam:

“Syarat Menerima Pemberian yg Harus Dipenuhi Ahli Tajrid (yg tidak diberi kemudahan hidup) dan Ahli Asbab (yg diberi kemudahan hidup)”

لَا تَمُدَّ نَّ يَدَكَ إِلَى الْأَخْذِ مِنَ الْخَلَا ئِقِ إِلَّا أَنْ تَرَ ى أَنَّ الْمُعْطِيَ فِيْهِمْ مَوْ لَاكَ, فَإِذَا كُنْتَ كَذَ لِكَ فَخُذْ مَا وَافَقَكَ الْعِلْمُ.

Jangan kau mengulurkan tangan untuk menerima sesuatu dari makhluk, kecuali kau melihat bahwa yg memberi adalah Allah. Jika kau telah demikian, ambillah apa yg sesuai dengan pengetahuanmu (syari’at/halal).

Sebab bila engkau masih merasa yg memberi itu makhluk (berarti ada yg dapat membantumu selain Allah), maka Tauhidmu belum benar (murni) dalam menerima pengertian ke-Esaan Allah dalam kalimah: Laa ilaaha illallah dan Laa haula walaa quwwata illaa billah. Sebab hakikatnya semua pemberian itu hanya dari Allah, semua hak dan kekuasaan Allah semata, sehingga bila ada pemberian dari tangan siapa saja (makhluk), haruslah meyakini bahwa itu langsung dari Allah yg menyuruh seorang hamba untuk menyampaikan kepadamu. Kamu juga jangan menerima pemberian makhluk kecuali yg sesuai dengan ilmumu, yakni: ilmu lahir (syari’at) dan ilmu batin (hakikat).

Khalid Al-Juhani ra. berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Siapa yg kedatangan hadiah/sedekah dari temannya tanpa ia meminta dan berharap dalam hatinya, maka hendaknya diterima, sebab yg demikian itu sebagai rizqi yg dihantar oleh Allah kepadanya.’ Dalam riwayat lain ada tambahan: ‘dan bila ia tidak membutuhkan karena sudah cukup, maka hendaknya diberikan kepada yg lebih berhajat daripadanya.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Siapa yg menolak rizqi yg diberi oleh makhluk tanpa minta², maka sesungguhnya ia telah menolak pemberian Allah.'”

Sayyidina Umar bin Khattab ra. berkata: “Rasulullah selalu memberi kepada saya, maka saya berkata, ‘Berikan kepada orang yg lebih membutuhkan daripada saya.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Terimalah dan pergunakan atau sedekahkan, dan tiap harta yg datang kepadamu dengan tidak engkau harapkan atau engaku minta, maka terimalah, dan yg tidak jangan engkau harap²kan.'”

Syaikh Ibrahim al-Khawwas ra., berkata: “Seorang sufi itu tidak harus memilih jalan tidak berusaha (tajrid), kecuali jika memang sudah cukup keadaannya.”

Syaikh Abu Abdullah Al-Qurasyi ra. berkata: “Selama keinginan berusaha itu kuat dalam perasaan nafsu, maka berkasab itu lebih utama.”

Syaikh Al-A’masyi (Sulaiman) ra. berkata: “Ada seorang pemuda yg datang kepada Syaikh Ibrahim At-Taimi, untuk memberi hadiah uang sebanyak 2000 dirham, sambil berkata: ‘Terimalah uang ini, ini bukan dari raja, juga bukan uang syubhat dan lain²nya.’ Jawab Syaikh Ibrahim: ‘Semoga Allah memberkahi hartamu, dan membalas engkau dengan kebaikan dan terima kasih.’ Lalu ditolaknya uang itu. Setelah pemuda itu pergi saya bertanya: ‘Ya Aba Imran, mengapa engkau tidak menerima pemberian itu? Demi Allah, istrimu tidak memiliki gamis.’ Jawab Syaikh Ibrahim: ‘Benar, tetapi anak itu masih muda, belum banyak pengalaman, saya khawatir kalau ia kembali ke kampungnya lalu memberi tahu kepada teman² nya: ‘Saya telah memberi Ibrahim 2000 dirham, maka hilang pahalanya dan hilang pula uangnya.'”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Wahai murid yg ingin menyucikan diri, jangan kau ulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, berupa rezeki yg didasari belas kasihan, kecuali dengan dua syarat berikut.

Pertama, jika kau lihat bahwa yg memberinya adalah Tuhanmu melalui mereka. Artinya, mereka hanyalah perantara, sedangkan yg memberi sesungguhnya adalah Allah Ta’ala. Pandangan semacam itu tidak sekadar menjadi ilmu dan keimanan, melainkan harus menjadi ahwal dan dzauq (perasaan). Sikap itulah yg layak dilakukan oleh seorang murid yg ingin menyucikan diri.

Kedua, jika kau telah menyadari bahwa yg memberi sebenarnya adalah Tuhanmu, ambillah apa yg sesuai dengan pengetahuanmu. Maksudnya, jangan kau ambil, kecuali yg sesuai dengan ilmu untuk mengambilnya. Ilmu untuk mengambil ini ada dua macam: ilmu lahir dan ilmu batin. Contoh ilmu lahir, kau tidak boleh mengambil, kecuali dari tangan seorang mukallaf yg matang dan bersih. Contoh ilmu batinnya, kau tidak mengambil, kecuali yg diberi atas dasar bantuan semata atau jangan kau ambil, kecuali yg kau butuhkan saja untuk kau gunakan dalam kebutuhanmu, tanpa berlebihan dan kekurangan. Sikap itulah yg dilakukan Rasulullah Saw. dalam menerima pemberian yg berupa sandang, pangan, dan papan.

Jangan kau ambil apa pun yg datang kepadamu sebelum waktunya dan yg melebihi kebutuhanmu. Jangan pula mengambil apa pun yg diberikan kepadamu untuk mengujimu, misalnya jika kau diberi sesuatu yg sebenarnya ingin kau tinggalkan karena Allah. Hal itu dapat menghalangimu untuk menunaikan hak² Tuhanmu. Jangan pula mengambil dari orang yg suka memberi namun dengan rasa bangga, yg ingin menampakkan kedermawanannya, atau dari orang yg terasa berat bagi hatimu untuk menerima pemberiannya. Jangan pula kau makan, kecuali dari orang yg melihat pada dirimu ada keutamaan dalam memakannya. Wallaahu a’lam

203. Malu Meminta Karena Merasa Cukup

Hikmah 203 dlm Al-Hikam:

“Malu Meminta Karena Merasa Cukup”

رُبَّمَا اسْتَحْيَا الْعَا رِ فُ أَ نْ يَرْ فَعَ حَا جَتَهُ إِلَى مَوْ لَا هُ اكْيِفَ ءً بِمَشِيْئَتِهِ , فَكَيْفَ لَا يَسْتَحْتِي أَ نْ يَرْ فَعَهَا إِلَى خَلِيْقَتِهِ؟

Terkadang seorang ‘Arif malu mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah karena merasa cukup dengan kehendak-Nya, apalagi mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk.

Pada hikmah yg lalu telah banyak dibahas tentang lebih utama mana antara meminta/berdoa atau tidak, dan merasa puas dengan pembagian dan pilihan Allah Ta’ala, dan pada hikmah ini Syaikh Ibnu Atha’illah qs. menerangkan tentang sikap para ‘Arif yg malu meminta hajatnya kepada Allah Ta’ala, karena sudah merasa puas dengan kehendak Allah Ta’ala, apalagi meminta kepada makhluk.

Syaikh Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Tiada suatu nafas atau hati melainkan diperhatikan oleh Allah pada tiap detik, baik siang maupun malam, maka apabila Allah melihat dalam hati itu ada hajat kepada sesuatu selain Allah, niscaya Allah mendatangkan iblis untuk hati itu.”

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq qs. berkata: “Suatu tanda dari makrifat itu, tidak meminta hajat/kebutuhan kecuali kepada Allah, baik besar maupun kecil. Contohnya Nabi Musa as. yg rindu ingin melihat Allah, lalu ia berkata: ‘Rabbi arini andhur ilaika.’ Dan ketika ia membutuhkan roti ia berdoa: ‘Rabbi innii lamaa anzalta ilayya min khairin faqiir.’ (Ya Tuhan, sungguh aku terhadap apa yg engkau berikan kepadaku dari makanan itu sangat membutuhkan).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Seorang ‘arif dan muhaqqiq terkadang merasa malu untuk mengadukan kebutuhannya kepada Allah Ta’ala. Ia tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya karena ia merasa cukup dengan kehendak dan ketentuan-Nya, baik berupa pemberian, penolakan, manfaat, maupun bahaya.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Keluarkan semua makhluk dari hatimu dan kuatkan asamu terhadap Tuhanmu agar Dia memberimu selain apa yg telah ditentukan-Nya untukmu.”

Allah Ta’ala berfirman: “Sabarlah terhadap hukum Tuhanmu karena engkau selalu dibawah pengawasan Kami.”

Meminta kepada Allah Ta’ala saja seorang ‘arif malu, apalagi meminta dan mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk. Ia tidak akan meminta kepada makhluk dan tidak mengadukan kebutuhannya kepada mereka karena para makhluk miskin dan membutuhkan, sedangkan Tuhan mereka adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Oleh sebab itu, seorang ‘arif akan menjauhkan tekadnya dari makhluk dan tidak pernah meminta kepada mereka apa pun yg ia butuhkan.

Maka dari itu, jangan kau kotori imanmu dengan ketamakanmu terhadap makhluk dan jangan bersandar, kecuali kepada Tuhan semesta alam. Ikutilah jalan Ibrahim dalam menjauhkan tekad dari para makhluk.

Ketika Nabi Ibrahim as. akan dilemparkan ke dalam kobaran api, Jibril as. bertanya kepadanya, “Apa kau butuh sesuatu?” Nabi Ibrahim as. menjawab, “Aku tidak butuh apa² darimu. Aku hanya butuh pertolongan Allah.” Jibril as. lantas berkata, “Kalau begitu, mintalah kepada Allah!” Nabi Ibrahim as. lalu berkata, “Cukuplah bagiku, Dia mengetahui keadaanku.”

Orang² yg membutuhkan terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, mereka yg tidak bersabar. Jika membutuhkan sesuatu, mereka akan meminta kepada manusia. Mereka juga menerima pemberian dari manusia tanpa menyadari bahwa yg sebenarnya memberi adalah Tuhan.

Kedua, mereka yg tidak meminta kepada manusia. Namun jika diberi, mereka menerimanya tanpa menyadari bahwa yg sebenarnya memberi adalah Tuhan.

Ketiga, mereka yg tidak meminta kepada manusia. Jika diberi, mereka tidak mau menerimanya.

Sementara itu, para peniti jalan Allah Ta’ala hanya meminta kepada Allah Ta’ala. Apabila Allah Ta’ala menetapkan sesuatu atas mereka, mereka akan menganggap baik ketetapan Allah Ta’ala itu. Wallaahu a’lam

204. Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu (1)

Hikmah 204 dlm Al-Hikam:

“Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu”

إِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ أَمْرَانِ فَا نْظُرْ أَ ثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَا تَّبِعُهُ ,فَإِ نَّهُ لَا يَثْقُلُ عَلَيْهَا إِلَّا مَا كَا نَ حَقًّا

Jika ada dua hal yg tidak jelas bagimu, lihatlah mana di antara keduanya yg paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia karena tidaklah terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yg benar.

Seorang salik/murid seharusnya selalu curiga dengan nafsunya, sehingga apabila akan mengerjakan dua amalan yg keduanya sama wajibnya atau sama sunnahnya, maka seharusnya ia memilih dan mengerjakan yg berat menurut nafsunya, karena apabila nafsu itu merasa berat itu tanda kalau amalan itu yg haq atau yg lebih utama, karena pada hakikatnya yg namanya ibadah itu sesuatu yg bertentangan/bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Tetapi apabila seorang murid memilih yg lebih ringan dan menyenangkan nafsunya, menurut para ulama’ ‘arifin termasuk golongan hati yg ada sifat nifaqnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Wahai murid, jika ada dua perkara yg tidak jelas bagimu, seperti dua kewajiban atau dua hal yg sunnah, dan kau tidak mengetahui mana yg paling utama dilakukan, lihatlah mana di antara dua kewajiban itu yg paling berat bagi nafsu dan dirimu, lalu ikutilah ia dan laksanakan. Contohnya, mencari ilmu yg wajib atau mencari rezeki untuk keluarga, mencari ilmu yg melebihi kewajiban atau melakukan ibadah² sunnah. Lihat mana di antara dua perkara itu yg lebih berat bagi nafsumu karena tak ada yg berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yg benar.

Nafsu selalu terdorong untuk berbuat kebodohan. Keinginannya selalu mencari keuntungan dan lari dari kewajiban. Jika seorang murid merasa ringan dalam sebuah amal dan merasa berat dalam amal lainnya, lalu ia mengerjakan yg lebih ringan, namun hatinya tidak tenang, itu termasuk ke dalam kemunafikan hati. Akan tetapi, jika hatinya tenang, ia boleh mengerjakan yg ringan bagi nafsunya dan yg disukainya. Namun, ketika itu, ia harus melihat, mana yg lebih besar faedahnya dan yg Iebih banyak memperbaiki ahwal -nya. Itulah yg harus diutamakannya dari yg lainnya.

Ada lagi patokan lain untuk memilah, mana perkara yg lebih utama dari yg lainnya jika keduanya tidak jelas bagimu, yaitu kau harus memperkirakan kapan datangnya maut kepadamu. Amal yg membuatmu bahagia saat kau kerjakan, berarti ia benar dan selainnya bathil karena menjelang ajal, seorang hamba biasanya tidak akan mengerjakan kecuali amal shaleh yg bebas dari sifat² riya’ dan dorongan hawa nafsu.

Apabila kau bingung antara harus menuntut ilmu atau mengikuti jalan ahli tarekat, lihatlah mana di antara keduanya yg kau sukai saat ruhmu keluar dari jasadmu, kemudian lakukan hal itu. Jika kau ingin saat ruhmu dicabut malaikat dan di tanganmu ada buku tulis karena kau ikhlas dalam menuntut ilmu dan hanya mengharap ridha Allah, tuntutlah ilmu. Akan tetapi, seandainya kau tidak menyukai hal itu dan hanya ingin sibuk berdzikir kepada Allah, jangan menuntut ilmu, tetapi sibukkan dirimu dengan berdzikir atau ibadah lainnya. Jika kau terpaksa melakukan hal yg tidak kau sukai, tentu kau tidak akan ikhlas di dalamnya. Wallaahu a’lam

205. Pilihlah Sesuatu Yang Berat Menurut Nafsu (2)

Hikmah 205 dlm Al-Hikam:

مِنْ عَلَا مَا تِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَا رَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَ اتِ , وَالتَّكَا سُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِا لْوَاجِبَاتِ.

Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah sigap melakukan amalan sunnah, namun malas menunaikan amalan wajib.

Pada kenyataan yg banyak terjadi di masyarakat, yaitu semangat mengerjakan perkara² sunnah, tapi malas bahkan meninggalkan perkara yg diwajibkan, sperti contoh: ringan dan senang bersedekah, tapi berat bahkan tidak mau mengeluarkan zakat, padahal sedekah itu sunnah, sedangkan zakat itu hukumnya wajib. dan masih banyak contoh lainnya.

Syaikh Muhammad bin Abil-Ward berkata: “Kebinasaan manusia itu terjadi karena dua hal: Mengerjakan yg sunnah dan mengabaikan yg wajib (fardhu). Dan amal perbuatannya hanya mementingkan bagian lahir/luarnya, dan mengabaikan bagian batin/hatinya (yakni niat dan keikhlasannya amal).”

al-Khawwas berkata: “Terputusnya makhluk dari Allah itu karena dua hal: mengejar amal² sunnah dan meninggalkan yg wajib. Dan memperbaiki lahirnya amal, tetapi tidak memperlihatkan keikhlasan amal, sedangkan Allah tidak menerima amal kecuali jika ikhlas dan benar menurut tuntunan syari’at.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara tanda kau mengikuti hawa nafsu adalah ketika kau lebih semangat melakukan ibadah sunnah, tetapi malas melaksanakan ibadah wajib. Demikianlah, kebathilan memang selalu terasa ringan dilakukan, sedangkan kebenaran akan terasa berat. Wajar saja bila sebagian besar manusia menganggap ibadah wajib sebagai hal yg biasa² saja. Toh, setiap orang pasti sama² melakukannya. Jadi, melakukan ibadah wajib bukan hal yg istimewa. Berbeda halnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah dapat membuat seseorang terlihat istimewa, terhormat, dan memiliki kedudukan tersendiri di hati manusia.

Orang yg beranggapan seperti di atas terlihat begitu semangat melaksanakan ibadah² sunnah, seperti puasa sunnah, shalat malam, dan pergi haji setiap tahun. Ia tidak menyadari dan berusaha melaksanakan ibadah² wajib yg kurang sempurna atau belum ia lakukan. Hal itu tak lain karena ia tidak suka melatih jiwa yg telah menipunya dan enggan berjuang melawan hawa nafsu yg telah menguasai dan mengungkungnya. Wallaahu a’lam

206. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (1)

Hikmah 206 dlm Al-Hikam:

“Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya”

قَيَّدَ الطَّا عَا تِ بِأَ عْيَا نِ الْأَوْقَا تِ، كَيْ لَا يَمْنَعَكَ عَنْهَا وُجُوْدُ التَّسْوِ يْفِ وَوَ سَّعَ عَلَيْكَ الْوَقْتَ، كَيْ تَبْقَى لَكَ حِصَّةُ الْإِخْتِيَارِ.

Allah membatasi ketaatan dengan ketentuan waktu agar sikap suka menangguhkan tidak merintangimu untuk mengerjakannya. Namun, Allah memperluas waktunya agar tetap ada peluang bagimu untuk memilih waktu yg lebih tepat, dan lebih baik.

Sudah menjadi kebiasaan manusia senang menunda-nunda pekerjaan dan amal ibadah, sehingga Allah Ta’ala menetapkan waktu amal taat, seperti shalat lima waktu. Karena apabila waktunya tidak ditentukan pastilah manusia menunda-nunda yg akhirnya tidak sampai berbuat. Dan sebab belas kasih Allah Ta’ala, manusia diberi keluasan waktu, sehingga banyak kesempatan untuk bisa berbuat taat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala membatasi ketaatan yg wajib atasmu dengan waktu² tertentu, shalat lima waktu misalnya. Allah tidak membebaskan waktu²nya agar sikap “suka menangguhkan” tidak menghalangimu untuk mengerjakannya. Jika Allah Ta’ala membebaskan waktunya dan tidak menentukannya, sikap “suka menunda” itu akan mendorongmu untuk meninggalkannya. Kau akan malas dan berkata, “Kalau aku sudah selesai dari keperluanku, aku akan shalat karena waktunya amat luas.” Bahkan mungkin, sehari semalam terlewatkan begitu saja tanpa kau melakukan shalat itu.

Lain halnya jika waktunya dibatasi, hal itu akan mendorongmu untuk segera mengerjakannya dan selalu membuatmu waspada sehingga tidak melewatkannya.

Namun demikian, Allah Ta’ala tetap memperluas waktunya agar kau mempunyai peluang untuk memilih. Kau bisa memilih mengerjakannya di awal waktu, di pertengahan, atau di akhirnya dan kau tidak lagi menjadi orang yg menyia-nyiakan waktu shalat meski melaksanakannya di akhir waktu. Selain itu, kau bisa melaksanakan shalat secara sempurna, yaitu saat hatimu sejalan dengan anggota tubuh lainnya. Jika waktu shalat itu luas, kau bisa meninggalkan kesibukan dan halanganmu sehingga ketika itu kau bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk khusyuk dalam beribadah dan menjaga adab di hadapan Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

207. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (2)

Hikmah 207 dlm Al-Hikam:

عَلَمِ قِلَّةَ نُهُوْ ضِ الْعِبَا دِ إِلَى مُعَا مَلَتِهِ، فَأَ وْجَبَ عَلَيْهِمْ وُجُوْ دُ طَا عَتِهِ، فَسَا قَهُمْ إِلَيْهَا بِسَلَا سِلِ الْإِيْجَابِ، عَجِبَ رَبُّكَ مِنْ قَوْ مٍ يُسَا قُوْ نَ إِلَى الْجَنَّةِ بِا لسَّلَا سِلِ.

Allah mengetahui kurangnya semangat hamba dalam beribadah.Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat kaum yg digiring ke surga dengan rantai tersebut.

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu memerintahkan kepada hamba-Nya untuk beribadah dan taat, dengan cara memaksa yakni dengan kewajiban. Dan Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan neraka apabila tidak melakukan taat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala mengetahui kurangnya semangat para hamba untuk beribadah, bermu’amalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan melaksanakan hak² rububiyah-Nya dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala mewajibkan mereka untuk melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka jika tidak melaksanakannya. Allah menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.

Kewajiban di umpamakan dengan rantai yg dilingkarkan di leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban itu, Allah Ta’ala memaksa para hamba untuk melaksanakan ketaatan yg akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat. Allah Ta’ala melakukan hal ini terhadap hamba²Nya, sebagaimana seorang bapak melakukannya terhadap anaknya. Tidakkah kau lihat bagaimana seorang bapak mendidik dan memaksa anaknya untuk mengikuti sifat² dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang anak. Meski terpaksa, anak itu pun akan melakukannya. Hal itu tak lain agar sang anak mendapatkan manfaat di masa depan yg tidak diketahuinya di masa sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.

Tuhan kagum kepada satu kaum yg digiring ke surga dengan rantai kewajiban, sebagaimana yg dilakukan kaum muslim terhadap para tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk Islam. Kaum itu digiring ke surga dengan rantai di leher mereka. Ini adalah makna hadits Rasulullah Saw. tentang tawanan Perang Badar yg lafalnya, “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”

Kagum bermakna menganggap besar perkara yg kecil. Kagum adalah sifat yg mustahil bagi Allah Ta’ala. Tentang lafal ini, ada dua pendapat. Salah satunya berpendapat bahwa Allah Ta’ala memiliki kekaguman yg tidak kita ketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal “kagum” yg kita kenal.

Mazhab ulama khalaf menakwilkan hal itu dengan berkata, “Makna ‘kagum’ atau ‘takjub’ yg di nisbatkan kepada Allah Ta’ala adalah, Allah Ta’ala menampakkan keajaiban sebuah perkara kepada makhluk-Nya karena Allah Maha Mencipta segala sesuatu.” Allah Ta’ala kagum kepada satu kaum yg diseret ke surga tak lain karena saat semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah menolak untuk masuk kesana sampai harus diseret, seakan mereka diseret ke dalam sesuatu yg tidak mereka sukai.

Ada pendapat yg mengatakan bahwa yg dimaksud “kagum” disini adalah konsekuensi kagum, yaitu berbuat baik kepada yg dikagumi. Misalnya, jika kau katakan, “Betapa Zaid seorang yg alim,” konsekuensinya kau tentu ingin berbuat baik kepada Zaid dan menghormatinya.

Jadi, maknanya, Allah Ta’ala ingin berbuat baik kepada kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa. Ini berlaku bagi orang² awam. Orang awam harus diseret dengan rantai kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.

Bagi orang² khusus, mereka tidak membutuhkan paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah Ta’ala telah melapangkan dada mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari itu, mereka tidak membutuhkan sedikit pun paksaan karena mereka terbebas total dari kebendaan dan kemakhlukan yg menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh sukarela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklif (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yg memberi beban hukum. Sebagaimana para raja yg memerintah menteri²nya agar melayaninya, tak lain untuk menambah kedekatan dan penghormatan mereka kepada rajanya. Wallaahu a’lam

208. Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya (3)

Hikmah 208 dlm Al-Hikam:

أَوْ جَبَ عَلَيْكَ وُجُوْدَ خِدْ مَتِهِ، وَمَا أَوْ جَبَ عَلَيْكَ إِلَّا دُخُوْ لَ جَنَّتِهِ.

Ketika Dia mewajibkanmu untuk berkhidmah kepada-Nya, sebenarnya Dia mewajibkanmu masuk ke dalam surga-Nya.

Pada kenyataan lahirnya hamba diwajibkan untuk taat beribadah kepada Allah Ta’ala, padahal sebenarnya ibadah yg diwajibkan atas hamba itu sedikitpun tidak bermanfaat untuk-Nya, sebagaimana maksiat yg sama sekali tidak berpengaruh/mendatangkan mudharat kepada Allah Ta’ala. Adapun sesungguhnya taat ibadah yg diwajibkan atas hamba itu untuk kepentingan dan kebaikan hamba itu sendiri, yakni supaya hamba masuk surga.

Sebagaimana diterangkan pada hikmah sebelumnya: Allah Ta’ala kagum dengan kaum yg harus ditarik dengan rantai (kewajiban), supaya mereka mau masuk surga (yg seharusnya orang itu berebut untuk masuk surga, karena surga itu perkara yg agung, sangat indah dan penuh dengan kenikmatan dan kesenangan, tapi anehnya mereka tidak mau masuk surga, bahkan harus ditarik dengan rantai).

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Hendaknya engkau mempunyai satu wirid (amalan) yg tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dan cinta kepada Allah Ta’ala.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala mewajibkanmu untuk berkhidmat kepada-Nya secara lahir. Sebenarnya, Dia tidak mewajibkanmu, kecuali untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk. Ketaatan mereka kepada-Nya tidak berguna bagi-Nya dan maksiat mereka tidak pula merugikan-Nya.

Allah Ta’ala mewajibkan amal atas hamba, karena manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri yaitu agar mereka masuk surga bukan agar mereka mendapatkan kemuliaan dengan amal itu.

Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Allah Ta’ala mewajibkan para hamba untuk taat kepada-Nya karena kurangnya semangat mereka untuk beribadah. Untuk itu, Allah Ta’ala harus menyeret mereka dengan rantai kewajiban. Allah Ta’ala melakukan ini tak lain untuk manfaat yg akan kembali kepada mereka sendiri, yaitu masuk surga-Nya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw.: “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”

Hadits ini dipahami bahwa mereka yg dipaksa dan diwajibkan untuk taat tak lain agar mereka masuk surga. Allah Ta’ala tidak mewajibkan mereka, kecuali agar mereka memasuki surga. Wallaahu a’lam

209. Tidak Layak Bagi Seorang Hamba untuk Merasa Aneh Ketika Allah Menyelamatkannya dari Jerat Syahwatnya

Hikmah 209 dlm Al-Hikam:

“Tidak Layak Bagi Seorang Hamba untuk Merasa Aneh Ketika Allah Menyelamatkannya dari Jerat Syahwatnya”

مَنِ اسْتَغْرَبَ أَنْ يُنْقِذَ هُ اللهُ مِنْ شَهْوَتِهِ , وَأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ وُجُوْدِ غَفْلَتِهِ , فَقَدِ اسْتَعْجَزَ الْقُدْرَةَ الْإِلَهِيَّةَ. “وَكاَنَ اللهُ علٰى كُلِّ شىءٍ مُقْتَدِرًا”

Siapa yg merasa tidak mungkin diselamatkan Allah dari syahwatnya dan dikeluarkan-Nya dari kelalaiannya, berarti menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal, “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi [18]: 45)

Kita harus yakin terhadap Qudrat (kekuasaan) Allah Ta’ala secara mutlak tanpa kecuali, termasuk menyelamatkan hamba dari nafsu syahwat, dan menghindarkan dari kelalaian. Dan qudrat Allah Ta’ala itu bersamaan dengan Iradah-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yg terjadi tanpa Iradah dan Qudrat-Nya, apabila Allah Ta’ala berkehendak, maka berjalanlah qudrat-Nya dengan perintah-Nya. Sesungguhnya perintah Allah Ta’ala jika menghendaki sesuatu, hanya berkata “Kun” maka terjadilah apa yg dikehendaki-Nya, pada saat yg ditentukan-Nya, dan menurut apa yg dikehendaki-Nya.

Maka dari itu jangan ada orang yg putus harapan dari rahmat Allah Ta’ala, walau bagaimanapun keadaannya. Tetapi juga jangan sampai mempermainkan dan meremehkan kekuasaan Allah Ta’ala itu. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, hai hamba-Ku yg telah keterlaluan menjerumuskan diri (berbuat dosa), jangan kamu putus harapan dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah sanggup mengampunkan semua dosa, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang yg merasa bahwa Allah Ta’ala mustahil akan menyelamatkannya dari syahwat dan kelalaian yg telah menguasainya berarti ia menganggap lemah kuasa Ilahi, padahal Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala mampu melakukan segala sesuatu, termasuk menyelamatkan manusia dari keburukan syahwat dan kelalaian. Oleh karena itu, seorang hamba harus menuju pintu Tuhannya dengan penuh kerendahan dan kehinaan. Semoga saja Dia akan memudahkan yg dirasa sulit baginya dan menampakkan yg dianggapnya mustahil.

Makna ini didukung oleh berbagai kisah yg di riwayatkan dari beberapa orang shaleh yg awalnya berkubang dalam kelalaian dan kesalahan. Allah Ta’ala mendekati mereka dengan kelembutan-Nya, memperbaiki amal mereka, dan menjernihkan ahwal mereka, seperti yg dialami Fudhail ibn Iyyadh, Abdullah ibn Mubarak, dan Abi ‘Iqqal ibn ‘Ulwan. Wallaahu a’lam

210. Ingatlah Anugerah Nikmat Itu Dari Allah Ta’ala

Hikmah 210 dlm Al-Hikam:

“Ingatlah Anugerah Nikmat Itu Dari Allah Ta’ala”

رُبَّمَا وَرَدَتِ الظُّلَمُ عَلَيْكَ لِيُعَرِّ فَكَ قَدْ رَمَا مَنَّ اللهُ بِهِ عَلَيْكَ.

Terkadang kegelapan (macam²nya syahwat, maksiyat dan dosa) itu terjadi padamu, untuk mengingatkan kamu atas kebesaran anugerah nikmat yg diberikan Allah kepadamu.

Sebelum mendapat taufiq hidayah, seorang hamba dalam berbagai kegelapan, sehingga berbuat segala macam perbuatan kejahatan, tetapi setelah mendapat taufiq hidayah, ia hidup dalam alam cahaya, sehingga dengan demikian ia dapat merasakan bagaimana nikmat/rahmat-Nya iman hidayah, padahal ia telah lama berkecimpung dalam lumpur/jurang kegelapan syahwat dosa dan kejahatan itu.

Sebab adakalanya nilai sesuatu itu tidak dapat dirasakan kecuali bila telah merasai lawan-Nya, dalam peribahasa: ‘Kesehatan itu bagaikan mahkota di atas kepala tiap orang yg sehat, tidak ada yg melihatnya kecuali orang² yg sakit.’

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bisa jadi, kegelapan atau dosa dan maksiat serta kelalaian datang kepadamu untuk mengenalkan anugerah Allah Ta’ala kepadamu atau mengingatkanmu tentang pemberian Allah Ta’ala kepadamu berupa cahaya dan kedekatan-Nya. Dengan demikian, kau akan memuji-Nya atas karunia dan nikmat itu dan kau kembali ke kondisimu sediakala. Kau mengetahui bahwa itu adalah nikmat yg besar sehingga puji dan syukurmu pun akan semakin besar.

Terkadang, petaka bisa menjadi nikmat. Bisa jadi, penyebab turunnya petaka itu adalah rasa banggamu akan ketaatanmu sehingga Allah Ta’ala mengingatkan agar kau mengetahui siapa dirimu dan tidak melampaui batas kadarmu. Petaka itu juga mengingatkanmu agar kau tak sombong dan tidak berbangga diri di hadapan semua manusia. Inilah yg dimaksud dengan petaka bisa menjadi nikmat.

Terkadang, petaka datang sebagai siksa dan ujian bagimu. Tandanya adalah bahwa setiap kali kau keluar dari satu maksiat, kau akan terjerumus ke dalam maksiat lainnya. Demikian seterusnya dan kau tidak dibimbing Allah Ta’ala untuk bertobat dan menyadari kekurangan diri sendiri. Wallaahu a’lam

211. Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu (1)

Hikmah 211 dlm Al-Hikam:

“Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu “

مَنْ لَمْ يَعْرِفْ قَدْ رَ النِّعَمِ بِوُ جْدَانِهَاعَرَ فَهَا بِوُجُوْ دِ فُقْدَا نِهَا.

Orang yg tidak mengetahui nilai nikmat tatkala mendatanginya akan sadar tatkala sudah lepas dari dirinya.

Kebanyakan manusia itu tidak tahu agung dan besarnya nikmat² yg dirasakan, kecuali ketika kehilangan nikmat tersebut. Sehingga banyak yg bilang: orang yg tahu besarnya harga air, yaitu hanya orang yg dicoba kehausan di hutan. Kalau dia berada di tepi sungai yg mengalir, dia tidak akan tahu besarnya harga air.

Begitu juga dengan nikmat Rahmat, Hidayah, diberi kekuatan bisa beribadah dan taat, yg itu sebagai nikmat yg sangat besar, yg terkadang kita lupa kalau semua itu pemberian dari Allah Ta’ala yg sangat besar dan agung. Sehingga terkadang kita akui kalau itu semua milik kita, kemampuan kita, hasil usaha kita dan lain². Sehingga terkadang Allah Ta’ala memberi cobaan kepada kita berbuat dosa/maksiat (kegelapan), supaya kita sadar dan ingat bahwa semua nikmat itu atas pemberian Allah Ta’ala yg wajib kita syukuri.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jika seseorang melihat orang yg lebih dari padanya kekayaan dan kesehatannya, maka hendaklah ia juga melihat kepada orang yg lebih menderita dari padanya.”

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw. bersabda: “Lihatlah orang² yg dibawahmu, dan jangan melihat orang yg di atasmu, karena yg demikian itu akan menyebabkan meremehkan nikmat yg diberikan Allah kepadamu.”

Syaikh Sariy as-Saqathi ra. berkata: “Siapa yg tidak menghargai nikmat, maka akan dicabut nikmat itu dalam keadaan ia tidak mengetahui.”

Syaikh Fudhail bin Iyadh ra. berkata: “Tetaplah mensyukuri nikmat, sebab jarang sekali nikmat yg telah hilang akan datang kembali. Sesungguhnya orang yg sangat mengetahui nikmatnya air itu, hanya orang yg benar² haus.”

Orang yg beruntung yaitu: orang yg pengertian dengan pengalaman (dengan kejadian) yg terjadi pada dirinya atau orang lain. Dan siapa yg tidak mensyukuri nikmat berarti membiarkannya hilang, dan siapa yg mensyukuri nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan tali ikatannya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Turunnya kegelapan adalah sebagai pertanda dan pengenal besarnya kenikmatan karena segala sesuatu akan semakin jelas dengan adanya kebalikannya.”

Saat ada lawan atau tandingannya akan tampaklah keutamaan sebuah benda. Nikmat pandangan akan diketahui manakala seseorang di uji dengan kebutaan. Kadar air dan nilainya akan diketahui seseorang manakala ia diuji dengan rasa haus yg berat di tengah padang pasir tandus. Nilai air tidak akan diketahui oleh orang yg ada di pinggir danau atau sungai yg mengalir. Nikmat itu baru terasa oleh seseorang tatkala nikmat itu sudah hilang darinya. Wallaahu a’lam

212. Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Berlalu (2)

Hikmah 212 dlm Al-Hikam:

لَا تُدْ هِشْكَ وَارِدَاتُ النِّعَمَ عَنِ الْقِيَا مِ بِحُقُوْ قِ شُكْرِ كَ، فَإِنَّ ذَ لِكَ مِمَّا يَحُطُّ مِنْ وُجُوْدِ قَدْ رِكَ .

Jangan sampai nikmat yg berlimpah membuatmu lalai dalam menunaikan kewajiban bersyukur karena hal itu dapat merendahkan derajatmu dihadapan Allah.

Kita diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mensyukuri semua nikmat pemberian-Nya menurut kadar kemampuan yg diberikan Allah Ta’ala kepada kita, bukan sebanyak nikmat yg diberikan Allah Ta’ala. Sebab itu tidak mungkin kita laksanakan, karena Allah Ta’ala memberi nikmat yg besar kepada kita sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala, sedangkan kita harus mensyukuri nikmat menurut kadar kemampuan kita dari Allah Ta’ala.

Nabi Dawud as. berkata: “Tuhanku, anak Adam ini telah Engkau beri pada tiap helai rambut ada nikmat diatas dan dibawahnya, maka bagaimana akan dapat menunaikan syukur kepada-Mu?”

Jawab Allah Ta’ala: “Hai Dawud, Aku memberi sebanyak-banyaknya, dan rela menerima yg sedikit, dan untuk mensyukuri nikmat itu bila engkau mengetahui bahwa nikmat yg ada padamu itu dari Aku (Allah).”

Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: “Tiadalah Allah memberi nikmat kepada hamba, kemudian hamba mengucap “Alhamdulillaah” , melainkan nilai pujian itu jauh lebih besar dari nikmat yg diberikan itu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan sampai limpahan nikmat membuatmu terpesona dan lalai dalam menunaikan kewajiban² syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Misalnya, dengan melihat kelemahan dirimu dalam menunaikan hak² itu sehingga kau lupa bersyukur. Sikap lalai itulah yg dapat merendahkan derajatmu. Allah Ta’ala telah mengangkat derajatmu dan membuat yg sedikit padamu menjadi banyak. Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa membawa amal yg baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am [6]: 160)

Jangan sampai banyaknya nikmat yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu membuat dirimu lupa bersyukur kepada-Nya. Jangan sampai pula kau berpandangan bahwa nikmat yg kau rasakan itu datang dengan sendirinya sehingga kau tidak mau bersyukur kepada yg memberinya. Kedua sikap ini adalah sikap yg bodoh dan tercela.

Di antara bentuk syukur dengan lisan adalah berdzikir mengingat Allah Ta’ala, atau membaca wirid setelah shalat lima waktu. Wallaahu a’lam

213. Cara Mengobati Hawa Nafsu

Hikmah 213 dlm Al-Hikam:

“Cara Mengobati Hawa Nafsu”

تَمَكُّنُ حَلاوَتِ الهَوٰى منَ القلْبِ هُوَالدَّاءُ العِضاَلُ.

Kelezatan hawa nafsu yg sudah bersarang di qalbu merupakan penyakit kronis.

Hati itu tempatnya Iman, Yaqin dan makrifat, ketiganya itu sebagai obat penyakit hati yg timbul dari hawa nafsu, apabila penyakit itu sudah menetap dan menguasai/memenuhi hati, maka tidak ada tempat untuk obat. Disitulah letak repot dan sulitnya mengobatinya, sehingga sulit disembuhkan.

واصل كل معصية وغفلة وشهوة وشرك هو الرضا عن النفس

“Asal usul/pokok dari pada kemaksiatan, ghaflah (lupa pada Allah), syahwat (kesenangan), dan kemusyrikan itu sebab ridho dengan hawa nafsu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kecenderungan syahwat dan sumber kecintaan terhadap dunia yg bersarang di qalbu merupakan penyakit yg kronis dan sulit diobati. Penyakit ini tak bisa dihilangkan dengan berbagai cara dan obat, termasuk dengan iman, makrifat, dan keyakinan karena sebuah penyakit, jika sudah bersarang di qalbu, tak ada lagi obat yg mampu menawarnya. Akibatnya ia menjadi kronis dan sulit disembuhkan. Tak lagi ada yg mampu mengobatinya, kecuali wirid atau karunia Ilahi. Wallaahu a’lam

214. Keutamaan Menghadiri Majelis Dzikir

Hikmah 214 dlm Al-Hikam:

“Keutamaan Menghadiri Majelis Dzikir”

لَا يُخْرِجُ الشَّهْوَة َمِنَ الْقَلْبِ إِلَّا خَوْ فٌ مُزْ عِجٌ أَوْ شَوْ قٌ مُقْلِقٌ.

Tiada yg bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yg menggetarkan atau rasa rindu yg menggelisahkan.

Keinginan hawa nafsu yg sudah memenuhi hati itu sangat luar biasa pengaruhnya, maka untuk mengobatinya sangatlah sulit, hanyalah dengan rasa takut yg besar (menggetarkan) yaitu dengan berfikir tentang ayat² Allah, tentang balasan dan ancaman Allah, siksa bagi orang yg maksiat, ingat akan datangnya mati, dimasukkan dalam kubur, ditanya oleh malaikat Munkar Nakir, datangnya hari kiamat dan neraka.

Dan rasa rindu yg sangat, yaitu dengan berfikir tentang ayat² Allah tentang kemuliaan dan kenikmatan yg diberikan kepada orang² yg ahli taat kepada Allah, dan para kekasih-Nya, berupa surga dan kenikmatan yg lebih lagi di dalamnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tiada yg bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yg mengganggu dan menguasai relung hati sebagai buah dari penyaksian terhadap sifat² Tuhan Yang Maha Mulia. Caranya adalah dengan melihat tanda² kebesaran-Nya, mencermati ayat²Nya yg berisi ancaman, dan mengingat maut, alam kubur, pertanyaan para malaikat, dan hari kiamat.

Bisa juga yg mengusir syahwat dari hati adalah rasa rindu yg menggelisahkan yg masuk ke dalam hati dan berpangkal dari penyaksian sifat² keindahan-Nya. Sumber rasa rindu itu ialah kebiasaan melihat dan mengingat ayat²Nya yg mengandung janji Allah bagi ahli ketaatan dan para wali-Nya, berupa surga yg tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik sedikit pun di hati manusia, serta kebiasaan menghadiri majelis² dzikir. Dzikir merupakan terapi dan cara yg efektif untuk meraih semua itu. Hal itu dikarenakan, dzikir sedikit demi sedikit dapat menenangkan hati dan menumbuhkan rasa takut dan rindu. Wallaahu a’lam

215. Allah Tidak Menerima Amal Dari Orang Musyrik Dan Hati Yang Musyrik

Hikmah 215 dlm Al-Hikam:

“Allah Tidak Menerima Amal Dari Orang Musyrik Dan Hati Yang Musyrik”

كَمَا لَا يُحِبُّ الْعَمَلَ الْمُشْتَرَكَ، لَا يُحِبُّ الْقَلْبَ الْمُشْتَرَكَ، الْعَمَلُ الْمُشْتَرَكُ لَا يَقْبَلُهُ، وَالْقَلْبُ الْمُشْتَرَ كُ لَا يُقْبِلُ عَلَيْهِ.

Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yg tak sepenuhnya untuk-Nya, Dia juga tidak menyukai hati yg tidak sepenuhnya untuk-Nya. Amal yg tidak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia terima dan hati yg tak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia pedulikan.

Amal yg dipersekutukan yaitu: amal/ibadah yg kemasukan salah satu dari tiga hal:

Riya’ (amal yg karena makhluk),
Tashannu’ (membaik-baikkan amal di hadapan manusia),
‘Ujub (merasa besar dan baik amalnya sendiri).

Sedangkan hati yg bersekutu yaitu: hati yg masih cinta kepada selain Allah Ta’ala, dan masih mengharap dan takut atau masih bersandar kepada selain Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala hanya menerima amal yg ikhlas karena Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala hanya mau menghadapi orang yg dihatinya hanya ada Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Amal yg tidak sepenuhnya adalah amal yg disertai riya’ dan kepura-puraan. Hati yg tidak sepenuhnya adalah hati yg di dalamnya ada kecintaan dan ketergantungan kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidak menyukai amal dan hati seperti ini. Jika amal dan hati seperti itu, cinta, yg bermakna kecenderungan hati, mustahil diberikan untuk Allah Ta’ala.

“Allah tidak menyukai amal yg tak sepenuhnya untuk-Nya” bermakna bahwa Allah Ta’ala tidak akan menerima atau memberi pahala terhadap amal yg tidak sepenuhnya karena di dalamnya tidak ada keikhlasan. Ketidaksukaan Allah Ta’ala terhadap hati yg seperti itu bermakna bahwa Allah Ta’ala tidak meridhai pemiliknya dan tidak memberinya pahala karena di dalamnya tidak ada ketulusan.

Siapa yg memperbaiki amalnya dengan ikhlas dan menghiasi ahwal hatinya dengan ketulusan, ia akan dicintai Allah Ta’ala, diberi pahala, dan diridhai-Nya. Jika tidak, Allah Ta’ala pun tidak akan meridhai dan memberinya pahala. Wallaahu a’lam

216. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (1)

Hikmah 216 dlm Al-Hikam:

“Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati”

نْوَارٌ أُذِنَ لَهَا فِي الْوُصُوْ لِ، وَأَ نْوَارٌ أُذِنَ لَهَا فِي الدُّ خُوْلِ.

Ada cahaya yg hanya diperkenankan sampai ke lahiriah qalbu dan ada cahaya yg diperkenankan untuk masuk ke dalamnya.

Ada kalanya Nur itu hanya sampai di hati (luar hati), tidak masuk ke dalam hati, mereka bisa melihat Allah Ta’ala dan melihat dirinya, melihat dunia dan akhiratnya, masih cinta dunia dan cinta Akhiratnya, masih bersama dirinya dan bersama Allah Ta’ala. Apabila Nur itu sudah masuk ke dalam hatinya, dalam pandangannya hanya ada Allah Ta’ala, sehingga tidak ada yg dicinta, diharap, dan disembah melainkan Allah Ta’ala semata-mata.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Cahaya makrifat yg diperbolehkan masuk ke dalam hati terbagi ke dalam dua kategori. Ada cahaya yg diperkenankan sampai ke lahir qalbu saja dan ada cahaya yg diperkenankan masuk sampai ke lubuknya. Cahaya yg hanya sampai ke lahir qalbu mendorong qalbu untuk melihat Tuhannya, dunia, dan akhiratnya. Oleh sebab itu, terkadang ia bersama Tuhannya, terkadang mencintai akhiratnya, dan sesekali mencintai dunianya. Akan tetapi, cahaya yg masuk ke dalam lubuk hati akan membuat hati itu tertutup dari segala sesuatu, kecuali wujud Allah Ta’ala. Dengan cahaya itu, hati tidak akan mencintai selain-Nya dan tidak akan menyembah kecuali kepada-Nya.

Seorang ‘arif berkata, “Jika iman hanya ada di bagian luar qalbu, hamba akan mencintai dunia dan akhiratnya. Ia akan sesekali bersama Tuhannya dan sesekali bersama dirinya sendiri. Akan tetapi, jika iman masuk ke dalam batin qalbunya, hamba akan membenci dunianya dan meninggalkan hawa nafsunya.” Wallaahu a’lam

217. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (2)

Hikmah 217 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا وَرَدَتْ عَلَيْكَ الْأَنْوَارُ فَوَ جَدْ تَ الْقَلْبَ مَحْشُوًّا بِصُوْرِ الْآ ثَا رِ، فَا رْ تَحَلَتْ مِنْ حَيْثُ نَزَ لَتْ. فَرِّغْ قَلْبَكَ مِنَ الْأَغْيَا رِ يَمْلَأْ هُ بِا لْمَعَا رِ فِ وَ الْأَسْرَارِ.

Adakalanya cahaya mendatangimu, namun qalbumu dipenuhi gambaran makhluk sehingga cahaya² itu kembali ke tempat semula. Kosongkan qalbumu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Dia akan mengisinya dengan sejumlah makrifat dan rahasia/asror.

Sebagaimana keterangan hikmah sebelumnya yaitu, nur yg di izinkan hanya sampai ke hati, dan tidak bisa masuk ke dalam hati, dilanjutkan dengan keterangan hikmah ini bahwa nur Ilahi (makrifat) itu datang ke hati hamba, tapi berhubung dalam hati itu penuh dengan gambaran makhluk dan kotor sebab dosa dan maksiat, maka nur tersebut tidak bisa masuk ke hati karena sudah tidak ada tempat lagi. Keterangan hikmah ini sudah diterangkan pada hikmah terdahulu, yaitu: Bagaimana hati bisa terang, sedang gambar² dunia/makhluk masih melekat dalam cermin hati.

Maka supaya Nur Ilahi bisa di izinkan masuk dan menetap ke dalam hati dan ilmu makrifat dan asror bisa bercahaya dalam hati, haruslah mengkosongkan hati dari keduniaan dan segala sesuatu selain Allah Ta’ala (makhluk).

Bila cermin hati itu bersih dari kotoran dan gambar² dunia, maka Nur/cahaya Ilahi itu bisa ditangkap oleh cermin itu.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Adakalanya cahaya atau ilmu dan makrifat Ilahi datang kepadamu, tetapi karena qalbumu penuh dengan gambaran kemakhlukan dan kebendaan, berupa harta, jabatan, anak, dan sebagainya, akhirnya cahaya itu pun pergi lagi dari qalbu. Cahaya itu suci dan jernih. Ia tidak akan menempati qalbu yg kotor dengan kebendaan.

Kosongkan hatimu dari kemakhlukan atau dari sikap bergantung kepada selain Tuhanmu. Hapuslah bayang² kebendaan dari hatimu, misalnya dengan tidak menuju kepada selain Tuhanmu sehingga kau tidak lagi merindukan apa pun, kecuali Dia dan tidak bergantung kecuali kepada-Nya. Jika demikian, niscaya Allah Ta’ala akan mengisi hatimu dengan makrifat dan rahasia Ilahi.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hati tidak akan bersinar selama bayangan makhluk dan alam semesta masih terpampang di cerminnya. Oleh karena itu, kosongkan hatimu dari bayang² makhluk dan kebendaan agar ia tetap bersih sehingga cahaya yg berupa makrifat dan rahasia Ilahi akan hinggap dengan mudah di sana. Wallaahu a’lam

218. Cahaya Yang Masuk Ke Dalam Hati (3)

Hikmah 218 dlm Al-Hikam:

لَا تَسْتَبْطِئْ مِنْهُ النَّوَالَ وَلَكِنِ اسْتَبْطِئْ مِنْ نَفْسِكَ وُجُوْدِ الْإِقْبَالِ.

Jangan salahkan lambatnya kedatangan karunia Allah. Namun, salahkanlah dirimu yg lambat menghadap kepada-Nya.

Janganlah menganggap Allah Ta’ala memperlambat pemberian-Nya kepadamu, tidak segera mengabulkan doa dan hajat²mu, tapi rasakan lambatnya dirimu dalam menghadap kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi ra. berkata: “Mencari/berharap masuk surga tanpa amal (kebaikan), itu dosa dari beberapa dosa, mengharap syafa’at (pertolongan) tanpa melalui sebab, itu bagian dari ghurur (mengada-ada), dan mengharap rahmat tanpa ketaatan itu perbuatan bodoh dan sia².”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan salahkan lambatnya kedatangan karunia Allah berupa makrifat dan rahasia Ilahi kepadamu. Akan tetapi, salahkanlah dirimu yg lambat dalam mendatangi dan menghadap kepada-Nya dengan menghapus semua bayangan kebendaan dari cermin hatimu melalui perjuangan dan olah batin (riyadhah). Wallaahu a’lam

219. Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi (1)

Hikmah 219 dlm Al-Hikam:

“Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi”

حُقُوْقٌ فِي الْأَوْقَا تِ يُمْكِنُ قَضَا ؤُهَا، وَحُقُوْ قُ الْأَوْقَا تِ لَا يُمْكِنُ قَضَا ؤُهَا، إِذْ مَا مِنْ وَقْتٍ يَرِ دُ إِلَّا وَ لِهََِا عَلَيْكَ فِيْهِ حَقٌّ جَدِ يْدٌ وَأَمْرٌ أَ كِيْدٌ، فَكَيْفَ تَقْضِي فِيْهِ حَقَّ غَيْرِهِ وَأَنْتَ لَمْ تَقْضِ حَقَّ اللهِ فِيْهِ؟

Berbagai kewajiban yg dikerjakan pada sejumlah waktu dapat diganti. Namun, kewajiban terhadap sejumlah waktu (keadaan) tidak dapat diganti. Pasalnya, tidaklah satu waktu tiba, kecuali membawa kewajiban baru dan perintah penting dari Allah yg harus kau tunaikan. Bagaimana mungkin kau menunaikan hak yg lain, sedangkan di dalamnya hak Allah tidak kau tunaikan?

Hak² (kewajiban yg ada dalam waktu) yaitu: ibadah² seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya, bila tidak bisa dikerjakan pada waktunya, bisa di qodho’ pada waktu lainnya. Tetapi hak² waktu itu sendiri yakni apa yg disediakan diberikan Allah Ta’ala untuk hamba waktu itu, jika tidak dilaksanakan hak²nya tidaklah mungkin bisa di qodho’nya.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata: Waktu² yang diberikan kepada hamba itu ada empat:

  1. Nikmat,
  2. Bala’,
  3. Taat,
  4. Maksiat.

Dan Allah Ta’ala mewajibkan kepadamu pada tiap² waktu itu ada bagian ibadah yg harus kamu penuhi dengan hukum²nya Tuhan. Barang siapa di dalam waktu taat, maka hak/kewajiban yg harus dipenuhi yaitu memandang anugerah dari Allah Ta’ala, apabila dalam waktu mendapat kenikmatan, maka dengan bersyukur, yaitu: senangnya hati karena Allah Ta’ala, apabila dalam waktu maksiat, maka yg harus dipenuhi yaitu taubat dan minta ampun, apabila waktu mengalami bala’ ujian, maka harus bersabar dan ridha.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Siapa yg diberi lalu bersyukur, dan di uji lalu bersabar, dan di aniaya lalu memaafkan dan berdosa lalu minta ampun.” Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak. Sahabat bertanya: “Kemudian apakah ya Rasulullah untuknya?”

Rasulullah Saw. menjawab: “Mereka orang yg pasti mendapat kesejahteraan (di akhirat), dan merekalah orang yg mendapat petunjuk/hidayah (di dunia).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kewajiban² pada waktu² tertentu, berupa shalat, puasa, dan sebagainya, bisa diganti di lain waktu apabila waktu yg telah ditetapkan untuknya terlewatkan. Akan tetapi, kewajiban terhadap waktu ialah ahwal yang didapat seorang hamba dari Tuhannya. Waktu seorang hamba adalah ahwal (keadaan) yg dialaminya. Ada empat waktu yg biasa dialami seorang hamba, yaitu nikmat, ujian (petaka), ketaatan, dan maksiat. Semuanya disebut “waktu” karena ia datang pada waktu² tertentu; hak² waktu yg wajib kau tunaikan adalah sikap² batin yg dibutuhkan oleh ahwal tersebut.

Bila waktu itu berupa kenikmatan, haknya atau kewajiban yg harus kau tunaikan untuknya adalah, kau harus memuji Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu. Bila berupa ujian, kau harus bersabar dan ridha. Jika berupa ketaatan, kau harus tetap melihat karunia-Nya. Namun, bila berbentuk maksiat, kau harus beristighfar dan bertaubat.

Oleh sebab itu, orang² berkata, “Seorang yg miskin selalu menjadi anak waktunya.” Dengan kata lain, ia selalu berlaku sopan terhadap waktunya dan selalu menunaikan haknya, sebagaimana seorang anak yg berlaku sopan terhadap bapaknya.

Hak² waktu itu tidak bisa diganti jika terlewatkan karena tak ada waktu atau keadaan lain yg datang, kecuali di dalamnya Allah Ta’ala memiliki kewajiban dan perintah baru atasmu yg harus kau kerjakan. Oleh karena itu, tak ada hal lain bagimu, kecuali kau harus menunaikan hak² waktumu agar tak ada kewajiban yg kau lewatkan.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau menunaikan hak lain yg telah kau lewatkan, sedangkan kau belum menunaikan hak Allah di dalamnya.” Maksudnya adalah hak yg berhubungan dengan waktu itu. Sekiranya Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Sedangkan kau belum menunaikan hak waktu itu?” mungkin akan lebih tepat dan jelas lagi. Saat itu, kau wajib mengawasi hatimu agar ia menjaga hak² itu yg tak mungkin digantikan jika terlewatkan. Jangan kau sibukkan waktumu dengan syahwat² dirimu dan kekerasan jiwa kemanusiaanmu sehingga kau menyia-nyiakan hak² Allah Ta’ala yg wajib kau tunaikan dan tak ada gantinya jika terlewatkan. Wallaahu a’lam

220. Ada Dua Macam Hak: Yang Bisa Dipenuhi Dan Yang Tidak Bisa Dipenuhi (2)

Hikmah 220 dlm Al-Hikam:

مَا فَا تَ مِنْ عُمْرِ كَ لَا عِوَضَ لَهُ، وَ مَا حَصَلَ لَكَ مِنْهُ لَا قِيْمَةَ لَهُ.

Usiamu yg berlalu tidak dapat digantikan dan apa yg kau raih darinya tidak ternilai harganya.

Umur seorang mukmin itu sebagai pokok hartanya, dengan harta itu bisa beruntung bisa juga rugi, barang siapa bersungguh-sungguh maka dia akan beruntung, dan siapa yg menyia-nyiakan pasti akan merugi. Apabila waktu umurnya terlewatkan selain untuk taat kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada gantinya, dan apabila telah pergi maka tidak akan kembali selamanya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap waktu yg telah lewat dari (umur) hamba, yg tidak untuk berdzikir kepada Allah pada waktu itu, besok di hari kiamat pasti menyesal dan merugi.”

Sayyidina Ali kw. berkata kepada Sayyidah Fatimah ra.: “Ketika membuat makanan, buatlah yg halus dan lunak (tidak keras), karena makanan yg lunak dan yg keras itu lima puluh kali tasbih bandingannya.”

Maka dari itu para Ulama’ Salafusshaleh sangat memperhatikan dan menjaga nafasnya, dan cepat² mencari keuntungan pada setiap masa dan waktu. Mereka tidak menyia-nyiakan waktunya sedikitpun.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Usiamu yg berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Jika kau tidak melakukan amal shaleh di sepanjang usiamu, kau akan kehilangan kebahagiaan sebesar usiamu itu dan kau tidak akan mendapatkannya lagi.

Apa yg kau raih selama usiamu tak ternilai harganya dan tak bisa diukur dengan apa pun. Jika kau sibuk dengan hak² Allah Ta’ala selama usiamu, kau akan meraih kerajaan besar di akhirat, kemuliaan agung yg tidak akan fana. Oleh karena itu, para salafusshaleh amat memperhatikan setiap desah napas dan setiap detik waktu mereka dengan segera menggunakan kesempatan dan waktunya. Mereka senantiasa tidak puas dengan apa yg telah mereka lakukan untuk Tuhannya.

Dalam hadits disebutkan, “Waktu yg tidak dimanfaatkan seorang hamba untuk mengingat Allah akan menjadi waktu penyesalan baginya.”

Ada yg berkata, “Di hari kiamat, akan diperlihatkan kepada setiap hamba hari² yg telah dilaluinya dalam bentuk simpanan yg diletakkan berbaris-baris di dalam dua puluh lemari. Di setiap lemari, terdapat satu kenikmatan atas amal shaleh yg telah dilakukannya di dunia. Jika suatu ketika ia tidak melakukan amal shaleh, lemari itu terlihat kosong. la pun akan menyesalinya. Namun, saat itu penyesalan sudah tidak lagi berguna.” Wallaahu a’lam

221. Mencintai Sesuatu Berarti Menjadi Hambanya, dan Allah Tidak Suka Engkau Menjadi Hamba Selain-Nya

Hikmah 221 dlm Al-Hikam:

“Mencintai Sesuatu Berarti Menjadi Hambanya, dan Allah Tidak Suka Engkau Menjadi Hamba Selain-Nya”

مَا أَحْبَبْتَ شَيْأً إِلَّا كُنْتَ لَهُ عَبْدًا، وَهُوَ لَا يُحِبُّ أَنْ تَكُوْنَ لِغَيْرِهِ عَبْدًا.

Tidaklah kau mencintai sesuatu melainkan kau menjadi hamba baginya dan Allah tidak ingin kau menjadi hamba bagi selain-Nya.

Hati itu bila mencintai sesuatu pastilah selalu menghadap dan tunduk pada sesuatu tersebut, dan selalu taat pada semua perintahnya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Celakalah hamba dinar, dirham, baju, permadani dan istri, celaka dan rugi, dan umpama terkena duri semoga tidak keluar.”

Syaikh asy-Syibli qs. dan seorang muridnya yg diberi pakaian jubah seseorang, sedangkan Syaikh asy-Syibli sedang memakai kopiyah di kepalanya, sehingga terbersit dalam hati si murid senang dengan kopiyahnya, untuk dikumpulkan dengan jubahnya. Melalui kasyafnya, Syaikh asy-Syibli mengetahui keinginan hati si murid, lalu oleh Syaikh dilepaskannya jubah si murid lalu dikumpulkan dengan kopiyahnya, lalu dilemparkan keduanya ke api, Syaikh asy-Syibli lalu berkata: “Sekarang sudah tidak ada lagi dalam hatimu ketertarikan selain Allah.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bila kau mencintai dunia, kau akan menjadi budaknya karena kecintaanmu terhadap sesuatu membuatmu tunduk dan terikat kepadanya. Bahkan, kau juga tidak akan mau lepas dan mencari gantinya. Sebagaimana dikatakan, “Cintamu kepada sesuatu akan membutakan matamu dan membuatmu bisu.” Artinya, apa yg kau cintai akan memperbudakmu. Jika kau mencintai selain Allah Ta’ala, yg kau cintai itu, apa pun bentuknya, akan memperbudakmu.

Sementara itu, Allah Ta’ala tidak mau kau menjadi budak bagi selain-Nya. Allah Ta’ala tidak rela dengan hal itu. Dalam hadits disebutkan, “Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham ….”

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Sesungguhnya, kau tidak akan benar² menjadi hamba Allah yg sebenarnya selama kau masih mencari selain-Nya. Kau pun tidak akan sampai pada kebebasan yg sesungguhnya karena kau harus menunaikan hak² ‘ubudiyah (penghambaan) kepada-Nya. Wallaahu a’lam

222. Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah (1)

Hikmah 222 dlm Al-Hikam:

“Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah”

لاَ تَنْفَعُكَ طاَعَتُكَ ولاَ يَضُرُّهُ مَعْصِيَّتُكَ، وَاِنّمَا اَمَرَكَ بِهٰذِهِ وَنَهَاكَ عَنْ هٰذِهِ لماَ يَعُودُ عليْكَ.

Ketaatanmu tidak bermanfaat untuk-Nya dan maksiatmu tidak mendatangkan bahaya kepada-Nya. Allah memerintahkan ini dan melarang itu tidak lain hanyalah untuk kepentinganmu.

Allah Ta’ala itu Dzat yg Maha Kaya dari segala sesuatu, dan semua makhluk itu butuh kepada Allah Ta’ala. Hanya sebab rahmat dan belas kasih Allah Ta’ala, dan kepentingan dan kebaikan hamba itu sendiri sehingga Allah Ta’ala memerintahkan untuk taat dan melarang maksiat, perintah dan larangan itu sama sekali tidak berguna atau merugikan Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ketaatanmu tidak bermanfaat bagi Allah Ta’ala karena Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan alam semesta dan amal ibadah makhluk. Maksiatmu juga tidak mendatangkan bahaya apa² kepada Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala Maha Jauh dari perbuatan bahaya yg dilakukan makhluk-Nya.

Allah Ta’ala memerintahkanmu taat dan melarangmu bermaksiat, tak lain untuk maslahat dan manfaat dirimu sendiri di dunia dan akhirat. Namun, perlu diingat bahwa memberi manfaat bukan kewajiban yg harus ditunaikan-Nya, tetapi hanya sebuah bentuk karunia dari-Nya. Wallaahu a’lam

223. Taat Dan Maksiat Itu Tidak Berguna Bagi Allah (2)

Hikmah 223 dlm Al-Hikam:

لاَيَزِيدُ فِى عِزِّهِ اِقبَالُ مَنْ اَقْبَلَ عليهِ، ولاَ يَنْقُصُ من عِزِّهِ اِدْبارُ مَنْ اَدْبَرَ عَنْهُ.

Ketaatan seseorang tidak menambah kemuliaan-Nya dan pembangkangan seseorang tidak mengurangi kemuliaan-Nya.

Kemuliaan dan kejayaan Allah Ta’ala itu sifatnya azali dan langgeng, yakni: Allah Ta’ala Dzat yg mulia sebelum adanya makhluk, dan tetap mulia sesudah menjadikan makhluk, jadi kemuliaan Allah Ta’ala itu tidak dapat bertambah atau berkurang.

Dalam hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman:

لوأنّ اولكم واَخركم واِنسكم وجِنكم كانوا على أتقى قلب رجل واحد مازاد ذالك فى ملكى شيئاً، ولو أن اولكم واَخركم واِنسكم وجِنكم كانوا على أفجَرِ قلب رجلٍ واحدٍ مانقص ذالك من ملكى شيئاً

“Hai hamba-Ku, andaikan orang yg pertama hingga yg terakhir dari kamu, dari bangsa manusia dan bangsa jin, semua berbuat taqwa sebaik-baik hati seorang di antara kamu, maka yg demikian itu tidak menambah kekayaan-Ku sedikitpun, dan sebaliknya jika semua itu berbuat sejahat-jahat perbuatan seorang di antara kamu, maka yg demikian itu tidak mengurangi kekuasaan kerajaan-Ku sedikitpun.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ketaatan seseorang tidak menambah kemuliaan-Nya karena kemuliaan Allah Ta’ala sudah menjadi salah satu sifat-Nya yg mencakup ketuhanan, kesombongan, dan kebesaran-Nya. Sifat² Allah Ta’ala itu amat sempurna dan terbebas dari penambahan atau pengurangan. Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa tidak ada manfaat dan bahaya untuk Allah dari hamba²Nya. Wallaahu a’lam

224. Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya (1)

Hikmah 224 dlm Al-Hikam:

“Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya”

وُصُوْ لُكَ إِلَى اللهِ وُصُوْلُكَ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ، وَ إِلَّا فَجَلَّ رَ بُّنَا أَنْ يَتَّصِلَ بِهِ شَيْءٌ، أَوْ يَتَّصِلَ هُوَ بِشّيْءٍ.

Sampaimu kepada Allah (wushul) adalah sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya karena mustahil Allah disentuh atau menyentuh sesuatu.

Sampai kepada ilmu yaqin/makrifat berarti: dengan mengetahui/meyakini bahwa Allah Ta’ala itu satu dalam Dzat, Sifat dan Af’al-Nya, Sempurna dalam kesempurnaan-Nya, dan meyakini kalau Allah Ta’ala itu lebih dekat kepadamu daripada dirimu.

Maksud dari muhal kalau sesuatu itu bertemu (bersambung) dengan Allah Ta’ala yaitu: seperti bertemu/bersambungnya sebagian bentuk/benda dengan bentuk lainnya, atau Allah Ta’ala itu bertemu (bersambung) dengan sesuatu: tidak ada dekat kepada Allah, dan sampai (wushul) kepada-Nya, seperti dekat, bertemu/sampainya bentuk/jisim.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Sampaimu kepada Allah Ta’ala, seperti yg di isyaratkan ahli tarekat, adalah sampaimu kepada penyaksian-Nya dengan mata batinmu. Inilah yg disebut dengan penyaksian langsung atau ‘ilmul yaqin (ilmu yakin) terhadap tajalli (penampakan) Allah Ta’ala dan limpahan kasih sayang-Nya.

Penyaksian ini juga disebut sebagai perkenalan langsung dengan mata dan perasaan fitrah. Para ahli syuhud berbeda-beda dalam mendapatkannya. Ada yg mendapatkan tajalli perbuatan Allah Ta’ala. Di sini, perbuatan mereka dan perbuatan selain mereka sirna melebur dalam perbuatan Allah Ta’ala. Mereka tidak melihat sosok pelaku sebuah perbuatan, kecuali Allah Ta’ala. Pada kondisi ini, mereka akan keluar dari ikhtiar dan usaha. Ini adalah tingkatan pertama sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala (wushul).

Ada pula yg mendapatkan tajalli sifat² Allah. Di sini mereka akan berdiri penuh pengagungan dan kerinduan terhadap apa yg dilihat mata hati mereka, berupa keagungan dan keindahan Allah Ta’ala, Ini adalah tingkatan kedua sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala.

Di antara mereka ada yg sampai kepada maqam kefana’an. Batinnya berisi cahaya keyakinan dan musyahadah. Ketika syuhud ia tidak lagi merasakan wujud dirinya. Ini adalah tajalli dzat yg berlaku pada kaum khusus dan orang² muqarrabin. Ini adalah tingkatan ketiga dalam wushul (sampainya seseorang kepada Allah Ta’ala).

Di atasnya lagi adalah tingkatan haqqul yaqin. Di dunia, tingkatan ini terjadi dalam bentuk lamh (pandangan sekilas), yaitu mengalirnya cahaya musyahadah di sekujur tubuh seorang hamba sampai ruhnya pun turut mendapatkannya, demikian pula hati dan jiwanya. Ini adalah tingkatan tertinggi wushul.

Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Jika segala hakikat telah diraih, seorang hamba dengan ahwal yg mulia ini akan mengetahui bahwa dirinya masih berada di tingkatan pertama. Lantas bagaimana dengan wushul haqiqi ( wushul secara fisik)? Mustahil, karena jalan wushul tidak akan pernah terputus selamanya, sepanjang usia akhirat yg abadi. Lantas, bagaimana mungkin wushul haqiqi itu terjadi di umur dunia yg pendek ini?”

Yg dimaksud dengan wushul adalah sampainya kita kepada pengetahuan tentang Allah dengan media perasaan dan fitrah. Jika pengertiannya tidak demikian, berarti wushul kita tidak benar karena Allah Ta’ala tidak mungkin menyentuh atau disentuh sesuatu secara lahir maupun batin. Bagaimana mungkin Dzat yg tidak ada bandingannya akan bersentuhan dengan sesuatu yg memiliki bandingan. Padahal, syarat terjadinya persentuhan adalah adanya kesamaan sifat di antara keduanya. Sementara itu, secara mutlak, tak ada kesamaan antara Yang Maha Sempurna dengan sesuatu yg amat kurang sempurna. Wallaahu a’lam

225. Sampai Kepada-Nya Artinya Mengetahui-Nya (2)

Hikmah 225 dlm Al-Hikam:

قُرْ بُكَ مِنْهُ أَنْ تَكُوْنَ مُشَا هِدًا لِقُرْ بِهِ، وَإِلَّا فَمِنْ أَيْنَ أَنْتَ وَوُجُوْ دُ قُرْ بِهِ؟

Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketika kau menyaksikan-Nya mendekatimu, karena mana mungkin kau bisa mendekati-Nya?

Hakikat dekatmu kepada Allah Ta’ala itu jika engkau selalu sadar melihat dekatnya Allah Ta’ala kepadamu. Dan Allah Ta’ala itu tidak ada tubuh dan benda, akan tetapi Allah Ta’ala itu Tuhan yg suci dari sifat² yg berubah, Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat yg luhur dan sempurna. Dan bagaimana kau bisa dekat dengan Allah Ta’ala seperti dekatnya jisim/tubuh?

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketika kau menyaksikan-Nya mendekatimu secara maknawi sehingga kau merasa amat diawasi-Nya. Buahnya, kau akan terdorong untuk senantiasa bersikap sopan saat ada di hadirat-Nya. Jadi, yg penting di sini adalah bagaimana kau menyaksikan kedekatan-Nya. Dengan penyaksian ini, kau merasa diawasi dan dikuasai oleh rasa takut yg akan mendorongmu untuk bersikap sopan saat bertamu kepada-Nya. Inilah pengertian kedekatan seorang hamba dengan Tuhan; tidak mungkin makhluk bisa mendekati-Nya secara nyata. Wallaahu a’lam

226. Hakikat Hati Orang ‘Arif Masih Bersifat Global, Detailnya Akan Diketahui Kemudian

Hikmah 226 dlm Al-Hikam:

“Hakikat Hati Orang ‘Arif Masih Bersifat Global, Detailnya Akan Diketahui Kemudian

اَلْحَقَا ئِقُ تَرِ دُ فِي حَا لِ التَّجَلِّي مُجْمَلَةً، وَبَعْدَ الْوَعْيِ يَكُوْ نُ الْبَيَانُ. (فَإِذَا قَرَأْ نَا هُ فَا تَّبِعْ قَرَآ نَهُ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَا نَهُ)

Di saat tajalli (penampakan Tuhan), hakikat² datang secara global. Setelah selesai, barulah terdapat penjelasan. “Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kami yg akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 18-19)

Yg dimaksud hakikat dalam hikmah ini yaitu ilmu ladunni yg Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya yg makrifat billah, yg datangnya ilmu itu langsung dari Allah Ta’ala, tanpa lewat proses belajar seperti umumnya ilmu.

Maksud tajalli yaitu: Allah Ta’ala memperlihatkan Diri-Nya secara jelas dalam hati hamba-Nya (manifestasi Ketuhanan). Dan ketika hakikat (ilmu ladunni) itu sudah menetap dalam hati hamba barulah jelas keterangan (penjelasan dan perincian)nya, dan semua cocok dengan ilmu syari’at, baik dengan dalil Aqliyyah maupun dalil Naqliyyah.

Syaikh Abu Bakar al-Warraq qs. berkata: “Ketika saya sedang berada di hutan bani Isra’il, tiba² tergeraklah dalam hatiku bahwa ilmu hakikat itu berlawanan dengan ilmu syari’at, mendadak terlihat olehku seorang yg berada dibawah pohon dengan menjerit dan memanggil: ‘Hai Abu Bakar, tiap² hakikat yg bertentangan dengan syari’at itu kekufuran.'”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Berbagai hakikat atau ilmu ladunni yg dimasukkan Allah Ta’ala ke dalam batin orang² ‘arif saat mereka terbebas dari perbudakan makhluk dan mata batin mereka mendapatkan hembusan kebenaran akan datang saat Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya dalam hati mereka. Tajalli Tuhan secara global maksudnya adalah, belum ada penjelasan tentang makna dan arah tajalli tersebut karena kebesaran tajalli -Nya dalam hati mereka. Setelah mereka sadar dan setelah tajalli Allah Ta’ala itu usai, barulah datang penjelasan sehingga akal mereka mengetahui makna tajalli itu dengan mengkaji dan memperhatikannya. Dengan demikian, tampaklah bagi mereka bahwa tajalli Allah Ta’ala itu benar² sesuai dengan ilmu² aqli dan naqli yg mereka miliki.

Bahkan mungkin, sebagian dari mereka ada yg banyak membicarakannya tanpa peduli. Jika ia selesai mengingat dan mengamatinya, barulah ia mendapatinya benar. Seperti yg terjadi pada Al-Hallaj, ia pernah mengucap, “Di jubah ini hanya ada Allah.” Ia mengatakan kalimat ini karena kebesaran tajalli Allah Ta’ala pada dirinya.

Jika tajalli itu hilang darinya dan ia telah sadar kembali, ia akan mendapati bahwa maknanya benar. Makna tajalli yg benar itu ialah, tak ada yg berdiri tegak pada segala sesuatu, kecuali Allah Ta’ala. Inilah yg sesuai syari’at.

Contoh tentang hal ini adalah ucapan seseorang, “Aku adalah Lauh” atau “Aku adalah Qalam.” Kalimat itu terucap karena keagungan tajalli Allah Ta’ala terjadi pada dirinya dan ia tak sadarkan diri. Ia merasa bahwa dirinya adalah inti dari kedua benda itu (lauh dan qalam). Jika tajalli itu usai dan ia kembali sadar, ia akan mendapati maknanya benar, yaitu bahwa yg ber- tajalli pada dirinya adalah Allah Ta’ala dan rahasia-Nya terjadi pada lauh dan qalam.

Menanggapi hal ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkan masalah yg cukup populer di kalangan mereka, yaitu tentang kesesuaian hakikat dengan syari’at. Mereka berkata, “Hakikat tanpa syari’at bathil dan syari’at tanpa hakikat akan terhenti.” Kemudian, ia mendasari hal itu dengan firman-Nya:

فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ

“Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kamilah yg akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 18-19)

Maksudnya, Kami membacakannya melalui lisan Jibril, maka dengarkanlah bacaannya, lalu ikuti bacaan itu. Selanjutnya, Kami yg berkewajiban menjelaskan makna²nya kepadamu.

Di sini, Syaikh Ibnu Atha’illah menganggap penjelasan makna² setelah membaca ayat²Nya itu sama halnya dengan tajalli Ilahi yg penjelasan maknanya terjadi setelah orang yg mengalaminya tersadar kembali. Wallaahu a’lam

227. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (1)

Hikmah 227 dlm Al-Hikam:

“Karunia Ilahi Yang Di Ilhamkan Ke Dalam Hati Akan Menyalahi Kebiasaan”

مَتَى وَرَدَتِ الْوَارِ دَاتُ اْلإِلَهِيَّةُ إِلَيْكَ هَدَ مَتِ الْعَوَائِدَ عَلَيْكَ. (إِ نَّ الْمُلُوْ كَ إِذَا دَ خَلُوْ اقَرْيَةً أَفْسَدُ وَهَا)

Ketika berbagai limpahan karunia Ilahi datang kepadamu, lenyaplah semua kebiasaan burukmu karena, “Sesungguhnya raja² apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakan negeri itu dan membuat penduduknya yg mulia menjadi hina.” (QS. An-Naml [27]: 34)

Yg dimaksud al-Waridatul Ilahiyyah dalam hikmah ini yaitu: rasa cinta dan rindu yg sangat, yg diberikan Allah Ta’ala ke dalam hati hamba-Nya, atau juga rasa ketakutan yg sangat, sehingga bisa menghancurkan dan mengeluarkan kebiasaan dan kesenangan hawa nafsu, dan bergegas menuju makrifat dan ridho-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

“Limpahan karunia Ilahi” dalam hikmah tersebut adalah manifestasi Allah Ta’ala atau ahwal. Ketika semua itu masuk ke dalam hatimu dan menciptakan ahwal, ia akan melenyapkan kebiasaan² dan perkara² buruk jiwamu. Karunia Ilahi memiliki kekuatan besar. Jika meresap ke dalam hati yg banyak berisi keburukan dan kekotoran, ia akan membersihkannya dan menggantinya dengan ahwal yg berisi sifat² yg diridhai-Nya.

Biasanya, para raja dengan bala tentaranya, jika masuk ke sebuah negeri, akan memusnahkan negeri itu dan menghancurkan semua kenikmatan yg biasa didapat oleh penduduknya. Demikian pula karunia Ilahi, ia di umpamakan dengan bala tentara raja. Jika ia memasuki hati, ia akan memusnahkan semua yg ada di dalamnya.

Ini adalah jawaban dari ungkapan yg menyatakan bahwa kebiasaan adalah sesuatu yg selalu dilakukan oleh watak dan tabiat sehingga sulit untuk dihilangkan meski oleh limpahan karunia Ilahi. Namun, limpahan karunia Ilahi itu memiliki sifat menghancurkan dan memusnahkan, seperti halnya bala tentara raja². Dengan demikian, ia mampu menghapus kebiasaan² buruk dalam hati. Wallaahu a’lam

228. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (2)

Hikmah 228 dlm Al-Hikam:

الْوَارِدُ يَأْ تِي مِنْ حَضْرَ ةِ قَهَّارٍ، لِأَ جْلِ ذَ لِكَ لَا يُصَا دِمُهُ شَيْءٌ إِلَّا دَ مَغَهُ. (بَلْ نَقْذِ فُ بِا لْحَقِّ عَلَى الْبَا طِلِ فَيَدْ مَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ)

Limpahan karunia datang dari sisi Dzat Yang Maha Mengalahkan (Al-Qahhar). Oleh karena itu, semua yg berbenturan dengannya pasti hancur. “Sebenarnya Kami melemparkan yg haq kepada yg bathil, lalu yg haq itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yg bathil itu lenyap.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 18)

Dalam hikmah ini dijelaskan tentang warid yg datang ke dalam hati hamba dari asma’ Allah Al-Qahhar (Maha Perkasa), maka semua yg ada dari hawa nafsu, aghyar (semua selain Allah Ta’ala) yg ada dalam hati akan dimusnahkan dengan keperkasaan-Nya. Sehingga hamba yg diberi warid itu semuanya menjadi haq. Yg dimaksud al-Bathil yaitu segala sesuatu selain Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Limpahan karunia datang dari Dzat Yang Memiliki kemampuan untuk mengalahkan dan menguasai karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengalahkan dan tak bisa dikalahkan. Oleh sebab itu, semua sifat buruk yg berbenturan dengan-Nya akan hancur. Selain itu, karunia Ilahi adalah kebenaran yg datang melawan kebathilan. Kebathilan takkan ada jika dihancurkan oleh kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman, “Sebenarnya Kami melemparkan yg haq kepada yg bathil, lalu yg haq itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yg bathil itu lenyap.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 18). Wallaahu a’lam

229. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (3)

Hikmah 229 dlm Al-Hikam:

كَيْفَ يَحْتَجِبُ الحَقّ ُبِشىءٍ والَّذِى يَحتَجِبُ بِهِ هُوَ فِيهِ ظَاهِرٌ وَمَوجُودٌ حَاضِرٌ.

Bagaimana mungkin Allah terhijab oleh sesuatu, sedangkan Dia tampak, ada, dan hadir pada sesuatu yg dijadikan hijab.

Bagaimanakah Allah Ta’ala akan terhijab dengan sesuatu, padahal sesuatu yg terlihat itu semata-mata nur Ilahi, dan pada segala tempat Allah Ta’ala berada dan hadir, tidak pernah ghaib. Karena itu disebut dalam hadits qudsi: “Hijab Allah ialah nur yg apabila dibuka niscaya dapat membakar apa saja yg diperlihatkannya, janganlah manusia akan dapat bertahan sedang bukit hancur, dan Nabi Musa pingsan sebelum melihat langsung.” Demikianlah rahmat Allah Ta’ala menghijab kita untuk keselamatan kita sendiri menurut hikmah-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhijab oleh sesuatu, sedangkan pada sesuatu yg menjadi hijab itu, Allah Ta’ala tampak dan hadir serta bisa disaksikan oleh para pemilik mata batin.

Bagaimana mungkin sesuatu yg menjadi objek penampakan Allah Ta’ala menjadi hijab bagi-Nya. Keterhalangan Allah Ta’ala hanya terjadi bagi orang² yg dibutakan mata hatinya sehingga tidak bisa melihat-Nya pada segala sesuatu. Wallaahu a’lam

230. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (4)

Hikmah 230 dlm Al-Hikam:

لاَ تيأَسْ من قَبولِ عملٍ لَمْ تجِدْ فِيهِ وجوْدُ اْلحُضَُورِ، فَرُبَّماَ قبِلَ من العملِ مالم تُدْرِكْ ثمْرَتَهُ عاجِلاً.

Jangan putus asa terhadap amal yg kau kerjakan dengan tidak khusyuk; apakah diterima atau tidak. Bisa jadi, Dia menerima amal yg buahnya tidak kau dapatkan secara langsung.

Sudah diterangkan dalam hikmah² terdahulu, bahwa buahnya amal (yakni: merasakan manis dan enaknya amal dalam hati ketika mengerjakan amal), itu bagian tanda diterimanya amal tersebut.
Walaupun demikian terkadang Allah Ta’ala itu menerima amal yg belum bisa merasakan buahnya, yg terpenting kau selalu berusaha taqwa kepada Allah Ta’ala lahir dan batin, ikhlas Lillah dalam beramal, dan kau jangan putus asa karena buahnya amal itu hanya sebagian alamat/tanda diterimanya amal, sedangkan tanda itu tidaklah pasti terjadi.

Dan jangan kau meninggalkan amal sebab belum bisa hadirnya hati kepada Allah Ta’ala, atau belum bisa merasakan buahnya, tapi kewajiban bagimu yaitu dawam/selalu mengerjakan amal itu sampai bisa mendapatkan buahnya amal, barang siapa yg mau selalu mengetuk pintu, pastilah dia akan masuk ke pintu tersebut.

Adalah seorang ‘Abid yg selama empat puluh tahun berada di Makkah, dan selalu berdoa: Labbaika Allahumma Labbaik, lalu ada hatif yg mengatakan: ‘Tidak, kamu tidak hadir dan tidak beruntung, dan hajimu ditolak (tidak diterima)’, dan ‘Abid tersebut selalu mengerjakan amalan tersebut, dan tidak meninggalkannya, suatu hari ada seorang laki² datang kepadanya dan memanggilnya: ‘Ya ‘abid labbaik (kesini)’, lalu ada jawaban hatif: ‘La Labbaik’, lalu lelaki tersebut berdiri dan terbesit dalam hatinya: ‘Orang ini ditolak.’ Lalu ‘Abid memanggil tuannya, ‘Hai tuanku, engkau mengatakan Labbaik, dan ada jawaban La labbaik’, si ‘Abid menerangkan: ‘Ini yg terjadi padaku selama empat puluh tahun, aku selalu mendengar perkataan tersebut, tetapi aku selalu bertahan di depan pintu-Nya, walaupun aku ditolak seribu kali aku tidak akan meninggalkan pintu tersebut, sampai Allah menerimaku.’ Maka ketika ‘Abid mengatakan Labbaik, lalu ada jawaban dari Allah: ‘Labbaika, wa sa’daika.’

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan putus asa terhadap diterimanya sebuah amal yg kau kerjakan dan saat mengerjakannya hatimu tidak merasakan kehadiran Allah Ta’ala atau tidak merasa seakan melihat Allah Ta’ala. Bisa jadi, hal itu merupakan bukti bahwa amalmu diterima karena ketiadaan bukti tidak mesti meniadakan yg dibuktikan.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bisa jadi, Dia menerima amal yg buahnya tidak kau rasakan secara langsung.” Maksudnya, buah penerimaan atau bukti²nya tidak kau sadari secara langsung saat kau melakukannya. Di antara bukti amalmu diterima adalah adanya rasa manis dan nikmat hati saat kau melakukan sebuah amal. Wallaahu a’lam

231. Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan (5)

Hikmah 231 dlm Al-Hikam:

لاتُزَكِّيَنَّ واَرِداً لاَتَعلَمُ ثَمرَتهُ فلَيسَ المرَادُمن السَّحابةِ وجودُ الاَمطاَرِ انّما المُرَادُ وجَُودالاَثْمَارِ.

Jangan membanggakan datangnya warid yg buahnya tidak kau ketahui karena tujuan bergumpalnya awan bukanlah turunnya hujan, melainkan tumbuhnya buah-buahan.

Apabila warid datang dari Allah Ta’ala ke dalam hatimu, akan tetapi tidak menjadikanmu cinta kepada Tuhanmu, semangat melaksanakan taat kepada-Nya dengan memenuhi hak²Nya, jangan kamu merasa bangga/senang dengan warid seperti ini, karena buah dari pada warid dalam hati itu bisa merubah sifat² hati yg jelek menjadi terpuji, seperti keterangan hikmah yg terdahulu.

Sebagaimana isyarah dari Syaikh Ibnu Atha’illah tentang datangnya awan, tujuan utamanya bukan sekedar hujan, tapi hasilnya bumi setelah datangnya hujan yakni berupa buah dari tanaman. Begitu juga dengan datangnya warid/ahwal bukan sekedar amal yg hudhur, tapi yg lebih utama hasilnya yaitu ridha, syukur, dan masuk ke dalam An-Nur, dan kemuliaan berjumpa Allah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun).

Ingatlah!! terkadang warid/ahwal itu bisa menjadi hijab, bagi orang yg berhenti dan bangga pada warid tersebut. Sebagian ulama mengatakan: Takutlah kamu dengan rasa manis/enaknya taat, karena itu bagaikan racun yg membunuh, bagi orang yg berhenti pada rasa tersebut, janganlah kamu menjadi hambanya hal/warid, tapi jadilah hambanya yg memberi hal/warid (yakni Allah Ta’ala).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan kau senang dengan datangnya warid jika buah dari warid itu tidak kau ketahui. Jangan kau bangga dengan datangnya warid jika hatimu tidak terdorong untuk lebih dekat, taat, dan melaksanakan semua hak rububiyah-Nya. Buah sesungguhnya dari warid ialah terpengaruhnya hatimu oleh warid itu sehingga sifat² burukmu berubah menjadi terpuji. Jika hal ini tidak kau alami, jangan kau senang dan bangga terlebih dahulu dengan datangnya warid. Bisa jadi, kau tertipu olehnya.

Ketahuilah, awan mendung datang untuk menumbuhkan buah-buahan, bukan untuk menurunkan hujan. Demikian pula warid, yg penting adalah buahnya karena banyak orang yg mendapatkan warid atau mengalami ahwal, namun justru mereka tertipu sehingga meninggalkan amalan² lahir. Wallaahu a’lam

232. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (1)

Hikmah 232 dlm Al-Hikam:

“Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah”

لاَتَطْلُبَنَّ بَقَاءَ الوَرِدَاتِ بعدَ انْبَسَطَتْ اَنْوَارَهاَ واَوْدَعَتْ اسْرَارهَا فلكَ فى اللهِ غِنىً عَنْ كُلِّ شَىءٍ وليسَ يُغْنيْكَ عنهُ شىءٌ

Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya warid yg telah selesai membentangkan cahayanya dan menyingkapkan seluruh rahasianya. Semua yg kau butuhkan ada pada Allah dan kau tidak memerlukan yg lain.

Maksud dari mendapatkan anwar/nurnya warid yaitu: rusak dan hancurnya kebiasaan hawa nafsumu, sehingga hati menjadi bersih dari syahwat jasmaniyyah dan kebiasaan nafsu sehingga lahir dan batinnya hanya menghamba kepada Allah Ta’ala. Maksud dari: setelah tertangkap rahasia² warid, yaitu adanya yaqin, thuma’ninah dan makrifat dalam hatimu, dan adanya zuhud, ridha, dan taslim, dan munculnya rasa khusyuk, tawadhu’ dan hinanya diri dalam hati. Itu semua sebagai tanda Al-Warid Al-Ilahiyyah.

Dan ketahuilah bahwa semua warid, adanya anwar (cahaya²), tingkat² maqam kewalian, dll, itu semua semata-mata anugerah dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, karena itu hamba tidak boleh bergantung kepada semua itu, tapi cukuplah bergantung pada Allah Ta’ala, dan mengabdi kepada-Nya.

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani qs. ditanya apakah paling utamanya perkara yg bisa mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah? Beliau menjawab: “Supaya Allah mengetahui bahwa dalam hatimu tidak mengharapkan sesuatu kecuali hanya Allah, baik itu di dunia maupun di akhirat.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya ahwal qalbu yg telah selesai membentangkan cahayanya kepadamu, yakni dengan mengajari lahir dan batinmu cara² beribadah dan melaksanakan ‘ubudiyah atau yg telah selesai menyingkapkan rahasia²nya kepadamu, yaitu berupa keagungan² rububiyah yg tampak jelas di hadapan hatimu. Sekalipun kau telah merasakan faedah yg diberikan warid itu, hendaknya kau jangan sekali-kali berharap warid itu kekal bercokol dalam dirimu, lalu kau bersedih bila ia pergi meninggalkanmu karena yg sebenarnya kau butuhkan adalah Allah Ta’ala, bukan yg lain.

Seseorang berkata, “Setiap hal yg hilang darimu akan ada gantinya. Akan tetapi, jika Allah hilang darimu, takkan ada pengganti-Nya.”

Allah Ta’ala menempatkanmu ke dalam satu keadaan batin agar kau mengambil manfaat yg berupa perkenalan dengan-Nya. Jika manfaat tersebut telah sampai ke tanganmu, jangan kau harap ia tetap ada padamu, sebagaimana keberadaan seorang Rasul tidak lagi diperlukan setelah risalahnya tersampaikan. Keberadaan seorang penjaga amanat tidak lagi dibutuhkan setelah amanatnya terlaksana. Jika kau meminta agar Rasul dan penjaga amanat itu tetap ada, berarti kau menjadi budak mereka. Wallaahu a’lam

233. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (2)

Hikmah 233 dlm Al-Hikam:

تَطَلُّعُكَ اِلٰى بقاءِ غَيرِهِ دَلِيلٌ علٰى عدمِ وِجْدَانِكَ لهُ واسْتِحياَشُكَ لفِقدَانِ ماَسوَاهُ دليلٌ علٰى عدمِ وُصْلتكَ بهِ

Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.

Mengharap tetapnya sesuatu itu berarti cinta pada sesuatu tersebut, dan barang siapa mencintai sesuatu pasti dia menjadi hamba sesuatu yg dicintai, begitu juga mengharap tetapnya warid, maqam, dan lain² itu menunjukkan kalau dia belum menemukan Allah Ta’ala, dan barang siapa masih berhajat kepada selain Allah Ta’ala itu berarti ia belum makrifat kepada Allah Ta’ala, dan barang siapa masih risau/susah sebab kehilangan ahwal atau warid atau lainnya, itu berarti ia belum sampai/wushul kepada Allah Ta’ala.

Karena orang yg sudah sampai itu tidak akan merasa risau/susah sebab kehilangan sesuatu selain Allah Ta’ala. Dan itulah bukti ia telah mencapai derajat yg tinggi, akan tetapi selama masih menginginkan tetapnya sesuatu atau susah dengan hilang/tidak adanya sesuatu, maka itu suatu bukti bahwa ia belum mencapai derajat hakikat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah, seperti kekalnya warid yg berupa karunia Ilahi dalam bentuk cahaya, maqam, dan kenikmatan lahir dan batin, adalah bukti bahwa kau ada bukan untuk-Nya dan kau belum menemukan-Nya. Jika kau menemukan Allah Ta’ala di hatimu dan seluruh batinmu berkumpul untuk-Nya, kau tidak akan menginginkan kekekalan segala sesuatu selain-Nya.

Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain-Nya, seperti karunia² di atas, adalah bukti bahwa kau belum terhubung dengan-Nya dan belum sampai kepada-Nya. Jika kau telah sampai kepada-Nya, niscaya kau akan melupakan segala sesuatu selain-Nya dan tidak risau saat kehilangan sesuatu selain-Nya.

Jika hati seorang salik telah mendapatkan warid, lalu ia mengaku telah sampai kepada Allah Ta’ala, namun masih mencari dan menghendaki suatu benda yg dicintai atau resah karena kehilangannya, itu adalah bukti bahwa ia belum mendapatkan maqam mulia seperti itu.

Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata, “Kau tidak akan menjadi hamba Allah yg sejati sebelum kau memerdekakan diri dari segala sesuatu selain-Nya. Kau pun tidak akan mendapatkan kemerdekaan sejati sebelum kau menjadi hamba-Nya.” Wallaahu a’lam

234. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (3)

Hikmah 234 dlm Al-Hikam:

النَّعِيْمُ وَ إِنْ تَنَوَّ عَتْ مَظَا هِرُهُ إِنَّمَا هُوَ بِشُهُوْدِهِ وَاقْتِرَابِهِ، وَالْعَذَابُ وَإِنْ تَنَوَّعَتْ مَظَا هِرُ هُ إِنَّمَا هُوَ بِوُجُوْدِ حِجَا بِهِ، فَسَبَبُ الْعَذَابِ وُجُوْ دُ الْحِجَابِ وَ إِتْمَامُ النَّعِيْمِ بِا النَّظَرِ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِ يْمِ.

Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yg mulia.

Nikmat dekat Allah Ta’ala, lebih² melihat kepada Allah Ta’ala itu memang tiada bandingannya, sehingga apabila manusia di surga ditanya oleh Allah Ta’ala: “Apakah yg kamu rasa kurang, dan yg akan kamu minta?” Jawab mereka: “Kami cukup puas dan tidak ada hasrat untuk minta apa² lagi, sebab sudah cukup puas.” Tiba² dibukakan oleh Allah Ta’ala hijab untuk melihat wajah (Dzat) Allah Ta’ala, maka di situlah mereka merasa tidak ada nikmat yg lebih besar daripada melihat kepada Dzat Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Walaupun nikmat dunia dan akhirat bermacam-macam bentuknya, entah berupa pakaian, makanan, bidadari, ataupun surga, kenikmatan saat menikmati semua itu terwujud lantaran kita menyaksikan Allah Ta’ala dan merasakan kedekatan-Nya. Maksudnya, semua kenikmatan itu akan menjadi nikmat yg sesungguhnya apabila saat mendapatkannya, kau tetap merasa menyaksikan Allah Ta’ala dan hadir bersama-Nya.

Jika tidak, semuanya bukanlah kenikmatan hakiki, melainkan derita dan azab karena derita dan azab, walaupun bentuknya beragam, bisa berupa siksaan fisik, neraka, atau rantai belenggu. Semuanya adalah akibat keberadaan hijab yg menghalangimu dari-Nya sehingga Dia tak tampak di hadapanmu. Jika kau menyaksikan-Nya, yg kau rasa bukan lagi azab sebenarnya, melainkan kenikmatan. Azab terasa akibat adanya hijab dan kesempurnaan kenikmatan terasa dengan melihat wajah-Nya Yang Mulia atau menyaksikan-Nya dengan mata batin di akhirat.

Kesimpulannya, kenikmatan sejati hanya dapat kita rasakan saat melihat Tuhan. Sementara itu, penderitaan yg sesungguhnya, terjadi ketika kita terhalang dari-Nya. Adapun sesuatu yg secara lahir dinikmati seseorang atau menjadi azab baginya, sesungguhnya itu bukanlah kenikmatan jika ia tidak melihat-Nya, bukan azab hakiki jika ia melihat-Nya. Wallaahu a’lam

235. Seorang Salik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah (4)

Hikmah 235 dlm Al-Hikam:

مَا تَجِدُهُ الْقُلُوْ بُ مِنَ الْهُمُوْ مِ وَالْأَحْزَا نِ فَلِأَجْلِ مَا مُنِعَتْ مِنْ وُجُوْدِ الْعِيَا نِ.

Bila hati masih merasa risau dan sedih berarti masih terhalang untuk menyaksikan-Nya.

Firman Allah menceritakan ketika Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. bersama Rasulullah Saw. di gua Tsur, dimana Sayyidina Abu Bakar ra. risau dan sedih hati, langsung oleh Rasulullah Saw. di ingatkan: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”

Syaikh Abu Bakar asy-Syibli qs. berkata: “Siapa yg benar² mengenal Allah tidak akan risau atau berduka cita untuk selama-lamanya.”

Firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, sesungguhnya para waliyullah itu tidak merasa takut dan tidak merasa duka cita.”

Dan sabda Rasulullah Saw. kepada Sayyidina Abu Bakar ra. ketika di gua Tsur: “Ya Abu Bakar, ma dhannuka bi isnain allahu tsalitsu huma.” (Bagaimanakah perasaanmu hai Abu Bakar terhadap dua orang yg disertai/dilindungi oleh Allah.)

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bila hati masih merasakan sedih dan risau terhadap hal² yg bersifat duniawi, berarti hati tersebut masih terhalang dari melihat Allah Ta’ala dengan mata batinnya. Jika tidak, tentu ia tidak akan merasakan risau dan sedih atas hilangnya sesuatu dari dunia ini.

Perasaan risau dan sedih tersebut adalah akibat dari sikap memandang diri sendiri dan mengedepankan maslahat pribadi. Sekiranya seseorang tidak melihat dirinya sendiri dan hanya menyaksikan Tuhannya, tentu ia akan selalu senang dan bahagia. Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kau bersedih. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama kita.”

Siapa yg hatinya bersinar dengan cahaya makrifat, ia tidak akan bersedih selamanya. Akan tetapi, jika orang yg mencapai maqam ini masih merasakan kesedihan dan kerisauan yg tak tertahankan, ketahuilah bahwa di dalam kesedihan dan kerisauan itu masih ada faedah yg mulia. Kesedihan dan kerisauan dapat menjernihkan hati dan memadamkan hawa nafsu serta mengurangi kesenangan dunia.

Kerisauan selalu berhubungan dengan sesuatu yg akan datang dan kesedihan berhubungan dengan sesuatu yg sudah lampau. Keduanya bisa terjadi terhadap perkara² ukhrawi.

Seorang ahli neraka tidak mengalami kerisauan dan kesedihan, kecuali ia tidak bisa menyaksikan Tuhannya. Jika ia sudah melihat Tuhannya, ia tidak lagi mengalami dua perasaan itu. Azab akan terasa manis dan nikmat dalam pandangannya. Wallaahu a’lam

236. Kenikmatan Sempurna Adalah Rezeki Yang Mencukupi

Hikmah 236 dlm Al-Hikam:

“Kenikmatan Sempurna Adalah Rezeki Yang Mencukupi”

مِنْ تَمَا مِ النِّعْمَةِ عَلَيْكَ أَ نْ يَرْ زُقَكَ مَا يَكْفِيْكَ وَ يَمْنَعَكَ مَا يُطْغِيْكَ.

Di antara bentuk kesempurnaan nikmat atasmu adalah ketika Dia memberi sesuatu yg mencukupimu dan menahan sesuatu yg akan mencelakakanmu.

Sa’ad bin Abi Waqqash ra. berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sebaik-baik rizqi yg mencukupi, dan sebaik-baik dzikir yg samar.'”

Abu Darda’ ra. berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Tiada terbit atau terbenam matahari melainkan di sisinya ada dua malaikat berseru, seruan itu dapat didengar oleh semua makhluk kecuali manusia dan jin: Hai sekalian manusia silahkan kembali kepada Tuhan, sesungguhnya yg sedikit tetapi mencukupi itu lebih baik dari yg banyak hingga melalaikan (menyesatkan).'”

Firman Allah: “Pergunakan semua yg diberikan Allah kepadamu (yaitu yg berupa hidup, panca indera, akal pikiran, tenaga dan harta kekayaan) untuk mencapai kebahagiaan dan keuntungan akhirat, dan jangan kau lupakan bagianmu daripada dunia.”

Kepentingan yg pertama dan utama ialah keselamatan akhirat. Sebab siapa yg sungguh beramal untuk akhirat maka dunianya terjamin, sebaliknya jika amal usahanya hanya untuk dunia maka baginya tidak bertambah dari ketetapan Allah Ta’ala dan akhirat rugi tidak dapat apa².

Rasulullah Saw. bersabda: “Bukannya kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yg sesungguhnya ialah kaya hati/tenang jiwa.”

Tersebut dalam kitab² yg dahulu, Allah berfirman: “Sesungguhnya seringan-ringan hukuman-Ku terhadap seorang alim jika ia condong kepada keduniaan, akan Aku cabut daripadanya kelezatan bermunajat kepada-Ku.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara bentuk kesempurnaan nikmat Allah Ta’ala atasmu adalah ketika Dia memberimu sesuatu yg dapat mencukupi kebutuhanmu dan menahan sesuatu yg akan mencelakakanmu atau menjerumuskanmu ke dalam tindakan berlebihan (thughyan), terutama dalam urusan harta.

Allah Ta’ala berfirman, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar² melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 6-7)

Di dalam hadits disebutkan, “Apa yg sedikit dan cukup lebih baik daripada yg banyak, tetapi melenakan.”

Pemberian yg tidak mencukupi kebutuhan, biasanya, akan membuat seseorang sibuk dan melalaikan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Pemberian semacam itu tidak disebut sebagai kesempurnaan nikmat. Wallaahu a’lam

237. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (1)

Hikmah 237 dlm Al-Hikam:

“Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan”

لِيَقِلَّ مَا تَفْرَ حُ بِهِ , يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ.

Tatkala berkurang apa yg membuatmu senang maka berkuranglah pula apa yang kau sedihkan.

Seseorang ditanya: “Mengapakah engkau tidak pernah risau?”
Jawabnya: “Karena saya tidak menyimpan barang yg akan merisaukan/menyusahkan bila hilang, sebab yg menyenangkan itulah pula yg menyusahkan, jika sedikit maka sedikit pula, dan bila banyak yg disenangi tentu banyak pula yg akan menyusahkan.”

Hikayat:
Seseorang memberi hadiah kepada raja sebuah gelas dari pirus yg bertaburkan permata yg sangat berharga, maka karena sangat gembira raja menerimanya. Ia menunjukkan hadiah itu pada seorang Hakim (ahli hikmah): “Bagaimana pendapatmu tentang gelas ini?” Jawab Hakim: “Pendapatku, itu suatu bala’ dan kefakiran.”

Tanya raja: “Bagaimana pendapatmu itu?” Jawabnya: “Jika pecah berupa bala’ sebab tidak dapat ditembel, dan tidak ada gantinya, jika perlu kau sangat butuh kepadanya sehingga menjadi fakir kepadanya.” Maka tidak lama tiba² gelas itu pecah, maka benar raja merasa mendapat bala’ dan sangat menyesal, lalu berkata: “Benar kata hakim itu.”

Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata: “Seorang yg berakal sehat itu ialah yg menyelidiki segala sesuatu, mencari yg lebih utama untuk dikerjakan dan didahulukan dari lain²nya, dan selalu mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah Saw., dalam membedakan apa yg berguna atau mudharat baginya di dunia dan akhiratnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ketika harta dan hal lainnya berkurang padamu, berkurang pula apa yg membuatmu bersedih. Siapa yg darinya Allah Ta’ala singkirkan kelebihan dunia, lalu ia ridha atas hal itu, puas dengan yg sedikit, dan tidak mencari tambahan, baik berupa harta maupun kedudukan, berarti akalnya sempurna dan pandangannya terhadap dirinya baik. la telah mampu menghindarkan kerusakan akibat kesedihan dari dirinya dengan meninggalkan kesedihan itu. Ia juga tidak melihat kepada maslahat berupa kebahagiaan yg timbul dari sesuatu yg bisa cepat hilang.

Menurut orang yg berakal, “Menghindarkan kerusakan lebih di dahulukan daripada mencari maslahat. Dan sesuatu yg disenangi adalah juga yg disedihkan. Jika yg disenangi sedikit, kesedihannya pun sedikit. Jika yg disenangi banyak, kesedihannya pun banyak.” Wallaahu a’lam

238. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (2)

Hikmah 238 dlm Al-Hikam:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ لَا تُعْزَلَ فَلَا تَتَوَ لَّ وِلَا يَةً لَا تَدُوْمُ لَكَ.

Jika kau tidak ingin dipecat, jangan memangku jabatan yg tidak kekal.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Jabatan selalu akan berakibat pada kesedihan. Kesedihan yg timbul adalah akibat hilangnya jabatan itu, baik disebabkan oleh kematian, dipecat, maupun karena faktor lain. Orang yg berpandangan baik dan berakal sehat selalu meninggalkan jabatan yg disenangi agar ia tidak dipecat atau kehilangan jabatan itu sehingga bersedih dan menderita. Wallaahu a’lam

239. Sedikitnya Kesenangan Adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan (3)

Hikmah 239 dlm Al-Hikam:

إِنْ رَغَّبَتْكَ الْبِدَا يَا تُ زَهَّدَتْكَ النِّهَايَاتُ، إِنْ دَعَا كَ إِلَيْهَا ظَا هِرٌ نَهَا كَ عَنْهَا بَا طِنٌ.

Jika awalnya memikat, akhirnya akan menjemukan. Jika lahirnya memanggilmu, batinnya akan mencegahmu.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika pada awalnya jabatan itu memikatmu karena tampilan lahirnya indah dan orang yg menjabatnya tampak berwibawa serta hidup sejahtera, ketahuilah bahwa ujungnya akan berakhir dengan bahaya dan kerugian di dunia dan akhirat. Hal itu dikarenakan, akhir dari jabatan adalah, kau meninggalkan jabatan itu dengan dipecat atau dengan kematian sehingga kau akan mengalami kerugian duniawi dan ukhrawi. Dengan jabatan, amat sedikit orang yg agamanya selamat. Hal itulah yg mendorong orang yg berakal untuk meninggalkan dan menghindari jabatan.

Jika tampilan lahir jabatan itu berupa pakaian indah, makanan enak dan rumah mewah yg merayumu untuk mendudukinya, batinnya sebenarnya melarangmu untuk itu karena jabatan selalu membuatmu lalai dari Allah Ta’ala dan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi mereka yg menjabatnya. Wallaahu a’lam

240. Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia (1)

Hikmah 240 dlm Al-Hikam:

“Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia”

إِ نَّمَا جَعَلَهَا مَحَلًّا لِلْأَ غْيَا رِ وَمَعْدِ نًا لِلْأ َ كْدَارِ تَزْ هِيْدًا لَكَ فِيْهَا.

Allah sengaja menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar kau tidak terpaut dengannya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhkan dirimu dari tipuan dunia, niscaya Allah suka/kasih kepadamu. Dan jauhkan dirimu dari hak² orang, niscaya disukai orang.”

Sayyidina Ali kw. menulis surat kepada Sayyidina Salman al-Farisi ra.: “Sesungguhnya dunia ini bagaikan ular licin pegangannya, namun membunuh bisanya (racunnya), karena itu abaikanlah (berpalinglah) daripadanya, dan dari apa yg mengagumkan engkau, karena sedikitnya yg dapat engkau bawa sebagai bekal, dan jangan risau terhadapnya karena engkau yakin akan berpisah padanya, dan letakkan kesenanganmu dalam kewaspadaanmu terhadap apa² yg ada di dalamnya, sebab orang di dunia apabila ia mulai senang, maka langsung dibawa ke jurang bahaya dan binasa.”

Seorang hakim berkata: “Dunia ini bagaikan impian orang tidur, kesenangannya bagaikan bayangan awan, kejadian² bagaikan anak panah yg mengenai sasarannya, sedang syahwat²nya bagaikan sesuatu yg beracun yg godaannya bagaikan gelombang yg besar.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menjadikan dunia sebagai tempat perubahan berbagai keadaan, seperti penyakit, ujian dan petaka, serta membuatnya sebagai sumber kekeruhan, agar kau menjauhinya. Hal itu dikarenakan, hal yg mendorong keinginanmu di dunia tak lain adalah apa yg kau duga dapat mewujudkan tujuan dan keinginanmu di sana tanpa penderitaan atau kepahitan, padahal itu tidak akan terjadi.

Oleh karena itu, yg patut bagimu adalah kau harus berzuhud dan meninggalkan dunia karena akibat perkaranya adalah kefana’an dan kemusnahan. Terkadang pula ia dapat menyibukkanmu dari mengingat Allah Ta’ala. Perlu diketahui juga bahwa zuhud dari dunia ini tidak serta-merta terjadi dengan nasehat dan peringatan para da’i saja, tetapi juga dengan musibah dan ujian di dalamnya. Wallaahu a’lam

241. Orang Bodoh Mencari Zahir Perkara² Dunia, Sedang Orang ‘Arif Menghindari Batin Perkara² Dunia (2)

Hikmah 241 dlm Al-Hikam:

عَلِمَ أَ نَّكَ لَا تَقْبَلُ النُّصْحَ الْمُجَرَّدَ، فَذَوَّقَكَ مِنْ ذَوَا قِهَا، مَا يُسَهِّلُ عَلَيْكَ وُجُوْدَ فِرَا قِهَا.

Allah mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia membuatmu bisa merasakan pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.

Sebab manusia bila menderita ujian² dari Allah Ta’ala yg berupa bala’, maka ia tidak senang dunia, lalu ingin mati, ingin berpisah dari dunia yg fana ini. Bala’ yg biasa di ujikan Allah Ta’ala ialah kemiskinan, penyakit, kelaparan, ketakutan, kehilangan harta, kematian dan lain²nya yg menimbulkan kecemasan manusia dan tiada ketenangan hidup.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat baik tanpa terlebih dahulu diberi penyakit, petaka, dan ujian. Hal itu dikarenakan, yg bisa menerima nasihat baik hanyalah orang² yg tidak dikuasai oleh rasa cinta terhadap dunia dan kenikmatannya yg fana. Sementara itu, bagi orang yg amat suka terhadap dunia dan kenikmatannya, nasihat baik semata tidak cukup untuk menyadarkannya dan menerima hidayah. Ia harus diberi tambahan peringatan berupa ujian, petaka, dan penyakit.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala membuatmu merasakan apa yg seharusnya kau rasakan, yaitu penyakit dan petaka serta ujian agar mudah bagimu untuk meninggalkan dunia.

Jika seorang hamba mengalami suatu musibah, biasanya ia akan berharap segera mati dan meninggalkan dunia. Dengan demikian, petaka ini merupakan nikmat dari Allah Ta’ala walaupun ia tidak menyadarinya karena dominasi tabiatnya. Hal ini telah dijelaskan dalam butir hikmah, “Siapa yg tidak mendekati Allah dengan kelembutan kebaikan-Nya, ia akan diseret kepada-Nya dengan belenggu ujian.” Wallaahu a’lam

242. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (1)

Hikmah 242 dlm Al-Hikam:

“Buah Ilmu Yang Bermanfaat”

الْعِلْمُ النَّا فِعُ هُوَ الَّذِي يَنْبَسِطُ فِي الصَّدْرِ شُعَا عُهُ، وَيَنْكَشِفُ بِهِ عَنِ الْقَلْبِ قِنَا عُهُ.

Ilmu yg bermanfaat adalah yg cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai qalbu.

Ilmu yg berguna (bermanfaat) itu ialah mengenal Dzat Allah dan sifat serta asma dan af’al/perbuatan Allah Ta’ala. Juga mengerti bagaimana mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala serta beradab kepada-Nya.

Nabi Dawud as. berkata: “Ilmu di dalam dada bagaikan lampu dalam rumah.”

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata: “Ilmu itu ialah mengenal Tuhanmu dan tidak melampaui kedudukan dirimu (yakni menyadari kehambaanmu).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ilmu yg bermanfaat ialah ilmu tentang Allah, sifat²Nya, asma-Nya, dan ilmu tata cara beribadah kepada-Nya dan bersopan santun di depan-Nya. Ilmu inilah yg cahayanya melapangkan dada sehingga mudah menerima Islam dan menyingkap tirai serta selaput penutup qalbu sehingga hilanglah segala macam angan dan keraguan darinya.

Malik ibn Anas ra. berkata, “Ilmu diraih bukan dengan banyaknya periwayatan, melainkan ilmu adalah cahaya yg dipancarkan Allah ke dalam hati.”

Manfaat ilmu ialah mendekatkan hamba kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari pandangan terhadap diri sendiri. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba dan akhir dari keinginan dan pencariannya.

Syaikh Al-Mahdawi berkata, “IImu yg berguna adalah ilmu tentang waktu, kejernihan hati, kezuhudan di dunia, dan ilmu tentang hal² yg mendekatkan diri ke surga, menjauhkan diri dari neraka, membuat takut kepada Allah dan berharap kepada-Nya, serta ilmu tentang kebersihan jiwa dan bahayanya.”

Itulah ilmu yg dimaksud dengan cahaya yg dipancarkan Allah Ta’ala ke dalam hati siapa saja yg dikehendaki-Nya, bukan ilmu lisan, ilmu logika, atau ilmu manqul.

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. merangkum semua keterangan itu dengan kata², “IImu yg sesungguhnya adalah ilmu tentang Tuhan (makrifat) dan ilmu bersopan santun di hadapan-Nya.” Wallaahu a’lam

243. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (2)

Hikmah 243 dlm Al-Hikam:

خَيْرُ الْعِلْمِ مَا كَا نَتِ الْخَشْيَةُ مَعَهُ.

Sebaik-baik ilmu adalah yg disertai rasa takut pada-Nya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yg menuntut ilmu agama itu, Allah menjamin rezekinya.”

Juga sabda Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya pada orang yg menuntut ilmu, karena suka (gemar pada apa yg dituntut).”

Rasulullah Saw. berlindung kepada Allah: “Allahumma inni a’udzu bika min laa yanfa’ (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yg tidak berguna).” Ilmu yg tidak berguna yaitu yg tidak menimbulkan rasa takut kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. ketika ditanya: “Apakah ilmu yg berguna?” Jawabnya: “Ialah yg menunjukkan engkau kepada Allah, dan menjauhkan dari menurutkan hawa nafsu syahwatmu.”

Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yg cinta dunia, berbahaya akhiratnya, dan siapa yg cinta akhirat, berbahaya dunianya. Ingatlah kamu harus mengutamakan yg kekal abadi daripada yg lekas rusak hancur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Rasa takut kepada Allah Ta’ala adalah rasa takut yg disertai dengan pengagungan terhadap-Nya. Ada yg mengatakan, rasa takut yg dimaksud adalah pengagungan yg disertai dengan penghormatan. Ada lagi yg berpendapat, ilmu adalah rasa takut yg harus disertai amal. Dengan kata lain, ilmu yg terbaik adalah ilmu yg disertai rasa takut kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala memuji para ulama dengan ilmunya yg disertai rasa takut kepada-Nya. Dia berfirman, “Sesungguhnya yg takut kepada Allah di antara hamba²Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)

Setiap ilmu yg tidak disertai rasa takut tidak akan ada gunanya dan tidak mengandung kebaikan sama sekali. Pemiliknya tidak disebut alim sejati.

IImu yg benar adalah yg harus disertai rasa takut, sikap menjaga hukum Allah Ta’ala, taat dan percaya kepada-Nya, berpaling dari dunia dan para pencarinya, mengurangi kebendaan dan menjauhi pintu²nya, memberi nasehat kepada makhluk dan berakhlak baik terhadap mereka, tawadhu’, menemani orang² fakir, serta mengagungkan para wali Allah.

Lain halnya dengan ilmu yg tidak disertai rasa takut, ia selalu memupuk keinginan terhadap dunia, menciptakan kesombongan pemiliknya, memalingkan tekad untuk mencarinya, menumbuhkan kesombongan, membuat panjang harapan, dan melupakan akhirat. Jika seorang alim mencintai dunia dan para pencarinya, serta mengumpulkannya melebihi kecukupannya, berarti ia lalai dari akhirat dan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala sebesar kelalaiannya. Wallaahu a’lam

244. Buah Ilmu Yang Bermanfaat (3)

Hikmah 244 dlm Al-Hikam:

الْعِلْمُ إِنْ قَا رَ نَتْهُ الْخَشْيَةُ فَلَكَ وَإِ لَّا فَعَلَيْكَ.

Jika ilmu disertai rasa takut, ia akan berguna bagimu. Namun, jika tidak, ia akan menjadi petaka bagimu.

Rasulullah Saw. bersabda: “Akan keluar pada akhir zaman orang yg mencari (mencuri) dunia dengan kedok agama, memperlihatkan (memakai) di muka orang bulu domba karena lunak, lidahnya lebih manis dari madu, tetapi hatinya hati srigala. Allah akan berkata kepada mereka: ‘Apakah kamu akan menentang kepada-Ku, atau mempermainkan Aku, maka demi kebesaran-Ku, Aku akan menurunkan terhadap mereka ujian fitnah, sehingga orang yg sabar tenang menjadi kebingungan.'”

Rasulullah Saw. bersabda: “Akan tiba suatu masa pada umat manusia, tiada tinggal dari Al-Qur’an kecuali tulisannya saja dan Islam hanya namanya belaka.”

Hati orang²nya kosong dari petunjuk hidayah, masjid hanya penuh jasad manusia yg tak berhati taqwa, sejahat-jahatnya manusia waktu itu ialah para ulama, sebab dari mereka sumber fitnah dan kepada mereka pula kembalinya.

Abu Hurairah ra. berkata: Bersabda Nabi Saw.: “Siapa yg belajar ilmu agama, tidak untuk mencapai keridhaan Allah, tidak mempelajarinya kecuali untuk mencapai suatu kepentingan dunia, maka ia tidak akan mendapat (merasai bau surga pada hari kiamat.”

Al-Hasan ra. berkata: “Siksa bagi seorang alim itu matinya hati.” Ketika ditanya: “Bagaikan matinya hati itu?” Jawabnya: “Mencari dunia dengan menjual amal akhirat.”

Dan lebih jahat lagi jika ia menjilat-jilat kepada raja (pemerintah) untuk mencari keuntungan dari uang haram atau syubhat, maka yg demikian terang-terangan menentang murka Allah.

Abu Darda’ ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Allah telah menurunkan wahyu pada salah seorang Nabi: ‘Katakanlah kepada orang² yg belajar fiqih agama, tidak untuk kepentingan agama, dan belajar tidak untuk diamalkan, mereka mencari dunia dengan amal akhirat, memakai bulu kambing, tetapi hati mereka hati serigala, lidahnya lebih manis dari madu, dan hatinya lebih pahit dari jadam, apakah mereka akan mempermainkan Aku, atau mengejek kepada-Ku, pasti akan Aku turunkan kepada mereka fitnah ujian, sehingga orang yg tenang sabar menjadi bingung.'”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika ilmu disertai rasa takut, kau akan mendapatkan manfaatnya di dunia dan akhirat. Jika tidak, kau akan mendapatkan bahaya dan petakanya di dunia dan akhirat.

Sufyan Ats-Tsauri ra. berkata, “IImu dipelajari tak lain untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Ilmu lebih diutamakan daripada yg lain karena dengan ilmu akan timbul rasa takut dan takwa kepada Allah.” Jika tujuan ini diabaikan dan niat pencari imu itu telah rusak, misalnya ia meyakini bahwa ilmunya bisa mendatangkan keuntungan duniawi berupa harta, kehormatan, dan kedudukan, pahalanya akan gugur dan amalnya akan jatuh. Kemudian, ia akan mengalami kerugian yg nyata.

Allah Ta’ala berfirman, “Siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan siapa yg menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura [46]: 20). Wallaahu a’lam

245. Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya (1)

Hikmah 245 dlm Al-Hikam:

“Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya”

مَتَى آ لَمَكَ عَدَ مُ إِقْبَا لِ النَّاسِ عَلَيْكَ أَوْ تَوَ جُّهُهُمْ بِا لذَّ مِّ إِلَيْكَ، فَا رْ جِعْ إِلَى عِلْمِ اللهِ فِيْكَ، فَإِنْ كَا نَ لَا يُقْنِعُكَ عِلْمُهُ، فَمُصِيْبَتُكَ بِعَدَ مِ قَنَا عَتِكَ بِعِلْمِهِ أَشَدُّ مِنْ مُصِيْبَتِكَ بِوُ جُوْ دِ الْأَذَى مِنْهُمْ.

Ketika kau sedih lantaran tidak disambut oleh manusia atau dicela oleh mereka, kembalilah pada pengetahuan Allah tentang dirimu. Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, deritamu lantaran tidak puas dengan pengetahuan-Nya jauh lebih menyakitkan daripada derita karena disakiti manusia.

Seharusnya seorang hamba hanya memperlihatkan ridha dan murka Tuhannya saja, tidak gembira kecuali jika dirihai oleh Tuhan dan tidak sedih kecuali jika dimurkai oleh Tuhan, adapun pujian dan celaan orang, maka tidak harus dihiraukan, sebab jika engkau tetap baik dan untung, sebaliknya jika engkau busuk di sisi Allah Ta’ala, maka walaupun engkau dipuji-puji oleh semua manusia, maka engkau tetap tersiksa dan binasa. Contohnya para Nabi, Rasul dan wali tidak luput dari makian orang. Karena itu kewajibanmu ialah membereskan dan memperbaiki hubungan dengan Allah Ta’ala, asal sudah beres sudah cukup baik.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ketika manusia menyakitimu dengan tidak menyambutmu dan malah mencelamu, kembalilah kepada ilmu Allah Ta’ala tentang dirimu. Cukup Allah Ta’ala saja yg mengetahui siapa dirimu yg sebenarnya. Jangan pedulikan yg orang² ketahui tentang dirimu. Jika kau telah melakukan semua amalmu dengan tulus di hadapan Allah Ta’ala dan bahkan semua amalmu itu telah diterima-Nya, mengapa harus tertekan dengan celaan manusia yg tidak mengetahui apa² tentang siapa dirimu sebenarnya? Jika kau dihina dan dibenci Allah Ta’ala karena kau beramal tidak ikhlas, apa untungnya sambutan, keridhaan, dan pujian manusia untukmu?

Jika pengetahuan Allah Ta’ala tentang siapa dirimu yg sebenarnya tidak juga membuatmu puas, misalnya kau ingin juga manusia mengetahui siapa sebenarnya dirimu, bagaimana amalmu, dan seberapa hebat keikhlasanmu agar manusia menyambut dan mengagungkanmu, kau akan menderita. Kenapa? Karena kau tidak pernah puas dengan pengetahuan-Nya tentangmu. Bahkan, derita itu jauh lebih berat daripada deritamu ketika disakiti manusia. Celaan dan penolakan manusia memang merupakan sesuatu yg menyakitkan, namun di sisi lain, hal itu terkadang justru bisa membuatmu kembali kepada Allah Ta’ala.

Secara lahir, celaan mereka terhadapmu adalah musibah bagimu, namun secara batin, itu adalah nikmat. Oleh karena itu, tak patut bagi seorang murid untuk mempedulikan selain Allah Ta’ala. Janganlah kau merasa berbahagia bila kau tidak merasakan kedekatan-Nya denganmu dan kau tidak boleh merasakan kesedihan, kecuali kesedihan karena jauhnya Dia darimu. Kau tidak boleh mencari perhatian makhluk. Kau tidak layak mempedulikan penyambutan, pengabaian, celaan, atau pujian mereka karena mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhanmu sedikit pun.

Siapa yg merasa tertekan dengan penolakan atau celaan manusia, hendaknya ia kembali kepada Tuhannya. Cukup baginya apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. Ia tidak boleh menyertakan pengetahuan Allah Ta’ala tentang dirinya itu dengan pengetahuan manusia dengan tujuan agar mereka memuji dan mengagungkannya.

Ibrahim At-Taimi ra. berkata kepada salah seorang temannya, “Apa yg dikatakan orang² tentangku?” Temannya menjawab, “Kata mereka, kau riya’ dalam amalmu.” Ibrahim berkata, “Sekarang amalku semakin baik.” Temannya menjawab, “Bagus! Cukup Allah saja yg mengetahui siapa dirimu sebenarnya.” Setelah itu, Ibrahim pun hanya mencukupkan diri dan puas dengan apa yg Allah Ta’ala ketahui tentang dirinya. la tidak pernah mempedulikan apa yg diketahui dan dikatakan manusia tentang dirinya.

Basyar Al-Hafi ra. berkata, “Menerima pujian dari manusia lebih berat rasanya bagi hati daripada melakukan maksiat.” Wallaahu a’lam

246. Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya (2)

Hikmah 246 dlm Al-Hikam:

إِنَّمَا أَجْرَى الْأَذَى عَلَى أَيْدِ يْهِمْ، كَيْ لَا تَكُوْن سَا كِنًا إِلَيْهِمْ، أَرَادَ أَ نْ يُزْ عِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، حَتَّى لَا يُشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٌ.

Allah mendatangkan gangguan lewat tangan manusia agar kau tidak merasa tenteram bersama mereka. Dia ingin membuatmu kesal terhadap segala sesuatu agar tidak ada yg melalaikanmu dari-Nya.

Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Larilah dari kebaikan (bantuan orang, melebihi dari larimu dari kejahatan orang kepadamu, sebab kebaikan orang itu langsung membahayakan hatimu sedang kejahatan mereka hanya membahayakan jasmanimu, dan bahaya jasmani itu lebih ringan dari bahaya hati. Bahaya kebaikan orang kepadamu, jika kamu jinak, senang, menyandar, berharap kepada mereka.”

Sesungguhnya jika ada musuh yg mendekatkan engkau kepada Allah Ta’ala, hal itu lebih baik dari teman/kawan yg memutuskan engkau dari Allah Ta’ala.

Syaikh Abdussalam bin Masyisy qs. berdoa, “Ya Allah, ada orang² yg minta kepada-Mu supaya semua orang jinak kepadanya, maka telah Engkau perkenankan dan mereka puas dengan itu, sebaliknya saya minta supaya makhluk menjauh daripadaku sehingga tidak ada bagiku berlindung dan berharap kecuali kepada-Mu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg memberi kepadamu kebaikan (hadiah), maka lekas engkau balas dengan yg seimbang, jika tidak dapat kamu membalas, maka doakanlah orang itu. (Yakni supaya tidak merasa berhutang budi padanya). Doanya: Jazaka Allahu Khaira (Semoga Allah membalasmu kebaikan).”

Muhammad bin al-Hasan ra. berkata, “Ketika saya sedang berputar-putar di bukit Lubnan, tiba² ada seorang pemuda yg keluar dari bukit, hangus badannya oleh serangan angin samum, maka ketika pemuda itu melihat kepadaku, tiba² melarikan diri, lalu saya kejar, dan ketika ia telah berhenti saya minta nasehat kepadanya, maka ia berkata, ‘Berhati-hatilah dari Allah, karena Allah itu sangat cemburu, ia tidak suka melihat dalam hati hamba-Nya sedikitpun dari syirik. Jangan sampai ada perasaan dalam hati, ‘Barangkali orang akan menolong atau membantuku.””

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala mendatangkan gangguan manusia kepadamu agar kau tidak merasa tentram bersama mereka dan tidak bergantung kepada mereka dalam mendapatkan manfaat atau menghindari bahaya. Dia juga ingin membuatmu kesal dengan perlakuan manusia kepadamu agar kau tidak lalai dari dzikir kepada-Nya.

Dalam Latha’if Al-Minan disebutkan, “Aku mengetahui bahwa para wali pada awalnya dikuasai oleh makhluk. Itu terjadi agar mereka bisa menyucikan diri dari sisa² kotoran hati dan menyempurnakan keistimewaan mereka agar selanjutnya mereka tidak lagi merasa tentram dengan makhluk, cenderung kepada mereka, dan bersandar kepada mereka. Penguasaan makhluk atas para wali Allah di awal langkah mereka ini adalah sunnatullah bagi para kekasih-Nya dan bagi orang² pilihan-Nya.”

Siapa yg menyakitimu, berarti ia telah membebaskanmu dari perbudakan utang budimu atas kebaikan yg telah diberikannya kepadamu. Siapa yg berbuat baik kepadamu, berarti ia telah memperbudakmu dengan kebaikan²nya.

Syaikh Abu Al-Hasan asy-Syadzili qs. berkata, “Orang² menyakitiku sehingga aku merasa tertekan karenanya. Setelah itu, aku tidur dan bermimpi. Di dalam mimpi itu, ada orang yg berkata kepadaku bahwa di antara tanda ketulusan seseorang adalah banyaknya musuh yg membencinya, namun ia tidak mempedulikan mereka.” Wallaahu a’lam

247. Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai (1)

Hikmah 247 dlm Al-Hikam:

“Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai”

إِذَا عَلِمْتَ أَ نَّ الشَّيْطَا نَ لَا يَغْفُلُ عَنْكَ، فَلَا تَغْفُلْ أَنْتَ عَمَّنْ نَا صِيَتُكَ بِيَدِهِ.

Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, jangan kau lalai terhadap Dzat yg menggenggam nasibmu.

Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya setan itu musuhmu, maka nyatakanlah dia sebagai musuh.”

Yakni waspadalah darinya, karena ia sebagai musuh yg tidak ada damainya.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Dalam memahami ayat ini adalah suatu kaum yg berpaham bahwa mereka diperintah untuk memusuhi setan maka mereka mengerahkan segala tenaga untuk memusuhi, tetapi golongan lain mengartikan: Sesungguhnya setan itu musuhmu, dan Aku (Allah) kekasihmu, maka orang² ini sibuk kepada yg dicintai dan lupa pada musuhnya, akhirnya Allah sendiri yg melindungi kekasihnya dari gangguan setan sebagai musuh itu.”

Abu Hasim ra. berkata, “Siapakah setan itu sehingga harus ditakuti, demi Allah ia sudah pernah di ikuti tetapi sama sekali tidak berguna menurut padanya, begitu pula ketika dilanggar maka juga tidak dapat berbuat apa².”

Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Tidak ada makhluk yg lebih rendah dari setan, dan andaikan Allah tidak menyuruh kamu berlindung kepada Allah dari setan, niscaya saya tidak merasa gentar sama sekali dari setan.”

Malik bin Dinar ra. berkata, “Suatu musuh yg dapat melihat padamu sedang kau tidak dapat melihatnya, sungguh sukar berlawanannya, kecuali jika dilindungi oleh Allah.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, juga tidak bosan menyesatkan, menggoda, dan memerangimu, jangan kau lalai terhadap Dzat yg memegang ubun²mu karena setan takkan pernah berhenti menjerumuskanmu. Setan telah berjanji akan terus menggoda manusia, seperti yg tertulis dalam firman-Nya, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf [7]: 17)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa setiap manusia memiliki setan yg menaruh belalainya di hati manusia. Jika manusia lupa berdzikir kepada Allah Ta’ala, setan akan membisikinya. Sebaliknya, jika manusia berdzikir, setan akan mundur dan menutup diri. Oleh karena itu, jangan lupa kepada Dzat yg menentukan nasibmu, yaitu Allah Ta’ala. Jangan kau lupa untuk berlindung kepada-Nya karena Dialah yg akan mencukupi dan melindungimu.

Allah Ta’ala berfirman kepada setan, “Sesungguhnya hamba²Ku tidak ada kekuasaan bagimu (setan) terhadap mereka, kecuali orang² yg mengikuti kamu, yaitu orang² yg sesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 42)

Dalam ayat lain, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang² yg beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl [16]: 99)

Siapa yg memiliki sifat² keimanan, ‘ubudiyah, tawakkal, dan selalu berlindung kepada Allah Ta’ala, pasti Allah Ta’ala akan menolongnya dalam mengalahkan musuhnya.

Dzun Nun Al-Mishri ra. berkata, “Jika setan bisa melihatmu dari tempat yg tak bisa kau lihat, Allah bisa melihat setan itu dari tempat setan tak bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, mintalah pertolongan Allah atas gangguan setan ini.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Iblis berkata kepada Tuhannya: Demi keagungan dan kebesaran-Mu, aku tidak akan berhenti menggoda anak Adam selama ruh mereka masih dalam jasad mereka. Maka Allah berkata kepada Iblis: Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka meminta ampun kepada-Ku.’” Wallaahu a’lam

248. Jangan Lengah dengan Setan Yang Selalu Mengintai (2)

Hikmah 248 dlm Al-Hikam:

جَعَلَهُ لَكَ عَدُوًّا لِيَحُوْ شَكَ بِهِ إِلَيْهِ، وَحَرَّ كَ عَلَيْكَ النَّفْسَ لِيَدُ وْمَ إِقْبَالُكَ عَلَيْهِ.

Allah menjadikan setan sebagai musuhmu agar kau benci kepadanya dan berlindung kepada-Nya. Dia juga tetap menggerakkan nafsumu supaya kau selalu menghadap kepada-Nya.

Kata pujangga, “Sungguh aku telah di uji dengan empat musuh yg selalu melempar aku dengan anak panah yg dapat menembus. Yaitu: Iblis, dunia, hawa nafsu dan syahwat. Ya Tuhanku, hanya Engkau yg dapat menyelamatkan aku.”

Allah Ta’ala menjadikan setan sebagai musuh manusia ini suatu nikmat besar bagi manusia, sebab dengan demikian manusia harus selalu berlindung dan mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk menjaga keselamatan diri dari setan (musuhnya) yg kawakan dan sangat samar itu, kecuali dengan perlindungan Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menjadikan untukmu musuh, yaitu setan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian.” Hal itu dimaksudkan agar kau benci padanya sehingga kau terdorong untuk berlindung kepada Allah Ta’ala. Jika kau menyadari bahwa kau tak mampu melawan setan sendirian, tentu kau akan terdorong untuk meminta bantuan kepada Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. Kau pasti akan berlindung dan bertawakkal kepada-Nya untuk melawan setan.

Permusuhan setan itulah yg mengembalikanmu kepada Allah Ta’ala. Inilah tujuan utama dijadikannya setan sebagai musuh manusia. Namun demikian, bagi orang² yg mengarahkan tekadnya kepada Yang Maha Haq, mereka tidak lagi membutuhkan musuh untuk mereka benci karena ketergantungan mereka kepada Allah Ta’ala sudah menjadi kebiasaan. Mereka tidak akan menoleh kepada Iblis. Sekiranya Allah Ta’ala tidak memerintahkan mereka untuk berlindung kepada-Nya dari Iblis itu, mereka tidak akan berlindung darinya. Memangnya siapa Iblis sampai harus ditakuti?

Allah Ta’ala juga menggerakkan nafsumu atau membuatmu selalu mengikuti hawa nafsumu agar kau selalu menghadap kepada-Nya. Kau takkan sanggup melawan hawa nafsumu dan mengekang geloranya yg sudah menyatu dengan darah dan dagingmu, kecuali kau berlindung kepada Dzat yg lebih kuat darimu, yaitu Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala menggerakkan nafsumu agar kau selalu berlindung kepada-Nya karena nafsu adalah musuh bebuyutanmu. Nafsu seumpama musuh dalam selimut. Musuh dalam selimut lebih berbahaya daripada musuh yg nyata. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. menganggap jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar. Wallaahu a’lam

249. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (1)

Hikmah 249 dlm Al-Hikam:

“Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong”

مَنْ أَ ثْبَتَ لِنَفْسِهِ تَوَا ضُعًا فَهُوَا الْمُتَكَبِّرُ حَقًّا، إِ ذْ لَيْسَ الْتَّوَاضُعُ إِلَّا عَنْ رِفْعَةٍ، فَمَتَى أَ ثْبَتَّ لِنَفْسِكَ تَوَا ضُعًا فَأَ نْتَ الْمُتَكَبِّرُحَقًّا.

Siapa yg merasa dirinya tawadhu’, berarti ia sombong karena tawadhu’ tidak muncul dari orang yg merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia, berarti kau telah sombong.

Seseorang yang merasa bertawadhu’ (merendah diri) itu disebabkan ia merasa besar dan tinggi, hanya saja ia merendah dan perasaan besar dan tinggi diri itulah hakikat kesombongan, dan itu pula arti takabbur yg di sabdakan oleh Rasulullah Saw., “Sombong itu ialah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” Menghina orang lain disebabkan merasa diri besar dan tinggi, serta mulia.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg merasa dirinya rendah hati (tawadhu’), berarti ia sombong karena pengakuan diri sebagai orang yg tawadhu’ itu bersumber dari perasaan ketinggian kedudukan yg sebenarnya layak ia dapatkan, namun ia rendahkan.

Ketika kau merasa tinggi dan mulia seraya merasa ber- tawadhu’, berarti kau benar² telah sombong. Sifat sombong ini tidak akan sirna darimu, kecuali dengan adanya perasaan ketidakberartian, misalnya dengan melihat kedudukan itu sebagai sesuatu yg tidak ada nilainya sama sekali. Wallaahu a’lam

250. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (2)

Hikmah 250 dlm Al-Hikam:

لَيْسَ الْمُتَوَا ضِعُ الَّذِي إِذَا تَوَاضَعَ رَ أَى أَنَّهُ فَوْقَ مَا صَنَعَ، وَ لَكِنَّ الْمُتَوَاضِعَ إِذَا تَوَا ضَعَ رَأَى أَنَّهُ دُوْ نَ مَا صَنَعَ.

Orang tawadhu’ bukanlah orang yg ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuat. Namun, orang yg tawadhu’ ialah orang yg melihat dirinya lebih rendah daripada yg diperbuat.

Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu’ kepada Allah, hingga mengetahui kedudukan dirinya (letak dirinya).”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Selama seseorang itu merasa ada orang yg lebih jahat darinya, maka ia sombong.” Dan ketika ditanya, “Bilakah seorang itu bertawadhu’?” Jawabnya, “Jika tidak merasa ada kedudukan atau kemuliaan, dan tawadhu’ seseorang itu menurut kadar makrifatnya terhadap Allah dan dirinya.”

Muhammad bin Muqatil ra. ketika dimintai doa oleh orang², ia menangis sambil berkata, “Semoga bukan sayalah yg menyebabkan kamu menderita bala bencana ini. Dan tanda bahwa ia benar² bertawadhu’, jika ia tidak marah ketika dihina atau dicela.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang yg merendah hati bukanlah orang yg saat melakukan sikap tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yg tawadhu’ ialah orang yg jika melakukan perbuatan tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yg diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.

Kesimpulannya, seorang yg tawadhu’ adalah orang yg tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yg memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yg jika melakukan perbuatan² tawadhu’, ia tidak menetapkan sikap tawadhu’ bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’ karena melihat dirinya lebih rendah daripada yg telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’ seperti itulah buah dari syuhud yg diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawadhu’ dan merasa lebih tinggi daripada yg telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.

Oleh sebab itu, Asy-Syibli berkata, “Siapa yg melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yg tawadhu’.”

Di antara tanda seseorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka. Wallaahu a’lam

251. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (3)

Hikmah 251 dlm Al-Hikam:

التَّوَاضُعُ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ مَا كَا نَ نَا شِئًا عَنْ شُهُوْدِ عَظَمَتِهِ وَ َتَجَلِّي صِفَتِهِ.

Tawadhu’ yg sebenarnya bersumber dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yg timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah Ta’ala yg tampak di mata seorang hamba itu yg menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.

Allah Ta’ala tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.

Ada pula sikap tawadhu’ yg tidak hakiki, yaitu yg bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawadhu’ ini bukan rendah hati yg sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah takabbur.”

Imam Al-Ghazali mengomentari ucapan Imam Al-Junayd ini dengan berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yg bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi.”

Orang yg rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana’ setelah melihat kebesaran Allah Ta’ala. Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yg bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.” Wallaahu a’lam

252. Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawadhu’ Sejatinya Dia Orang yang Sombong (4)

Hikmah 252 dlm Al-Hikam:

لَا يُخْرِ جُكَ عَنِ الْوَصْفِ إِلَّا شُهُوْ دُ الْوَصْفِ.

Yang membuatmu keluar dari sifat angkuh adalah penyaksianmu terhadap sifat agung Tuhan.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tak ada yg membuatmu keluar dari sifat² burukmu, seperti sombong dan ujub, kecuali setelah kau menyaksikan sifat² Allah Ta’ala, seperti kemuliaan dan keagungan-Nya. Seorang hamba tak bisa terbebas dari sifat² dirinya, kecuali setelah ia menyaksikan sifat² Tuhannya.

Siapa yg melihat kesombongan Tuhannya, ia tidak akan sombong lagi. Siapa yg melihat kekayaan-Nya, ia tidak akan merasa kaya lagi. Siapa yg melihat kuasa-Nya, ia tidak akan merasa memiliki kekuasaan dan kemampuan apa². Dengan begitu, ia akan hidup dengan Tuhannya, bukan dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, siapa yg menyaksikan sifat² Tuhannya, tak ada lagi keangkuhan dalam dirinya. Wallaahu a’lam

253. Orang Mukmin Sibuk Memuji Allah dan Lupa Dengan Dirinya Sendiri

Hikmah 253 dlm Al-Hikam:

“Orang Mukmin Sibuk Memuji Allah dan Lupa Dengan Dirinya Sendiri”

الْمُؤْ مِنُ يُشْغِلُهُ الثَّنَا ءُ عَلَى اللهِ تَعَلَى عَنْ أَنْ يَكُوْنُ لِنَفْسِهِ شَا كِرًا، وَتُشْغِلُهُ حُقُوْقُ اللهِ عَنْ أَنْ يَكُوْنَ لِحُظُوْظِهِ ذَا كِرًا.

Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingan dirinya.

Memuji diri, ialah merasa telah berbuat amal kebaikan. Sedang hakikat mukmin itu apabila tidak merasa mempunyai kebaikan sendiri, semua itu semata-mata hanya pemberian karunia Allah Ta’ala, sebagaimana ia lupa kepentingan diri sendiri karena sibuk menunaikan kewajiban²nya terhadap Allah Ta’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Mukmin yg sempurna adalah mukmin yg selalu disibukkan oleh puji-pujian terhadap sifat² indah Allah Ta’ala sehingga ia tidak bangga dengan sifat² baik dirinya. Jika dia berkata, “Saya sudah shalat atau puasa,” lalu menisbatkan semua amal terpuji itu kepada dirinya, berarti ia belum menjadi mukmin sesungguhnya karena sebenarnya, kedua amal itu adalah perbuatan Allah Ta’ala. Sementara itu, manusia hanyalah media penampakannya. Oleh karena itu, tak ada gunanya memuji manusia yg kemampuannya hanya menampakkan perbuatan Allah Ta’ala. Seharusnya, ia memuji Pelaku sesungguhnya, yaitu Tuhan Yang Maha Memberi dan Menganugerahi.

Mukmin yg sejati tidak akan menisbatkan perbuatan baik dan ahwal -nya kepada dirinya sendiri dan tidak pernah memandang dirinya atau mengagungkannya. Mukmin sejati adalah mukmin yg merasa hampa dari semua perbuatan dan ahwal tersebut karena menisbatkannya kepada Pelaku sesungguhnya dan sumber utamanya, yaitu Allah Ta’ala.

Mukmin sejati juga lebih disibukkan dengan menunaikan hak² Allah Ta’ala daripada menunaikan hak² dirinya. Bahkan, ia tidak pernah mengingat keuntungan pribadinya sama sekali. la menyembah Allah karena Dzat-Nya, bukan karena mengharap surga-Nya atau ingin selamat dari neraka-Nya. Wallaahu a’lam

254. Konsekuensi Pecinta Sejati

Hikmah 254 dlm Al-Hikam:

“Konsekuensi Pecinta Sejati”

لَيْسَ الْمُحِبُّ الَّذ ِي يَرْ جُوْ مِنْ مَحْبُوْ بِهِ عِوَضًا، أَوْ يَطْلُبُ مِنْهُ غَرَضًا، فَإِ نَّ الْمُحِبَّ مَنْ يَبْذُ لُ لَكَ، لَيْسَ الْمُحِبُّ مَنْ تَبْذُ لُ لَهُ.

Pecinta bukanlah orang yg mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya, pecinta adalah yg mau berkorban untukmu, bukan yg menuntut pengorbanan darimu.

Syaikh Abu Abdullah al-Quraisy qs. berkata, “Hakikat kasih/cinta itu, bila engkau telah dapat memberikan keseluruhanmu kepada yg engkau cinta, sehingga tidak ada sisa apa² bagimu.”

Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Nabi Isa as., “Apabila Aku melihat hati hamba-Ku, tidak ada padanya cinta dunia dan akhirat niscaya Aku penuhi hati itu dengan cinta kepada-Ku.”

Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud as., “Hai Dawud, sungguh Aku telah mengharamkan cinta-Ku untuk masuk ke dalam hati dimana dalam hati itu ada cinta kepada selain-Ku.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Pecinta sejati bukanlah orang yg mengharapkan imbalan dari kekasihnya atas pengorbanan yg diberikannya. la tidak berniat mengharap surga dan selamat dari neraka dengan amal shaleh yg dilakukannya atau tidak meminta upah berupa materi duniawi dan ukhrawi atas amalnya itu.

Pecinta sejati adalah orang yg mau berkorban untukmu, bukan orang yg menuntut pengorbanan darimu. Sesungguhnya, cinta sejati adalah selalu mengenang sifat² kekasihnya di dalam hati sehingga pada diri pecinta tak ada keinginan sama sekali untuk menoleh kepada selain kekasihnya. Siapa yg menyembah Allah Ta’ala untuk mengharap surga-Nya, berarti ia tidak mencintai Allah Ta’ala, tetapi hanya mencintai surga-Nya. Wallaahu a’lam

255. Perjalanan Menuju Allah dan Apa yang Tidak Layak Dilakukan Seorang Penempuh Jalan Menuju Allah

Hikmah 255 dlm Al-Hikam:

“Perjalanan Menuju Allah dan Apa yang Tidak Layak Dilakukan Seorang Penempuh Jalan Menuju Allah”

لَوْ لَا مَتَا دِيْنُ النُّفُوْ سِ مَا تَحَقَّقَ سَيْرُ السَّائِرِ يْنَ، إِ ذْلَا مَسَا فَةَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ حَتَّى تَطْوِ يَهَا رِحْلَتُكَ، وَلَا قُطْعَةَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ حَتَّى تَمْحُوْ هَا وُصْلَتُكَ.

Jika bukan karena medan nafsu, tentu tak akan ada perjalanan orang² yg menuju Allah karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yg harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yg harus diselesaikan.

Berjalan menuju kepada Allah Ta’ala ialah memutuskan segala rintangan syahwat hawa nafsu dan adat kebiasaan yg akan menghambat. Tidak mungkin hidup (terang) hati nurani kecuali setelah mematikan pengaruh hawa nafsu. Nikmat yg terbesar ialah bila telah dapat bebas dari pengaruh tipu daya hawa nafsu, sebab hawa nafsu itu sebagai tirai yg tebal antara engkau dengan Allah Ta’ala.

Sahl bin Abdullah ra. berkata, “Rahasia nafsu belum terbukti kecuali dalam pernyataan Fir’aun ketika ia berkata, ‘Ana rabbukumul a’la (Akulah tuhanmu yg tertinggi).'”

Tidak mungkin dapat terlepas dari belenggu hawa nafsu, kecuali dengan memperhatikan dan melaksanakan ajaran² syari’at lahir batin, tanpa mengurangi atau berlebihan, tanpa teledor dan malas.

Sayyidah A’isyah ra. berkata, “Rasulullah Saw. telah bersabda, ‘Laksanakan amal perbuatan itu sekuat tenagamu, sesungguhnya Allah tidak jemu menerima dan memberi pahala, hingga kamu jemu beramal. Dan seutama-utama perbuatan itu ialah yg terus-menerus (dawam) dilakukan meskipun sedikit.'”

Syaikh Abul Qasim al-Qusyairy qs. berkata, “Hakikat membunuh hawa nafsu itu ialah lepas bebas dari tipu dayanya, dan tidak memperhatikan sesuatu yg timbul daripadanya, dan menolak segala pengakuan²nya, dan tidak bingung (sibuk) untuk mengaturnya, dan tetap menyerahkan segala urusan itu kepada Allah Ta’ala dengan melepaskan usaha ikhtiar dan kehendak sendiri, sehingga lenyap dan hapus sama sekali pengaruh hawa nafsu itu terhadap kemanusiaannya. Adapun sisa² yg berupa gambaran kerangkanya, maka itu tidak berbahaya. Demikianlah jalan untuk membunuh hawa nafsu yg dapat segera mencapai hadiratal qudsi (tempat yg suci luhur), yg sesuai dengan tuntutan syari’at dan hakikat yg menjadi pelita bagi tiap salik yg menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah.”

Karena itulah Rasulullah Saw. berpesan kepada Abu Dzar ra. untuk banyak membaca: Laa hawlaa wa laa quwwata illaa billaahi.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Sekiranya tidak ada syahwat dan keinginan nafsu, niscaya perjalanan para salik menuju Allah Ta’ala tidak akan pernah ada karena Allah Ta’ala lebih dekat kepada seseorang daripada dirinya sendiri. Jadi, tak ada yg perlu ditempuh para salik untuk menuju Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)

Jauhnya jarak yg perlu ditempuh menuju yg dicintai telah terbentang di hadapanmu, wahai hamba. Ketahuilah bahwa jarak itu adalah syahwatmu sendiri. Jika syahwat ini tidak ada, kau tidak perlu berjalan jauh atau menempuh jalan menuju Allah Ta’ala karena jarak tersebut tidak ada, sebagaimana di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yg harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yg harus diselesaikan.”

Permusuhan antara dirimu dengan Allah Ta’ala yg harus kau selesaikan juga tidak ada. Permusuhan tidak terjadi, kecuali pada dua hal yg saling berlawanan. Sementara di sini, kau membutuhkan cinta dan hubungan dengan-Nya. Memangnya siapa dirimu sampai berani memusuhi Allah Ta’ala?

Kesimpulannya, saat syahwatmu hilang, kau tidak perlu lagi menempuh perjalanan panjang menuju Allah Ta’ala. Perjalanan kesana bermakna memutus halangan dan rintangan jiwa, menghapus pengaruhnya, serta menyingkirkan watak dan kebiasaan buruknya agar ia bersih dari itu semua, layak dekat dengan-Nya, dan meraih kebahagiaan pertemuan dengan-Nya. Sekiranya tanpa perjuangan dan penderitaan seperti ini, perjalanan menuju Allah Ta’ala tidak pernah ada karena Allah Ta’ala lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri. Jarak yg harus kau tempuh itu adalah syahwatmu sendiri yg menjadi penghalang dan yg harus kau singkirkan. Syahwatmu menjadi hijab terbesar yg menghalangimu dari Allah Ta’ala. Dengan mengekang dan mematikannya, kau akan sampai kepada Allah Ta’ala.

Abu Madyan berkata, “Siapa yg nafsunya belum mati, ia tidak akan melihat Yang Maha Haq.”

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Tidak ada pintu masuk untuk menemui Allah, kecuali dua: pintu kefana’an yg besar, yakni kematian, dan pintu kefana’an diri dengan mengekang nafsu.”

Hatim al-Asham berkata, “Siapa yg ikut jalan kami ini, hendaknya ia menyimpan pada dirinya empat warna kematian. Pertama, kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu. Kedua, kematian hitam, yaitu tegar menerima penganiayaan manusia. Ketiga, kematian putih, yaitu menahan rasa lapar. Keempat, kematian hijau, yaitu menepis kebodohan dan sifat tak tahu malu.”

Ketika menempuh jalan menuju Tuhan, seorang murid harus ditemani seorang Syaikh dan Mursyid yg sudah berhasil melembutkan jiwa dan menaklukkan hawa nafsunya. Ia harus taat dan patuh kepadanya dalam setiap hal yg di nasehatinya, tanpa bertanya, ragu, atau gamang. Orang² berkata, “Siapa yg tidak memiliki Syaikh (Guru), setan adalah Syaikhnya.” Wallaahu a’lam

256. Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat (1)

Hikmah 256 dlm Al-Hikam:

“Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat”

جَعَلَكَ فِي الْعَالَمِ الْمُتَوَسِّطِ بَيْنَ مُلْكِهِ وَ مَلَكُوْ تِهِ، لِيُعْلِمَكَ جَلَا لَةَ قَدْ رِ كَ بَيْنَ مَخْلُوْ قَا تِهِ، وَ أَنَّكَ جَوْ هَرَ ةٌ تَنْطَوِي عَلَيْكَ أَصْدَافُ مُكَوَّنَا تِهِ.

Allah menjadikanmu berada di alam pertengahan antara alam materi dan malakut-Nya guna memperkenalkan tingginya kedudukanmu di antara makhluk. Kau adalah mutiara yg tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya.

Tersebut dalam kitab² Allah Ta’ala yg terdahulu, “Hai anak Adam, Akulah (Allah kepentinganmu/kebutuhanmu) yg tidak dapat engkau abaikan, karena itu tetaplah engkau pada apa yg engkau butuhkan itu.”

Allah Ta’ala juga berfirman, “Hai anak Adam, Aku jadikan segala sesuatu untukmu dan aku jadikan engkau untuk-Ku, karena itu jangan sibuk dengan apa yg pasti datang kepadamu, sehingga meninggalkan apa yg engkau dijadikan untuk-Nya.”

Firman Allah Ta’ala, “Dialah Allah yg menjadikan untuk kamu semua apa yg di bumi. Tiadalah Aku menjadikan manusia dan jin kecuali supaya ibadah kepada-Ku.”

al-Wasithy dalam menafsirkan ayat, “Sungguh Kami (Allah) telah memuliakan anak Adam (manusia). Yakni Kami serahkan kepada mereka alam seisinya supaya mereka tidak bingung atau tertipu oleh sesuatu dan supaya beribadah (mengabdikan diri kepada Allah).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Wahai manusia, Allah Ta’ala menjadikanmu di alam pertengahan antara kerajaan-Nya (materi) dengan malakut-Nya (kerajaan ghaib-Nya). Alam materi adalah alam nyata dan alam malakut adalah alam ghaib. Manusia tidak murni dari alam nyata, tidak pula murni dari alam ghaib. Akan tetapi, ia berada di pertengahan antara keduanya, baik secara indrawi maupun secara maknawi.

Secara indrawi, Allah Ta’ala menciptakannya di antara langit dan bumi. Dia menciptakan makhluk lain, seperti binatang dan tumbuhan, tak lain untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Adapun secara maknawi, Allah Ta’ala menciptakannya dalam bentuknya yg paling sempurna dan menjadikannya sebagai sosok yg mengandung seluruh rahasia benda² yg berwujud, di atas maupun di bawahnya, yg lembut maupun yg kerasnya. Dengan begitu, manusia terdiri dari ruh dan jasad, langit dan bumi. Oleh sebab itu, manusia sering disebut dengan alam terkecil.

Sering pula manusia dikatakan sebagai miniatur dari seluruh alam semesta karena di dalam dirinya terdapat sifat² malaikat, seperti akal, makrifat, dan ibadah; menyimpan sifat² setan, seperti suka menggoda, memberontak, dan melampaui batas; memiliki sifat² hewan, seperti amarah dan nafsu syahwat, tamak dan ganas, serta penuh tipuan. Saat marah, manusia menjadi seperti singa. Saat dikuasai nafsu, ia menjadi seperti babi yg tidak peduli dimana ia berkubang. Saat tamak dan ganas, ia menjadi seperti anjing. Saat menipu, ia menjadi seperti serigala.

Pada diri manusia juga tersimpan sifat tumbuhan dan pepohonan. Pada awalnya, manusia seumpama dahan yg lembut, kemudian tumbuh hingga akhirnya menjadi keras dan berwarna hitam. Manusia juga menyimpan sifat langit, yaitu tempat menyimpan segala rahasia dan cahaya serta tempat berkumpulnya para malaikat. la mengandung sifat bumi, yaitu bahwa ia tempat tumbuhnya akhlak dan tabiat, yg lembut ataupun yg keras. Ia juga menyimpan sifat ‘Arsy, yaitu bahwa qalbunya menjadi tempat penampakan Ilahi. Selain itu, ia memiliki sifat lauh, yaitu menjadi tempat disimpannya ilmu; sifat qalam, yaitu bahwa ia mampu mengatur ilmu itu. Manusia juga menyimpan sifat surga, yaitu jika akhlaknya baik, semua temannya akan merasa nikmat dan nyaman saat bersamanya. Ia juga menyimpan sifat neraka, yaitu jika akhlaknya buruk, semua temannya akan ikut terbakar.

Allah Ta’ala menjadikanmu seperti itu untuk memperkenalkan tingginya kedudukanmu di tengah para makhluk-Nya. Semua makhluk itu diciptakan untukmu agar kau manfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, kau harus meninggikan tekadmu dari semua itu dan hanya sibuk dengan Tuhanmu.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Alam semesta (benda) semuanya adalah hamba yg diciptakan untukmu dan kau adalah hamba Allah.” Ini adalah makna pertengahan indrawi, seperti yg disebutkan.

Adapun makna maknawi, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkannya dengan ucapannya, “Kau adalah mutiara yg tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya.” Bahasa lainnya adalah tersimpan dalam kerang ciptaan-Nya karena sifat² semuanya ada di dalam dirimu. Allah Ta’ala tidak menciptakan makhluk dengan sifat seperti ini, kecuali manusia.

Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menciptakannya sesuai dengan sifat²Nya dan menjadikannya khalifah yg melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah Ta’ala memberinya dua arah: satu arah menuju Allah Ta’ala dan satu arah menuju makhluk. Adapun malaikat dan makhluk lainnya yg tercipta dari ruh, mereka tidak memiliki kecuali satu arah saja, yaitu menuju Allah Ta’ala.

Semua sifat ini berlaku pada setiap manusia. Namun, sifat² tersebut tidak akan tampak pada dirinya, kecuali setelah ia melakukan olah batin dan mujahadah. Setelah itu, ia akan disebut insan kamil (manusia sempurna). Inilah rahasia² yg tidak diketahui, kecuali dengan dzauq (perasaan) dan tidak terdengar oleh selain pemiliknya. Wallaahu a’lam

257. Manusia Berada di Antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat (2)

Hikmah 257 dlm Al-Hikam:

إِنَّمَا وَ سَعَكَ الْكَوْنُ مِنْ حَيْثُ جُثْمَا نِيَّتُكَ، وَ لَمْ يَسَعْكَ مِنْ حَيْثُ ثُبُوْ تُ رُوْحَانِيَّتِكَ.

Alam dapat menampungmu dari sisi fisik, tetapi ia tak dapat menampungmu dari sisi ruh.

Karena badan jasmani sejenis dengan benda² alam, maka di situlah letak hajat kebutuhan badan jasmanimu, sebaliknya ruhanimu sama sekali tidak sejenis dengan benda² alam ini, bahkan jauh berbeda, maka karenanya tidak usah engkau harus menggantungkan soal dengan kebendaan dan seharusnya hanya berhubungan kepada Allah Ta’ala.

Ahmad bin Khadharawaih ra. ketika ditanya, “Perbuatan apakah yg utama?” Jawabnya, “Menjaga hati jangan sampai condong, menoleh menghadap pada sesuatu selain Allah Ta’ala.

Abu Abdullah al-Jallab ra. berkata, “Siapakah yg hasrat semangat tujuannya lebih tinggi dari alam benda, maka ia pasti sampai kepada Allah yg mencipta alam, tetapi siapa yg tujuannya hanya pada sesama makhluk maka tidak mendapat Tuhan, sebab Allah Maha Mulia untuk dapat menerima persekutuan/dipersekutukan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Alam, yaitu bumi yg kau huni, dapat menampungmu secara fisik karena fisikmu adalah bagian dari alam. Kemaslahatannya pun bergantung pada alam. Namun, alam tidak dapat menampungmu dari sisi ruhani karena ruh bukan berasal dari alam ini dan tidak sejenis dengan alam. Oleh karena itu, ruh tidak layak bergantung kepada sesuatu yg berasal dari alam ini. Ruh hanya layak bergantung kepada Allah Ta’ala.

Kesimpulannya, manusia adalah gabungan dari dua hal: jasad dan ruh. Antara jasad dengan alam terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, jasad pantas bergantung pada alam. Jika jasad mengkonsumsi yg ada di alam ini, jasad akan mampu bertahan di alam ini. Jika tidak, ia akan binasa, sebagaimana yg telah ditetapkan sunnatullah. Namun, antara ruh dan alam tidak terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, ruh tidak layak bergantung pada alam. Ia hanya patut bergantung pada Sang Pencipta alam, yaitu Allah Ta’ala.

Maka dari itu, kita harus berusaha menyempurnakan ruh dengan dzikir² dan olah batin agar semua kotoran kemanusiaannya hilang sehingga ia layak bergantung kepada Tuhan Yang Maha Agung. Adapun untuk jasad, kita tidak perlu mempedulikan apa yg layak baginya karena Allah Ta’ala telah menjaminnya.

Dalam sebuah syair disebutkan:

Wahai pelayan tubuh, betapa kau menderita saat melayaninya.
Kau mengharap keuntungan dari sesuatu yg jelas merugikan.
Sebaiknya, kau memperhatikan ruh dan menyempurnakan kemuliaannya.
Dengan ruh, kau disebut manusia, bukan dengan jasad.

Wallaahu a’lam

258. Orang yang Terpenjara adalah Orang yang Belum Dibukakan di Hadapannya Ruang² Ghaib

Hikmah 258 dlm Al-Hikam:

“Orang yang Terpenjara adalah Orang yang Belum Dibukakan di Hadapannya Ruang² Ghaib”

الْكَا ئِنُ فِي الْكَوْنِ وَلَمْ تُفْتَحْ لَهُ مَيَا دِيْنُ الْغُيُوْبِ مَسْجُوْنٌ بِمُحِيْطَا تِهِ، وَمَحْصُوْرٌ فِي هَيِكَلِ ذَا تِهِ.

Orang yg berada di alam ini dan masih belum mengetahui dunia ghaib berarti terkungkung oleh sejumlah hal yg mengitarinya dan terkepung oleh kerangka dirinya.

Demikianlah keadaan manusia yg belum terbuka nur iman dalam hatinya sehingga tidak mengenal Allah Ta’ala, medan (lapangan) perjuangannya hanya terkurung pada kebendaan belaka untuk pemuasan hawa nafsu dan syahwat semata-mata.

Allah Ta’ala telah berfirman, “Hamba-Ku, jadikanlah perhatianmu sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku cukupi segala hajat kepentinganmu (kebutuhanmu), selama Aku dengan engkau, engkau dalam kedudukan hamba, dan selama engkau dengan Aku, maka engkau di tempat yg dekat, mintalah apa saja untuk dirimu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Semua orang yg ada di dunia dan hatinya belum dibuka untuk menerima ilmu dan pengetahuan ghaib berarti masih terbelenggu dan terpenjara oleh syahwat dan kenikmatannya, serta terikat oleh kebiasaannya, seperti makan, minum, dan berpakaian. Mereka juga terkurung oleh kerangka dirinya, yaitu syahwat dan kenikmatannya. Wallaahu a’lam

259. Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu (1)

Hikmah 259 dlm Al-Hikam:

“Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu”

اَنْتَ مَعَ الْأَ كْوَانِ مَا لَمْ تَشْهَدِ الْمُكَوِّنَ، فَإِذَا شَهِدْ تَهُ كَا نَتِ الْأَ كْوَا نُ مَعَكَ.

Kau tunduk kepada alam selama belum melihat Penciptanya. Jika kau telah menyaksikan-Nya maka alam akan tunduk kepadamu.

Selama masih ada hajat kebutuhan kepada alam benda, maka engkau tetap menjadi budak hamba kebendaan, tetapi bila engkau telah sadar bahwa benda ini tidak bergerak sendiri, bahkan tergantung pada Penciptanya, maka ketika engkau sadar yg demikian, engkau tidak berhajat lagi kepada alam benda, dan merasa kaya cukup dengan Pencipta alam benda, sehingga benda itu pun tunduk kepadamu dengan izin Allah Ta’ala Penciptanya.

Syaikh Abu Bakar asy-Syibli ra. berkata, “Tidak pernah tergerak di dalam hati orang yg mengenal kepada Allah pencipta alam ini, sesuatu dari hal alam benda: Yakni seorang yg benar² telah mengenal Allah, sama sekali tidak merasa butuh kepada kebendaan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kau hanya akan terpaku pada alam dan bersandar kepadanya selama kau tidak melihat siapa Pencipta alam itu. Jika kau sudah melihat Sang Pencipta di dalamnya, alam akan bersamamu. Dengan kata lain, kau tidak membutuhkannya, namun kau akan memilikinya. Alamlah yg akan membutuhkan dan melayanimu. Jika kau meminta sesuatu dari alam, permintaanmu akan cepat terwujud. Jika kau katakan kepada suatu benda alam, “Jadilah!”, niscaya ia akan terjadi dengan izin Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, tak heran jika sebagian wali ada yg berkata kepada langit, “Turunkan hujanmu!” atau berkata kepada angin, “Bertiuplah!” maka angin itu pun bertiup dan awan menurunkan hujannya. Sebabnya adalah karena para wali merasa ghaib dari alam dengan menyaksikan Penciptanya. Dalam kondisi syuhud ini, seorang wali akan kehilangan indranya dan kehilangan kemanusiaannya, tetapi tidak mesti ia harus mengalami kefana’an. Wallaahu a’lam

260. Perbedaan Antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu (2)

Hikmah 260 dlm Al-Hikam:

لَا يَلْزَمُ مِنْ ثُبُوْتِ الْخُصُوْصِيَّةِ عَدَمُ وَصْفِ الْبَشَرِيَّةِ، إِنَّمَا مَثَلُ الْخُصُوْصِيَّةِ كَإِشْرَاقِ شَمْسِ النَّهَارِ، ظَهَرَتْ فِي الْأُفُقِ وَلَيْسَتْ مِنْهُ، تَارَةً تَشْرُقُ شُمُوْسُ أَوْصَافِهِ عَلَى لَيْلِ وُجُوْدِكَ، وَتَارَةً يَقْبِضُ ذَلِكَ عَنْكَ فَيَرُدَّكَ إِ َلى حُدُوْدِكَ ,فَالنَّهَارُ لَيْسَ مِنْكَ وَ إِلَيْكَ، وَ لَكِنَّهُ وَارِدٌ عَلَيْكَ.

Adanya keistimewaan tidak berarti lenyapnya sifat² manusia. Keistimewaan tersebut ibarat sinar mentari siang. Ia tampak di cakrawala, padahal bukan bersumber dari cakrawala. Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu. Kadangkala pula Dia mencabutnya kembali darimu dan mengembalikanmu pada batas semula. Siang tersebut bukan berasal darimu dan bukan pula menuju kepadamu. Namun, ia datang dari Allah untukmu.

Sifat² khushusiyah (kewalian) seperti kasyaf terhadap sesuatu hal, atau kekuatan yg istimewa untuk berbuat dan mengadakan sesuatu, itu semua tidak melazimkan lenyapnya sifat² manusia biasa, seperti kebodohan, kemiskinan dan kelemahan. Sama dengan sinar matahari terhadap benda² yg tadinya gelap mendapat cahaya matahari maka berubah menjadi terang, tetapi jika terbenam matahari itu tidak termasuk sifat dzatnya, maka apabila menerima nur tajalli maka tampak keluar dari padanya sifat² Allah Ta’ala yg menerangi dzatnya itu, tetapi bila ditarik kembali nur tajalli itu, maka kembalilah sifat² yg asli pada manusia. Maka sifat² khushusiyah (keistimewaan/kewalian) itu bukan sifat manusia yg asli, hanya menjelma (datang) kepadanya, pada sifat² yg ditentukan Allah Ta’ala sendiri yg memberi itu.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Adanya kelebihan yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu yg berupa kekuatan dan kemampuan melakukan apa saja terhadap semua benda dan mengungkap rahasianya tidak berarti hilangnya sifat kemanusiaanmu, seperti sifat tidak memiliki, lemah, tak berdaya, hina, dan bodoh. Sifat² manusia itu merupakan hal yg bersifat inti dan pasti melekat pada diri setiap hamba.

Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelebihan itu dengan mengatakan, “Keistimewaan itu ibarat sinar mentari siang hari.” Keistimewaan seumpama sinar yg amat panas dan terang benderang. Ia muncul di cakrawala langit, tetapi tidak bersumber dari cakrawala itu sendiri. Jika matahari siang muncul di cakrawala yg gelap gulita, kegelapan itu akan bersinar terang. Jika ia tenggelam, cakrawala akan kembali gelap seperti sediakala. Hal itu dikarenakan, benderangnya cakrawala bukan merupakan sifat dasar cakrawala itu, melainkan hanyalah asupan dan pemberian. Tentu sifat² asupan tidak bisa menghilangkan sifat² dasar.

Seperti itulah sifat² manusia yg ada pada dirimu, seperti kemiskinan, kelemahan, dan ketidakberdayaan, persis dengan keadaan di malam hari. Jika matahari muncul di malam hari atau jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya pada dirimu dengan sifat² kaya dan kuasa-Nya, dzatmu akan bersinar terang dengan kekayaan dan kekuasaan. Namun, apabila cahaya itu diambil lagi, dzatmu akan kembali seperti semula. Inilah yg di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha‘illah dengan ucapannya, “Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu.”

Maksudnya, sifat² Allah Ta’ala yg di umpamakan dengan matahari akan tampak pada sifat² pribadimu yg di umpamakan dengan malam hari. Dengan demikian, keistimewaanmu akan tampak dan kau pun menjadi mampu dengan kuasa Allah Ta’ala, kuat dengan kekuatan Allah Ta’ala, dan tahu dengan ilmu Allah Ta’ala, demikian seterusnya. Jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat² kuasa-Nya, kau akan memiliki kekuatan yg dapat menutupi kelemahanmu. Apabila Dia menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat ilmu-Nya, kau akan memiliki ilmu yg menutupi kebodohanmu, demikian seterusnya.

Terkadang, Allah Ta’ala mencabut sifat²Nya kembali darimu dan mengembalikanmu seperti semula; lemah, tak berdaya, dan bodoh. Dengan begitu, keistimewaanmu menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, terkadang pada diri Rasulullah Saw. tampak sifat² kekuatan dan kemampuan sehingga tak heran jika Beliau bisa memberi makan seribu orang dengan hanya satu sha’ gandum. Namun, sesekali Beliau lemah dan tak berdaya sehingga Beliau harus mengikat batu di perutnya demi menahan rasa lapar yg menderanya. Seperti itu pula yg dialami oleh para wali pewarisnya.

Keistimewaan yg tampak padamu bukan berasal dari dirimu sendiri, bukan sifat² dasarmu. Ia adalah sifat asupan atau pemberian dari Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, Dia akan mengabadikannya padamu. Jika Dia menginginkan sebaliknya, Dia akan menghilangkannya lagi.

Oleh sebab itu, pada waktu² tertentu, para wali terlihat memiliki kekuatan. Namun, terkadang mereka lemah dan tak berdaya. Meski demikian, cahaya hati mereka dan rahasia batinnya tetap tidak hilang dan tidak tenggelam. Yg tenggelam dan hilang dari mereka hanyalah keistimewaan yg tampak pada tampilan lahir mereka. Wallaahu a’lam

261. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (1)

Hikmah 261 dlm Al-Hikam:

“Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah)”

بِوُ جُوْ دِ آ ثَا رِ هِ عَلَى وُجُوْ دِ أَسْمَا ئِهِ، وبِوُ جُودِ أَ سْمَا ئِهِ عَلَى ثُبُوْ تِ أَ وْ صَا فِهِ، وَ بِثُبُوْ تِ أَوْ صَا فِهِ عَلَى وُجُوْدِ ذَا تِهِ، إِذْ مُحَا لٌ أَنْ يَقُوْ مَ الْوَصْفُ بِنَفْسِهِ. فَأَ رْ بَا بُ الْجَذْ بِ يُكْشَفُ لَهُمْ عَنْ كَمَا لِ ذَا تِهِ، ثُمَّ يَرُ دُّ هُمْ إِلَى شُهُوْ دِ صِفَا تِهِ، ثُمَّ يَرْ جِعُهُمْ إِلَى التَّعَلُّقِ بِأَ سْمَا ئِهِ، ثُمَّ يَرُ دُّ هُمْ إِلَى شُهُوْ دِ آ ثَا رِهِ. وَ السَّا لِكُوْنَ عَلَى عَكْسِ هَذَا، فَنِهَا يَةُ السَّا لِكِيْنَ بِدَا يَةُ الْمَجْذُ وْبِيْنَ، وَبِدَا يَةُ السَّا لِكِيْنَ نِهَا يَةُ الْمَجْذُ وْبِيْنَ. لَكِنْ لَا بِمَعْنَى وَاحِدٍ، فَرُ بَّمَا الْتَّقَيَا فِي الطَّرِ يْقِ: هَذَا فِي تَرَ قِّيْهِ وَهَذَا فِي تَدَلِّيْهِ.

Dia menunjukkan wujud Nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan Sifat²Nya lewat keberadaan Nama-Nya. Dia menunjukkan wujud Dzat-Nya lewat keberadaan Sifat²Nya. Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang² yg ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan Dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan Sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada Nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya. Adapun para salik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para salik adalah awal perjalanan kaum majdzub (yg ditarik kepada-Nya). Sementara itu, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal itu tidak berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yg satu sedang naik, sedangkan yg lain sedang turun.

Adanya makhluk alam ini menunjukkan (membuktikan) adanya Nama² Allah Ta’ala: Qaadir, ‘Alim, Hakim, Murid, dan adanya Nama² itu pasti adanya Sifat²: Qudrat, Iradat, Ilmu, dan tiap² Sifat pasti berdiri di atas Dzat Allah Ta’ala. Sedang sifat makhluk (manusia) ada yg majdzub (yakni langsung dibukakan oleh Allah Ta’ala dan sampai kepada ilmu/mengenal Allah Ta’ala) bukan dari bawah/saluran yg umum, dan ada yg melalui jalan biasa dari bawah ke atas yaitu yg disebut salik. Dan keduanya selama belum mencapai puncak akhiratnya belum dapat dijadikan Guru yg dapat ditiru.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menunjukkan Asma-Nya lewat keberadaan jejak² atau ciptaan²Nya yg baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Dzat Yang Maha Mampu, Maha Berkehendak, dan Maha Mengetahui.

Dia juga menunjukkan Sifat²Nya seperti qudrah (Maha Kuasa), iradah (Maha Berkehendak), dan ‘ilmu (Maha Mengetahui) lewat keberadaan Asma-Nya. Lewat Sifat²Nya itu, Dia menunjukkan wujud Dzat-Nya karena tak mungkin sifat ada sendiri tanpa sosok yg memiliki sifat itu.

Inilah kondisi para salik. Hal pertama yg tampak bagi mereka adalah jejak² Allah Ta’ala, yaitu berupa perbuatan-Nya (af‘al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya Asma Allah. Asma tersebut menunjukkan adanya Sifat²Nya. Dengan sifat² itu pula, mereka membuktikan adanya Dzat Allah. Merekalah yg berkata, “Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya.”

Sebaliknya dengan orang² majdzub ¹. Hal itu di isyaratkan oleh Syaikh Ibnu Atha’illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:

“Orang² yg ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan Dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.

“Kemudian, mereka dibawa untuk menyaksikan Sifat-Nya,” bermakna melihat hubungan sifat² itu dengan Dzat-Nya.

“Lalu digiring untuk bergantung kepada Nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya,” misalnya dengan menyaksikan hubungan antara Asma Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari Asma Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.

Hal pertama yg tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat Sifat²Nya.

Selanjutnya, mereka kembali untuk bergantung kepada Asma-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk²Nya. Mereka itulah yg berkata, “Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.”

Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk² Allah setelah melihat Allah, akhir perjalanan para salik berbeda. Di akhir perjalanannya, para salik menyaksikan Dzat Suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.

Dengan demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan ketergantungannya kepada Allah Ta’ala. Itu merupakan akhir perjalanan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah Ta’ala (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang hambatan jiwa.

Mereka tidak akan ditarik Allah Ta’ala, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yg mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran² syar’i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yg merupakan poros taklif, tengah tertutup oleh cahaya.

Di awal perjalanan para salik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan Dzat, Asma, dan Sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzub, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan Dzat, Asma, dan Sifat-Nya.

Para salik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefana’an dan kesirnaan. Sementara itu, para majdzub dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja keduanya bertemu di tengah jalan. Yg satu sedang naik dari makhluk menuju Khaliq, sedangkan yg lain sedang turun dari Khaliq menuju makhluk.

Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli Asma dan Sifat²Nya, yakni masing² dari mereka menyaksikan Asma-Nya. Namun, seorang majdzub, jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat. Tentu salik lebih utama dari majdzub karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah Ta’ala menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah Ta’ala akan membuatnya sadar.

Masing² dari ilmu salik dan majdzub bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yg disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud Nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya ….”

Seorang majdzub, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar “Syaikh” karena ia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupakan kondisi lainnya.

Demikian pula seorang salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli, ia tidak layak mendapat gelar “Syaikh” karena ia belum sempurna. Yg layak mendapat gelar “Syaikh” hanyalah orang yg telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan suluk -nya lebih dahulu dari jadzab -nya maupun sebaliknya.

Terkadang seorang majdzub melewati berbagai maqam dengan cepat dan ia juga mengetahui berbagai petaka jiwa sehingga ia layak menjadi Syaikh meski harus tetap dengan kondisi jadzab -nya. Namun, ini terjadi pada beberapa orang majdzub saja, seperti sosok Sayyid Syaikh Ahmad Al-Badawi qs., bukan terjadi pada setiap majdzub. Wallaahu a’lam


¹ Majdzub adalah orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya sehingga ia mendapatkan keistimewaan tanpa bersusah payah menempuh berbagai maqam untuk meraihnya. Adapun salik adalah orang² yg baru mendapatkan keistimewaan dari Allah Ta’ala setelah bersusah payah meniti jalan menuju-Nya.

262. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (2)

Hikmah 262 dlm Al-Hikam:

لَايُعْلَمُ قَدْرُ أَنْوَارِ الْقُلُوْبِ وَالْأَسْرَارِ إِلَّا فِي غَيْبِ الْمَلَكُوْتِ، كَمَا لَا تَظْهَرُ أَنْوَارُ السَّمَاءِ إِلَّا فِي شَهَادَةِ الْمُلْكِ.

Kadar cahaya qalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dalam selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

“Cahaya qalbu atau rahasia batin” ialah ilmu pengetahuan laduni dan cahaya kebenaran yg terkandung di dalamnya. Cahaya qalbu ini tidak diketahui, kecuali dalam selubung malakut-Nya yg ghaib dari kita, yaitu alam akhirat. Maka dari itu, siapa beriman kepada yg ghaib dan berupaya melembutkan jiwanya sampai mendapatkan cahaya itu, ia dapat meraih keuntungan yg banyak di sana walaupun di dunia ia terhina dan terabaikan. Wallaahu a’lam

263. Perbedaan Antara Majdzub (yang Didekatkan Kepada Allah) dan Salik (yang Menempuh Jalan Menuju Allah) (3)

Hikmah 263 dlm Al-Hikam:

وُجْدَانُ ثَمَرَاتِ الطَّا عَاتِ عَاجِلًا بَشَائِرُ الْعَامِلِيْنَ بِوُجُوْدِ الْجَزَاءِ عَلَيْهَا آجِلًا.

Buah ketaatan yg dirasakan di dunia adalah kabar gembira bagi orang² yg beramal tentang adanya balasan ketaatan di akhirat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Pasti akan dapat merasakan kelezatan iman, siapa yg benar² rela ber Tuhan kepada Allah bernabikan Nabi Muhammad dan beragama Islam.”

Buah iman itu ialah bertambahnya keyakinan, merasa senang melakukan ibadah, bertambah puas menerima segala ajaran tuntunan Allah Ta’ala dan Rasulullah Saw. Maka siapa yg dapat merasakan semua itu sebagai tanda diterima amal dan akan mendapat pembalasan pahala kelak di akhirat, sebagaimana telah mendapat rasa lezat dan enaknya di dunia.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Buah ketaatan yg dimaksud adalah cahaya yg masuk ke dalam hati dan memancar dalam lahir mereka yg beramal. Buah ketaatan yg bisa dirasakan langsung di dunia merupakan kabar gembira dari Allah Ta’ala tentang adanya balasan ketaatan itu di akhirat. Ini juga pertanda bahwa amal itu diterima Allah Ta’ala, sebagaimana dalam bait hikmahnya, “Buah amal di dunia menunjukkan adanya penerimaan Allah.”

Namun demikian, hikmah ini tidak menegaskan bahwa amal boleh ditujukan untuk mendapatkan pahala dan bahwa tujuan tersebut adalah mulia. Wallaahu a’lam

264. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (1)

Hikmah 264 dlm Al-Hikam:

“Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan”

كَيْفَ تَطْلُبُ الْعِوَضَ عَلَى عَمَلٍ هُوَ مُتَصَدِّقٌبِهِ عَلَيْكَ؟ أَمْ كَيْفَ تَطْلُبُ الْجَزَاءَ عَلَى صِدْقٍ هُوَ مُهْدِيْهِ إِلَيْكَ؟

Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yg menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?

Amal yg boleh minta upah, ialah apabila amal ibadah itu semuanya tidak menguntungkan Tuhan, dan tidak menolak mudharat terhadap Tuhan, bahkan semua amal itu kembali kepada yg beramal sendiri. Lebih² amal perbuatan itu sebagai sedekah dari Tuhan, sedang keikhlasan beramal itu suatu hadiah yg sangat berharga dari Tuhan pula.

Syaikh Syu’bah bin al-Hajjaj al-Wasithi ra. berkata, “Menuntut balasan atas amal taat itu disebabkan oleh karena lupa terhadap karunia pemberian Allah.”

Syaikh Abul Abbas bin Atha’ullah ra. ketika ditanya, “Amal perbuatan apakah yg terdekat kepada murka Allah?” Jawabnya, “Melihat diri dan perbuatannya, dan lebih dari itu menuntut upah/balasan atas kelakuan amalnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana kau meminta pahala atas amal yg telah Allah Ta’ala sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yg manfaatnya kembali kepada orang itu. Disini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah Ta’ala. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.

Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah Ta’ala untukmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”

Disini Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “sedekah dan hadiah” sebagai pengingat atas hal yg disebutkan, yaitu bahwa amal dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan “bagaimana” yg menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.

Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “menyedekahkan”, sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yg merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, Beliau menggunakan lafal “menghadiahkan”. Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang² kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yg diberi hadiah itu. Wallaahu a’lam

265. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (2)

Hikmah 265 dlm Al-Hikam:

قَوْمٌ تَسْبِقُ أَنْوَارُهُمْ أَذْكَارَهُمْ، وَقَوْمٌ تَسْبِقُ أَذْكَارُهُمْ أَنْوَارَهُمْ، وَقَوْمٌ تتسا وى اذكارهم وانوارهم، وقوم لااذ كار ولا انوار نعوذبالله من ذا لك.

Ada kaum yg cahayanya mendahului dzikir, ada kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Ada kaum yg dzikir dan cahayanya berada dalam posisi yg sama. Ada pula kaum yg tidak memiliki dzikir dan cahaya, na’udzu billaah.. (kami berlindung kepada Allah dari golongan yg tidak berdzikir dan tidak ada cahayanya itu).

Ada yg berdzikir untuk mendapatkan nur terang hatinya, maka disebut berdzikir, dan ada yg telah terang nur hatinya, ini pun juga berdzikir. Sedang orang yg sama/berbanding antara dzikir dengan nurnya, maka dengan dzikirnya dapat hidayah, dan dengan nurnya dapat di ikuti.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Manusia ada dua macam, ada yg mendapat karunia Allah Ta’ala, sehingga berbuat taat kepada Allah Ta’ala, dan ada pula yg dengan taatnya kepada Allah Ta’ala mencapai kebesaran karunia Allah Ta’ala.”

Firman Allah Ta’ala, “Allah memilih untuk karunia-Nya siapa yg dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepadanya, siapa yg sungguh² datang/kembali kepada-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kaum yg cahayanya mendahului dzikir adalah kaum majdzubun (orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya) dan muradun (orang² yg dikehendaki Allah Ta’ala untuk dekat dengan-Nya). Ketika mereka menghadapi cahaya, terdengarlah pada mereka dzikir² tanpa beban. Dzikir² itu pun dengan mudah mempengaruhi mereka.

Ada pula kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Mereka adalah para muridun (yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala) dan salikun (yg meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Mereka adalah orang² yg terbiasa ber- mujahadah dan bersusah payah dalam beribadah. Mereka melakukan dzikir dengan penuh perjuangan. Dengan dzikir itu, mereka bisa mendapatkan cahaya.

Golongan pertama, mereka meraih ketaatan kepada-Nya dengan bantuan karamah Allah Ta’ala. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan Allah menentukan siapa yg dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yg besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 105)

Sementara itu, golongan kedua meraih karamah Allah Ta’ala dengan ketaatan kepada-Nya. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman-Nya, “Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69)

Wallaahu a’lam

266. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (3)

Hikmah 266 dlm Al-Hikam:

ذَاكِرٌ ذَكَرَ لِيَسْتَنِيْرَ قَلْبُهُ، وَ ذَاكِرٌ اسْتَنَارَ قَلْبُهُ فَكَانَ ذَاكِرًا، والذي استوت اذكاره وانواره فبذ كره يهتدي وبنوره يقتدي.

Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada orang yg terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada pula yg dzikir dan cahayanya sama sehingga dengan dzikirnya itu ia mendapat petunjuk dan dengan cahayanya itu ia melangkah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya. Mereka adalah para salikun. Kemudian, ada orang yg terang hatinya, lalu ia berdzikir. Mereka itulah para majdzubun. Baginya berdzikir seakan bernapas seperti biasa, bahkan lebih ringan lagi. Beda halnya dengan golongan pertama (salikun).

Seperti telah dijelaskan, salik lebih sempurna daripada majdzub karena salik benar² mengetahui jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapatkan karamah dengan perjuangan dan penderitaan, sedangkan majdzub tidak demikian karena mereka tidak pernah meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapat karamah Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala yg menarik mereka untuk didekatkan kepada-Nya. Seperti itulah kondisi mayoritas majdzub. Jika tidak, sebagian dari mereka mungkin akan meniti jalan yg dipersingkat oleh pertolongan Allah Ta’ala untuknya sehingga ia menempuhnya dengan cepat. Di sini mungkin ia tetap menempuh jalan, tetapi ia tidak mengalami liku²nya dan menapaki panjang jaraknya. Wallaahu a’lam

267. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (4)

Hikmah 267 dlm Al-Hikam:

مَا كَانَ ظَاهِرُ ذِكْرٍ إِلَّا عَنْ بَاطِنِ شُهُوْدٍ وَفِكْرٍ .

Dzikir yg terlihat bersumber dari penyaksian batin dan hasil berpikir.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Dzikir yg lahir tak lain bersumber dari musyahadah /penyaksian terhadap Tuhan secara batin dan hasil tafakkur tentang-Nya. Masing² dari majdzub dan salik tidak mengucapkan dzikir secara lahir, kecuali setelah syuhud/menyaksikan Tuhan secara batin dan memikirkan-Nya. Seorang majdzub akan mengalami hal itu, sedangkan salik tidak mengalaminya karena tebalnya sifat kemanusiaannya. Meski demikian, ia tetap tidak kehilangan cahaya secara total. Jika tidak mendapatkan cahaya tersebut, tentu ia tidak akan berdzikir. Seperti telah disebutkan di awal, “Sekiranya tidak ada karunia Ilahi, tidak akan ada dzikir,” atau, “Sekiranya tidak ada tajalli (penampakan ilahi), tidak akan ada tahalli (penyerapan sifat-Nya).”

Maksud dzikir di sini adalah seluruh amal lahir. Disebut dzikir karena dzikir adalah ruh amal² tersebut karena semua amal mengandung dzikir (mengingat Allah). Masing² dari musyahadah /penyaksian dan tafakkur untuk melakukan dzikir dijalani oleh majdzub dan salik. Wallaahu a’lam

268. Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan (5)

Hikmah 268 dlm Al-Hikam:

أَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَسْتَشْهِدَكَ، فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الظَّوَاهِرُ، وَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدَّيِتَهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَائِرُ.

Allah membuatmu menyaksikan-Nya sebelum memintamu menyaksikan-Nya. Maka dari itu, seluruh anggota tubuh pun mengakui Ketuhanan-Nya dan semua hati serta relung batin menyadari keesaan-Nya.

Allah Ta’ala ber- tajalli ke dalam hati tiap orang, menurut kadar kekuatan/ tingkat orang itu, sehingga iman tiap orang itu pun menurut apa yg diperlihatkan oleh Allah Ta’ala daripada kebesaran kekuasaan-Nya. Apabila Allah Ta’ala telah ber- tajalli kepada seorang hamba-Nya, maka pada orang ini bahwa semua makhluk seolah-olah mengakui Ketuhanan-Nya sebagaimana makin yakin dalam hati sanubarinya (perasaan ke Esaan) Allah Ta’ala yg tidak bersekutu dalam Dzat, Sifat, Af’al, kekuasaan, kebesaran dan hikmah kebijaksanaan semua ajaran, jaminan dan aturan-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya dalam hatimu. Dengan begitu, kau bisa menyaksikan-Nya berdasarkan kadar diri dan kedudukanmu sebelum Dia memintamu untuk bersaksi atas keagungan-Nya dengan dzikir dan ibadahmu karena dzikir dan ibadah adalah sebentuk kesaksianmu atas keagungan Tuhan yg patut disembah dan diingat, serta pengakuan atas keesaan-Nya. Oleh karena itu, semua anggota tubuhmu akan berbicara tentang Ketuhanan-Nya atau berbicara tentang segala hal yg menunjukkan Ketuhanan Allah Ta’ala, sedangkan hati dan batin akan menyadari keesaan-Nya.

Kemungkinan maknanya adalah, di alam ghaib, Allah Ta’ala membukakan hakikat Ketuhanan, keesaan, dan kepengaturan-Nya untuk para arwah. Di alam nyata, Dia juga menampakkannya dengan cara memasukkan hakikat itu ke dalam jasad². Selanjutnya, melalui lisan para Nabi-Nya, para jasad itu dituntut untuk bersaksi atas Ketuhanan-Nya, maka semua jasad pun bersaksi dengan lisan dan ucapannya. Kesaksian itu keluar dari jasad ketika ia dituntut untuk bersaksi berdasarkan apa yg disaksikannya.

Makna ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah, “Allah membuatmu menyaksikan-Nya” adalah Allah Ta’ala menampakkan keesaan-Nya di alam arwah. “Sebelum memintamu untuk menyaksikan-Nya” bermakna, Dia memintamu bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang Ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan. Maksudnya, ketika Allah Ta’ala meminta jasad melalui lisan para Nabi-Nya untuk bersaksi, jasad pun angkat berbicara dan menyaksikan keesaan-Nya. Wallaahu a’lam

269. Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya (1)

Hikmah 269 dlm Al-Hikam:

“Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya”

أَكْرَمَكَ بِكَرَامَاتٍ ثَلًاثٍ: جَعَلَكَ ذَاكِرًا لَهُ، وَ لَوْ لَا فَضْلُهُ لَمْ تَكُنْ أَهْلًا لِجَرَيَانِ ذِكْرِهِ عَلَيْكَ، وَجَعَلَكَ مَذْكُوْرًا بِهِ، إِذْ حَقَّقَ نِسْبَتَهُ لَدَيْكَ، وَجَعَلَكَ مَذْكُوْرًا عِنْدَهُ فَتَمَّمَ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ.

Allah memuliakanmu dengan tiga jenis kemuliaan. Pertama, Dia menjadikanmu berdzikir mengingat-Nya. Andai tidak ada karunia-Nya, tentu kau tidak layak untuk berdzikir mengingat-Nya. Kedua, Dia menjadikanmu dikenal lantaran Dia menisbatkan dzikir tadi padamu. Ketiga, Dia menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya sehingga nikmat-Nya padamu menjadi sempurna.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tuhan — yg membuatmu menyaksikan-Nya, lalu menyuruhmu menyaksikan-Nya — telah memuliakanmu sehingga kau selalu berdzikir kepada-Nya dengan lisanmu, beribadah kepada-Nya, dan mendekati-Nya dengan hati dan batinmu. Allah Ta’ala memuliakanmu dengan tiga karamah yg dengannya kau menghimpun semua sebab kebanggaan dan sifat² terpuji.

Pertama, Allah Ta’ala menjadikanmu berdzikir kepada-Nya dengan lisanmu dan dengan ibadah lahir dan batinmu. Sekiranya bukan karena karunia-Nya, niscaya kau tidak akan layak disebut-sebut Allah Ta’ala karena kau tercipta untuk selalu kurang, malas, dan enggan. Oleh karena itu, dzikirmu kepada-Nya adalah karunia dan anugerah-Nya yg besar kepadamu. Memangnya, siapa dirimu sampai dianggap layak untuk berdzikir kepada-Nya, taat, dan bergantung kepada-Nya?

Kedua, Allah Ta’ala menjadikanmu dikenal orang, yakni kau akan disebut-sebut manusia sebagai wali Allah, makhluk pilihan-Nya, dan ahli dzikir kepada-Nya. Di sini Allah Ta’ala akan memasukkan keistimewaan-Nya pada dirimu, yaitu berupa cahaya² dzikir yg menerangi lahir dan batinmu sehingga kau memiliki keistimewaan itu dan menjadi makhluk pilihan-Nya. Keistimewaan itulah yg mendorongmu untuk selalu berdzikir dan mengingat-Nya.

Orang yg mendapatkan sedikit pemberian dari seorang raja saja biasanya terdorong untuk selalu mengingat kebaikan raja tersebut. Ia akan bahagia, selalu mengingatnya, dan selalu menjaga nama baiknya. Lantas, bagaimana sekiranya kau mendapatkan karunia agung dari Tuhan, Raja seluruh alam semesta, sehingga kau selalu disebut-sebut di sisi-Nya dan dikenal di tengah² kaum mukmin hingga akhir zaman?

Tengok misalnya para ulama dan orang² shaleh yg banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Saat mereka meninggal, pujian terhadap mereka akan terus terngiang. Namanya selalu disebut orang dan tak sedikit yg mendoakan.

Ketiga, Allah Ta’ala menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya. Kondisi ini sesuai dengan hadits qudsi, “Siapa yg mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun akan selalu mengingatnya dalam Diri-Ku. Siapa yg berdzikir mengingat-Ku di satu tempat, Aku akan mengingatnya di satu tempat yg lebih baik daripada tempatnya itu.” Allah Ta’ala menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan menyebut-nyebut namamu di sisi-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah (dzikrullah) adalah lebih besar.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)

Ada yg berpendapat bahwa makna dzikrullah pada ayat di atas adalah “ingatan Allah”, bukan “mengingat Allah”. Artinya, ketika hamba mengingat-ingat nama Allah Ta’ala, Allah Ta’ala akan jauh lebih mengingat-ingat hamba tersebut. Wallaahu a’lam

270. Karamah² yang diberikan kepada Hamba-Nya (2)

Hikmah 270 dlm Al-Hikam:

رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمَادُهُ وَقَلَّتْ أَمْدَادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍِ قَلِيْلَةٍ آمَادُهُ كَثِيْرَةٍ أَمْدَادُهُ.

Tidak sedikit umur yg panjang, namun kurang manfaat. Tidak sedikit pula umur yg pendek, namun penuh manfaat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Banyak orang yg berumur panjang, tetapi manfaatnya sedikit, seperti halnya umur orang² yg lalai dari Allah Ta’ala dan hanya sibuk memikirkan nafsu syahwatnya. Walaupun umur mereka panjang, hakikatnya pendek karena kurang bermanfaat.

Banyak pula orang yg berumur pendek, tetapi manfaatnya banyak. Sekalipun umur tersebut terlihat pendek, hakikatnya amat panjang karena banyak manfaatnya. Itulah makna keberkahan dalam umur.

Faedah umur tidak mesti sejalan dengan panjangnya umur karena terkadang pemilik umur pendek mendapatkan manfaat dan faedah lebih banyak daripada yg umurnya lebih panjang. Wallaahu a’lam

271. Umur yang Diberkahi (1)

Hikmah 271 dlm Al-Hikam:

“Umur yang Diberkahi”

مَنْ بُوْرِكَ لَهُ فِي عُمُرِهِ أَدْرَكَ فِي يَسِيْرٍ مِنَ الزَّمَنِ مِنْ مِنَنِ اللهِ تَعَالَى مَا لَا يَدْخُلُ تَحْتَ دَوَائِرِ الْعِبَارَةِ، وَلَا تَلْحَقُهُ الْإِشَارَةُ.

Siapa yg usianya diberkahi maka dalam waktu singkat, ia mendapat anugerah Allah yg tidak bisa diungkap dengan kata² dan tidak bisa dijangkau dengan isyarat.

Usia (umur) yg berkah itu ialah jika Allah Ta’ala memberi kesadaran terhadap seseorang untuk mempergunakan kesempatan yg ada padanya untuk amal kebaikan, sebab ada kalanya amal kebaikan jika tepat pada sasarannya dapat mencapai apa yg tidak tercapai dalam masa seribu bulan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Amal kebaikan itu menambah umur. Bukan bertambah masanya, tetapi kebesaran hasil yg didapat pada usia itu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg ingin Allah Ta’ala berkati usianya, Dia akan memberinya kedekatan dengan-Nya sehingga dengan mudah dan dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan anugerah Allah Ta’ala yg tak bisa diungkapkan dengan kata² dan tak bisa dijangkau dengan isyarat.

Jika Allah Ta’ala ingin memberkati umur seorang wali-Nya, Dia akan memberinya kecerdasan dan kewaspadaan tinggi (kesadaran) sehingga ia terdorong untuk selalu menggunakan waktunya dengan baik. Dengan begitu, ia akan tergerak untuk selalu melakukan amal² shaleh setiap saat. Dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan karunia Allah Ta’ala yg tak bisa diungkapkan dengan kata² dan isyarat karena anugerah itu terlampau banyak dan mulia baginya.

Ungkapan dan isyarat tak mampu melukiskannya, mengingat betapa berlimpah dan jernihnya anugerah itu. Dalam satu bulan, misalnya, ia akan meraih kedudukan tinggi yg tak pernah dialami oleh seseorang dalam seribu bulan. Seperti halnya orang yg mendapatkan anugerah malam lailatul qadar. Itu lebih baik baginya daripada beramal selama seribu bulan.

Seseorang berkata, “Setiap malam bagi seorang ‘arif sama dengan malam lailatul qadar.”

Syaikh Abu Al-Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Waktu kami seluruhnya adalah lailatul qadar.”

Ada yg mengatakan bahwa inilah makna dan ungkapan “kebaikan terus bertambah sepanjang umur.” Wallaahu a’lam

272. Umur yang Diberkahi (2)

Hikmah 272 dlm Al-Hikam:

الْخِذْلَانُ كُلِّ الْخِذْلَانِ أَنْ تَتَفَرَّغَ مِنَ الشَّوَاغِلِ، ثُمَّ لَا تَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ، وَتَقِلَّ عَوَائِقُكَ، ثُمَّ لَا تَرْحَلُ إِلَيْهِ.

Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan, namun tak juga menghadap kepada-Nya atau bila kau hanya mendapat sedikit rintangan, tetapi tak juga beranjak menuju-Nya.

Siapa yg cukup mendapat kesempatan untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah Ta’ala, lalu tidak dipergunakannya, maka yg demikian itu suatu kekecewaan dan kehinaan yg tidak ada bandingnya, sebab tiap detik bagi anak Adam, dapat dipergunakan untuk menebus dosa dan segera masuk surga, karena itu bila kesempatan itu di sia-siakan hingga akhirnya masuk ke dalam jurang neraka, maka itulah contoh kehinaan dan kekecewaan yg sangat rendah.

Sebab ibadah itulah amal manusia yg utama dan terbaik dunia akhirat, dan dengan itu manusia dapat mencapai bahagia dunia akhirat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kondisi di atas terjadi akibat tidak adanya taufik dan bantuan Allah Ta’ala. Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan duniawi, misalnya kau telah memiliki harta duniawi yg cukup, namun kau tidak juga sibuk menghadap Allah Ta’ala dengan sesuatu yg bisa mendekatkanmu kepada-Nya. Sungguh amat disayangkan!

Amat disayangkan pula jika kau hanya mendapatkan sedikit rintangan dalam menuju Allah Ta’ala, misalnya kau sudah memiliki sandang dan pangan meski agak kurang, namun kau tidak juga menyibukkan diri dengan sesuatu yg mendekatkan dirimu kepada-Nya.

Bagaimana halnya dengan orang yg tidak memiliki harta duniawi yg cukup dan masih membutuhkan usaha dan pekerjaan?

Apakah ia dikategorikan sebagai orang yg merugi bila ia sibuk dengan usaha dan pekerjaannya sehingga tidak menghadap Allah Ta’ala dan tidak segera berangkat menuju-Nya? Ya, tetapi ia hanya mendapat separuh kerugian karena menghadap Allah Ta’ala dan berjalan menuju-Nya amat dituntut dari seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku.”

Oleh karena itu, yg wajib bagi setiap orang ialah menyingkirkan segala rintangan, meninggalkan kesibukannya, dan segera menghadap Allah Ta’ala. Sebuah nasihat mengatakan, “Berjalanlah menuju Allah meski harus tertatih-tatih. Jangan menunggu masa sehat karena menunggu masa sehat sama dengan pengangguran.”

Allah Ta’ala berfirman:

اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yg demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 41)

Wallaahu a’lam

273. Dua Macam Tafakkur (1)

Hikmah 273 dlm Al-Hikam:

“Dua Macam Tafakkur”

الْفِكْرَةُ: سَيْرُ الْقَلْبِ فِي مَيَادِيْنِ الْأَغْيَارِ.

Tafakkur adalah petualangan hati di medan ciptaan Allah.

Berfikir yg dianjurkan Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya, ialah memperlihatkan kebesaran kekuasaan Allah Ta’ala yg telah dijelmakan pada makhluk yg dijadikan di alam ini.

Rasulullah Saw. melihat suatu kaum, maka ditanya, “Mengapakah kamu?” Jawab mereka, “Kami sedang memikirkan Dzat Allah.” Maka sabda Rasulullah Saw., “Berfikirlah (perhatikanlah) makhluk Allah, dan jangan memikirkan Dzat Allah, maka sungguh kamu tidak dapat memperkirakannya (menjangkaunya), atau membatasi kebesaran-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tafakkur adalah perjalanan hati di ranah kemakhlukan atau di medan makhluk dan ciptaan Allah Ta’ala, berupa langit, bumi, dan seluruh isinya. Dengan kata lain, tafakkur adalah perjalanan hati di tengah berbagai jenis makhluk dan ciptaan Allah Ta’ala untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan pelajaran serta tanda² yg menghantarkan kepada makrifat Allah dan mengenali sifat² kesempurnaan dan keindahan-Nya. Jika hati bertafakkur tentang wujud makhluk, ia akan dituntun kepada wujud sang Pencipta. Inilah tafakkurnya orang² awam.

Jika hati bertafakkur tentang kebaikan dan buahnya — berupa pahala dan kedekatan dengan Yang Maha Mulia— ia akan terdorong untuk melaksanakan kebaikan karena berharap mendapatkan pahala itu. Jika hati berpikir tentang keburukan dan buahnya — berupa azab — ia akan terdorong meninggalkan keburukan dan tidak mau mendekatinya. Inilah tafakkurnya orang² ‘abid.

Apabila hati bertafakkur tentang kefana’an dan ketidakmampuan dunia untuk memenuhi semua keinginan, ia akan bertambah zuhud dan meninggalkannya. Inilah tafakkurnya para zahid.

Bila hati bertafakkur tentang nikmat dan karunia Allah Ta’ala, kecintaannya terhadap sang Pemberi nikmat akan semakin besar. Inilah tafakkurnya orang² ‘arif.

Dalam bertafakkur, yg boleh dipikirkan hanyalah makhluk Allah Ta’ala, bukan Dzat dan hakikat-Nya karena berpikir tentang Dzat Allah Ta’ala dilarang. Rasulullah Saw. bersabda, “Berpikirlah tentang ciptaan-Nya. Jangan berpikir tentang Khaliq karena kalian takkan sanggup memperkirakan-Nya.” Wallaahu a’lam

274. Dua Macam Tafakkur (2)

Hikmah 274 dlm Al-Hikam:

الْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ، فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَلَهُ.

Tafakkur adalah lentera hati. Jika lenyap, hati pun gelap.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tafakkur seumpama lentera atau lampu yg menerangi kegelapan. Dengan cahaya yg terpancar dari lentera itu, hakikat dan kebenaran segala sesuatu akan tampak sehingga yg benar tampak benar dan yg bathil tampak bathil. Dengan tafakkur, kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala akan dikenali dan dilihat. Dengan tafakkur juga, bencana² dan cacat² jiwa, tipuan musuh, dan tipuan dunia dapat dideteksi secara dini. Dengan tafakkur pula, cara² untuk menghindari semua tipuan itu bisa dipelajari. Jika tafakkur sirna dari hati, hati tidak akan bercahaya. Hati akan hampa dari pikiran dan cahaya, seumpama sebuah rumah yg gelap gulita. Ketika itu, yg ada di hati hanyalah kebodohan dan tipu daya. Wallaahu a’lam

275. Dua Macam Tafakkur (3)

Hikmah 275 dlm Al-Hikam:

الْفِكْرَةُ فِكْرَتَانِ: فِكْرَةُ تَصْدِيْقٍ وَ إِيْمَانٍ، وَفِكْرَةُ شُهُوْدٍ وَ عِيَانٍ. فَا لْأُوْلَى لِأَرْبَابِ الْإِعْتِبَارِ، وَالثَّانِيَةُ لِأَرْبَابِ الشُّهُوْدِ وَ الإِسْتِبْصَارِ.

Tafakkur itu dua macam: tafakkur yg timbul dari pembenaran atau iman dan tafakkur yg timbul dari penyaksian atau penglihatan. Yg pertama milik mereka yg bisa mengambil pelajaran, sedangkan yg kedua milik mereka yg menyaksikan dan melihat dengan mata hati.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tafakkur maknanya petualangan hati di medan makhluk Allah Ta’ala. Tafakkur ada dua macam. Pertama, tafakkur ahli iman yg bersumber dari pokok keimanannya. Tafakkur ini bertujuan untuk naik ke kedudukan tinggi dan menambah keyakinan. Oleh sebab itu, tafakur ini disebut dengan fikrat at-taraqqi (tafakkur untuk naik). Tafakkur semacam ini milik para salikun.

Kedua, tafakkur yg bersumber dari penglihatan dan pandangan. Tafakkur ini disebut dengan fikrat at-tadalli (tafakkur untuk turun). Tafakkur ini milik para majdzubun.

Tafakkur pertama milik orang² yg bisa mengambil pelajaran, yakni orang² yg menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (Khaliq). Mereka adalah para salikun saat mengalami taraqqi (naik ke atas) karena pikiran mereka bersumber dari pembenaran dan iman.

Adapun tafakkur kedua milik orang² yg menyimpulkan bahwa keberadaan sebab (Khaliq) adalah yg melahirkan akibat (makhluk). Mereka adalah para majdzubun saat mereka mengalami tadalli (turun ke bawah). Pikiran mereka bersumber dari penglihatan dan pandangan mata batin. Pikiran ini diperuntukkan bagi orang² yg dikehendaki Allah Ta’ala agar ahwal mereka semakin sempurna.

Jika tidak, sebagian, bahkan mayoritas majdzub akan tetap terpaku dalam kondisinya dan tak akan bangkit. Adapun selain mereka, yakni orang² awam, tafakkur mereka tak lain hanya untuk mendapatkan pembenaran dan keimanan, bukan untuk menambah pembenaran dan keimanan. Wallaahu a’lam

Daftar Isi

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load